Anda di halaman 1dari 5

"Seperti Juffrouw Annelies ini.

Segalanya punya: uang, ibu yang menyayang,


kecantikan tanpa banding, ketrampilan kerja. Tapi masih ada sesuatu yang Juffrouw
rasai tidak atau belum punya. Keinginan itu harus disadari. Kalau tidak bisa jadi
penyakit. Keinginan tak disadari memerintah tubuh dengan kejam, tak mengenal
ampun. Perasaan dan pikiran dikuasainya, diperintahnya. Kalau tidak disadari orang
bertingkah-laku seperti orang sakit - bisa kacau. Nah, Juffrouw, apa yang diinginkan
sebenarnya maka sampai sakit ?"
"Tidak ada. Betul tidak ada."
"Dan mengapa tiba-tiba merah muka ? Benarkah Jufrouw tak menghendaki Tuan
Minke ?"
Annelies melirik padaku, kemudian menunduk.
"Nah, Nyai, kalau boleh menyarankan, nikahkan lebih cepat mereka ini pada
kesempatan pertama," ia menatap aku. "Dan Tuan Minke, Tuan kan sudah belajar
berani ? belajar kuat ? di samping berani belajar ?......"
Ia tak teruskan. Sebuah dokar sewaan datang. Kusir membantu turun seorang
penumpang: Jean Marais. May melompat turun, kemudian memimpin ayahnya.
Kuperkenalkan mereka pada yang lain-lain:
"Jean Marais, pelukis, perancang perabot rumahtangga, bangsa Prancis, sahabatku,
tak berbahasa Belanda."
Suasana jadi berubah. Soalnya Dokter Martinet tak mengerti Melayu. Mama dan
Annelies tak tahu Prancis, biar pun Dokter Martinet tahu. Hanya May dan aku yang
tahu semua bahasa mereka. Dan May dengan cepatnya melengket pada Annelies.
Dan Dokter Martinet mengangguk-angguk melihat keriangan Annelies mendapatkan
adik sedang May mendapatkan kakak. Selintas ia menghadapkan matanya pada Jean
Marais, bertanya dalam Prancis:
"Berapa anak Tuan ?"
"May belum sempat bersaudara. Tuan Dokter," jawabnya dan matanya
memancarkan tak senanghatinya mendapat pertanyaan itu.
Tapi Martinet dengan kebiasaan menembusi pedalamanorang itu tidak peduli,
meneruskan dalam Belanda tanpa alamat tertentu:
"Kalau mungkin alangkah indah kalau mereka berdua diusahakan berkumpul.
Mestinya sudah dari dulu......."
Sementara itu Annelies telah membawa May masuk ke rumah. Tak keluar lagi. Dari
kejauhan terdengar tawa dan cericau mereka, kadang dalam Melayu, kadang dalam
Jawa dan Belanda.
Jean Marais menggeleng mendengar suara anaknya. Wajahnya berseri.
Hanya suasana kaku tetap menguasai kami - suatu hal yang menyebabkan Dokter

! 206!
Martinet tak bersenanghati. Ia minta diri, naik ke keretanya yang menunggu di
samping rumah.
"Tuan Martinet dokter pandai," kataku dalam Melayu. "Dia yang menyembuhkan
Annelies. Kami sangat berterimakasih. Sedang sahabatku ini. Mama. dia datang
minta ijin untuk melukis Mama, sekiranya Mama setuju dan ada waktu."
"Apa guna dilukis ?"
"Mevrouw," panggil Jean.
"Nyai, Tuan, bukan Mevrouw."
"Minke sangat mengagumi Mevrouw......"
"Nyai, Tuan."
"......sebagai wanita Pribumi luarbiasa. Dia banyak menyanjung Mevrouw, maka ..... "
"Nyai, Tuan.
"______ maka kami bersepakat untuk mengabadikan dalam lukisan. Kelak, entah
satu atau empatpuluh tahun yang akan datang, orang tentu akan masih tetap
mengenal dan mengagumi."
"Maaf. Tak ada keinginanku untuk dikagumi."
"Dapat dimengerti. Hanya orang pandir mengagumi diri sendiri. Tapi jang
mengagumi Mevrouw bukan Mevrouw pibadi, bukan - justru saksi hidup pada
jamannya."
"Sayang, Tuan. tidak ada kesediaanku. Berpotret pun ti-dak.w'
"Kalau begitu — ya, memang sayang sekal» Kalau begitu — kalau begitu.... boleh
kiranya memandangi M :ouw untuk dihafal dalam hati ?" tanyanya sopan dan kikuk.
Nyai jadi kemerahan. "Untuk kulukis kemudian di rumah ?"
Pandang Nyai disapukan padaku, kemudian pada rumah, kemudian pada punggung
papannama di kejauhan sana. Akhirnya pada meja kebun. Ia nampak risi, rikuh, dan
salah tingkah.
"Jangan. Jangan. Tuan," ia tersipu. "Dan kau, Mt..ke, apa saja kau ceritakan di luar
sana tentang diriku ?"
"Tak ada yang buruk, Mevrouw. Semua pujian semata."
Melihat kebingungan Nyai buru-buru aku bilang:
"Sekarang ini Mama belum lagi suka. Mungkin lain kali."
"Lain kali juga tidak."
"Dia sahabatku, Mama."
"Kalau begitu sahabatku juga."
Sekarang Jean Marais, yang-sejak semula memang berperasaan peka, mungkin
karena cacadnya, kelihatan gelisah dan i-ngin segera pergi. Matanya gugup mencari
anaknya, yang hanya kedengaran suaranya, menyanyi di kejauhan.

! 207!
"Dia ada di dalam, Tuan," kata Nyai. "Mari masuk."
Kami masuk. Makin jelas nyanyi riang May bersama Annelies. Dan Nyai kelihatan
gembira mendengarnya. Sejak aku di Wonokromo tak pernah ia terdengar nyanyi.
Nampaknya ia kembali jadi kanak-kanak -- masa yang terlalu pendek baginya,
direnggutkan oleh tanggungjawab dan kerja itu.
Jean termenung-menung tanpa kata.
"Tuan Marais," kata Mama setelah kami duduk di ruangde-pan tanpa ada yang
bicara. "Anak Tuan ternyata membawa udara segar di rumah ini. Bagaimana kiranya
kalau dia sering kemari seperti anjuran Dokter Martinet tadi ?"
"Kalau anaknya suka, tentu tak ada halangan," suaranya murung seakan takut
kehilangan.
"Minke, Nyo, undanglah Tuan Marais menginap."
"Bagaimana Jean, kau suka ?"
Untuk kesekian kalinya aku lihat betapa kikuk seniman pencipta keindahan ini. Ia
tak dapat menjawab soal yang begitu sederhananya. Ia pandangi aku, putus akal.
"Ya, Jean, sebaiknya kau menginap. Besok, pagi-pagi, aku antarkan kau agar bengkel
tidak terlambat buka."
Ia mengangguk menyetujui, lupa mengucapkan terimakasih atas undangan yang
ramah ku.
Pada malamhari sewaktu tidur seranjang denganku aku bertanya padanya, mencoba-
coba cara bicara Dokter Martinet:
"Jean, nampaknya kau selalu lesu. Apa masih juga meratapi masalalumu ? Maafkan."
"Itu pertanyaan seorang pengarang, Minke. Sungguh kau sudah pengarang seratus
persen."
"Bukan begitu, Jean. Maafkan. Aku jauh, jauh lebih muda memang, juga jauh kurang
pengalaman dan pengetahuan. Mau kau menjawab, Jean ?"
"Itu sangat pribadi. Lagi pula akan kututup dengan selesainya lukisan dulu itu. Kau
hendak menulis tentang aku ?"
"Sungguh kau seorang pribadi yang menarik. Ya, kalau tidak gagal. Apa
sesungguhnya kau inginkan, Jean ?"
"Inginkan ? Ah, kau! Kau seniman. Aku seniman. Setiap seniman menginginkan,
mengimpikan puncak sukses. Sukses! Dan mengumpulkan tenaga, Minke, hanya
untuk mempertahankan suksesnya -- sukses yang menganiaya itu."
"Tapi suaramu begitu murung seakan kau tak percaya pada datangnya sukses itu."
"Pertanyaan itu - kau sudah seniman sesungguhnya. Aku harap pertanyaan itu lahir
dari pergulatan batinmu sendiri, hasil kerjamu sendiri selama ini. Itu sungguh bukan
pertanyaan orang seumur kau. Pertanyaan yang mengandung otoritas. Kau percaya

! 208!
itu pertanyaanmu sendiri ?"
Aku tertegun. Bertanya seluwes mungkin:
"Apa maksudmu dengan otoritas ?"
"Secara pendek: orang yang mengerti benar pertanyaannya sendiri."
Jelas ia belum mengantuk. Dan jelas usahaku gagal. Lebih lagi karena ia tak mau
meneruskan.
Dan malam itu aku tenggelam dalam begitu banyak soal, membikin aku merasa
harus mengucapkan selamat tinggal pada masa remajaku yang indah gilang-
gemilang penuh kemenangan. Ya, biar pun untuk orang lain mungkin tidak berarti.
Semua yang telah kucatat yang memberi hak padaku untuk menamai kemenangan.
Dan di antara kemenangan-kemenangan itu, yang terbesar, cinta Annelies. Sekali
pun, ya, sekali pun ia tak lain daripada boneka rapuh.
Hanya bunyi pendule mengisi kesenyapan malam.
Teringat olehku satu kalimat Dokter Martinet:
"Sapi-sapi perah Nyai dalam mempersiapkan diri jadi sapi perah; sapi penuh, sapi
dewasa, membutuhkan waktu hanya tiga sampai empatbelas bulan. Bulan! Manusia
membutuhkan belasan, malah puluhan tahun, untuk jadi dewasa, manusia dalam
puncak nilai dan kemampuannya. Ada yang tidak pernah jadi dewasa memang,
hidup hanya dari pemberian seseorang atau masyarakatnya: orang-orang gila dan
kriminil*. Mantap-tidaknya kedewasaan dan nilai tergantung pada besar-kecilnya
dan ba-nyak-sedikitnya ujian. Yang selalu lari dari ujian, cobaan — si kriminil dan si
gila itu — tidak pernah dewasa. Dan sapi hanya tiga atau empatbelas bulan persiapan
- tanpa cobaan, tanpa ujian....."
Ya Allah, sesungguhnya sudah terlalu besar cobaan dan ujian yang Kau berikan
padaku, pada umurku yang semuda ini. Keadaan telah membikin aku terlalu cepat
disarati soal-soal yang semestinya belum jadi perkaraku. Beri aku kekuatan pada
setiap percobaan dan ujian yang Kau sendiri hadapkan padaku sebagaimana Kau
lakukan terhadap orang-orang sebelum aku..... Aku bukan gila. Juga bukan kriminil.
Dan tak bakal!

16. PAGI HARI ITU LANGIT TAK BERMENDUNG. MINGGU cerah. Hatiku
sendiri yang tidak ikut cerah. Mega-mendung yang tiba-tiba muncul dan bergerak
cepat melintasi antariksa dalam dada, memberitakan akan datangnya badai. Kemarin
waktu berkuda (aku sudah pandai berkuda!) dengan Annelies — sabtu sore tanpa
diskusi-sekolah -- sekilas nampak olehku si Gendut. Sejak itu hatiku kembali jadi
resah.

! 209!
Ia nampak sedang berkendara kuda murahan kemudian meninggalkan kampung
dalam wilayah perusahaan. Pada malam-hari waktu Darsam datang ke kamarku
untuk belajar baca-tulis dan berhitung, aku menolak mengajar. Aku ceritakan
padanya tentang adanya orang gendut yang mencurigakan, pernah mengikuti aku
sejak kota B. (Ya, tiba-tiba aku jadi ingat: memang dia membeli karcis di loket
stasiun B. tepat setelah aku. Juga teringat: dia datang lebih dulu, bersandaran pada
tiang perron dan bicara dengan seseorang).
Apa dia sipit. Tuanmuda ? Darsam bertanya.
Agak... aku membenarkan.
Ya, memang sudah beberapa kali kelihatan di kampung. Darsam meneruskan dan
mengira dia mindring biasa.
Kalau mindring tentu berkuncir. Dia tidak, kataku, mungkin suruhan Robert.
Darsam tak menjawab.
Di mana Robert sekarang ? Tak pernah dia nampak sejak aku dari B.
Tak mungkin dia berani pulang. Masih ingat ceritaku dulu, Tuanmuda ? Dia
diperintahkan membunuh Tuanmuda ? Dan aku bilang padanya : Majikanku Nyai
dan Noni; orang yang mereka sukai aku sukai; kalau Sinyo menghendaki
terbunuhnya Tuanmuda, sebaiknya Sinyo sendiri yang kutebang; kau bukan
kau bukan majikanku; awas! aku cabut parang, dan dia lari......
Begitulah kemarin. Munculnya si Gendut menggelapi hati. Dan matari pagi tak kuasa
mengusir mega-mendung yang bergumpalan dalam antariksa hati.
Jadi kau sudah pernah lihat si Gendut ? tanyaku pada Darsam semalam. Sekiranya
kau bertemu lagi apa akan kau perbuat ?,
Kalau benar tangan-tangan Sinyo Robert, dia akan berkalang tanah.
Husy, jangan sembarangan, kataku menegah. Tak boleh. Kalau terjadi, semua akan
mengalami celaka. Tidak boleh, Darsam, tidak boleh. Mengerti ?
Tidak boleh, Tuanmuda, baik, tidak boleh. Hanya akan kuhajar dia sampai patah-
patah, biar tak bisa bikin apa-apa dalam sisa hidupnya.
Jangan, kita belum tahu benar duduk-perkaranya. Kalau sampai berurusan dengan
polisi, siapa akan bantu Mama ? Aku tak bisa. Tak sanggup.
Dan Darsam terdiam. Kemudian ia bicara pelahan dan ragu:
Baik, akan kudengarkan Tuanmuda.
Betul, kataku, kau harus dengarkan. Aku tak mau jadi biangkeladi kecelakaan bagi
keluarga ini. Dan.......tetap tak boleh ada yang tahu.
Dan pagi ini Darsam kulihat berjalan gelisah ke sana-sini. Ia memperlihatkan diri
dengan sengaja agar setiap saat dapat aku panggil bila kuperlukan. Aku tahu: dia
sedang menjaga nyawaku dari kemungkinan si Gendut.

! 210!

Anda mungkin juga menyukai