Anda di halaman 1dari 5

sejarah Hindia pun tak pernah terjumpai.

Kompeni Belanda tak pernah


mengistirahatkan senapan dan meriamnya, selama tiga ratus tahun di Hindia. Tiba-
tiba ada seorang Eropa yang mengharapkan diri jadi perintis, pemuka, contoh
bangsa. Dongengan tidak menarik. Lelucon tidak lucu. Rupanya dia hendak
membikin diri jadi kelinci percobaan dalam rangka teori assosiasi Doktor Snouck
Hur-gronje. Prek persetan! Bukan urusanku. Beruntung aku suka mencatat,
,mempunyai perbendaharaan yang setiap waktu bisa memberi petunjuk dan
peringatan.
Kugagapi tas untuk membacai surat-surat yang belulm juga kubaca itu. Benar saja,
isinya pemberitahuan tentang akan adanya resepsi pengangkatan Ayahanda, juga
perintah dan permintaan agar aku segera pulang. Pada surat abang malah
dilampirkan permohonan cuti untuk Direktur sekolah. Uh, semua sudah berlalu
dengan kemenangan pada pihakku.
Hei-hei, mengapa si Gendut agak sipit itu mengawasi aku saja ? Ia berpakaian drill
coklat, baik kemeja mau pun celana panjangnya. Juga bersepatu coklat - sepatu
sebagaimana layaknya di gerbong kias satu. Topinya, dari laken dengan pita sutra,
tak juga lepas dari kepala, kadang diturunkan sampai menutup kening untuk
mendapatkan kebebasan menebarkan pandang ke mana saja ia suka. Bawaannya
sebuah kopor kulit kecil yang terletak di atas kepalanya. Dan ia duduk di bangku di
samping sana. Waktu kondektur memeriksa karcis ia menyerahkan karcis-putihnya,
tetapi matanya melirik padaku.
Dari B. ke Surabaya hanya ada beberapa stasiun singgahan dengan kereta cepat ini.
Dan si Gendut tidak turun, tak ada . persiapan. Jelas ia pun menuju stasiun terakhir.
Stop! tak mau aku memperhatikan dia. Perjalanan sekali ini hendak kunikmati
sebagai liburan. Tidur nyenyak. Aku membutuhkan kekuatan dan kesehatanku
sendiri.
Kereta mendesau laju menuju ke Surabaya. Pada jam lima sore Surabaya telah ada di
bawah roda kereta. Kuburan panjang itu mulai diterjang, dan kereta berhenti. Perron
nampak lengang. Hanya beberapa orang sedang berdiri atau duduk menunggu atau
berjalan mondar-mandir.
"Ann! Annelies!" seruku dari jendela. Ia menjemput.
Dara itu berlarian ke gerbongku, berhenti di bawahnya dan mengulurkan tangan:
"Tak ada apa-apa, Mas ?" tanyanya.
Si Gendut melewati aku dengan menjinjing kopor kecilnya. Ia turun lebih dahulu,
sejenak memperhatikan Annelies, kemudian berjalan pelahan menuju ke pintu
keluar. Aku ikuti dia dengan mataku. Dan ia tak jadi keluar, berhenti dan menoleh ke
belakang, pada kami.

! 116!
"Ayoh, turun. Menunggu apa lagi ?" desak Annelies.
Aku turun. Kuli itu mengikuti dengan membawa barang.
"Mari, Darsam sudah lama menunggu."
Ternyata si Gendut belum juga keluar dari pintu perron sampai kami melewatinya.
Kulitnya langsat cerah, mukanya kemerahan. Dalam gerbong mau pun sekarang
antara sebentar ia menyeka leher dengan setangan biru. Begitu kami lewati ia
bergerak, seakan sengaja hendak membuntuti.
"Tabik, Tuanmuda!" seru Darsam dari samping andong. (Oleh Mama ia dilarang
memanggil aku Sinyo).
Si Gendut memperhatikan kami naik andong. Sekarang
ia seorang jurubayar pada Borsumij atau Geowegrij ? Atau mungkin sendiri Mayoor
der Chineezen ? Tapi seorang mayoor biasanya angkuh dan merasa setara dengan
orang Eropa, tak perlu memperhatikan diriku, bahkan takkan peduli pada Pribumi
siapa pun. Atau Annelies yang diperhatikannya ? Tidak. Ia sudah berlaku seperti itu
sejak dari B.
"Non, tunggu sebentar di sini. Darsam ada sedikit urusan di warung itu," kata
Darsam dengan mata ditujukan padaku, meneruskan, "Tuanmuda, silakan turun
sebentar."
Aku turun. Dengan sikap waspada tentu. Kami memasuki warung kecil, sebuah
gubuk bambu beratap genteng.
"Ada apa ke situ, Darsam ?" tanya Annelies curiga dari atas andong.
Darsam menoleh, menjawab: "Mulai kapan Non tidak percaya sama Darsam ?" Aku
sendiri juga menjadi curiga. Si Gendut dan dokarnya berhenti di kejauhan sana.
Sekarang Darsam pula bikin tingkah.
"Tinggal duduk di situ, Ann," kataku mententeramkan. Namun mataku terus juga
mengawasi tangan dan parang pendekar Madura itu-
Dalam warung terdapat hanya seorang langganan yang sedang duduk minum kopi. Ia
tak menoleh waktu kami masuk. Nampaknya sedang melamun. Atau pura-pura tak
tahu ? Atau sekutu si Gendut juga seperti Darsam ini ?
Dengan sikap perintah ia silakan aku mengambil tempat di bangku panjang di
seberang langganan itu. Ia duduk begitu dekat padaku sampai dapat kudengar
nafasnya dan tercium bau keringatnya. *
"Antarkan teh dan kue ke andong di luar sana," perintah Darsam pada wanita
pewarung. Matanya tajam mengawasi perempuan itu sampai ia pergi membawa
pesanan itu di atas nampan kayu.
Dengan mata liar ia dekatkan kumis-bapangnya padaku, berbisik dalam Jawa yang
kaku dan berat:

! 117!
"Tuanmuda, sesuatu telah terjadi dirumah. Hanya aku yang tahu. Noni dan Nyai
tidak. Begini, Tuanmuda, jangan terkejut. Sementara ini jangan Tuanmuda tinggal di
Wonokromo. Berbahaya."
"Ada apa, Darsam ?"
Suaranya kini agak tenang:
"Darsam ini, Tuanmuda, hanya setia pada Nyai. Apa yang disayangi Nyai, disayangi
Darsam. Apa yang diperintahkan, Darsam lakukan. Tak peduli macam apa perintah
itu. Nyai sudah perintahkan Darsam menjaga keselamatan Tuanmuda. Aku kerjakan,
Tuanmuda. Keselamatan Tuanmuda jadi pekerjaanku. Tidak perlu percaya,
Tuanmuda, hanya ikuti saja nasihatku."
"Aku mengerti tugasmu. Terimakasih atas kesungguhanmu. Hanya, apa
sesungguhnya telah terjadi ?"
"Nyai majikanku. Noni majikanku juga, hanya yang kedua. Sekarang Noni berkasih-
kasihan sama Tuanmuda. Darsam juga harus menjaga jangan sampai terjadi sesuatu.
Jadi nasihat ini aku sampaikan. Bukan karena parang Darsam ini sudah tak bisa
menjamin. Tidak, Tuanmuda. Ada sesuatu yang belum lagi jelas benar bagi Darsam."
"Aku mengerti. Tapi apa yang sedang terjadi ?"
"Pendeknya Tuanmuda akan kuantarkan pulang ke pemondokan di Kranggan, tidak
ke Wonokromo."
"Aku harus tahu sebabnya."
Ia terdiam dan mengawasi pewarung itu datang.
"Sudah selesai-belum, Darsam ?"
"Sabar, Non," jawab Darsam tanpa menengok keluar. Melihat pewarung lewat ia
meneruskan bisikannya. "Sinyo Robert, Tuanmuda. Dengan banyak janji dia
perintahkan si Darsam ini membunuh Tuanmuda."
Aku sama sekali tidak heran. Tanda-tanda niat jahat pemuda itu telah'kukenal.
Hanya:
"Apa dosaku terhadapnya ?"
"Hanya cemburu kiraku. Nyai lebih sayang, pada Tuanmuda. Dia merasa tak senang
ada lelaki lain di dalam rumah."
"Dia bisa bilang terang-terangan padaku. Mengapa menempuh jalan seperti itu ?"
"Anak kurang pikir, Tuanmuda. Justru karena itu berbahaya. Sekarang Tuanmuda
sudah tahu, mengerti nasihatku. Jangan bilang pada Noni atau Nyai. Sungguh,
jangan. Nah, mari berangkat." Ia bayar belanja tanpa menanyakan „pendapatku.
Dokar si Gendut sudah tak nampak. Andong kqmi berangkat. Dan di Woribkromo -
kalau Darsam benar - spfeorang menghendaki nyawaku yang cuma satu ini.
Sepotong nari ini

! 118!
si Gendut telah memata-matai aku sejak dari B. Barangkali memang tidak begitu
salah marah Ayahanda padaku. Juga tidak percuma peringatan Bunda agar berani
menerima segala akibat perbuatan sendiri. Ya-ya, Robert Mellema' memang berhak
menganggap aku menyerbu ke dalam kerajaannya. Paling tidak aku menjadi
tambahan beban bagi pikirannya. Dia sepenuhnya berhak.
Annelies tak hendak melepaskan pegangannya pada tanganku, seakan aku ikan licin
yang tiap saat bisa melompat keluar dari andong. Ia tak bicara. Matanya merenung
jauh.
"Ann, aku dapatkan uangmu dalam koporku," kataku.
"Ya, memang aku taruh di situ. Kau akan memerlukannya. Kau dalam kepergian
tidak menentu, dan kau harus segera kembali padaku."
"Terimakasih, Ann. Aku tidak menggunakannya."
Untuk pertama kali ia tertawa. Dan tawanya tak menarik perhatianku. Lampu
andong tak memantulkan sinarnya ke dalam andong. Gelap. Kecantikan Annelies
ditelan oleh kehitaman. Sekali pun tidak pun takkan menarik. Pikiranku sedang
dipenuhi hal-hal seram, merampas segala yang dikatakan nikmat. Bumiku, bumi
manusia ini, kehilangan segala kepastiannya. Semua ilmu dan pengetahuan, yang
telah menjadi diriku sendiri, meruap hilang. Tak ada sesuatu yang bisa diandalkan.
Robert ? memang aku mengenalnya. Si Gendut ? Aku telah mengenal bentuknya,
juga sekiranya dalam kegelapan. Dalam melakukan kejahatan oarang lain yang tak
kukenal, tak kuduga, bisa jadi pelaksananya. Surabaya terkenal dengan banyaknya
pembunuh bayaran — dengan upah setengah sampai dua rupiah. Dalam setiap
minggu ada saja bangkai menggeletak di pantai, di hutan, di pinggir jalan, di pasar,
dan pada tubuhnya tertinggal bekas senjata tajam.
Andong menuju ke Kranggan.
"Mengapa sekarang ke sini ?" Annelies memprotes lagi.
"Masih ada urusan lain, Non. Sabar."
Apa sekarang harus kukatakan pada Annelies ? Belum lagi mendapatkan alasan
andong telah berhenti di depan rumah keluarga Telinga. Tanpa bicara Darsam telah
menurunkan barang-barangku.
"Mengapa diturunkan ?" Annelies memprotes lagi.
"Ann," kataku lunak. "Dalam seminggu ini aku harus menyiapkan pelajaran.
Sementara itu, sayang sekali, aku tak bisa temani kau pulang. Terimakasih atas
jemputanmu,.Ann. Mintakan maaf pada Mama, ya ? Benar-benar aku belum bisa ke
Wonokromo. Harus tinggal di sini agar lebih dekat pada guru-guruku. Salam dan
terimakasih pada Mama. Kalau sudah senggang aku pasti datang."
"Kan selama ini Mas juga bisa belajar di sana ? Tak ada yang mengganggu kau.

! 119!
Maafkan sekiranya aku jadi pengganggu," suaranya setengah menangis.
"Tidak, tentu saja tidak."
"Katakan kalau aku telah jadi pengganggu, biar aku tahu kesalahanku," suaranya
semakin mendekati tangis.
"Tidak, Ann, sungguh, tidak."
Benar-benar tak bisa dihindari. Ia menangis. Menangis seperti anak kecil.
"Mengapa menangis ? Hanya seminggu, Ann, seminggu saja. Setelah itu aku pasti
datang. Kan begitu, Darsam ?"
"Benar, Non. Jangan menangis di tempat orang begini."
Pada waktu itu hilang perasaanku sebagai seorang satria Jawa, satria tanpa
tandingan dalam angan sendiri, tinggal hanya seorang pengecut ~ telah menjadi
takut hanya karena berita, berita saja, bahwa sang nyawa sedang terancam.
"Jangan turun, Ann, duduk saja kau dalam andong," dan kucium dia pada pipinya
dalam kegelapan kendaraan. Aku rasai kebasahan pada mukanya.
"Mas harus segera pulang ke Wonokromo," pesannya dalam tangisnya, mengalah.
"Jadi kau mengerti, bukan ?" Ia mengangguk. "Kalau semua sudah selesai tentu aku
akan segera datang. Sekarang aku harap kau mau dengarkan aku dan memahami
keadaanku."
"Ya, Mas, aku tidak membantah," jawabnya sayup.
"Sampai bprjumpa lagi, dewiku."
"Mas."
Aku turun. Darsam masih menunggu di depan pintu.
Hari telah malam dan lampu berpancaran 'di mana-mana. Hanya pikiran diri juga
yang tanpa terang.
"Mengapa tak kau sampaikan pada Mama ?" bisikku pada Darsam.
"Tidak. Sudah begitu banyak kesulitan Nyai karena anak dan tuannya. Darsam harus
urus sendiri pekerjaan ini. Tuanmuda sabar saja."
Suami-istri Telinga duduk di sitje menunggu aku keluar dari kamar untuk bercerita.
Pasangan yang rukun dan baik itu! Tak tahu aku bagaimana perasaannya
terhadapku. Aku tak keluar,
pintu kamar kukunci dari dalam, ganti pakaian dan naik ke ranjang tanpa
makanmalam. Waktu hendak memadamkan lampu minyak masih kuperlukan
memandangi potret Ratu Wilhelmina. Bumi manusia! Betapa seorang bisa menjadi
kekasih para dewa begini. Aman dalam istananya. Tak ada sesuatu kesulitan, kecuali
mungkin, dengan hati dan pikiran, sendiri. Sedang aku ? Kawulanya ? yang
dijanjikan oleh perbintangan akan bernasib sama, bahkan di sudut-sudut bilik
mungkin mengintip maut bikinan Robert Mellema.

! 120!

Anda mungkin juga menyukai