Anda di halaman 1dari 5

Ia tatap aku dengan pandang curiga.

"Kan kau tidak balik ke Kranggan ?"


"Kalau kau masih menghendaki aku tinggal tentu saja tidak, Ann."
Ia memberengut. Matanya sebentar tertuju pada surat-surat sarah dan Miriam.
"Sudah keberatan menemani aku begini ?" suaranya bernada tangis.
"Tentu saja tidak, Ann, tidak sewaktu kau sakit."
"Haruskah aku sakit lagi ?"
"Ann, apa katamu itu ?" sekilas aku teringat pada keterangan Dokter Martinet. Dan
aku yakin tidak mengasarinya. Segera kususulkan: "Kau harus sembuh betul, kau
sangat dibutuhkan Mama."
"Apa keberatan Mas menemani begini kalau aku tidak sakit ?" tanyanya gugup.
"Apa kata orang nanti ?"
"Apa kata orang, Mas ?"
"Begini, Ann, biar aku bilangi kau: kau sudah baik sekarang. Kalau kau tak kehendaki
aku pergi tentu aku takkan balik ke Kranggan. Percayalah. Aku akan tinggal di sini
selama kau kehendaki. Hanya tidak di kamarmu ini tentu. Jadi mulai besok, ya Ann,
aku akan tinggal dan bekerja di kamarku sendiri, di persada sana. Kalau kau merasa
kesepian, kaulah yang datang || sana. Sama saja kan ?"
"Kalau toh sama saja, seperti ini sajalah untuk seterusnya. Kau tinggal di sini saja."
"Tapi daerah loteng ini tempat larangan kecuali untuk Mama dan kau. Kan ketentuan
itu harus dihormati ?" dan masih barang duapuluh kalimat lagi kuucapkan.
Ia tak menengahi. Hanya matanya nampak semakin lebih menjangkau kejauhan.
Annelies cemburu.
Keesokan harinya aku kunjungi Jean Marais. Dari rumah telah kusiapkan persoalan
tentang Afrika Selatan. Ia dengarkan dengan diam-diam. Kemudian:
"Tahu kau, Minke, sebagai orang Eropa aku sudah sangat malu telah ikut campur
dalam soal kolonial. Kira-kira sama dengan orang yang kau ceritakan itu, orang yang
kita sama-sama
tidak kenal. Aku telah ikut berperang di Aceh, hanya karena unitnya menduga
Pribumi takkan mampu melawan, maka mereka takkan melawan. Ternyata mereka
melawan, dan melawan benar tidak kepalang tanggung. Gagah-berani pula, seperti
dalam banyak perang besar di Eropa. Pengalaman Aceh yang memalukan itu. Minke:
alat-alat perang terbaru Eropa melawan daging manusia Aceh. Karena kau
menanyakan pendapatku, aku akan menjawab, setelah itu jangan lagi ajukan soal
yang menyiksa nuraniku."
Tanpa kami sadari Tuan Telinga telah ikut mendengarkan dari suatu jarak, kemudian
mendekat, duduk pada meja. Nampaknya ia bersemangat untuk mencampuri. '

! 176!
"Perang kolonial dalam dua puluh lima tahun belakangan ini tak lain"daripada
kehendak modal, kepentingan pasaran buat kelangsungan hidup modal di Eropa
sana. Modal telah menjadi begitu kuasanya, maha kuasa. Dia menentukan apa harus
dilakukan ummat manusia dewasa ini."
"Perang selamanya adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang,"
Telinga menengahi.
"Tidak. Tuan Telinga." Marais membantah, "tak pernah ada perang untuk perang.
Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka
turun ke medan perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh
sekarang ini........ ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga daripada
hanya mati. hidup, atau kalah-menang."
"Akhirnya sama saja. Jean. adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai
pemenang."
"Itu hanya akibat. Tuan Telinga. Tapi baiklah kalau memang sudah jadi pandangan
Tuan. Sekarang. Tuan, sekiranya bangsa Aceh yang menang. Belanda. kalah, adakah
Nederland lantas jadi milik Aceh ?"
"Justru karena itu. Tuan. Aceh sendiri tahu pasti akan kalah. Belanda juga tahu pasti
akan menang. Namun. Tuan,; Aceh tetap juga turun ke medan-perang. Mereka
berperang bukan untuk menang. Berbeda dari Belanda. Sekiranya dia tahu Aceh
sama kuat dengan dirinya, dia takkan berani menyerang, apalagi membuka medan-
perang. Soalnya tak lain dari pertimbangan un-tung-rugi modal. Kalau soalnya hanya
menang, mengapa pula Belanda tidak menyerang Luxemburg, atau Belgia, lebih
dekat dan lebih kaya ?"
"Kau orang Prancis, Jean, tak punya kepentingan dengan Hindia."
bumi manusia 205
"Barangkali. Setidak-tidaknya aku menyesal telah ikut serta berperang di sini."
Tapi kau. seperti aku, mau menerima pensiun sekali tarik!'1
"Ya, seperti Tuan juga. Tapi pensiun itu hakku dari dia yang membawa aku ke
medan-perang. Seperti Tuan juga. Aku kehilangan kakiku. Tuan kehilangan
kesehatan Tuan. Itu sajalah hasil Perang Aceh untuk kita berdua. Kita kan bukan
hendak bersengketa. Tuan Tdlinga ?"
"Dalam pasukan dulu aku bawahan Tuan. Sekarang tidak."
"Jadi apa guna pertengkaran ini ?" aku menengahi. "Aku bertanya tentang Afrika
Selatan. Selamat tinggal."
Dan aku kunjungi Magda Peters. la menggeleng-geleng:
"Tentang Afrika Selatan ? Apa kau mau jadi politikus ?" tanyanya kembali.
"Apa arti sesungguhnya dari politikus, Juffrouw ?"

! 177!
Sekali lagi ia menggeleng-geleng memandangi aku seperti seorang yang sedang
menanggung duka. Kami berdua terpaksa terdiam.
"Nantilah kalau kau sudah lulus. Tentang itu kita bisa bicarakan dengan tenang.
Sekarang belum perlu. Usahakan kau bisa lulus. Memang angkamu tidak buruk.
Lebih baik bisa tulus. Ja-ng,n pikirkan yang lain-lain. Eh, Minke, apa benar
dongengan entah dari mana asalnya, kau sekarang hidup dengan seorang nyai-nyai
?"
"Betul, Juffrouw."
"Kan tahu pendapat umum tentang itu ?"
"Tahu, Juffrouw."
"Mengapa kau lakukan juga ?"
"Karena tempat tinggal tidak berarti sesuatu. Lagipula apa yang disebut nyai-nyai
pada luarnya, Juffrouw, tak lain dari orang terpelajar, malahan termasuk guruku."
"Guru ? Guru apa ?"
"Bagaimana seseorang dari tiada apa-apa menjadi otodidak mengagumkan."
"Otodidak dalam hal apa ?"
"Pertama memimpin diri sendiri, kemudian memimpin perusahaan besar..........."
Jangan membela diri dengan kebohongan."
"Rasanya Juffrouw belum pernah kubohongi."
"Tidak, kecuali sekarang ini," ia tatap aku dengan mata berkedip cepat, pertanda ia
sedang berpikir keras (menurut dugaanku), "jangan kecewakan aku, Minke. Kau
terpelajar. Tak Patut kembali seperti tak pernah bersekolah."
"Itulah jawabanku sebagai terpelajar, Juffrouw."
tidak kenal. Aku telah ikut berperang di Aceh, hanya karena unitnya menduga
Pribumi takkan mampu melawan, maka mereka takkan melawan. Ternyata mereka
melawan, dan melawan benar tidak kepalang tanggung. Gagah-berani pula, seperti
dalam banyak perang besar di Eropa. Pengalaman Aceh yang memalukan itu. Minke:
alat-alat perang terbaru Eropa melawan daging manusia Aceh. Karena kau
menanyakan pendapatku, aku akan menjawab, setelah itu jangan lagi ajukan soal
yang menyiksa nuraniku."
Tanpa kami sadari Tuan Telinga telah ikut mendengarkan dari suatu jarak, kemudian
mendekat, duduk pada meja. Nampaknya ia bersemangat untuk mencampuri. '
"Perang kolonial dalam dua puluh lima tahun belakangan ini tak lain"daripada
kehendak modal, kepentingan pasaran buat kelangsungan hidup modal di Eropa
sana. Modal telah menjadi begitu kuasanya, maha kuasa. Dia menentukan apa harus
dilakukan ummat manusia dewasa ini."
"Perang selamanya adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang,"

! 178!
Telinga menengahi.
"Tidak. Tuan Telinga." Marais membantah, "tak pernah ada perang untuk perang.
Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka
turun ke medan perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh
sekarang ini........ ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga daripada
hanya mati. hidup, atau kalah-menang."
"Akhirnya sama saja. Jean. adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai
pemenang."
"Itu hanya akibat. Tuan Telinga. Tapi baiklah kalau memang sudah jadi pandangan
Tuan. Sekarang. Tuan, sekiranya bangsa Aceh yang menang. Belanda. kalah, adakah
Nederland lantas jadi milik Aceh ?"
"Justru karena itu. Tuan. Aceh sendiri tahu pasti akan kalah. Belanda juga tahu pasti
akan menang. Namun. Tuan,; Aceh tetap juga turun ke medan-perang. Mereka
berperang bukan untuk menang. Berbeda dari Belanda. Sekiranya dia tahu Aceh
sama kuat dengan dirinya, dia takkan berani menyerang, apalagi membuka medan-
perang. Soalnya tak lain dari pertimbangan un-tung-rugi modal. Kalau soalnya hanya
menang, mengapa pula Belanda tidak menyerang Luxemburg, atau Belgia, lebih
dekat dan lebih kaya ?"
"Kau orang Prancis, Jean, tak punya kepentingan dengan Hindia."
bumi manusia 205
"Barangkali. Setidak-tidaknya aku menyesal telah ikut serta berperang di sini."
Tapi kau. seperti aku, mau menerima pensiun sekali tarik!'1
"Ya, seperti Tuan juga. Tapi pensiun itu hakku dari dia yang membawa aku ke
medan-perang. Seperti Tuan juga. Aku kehilangan kakiku. Tuan kehilangan
kesehatan Tuan. Itu sajalah hasil Perang Aceh untuk kita berdua. Kita kan bukan
hendak bersengketa. Tuan Tdlinga ?"
"Dalam pasukan dulu aku bawahan Tuan. Sekarang tidak."
"Jadi apa guna pertengkaran ini ?" aku menengahi. "Aku bertanya tentang Afrika
Selatan. Selamat tinggal."
Dan aku kunjungi Magda Peters. la menggeleng-geleng:
"Tentang Afrika Selatan ? Apa kau mau jadi politikus ?" tanyanya kembali.
"Apa arti sesungguhnya dari politikus, Juffrouw ?"
Sekali lagi ia menggeleng-geleng memandangi aku seperti seorang yang sedang
menanggung duka. Kami berdua terpaksa terdiam.
"Nantilah kalau kau sudah lulus. Tentang itu kita bisa bicarakan dengan tenang.
Sekarang belum perlu. Usahakan kau bisa lulus. Memang angkamu tidak buruk.
Lebih baik bisa tulus. Ja-ng,n pikirkan yang lain-lain. Eh, Minke, apa benar

! 179!
dongengan entah dari mana asalnya, kau sekarang hidup dengan seorang nyai-nyai
?"
"Betul, Juffrouw."
"Kan tahu pendapat umum tentang itu ?"
"Tahu, Juffrouw."
"Mengapa kau lakukan juga ?"
"Karena tempat tinggal tidak berarti sesuatu. Lagipula apa yang disebut nyai-nyai
pada luarnya, Juffrouw, tak lain dari orang terpelajar, malahan termasuk guruku."
"Guru ? Guru apa ?"
"Bagaimana seseorang dari tiada apa-apa menjadi otodidak mengagumkan."
"Otodidak dalam hal apa ?"
"Pertama memimpin diri sendiri, kemudian memimpin perusahaan besar..........."
Jangan membela diri dengan kebohongan."
"Rasanya Juffrouw belum pernah kubohongi."
"Tidak, kecuali sekarang ini," ia tatap aku dengan mata berkedip cepat, pertanda ia
sedang berpikir keras (menurut dugaanku), "jangan kecewakan aku, Minke. Kau
terpelajar. Tak Patut kembali seperti tak pernah bersekolah."
"Itulah jawabanku sebagai terpelajar, Juffrouw."
kan. haik bagi yang mendengar mau pun yang mengucapkan.
“Tapi perbudakan telah dihapus barang tiga puluh tahun yang lalu di Hindia, Nyai,"
Magda Peters melayani.
"Betul. Juffrouw, selama tak ada laporan tentang adanya perbudakan. Pernah
terbaca olehku masih adanya perbudakan di mana-mana di Hindia."
"Dari Missie dan Zending ?"
"Kira-kira keadaanku sama dengan mereka."
Agak lama Magda Peters terdiam. Ia berkedip cepat. Kemudian:
"Mevrouw bukan budak, juga tidak seperti budak."
"Nyai, Juffrouw." Mama membetulkan. "Bisa saja seorang budak hidup di istana
kaisar, hanya dia tinggal budak."
"Bagaimana keterangannya maka Nyai merasa diri budak ?"
Persoalan pribadi yang sekian lama terpendam, di hadapan wanita Eropa ini
sekarang mencari jalan keluarnya, memprotes, mengadu, mengutuk, meminta
perhatian, menuduh, mendakwa, mengadili sekaligus. Aku semakin gelisah
mendengar. Pikiranku sekarang sibuk mencari dalih untuk cepat-cepat menghindar.
Sedang Nyai justru membuka kran masalalunya.
"Seorang Eropa, Eropa Totok, telah membeli diriku dari orangtuaku," suaranya pahit
mengandung dendam yang tak bakal tertebus dengan lima istana. "Aku dibeli untuk

! 180!

Anda mungkin juga menyukai