Anda di halaman 1dari 5

"Mama punya banyak cerita, Ann.

"
"Ceritamu selalu lebih bagus," dan ia tutup semua buku dan ditariknya aku berdiri.
Dokter yang patuh pada pasien ini mengikuti tarikannya, meninggalkan persada,
naik ke loteng, melewati kamar Mama dan perpustakaan dan sekali lagi memasuki
kamarnya. Beberapa hari belakangan ini sudah tak lagi ia kuselimuti dan klambunya
tidak kuturunkan. Bagitu ia nampak semakin sehat ia harus lakukan sendiri.
Ia langsung naik ke ranjang, membaringkan badan, berkata:
"Selimuti aku. Mas."
"Masa kau akan terus jadi manja begini ?" protesku.
"Pada siapa lagi dapat bermanja kalau bukan padamu ? Nah. bercerita sekarang.
Jangan berdiri saja begitu. Duduk sini seperti biasa."
Dan duduklah aku di tepi kasur, tak tahu apa harus kuper-buat di dekat dewi
kecantikan yang mulai sehat ini.
"Ayoh, mulai saja cerita yang indah. Lebih bagus dari Pulau Emas dan Terculik-nya
Stevenson itu, lebih indah dari Sahabat Karib Dickens. Cerita-cerita itu tidak
bersuara, Mas."
Betapa aku harus selalu mengalah untuk kesehatannya.
"Cerita apa, Ann ? Jawa atau Eropa ?"
"Maumu sajalah. Aku rindukan suaramu, kata-katamu yang diucapkan dekat kuping,
sampai terdengar bunyi nafasmu."
"Bahasa apa ? Jawa atau Belanda ?"
"Sekarang kau sudah jadi bawel. Mas. Ceritai sudah."
Dan aku mulai mencari-cari cerita. Tak ada persiapan. Tak bisa datang begitu saja
dalam pikiran. Pada mulanya teringat olehku kisah percintaan antara permaisuri
Susuhan Amangkurat IV dengan Raden Sukra. Sayang terlalu mengerikan dan pasti
tidak baik untuk kesehatannya. Dokter Martinet berpesan: Kau harus ceritai dia yang
bagus, yang tak ada kengerian di dalamnya. Anak ini memang mengherankan,
katanya lagi, biar pun tumbuh wajar, juga kecerdasannya, tapi mentalnya masih
tetap bocah dari sepuluh tahun. Jadilah kau dokternya yang baik. Hanya kau bisa
menyembuhkannya. Usahakan sampai dia percaya sepenuhnya padamu. Dia
mengimpikan keindahan yang tak ada di dunia ini. Barangkali karena tadinya terlalu
cepat dipaksa
bertanggungjawab. Dambaannya adalah suatu kelonggaran tanpa tanggungjawab.
Minke, kecantikan tiada tara seperti itu tak boleh padam. Usahakan. Kalau Tuan
berhasil jadi curahan kepercayaan, baru Tuan bisa dapat bangunkan kepercayaannya
pada diri sendiri. Usahakanlah.
Mulailah aku bercerita sekena-kenanya. Bagaimana dongeng ini akan berakhir aku

! 186!
pun tak tahu. Pelaku-pelakunya akan kujambret serampangan. Biar mereka masing-
masing merampungkan kisahnya sendiri.
"Di suatu negeri yang jauh, jauh sekali," aku memulai. "Kau tak diganggu nyamuk ?"
"Tidak. Mengapa nyamuk dimasukkan di negeri yang jauh itu ?" ia tertawa dan
giginya gemerlapan kena sinar lilin, sedang suaranya mendering lepas.
"Di negeri yang jauh, jauh sekali itu tak ada nyamuk seperti di sini. Juga tak ada cicak
merangkak pada dinding untuk menyambarnya. Bersih. Negeri itu sangat, sangat
bersih."
Seperti biasa pandangnya tumpah padaku. Matanya gemilang, mengimpi, seperti
kala ia sakit.
"...... Negeri itu subur dan selalu hijau. Segala apa di tanam jadi. Hama juga tak
pernah ada. Tak ada penyakit dan tak ada kemiskinan. Semua orang hidup senang
dan berbahagia. Setiap orang pandai dan suka menyanyi, gemar menari. Setiap orang
punya kudanya sendiri: putih, merah, hitam, coklat, kuning, biru, jambu, kelabu.
Seekor pun tak ada yang belang."
"Kik-kik-kik," Annelies menahan tawa kikiknya. "Ada kuda biru dan hitam," katanya
pada diri sendiri, pelan.
"Di negeri itu ada putri cantik tiada bandingan. Kulitnya halus laksana beledu putih-
gading. Matanya gemilang seperti sepasang kejora. Tak bakal kuat orang
memandangnya terlalu lama. Sepasang alis melindungi sepasang kejora itu, lebat
seperti punggung bukit sana . Bentuk badannya idaman setiap pria. Maka seluruh
negeri sayang"padanya. Suaranya lunak, memikat hati barangsiapa mendengarnya.
Kalau dia tersenyum, tergoncang i-man setiap dan semua pria. Dan kalau tertawa
gigi-putihnya nampak gemerlapan memberi pengharapan pada semua pemuja. Kalau
dia marah, pandang terpusat, dan darah tersirat pada mukanya........heran, dia
semakin cantik menawan......
"Pada suatu hari ia berkeliling di taman, naik seekor kuda putih......|
"Siapa namanya, Mas, putri itu ?"
Aku belum dapatkan nama yang tepat, karena memang belum lagi jelas cerita itu
terjadi di Eropa, Hindia, Tiongkok atau Parsi. Jadi:
"..... semua bunga menunduk, meliukkan tangkai, malu karena kalah cantik. Mereka
jadi pucat kehilangan seri dan warna. Kalau sang putri telah lewat baru mereka tegak
kembali, menengadah pada sang surya dan mengadukan halnya, 'Ya, Dewa Bhatara
Surya, mengapa kami diperlakukan begini memalukan ? Bukankah dulu pernah Kau
titahkan kami turun ke bumi sebagai makhlukMu yang tercantik di seluruh alam ini ?
dan Kau tugaskan kami memperindah kehidupan manusia ? Mengapa sekarang ada
yang lebih cantik daripada kami ?'

! 187!
"Sang Bhatara menjadi malu karena ada pengaduan itu dan segera bersembunyi
tersipu di balik awan tebal. Angin menghembus, menggoyangkan semua bunga yang
pada murung bersedih hati. Tak lama kemudian hujan jatuh membikin layu daun-
daun bunga yang berwarna-warni itu.
"Sang putri meneruskan perjalanan tanpa mengindahkan apa yang terjadi di
belakangnya. Hujan dan angin memang tidak sampaihati mengganggunya. Maka
sepanjang jalan orang memerlukan berhenti untuk mengaguminya......"
Kulihat Annelies telah memejamkan mata. Kuambil sapu ranjang dan kuusir nyamuk
untuk kemudian menurunkan klam-bu.
"Mas," panggilnya, membuka mata, dan memegangi tanganku, menegah aku
meneruskan niatku.
Aku duduk lagi. Cerita terputus. Aku gagap-gagap mencari sambungannya:
"Ya, sang putri berkendara terus di atas kudanya. Semua orang yang memperhatikan
merasa, betapa akan berbahagia diri bila para dewa mengubahnya jadi kuda
tunggangan sang putri. Tetapi sang putri itu sendiri tak tahu perasaan mereka. Ia
merasa dirinya tak beda dari yang lain-lain. Ia tidak pernah merasa cantik, apalagi
cantik luarbiasa tanpa tandingan."
"Siapa nama putri itu ?"
"Ya ?"
"Namanya.....namanya.....ia mendesak. "Tidakkah namanya Annelies ?"
"Ya-ya-ya, Annelies namanya," dan ceritaku berbelok pada dirinya, "Pakaiannya
macam-macam. Yang paling disukainya gaun-malam dari beledu hitam, yang
dipakainya sebarang waktu."
"Ah!"
"Sang putri merindukan suatu percintaan yang indah, lebih indah daripada yang
pernah dimashurkan terjadi di antara para dewa dan dewi di kahyangan. Ia
merindukan datangnya seorang pangeran yang gagah, ganteng, perwira, lebih agung
daripada para dewa.
"Dan pada suatu hari terjadilah. Seorang pangeran yang dirindukannya benar-benar
datang. Dia memang ganteng. Juga gagah. Hanya dia tak punya kuda sendiri.
Malahan tak dapat naik kuda."
Annelies mengikik geli.
"Dia datang dengan dokar sewaan, sebuah karper. Pada pinggangnya tidak
tergantung pedang, karena ia tak pernah berperang. Padanya hanya ada pensil,
tangkai pena dan kertas."
Annelies tertawa lagi, ditekan.
"Mengapa tertawa, Ann ?"

! 188!
"Minkekah nama pangeran itu ?"
"Memang Minke."
Annelies menutup mata. Tangannya tetap memegangi lenganku, takut aku
tinggalkan.
"Sang pangeran itu datang, masuk ke istana sang putri seakan habis menang perang.
Mereka berdua pun bercengkerama. Sang putri segera jatuh cinta padanya. Tidak
bisa lain."
"Tidak," protes Annelies, "sang pangeran menciumnya lebih dahulu."
"Ya, hampir sang pangeran lupa. Ia mencium sang putri lebih dulu, dan sang putri
mengadu pada ibunya. Bukan mengadu supaya sang pangeran dimarahi ibunya.
Mengadu agar ibunya membenarkan sang pangeran. Tapi ibunya tidak menggubris."
"Sekali ini ceritamu ngawur, Mas. Ibunya bukan saja tidak menggubris. Lebih
daripada menggubris. Sang ibu marah."
"Benar sang ibu marah ? apa katanya ?"
"Dia bilang: Mengapa mengadu ? Kan kau sendiri yang mengharap dan menunggu
ciumannya ?"
Sekarang akulah yang tak dapat menahan tawaku. Agar tak tersinggung buru-buru
ceritaku kuteruskan:
"Betapa bodohnya sang pangeran. Dia sudah dua kali ngawur. Sebenarnya sang putri
memang mengharap dan menunggu ciuman."
"Bohong! Dia tidak mengharap, juga tidak menunggu. Dia sama sekali tidak pernah
menduga. Seorang pangeran datang. Tidak bisa naik kuda, malah pada kuda takut.
Dia datang, tahu-tahu mencium."
"Dan sang putri tidak berkeberatan. Ya, sampai-sampai sandalnya ketinggalan....."
"Bohong! Ah, kau bohong, Mas," ditariknya lenganku ke-
ras-keras, memprotes jalannya kebenaran yang tidak tepat.
Dan terjatuhlah aku dalam kelunakan pelukannya. Jantungku mendadak berdebaran
ibarat laut diterjang angin barat. Semua darah tersembur ke atas pada kepala,
merenggutkan kese-daran dan tugasku sebagai dokter. Dengan sendirinya aku
membalas pelukannya. Dan aku dengar ia terengah-engah. Juga nafasku sendiri,
atau barangkali hanya aku sendiri yang demikian, sekali pun tak kusedari. Dunia,
alam, terasa hilang dalam ketiadaan. Yang ada hanya dia dan aku yang diperkosa
oleh kekuatan yang mengubah kami jadi sepasang binatang purba.
Dan kami tergolek tanpa daya, berjajar, kehilangan sesuatu. Seluruh alam mendadak
menjadi sunyi tanpa arti. Debaran jantung terasa padam. Gumpalan-gumpalan
hitam bermunculan dalam antariksa hati. Apa semua ini ?
Dan Annelies memegangi tanganku lagi. Membisu. Dan kami diam-diam seperti

! 189!
bermusuhan. Bermusuhan ?
"Menyesal, Mas ?" tanyanya waktu aku menghembuskan nafas.
Dan aku menyesal: terpelajar yang mendapat amanat sebagai dokter. Gumpalan-
gumpalan hitam semakin merajalela. Dan memang ada sesalan lain tanpa semauku
sendiri.
Annelies menuntut jawaban. Ia duduk dan mengguncangkan badanku, mengulangi
pertanyaannya. Tidak pernah kukira kekuatannya kini demikian hebat. Jawabanku
hanya hembusan nafas. Lebih panjang. Ia dekatkan mukanya padaku untuk
meyakinkan diri. Aku tahu ia membutuhkan jawaban itu.
"Bicara, Mas!" tuntutnya.
Tanpa melihat padanya aku bertanya:
"Benarkah aku bukan lelaki pertama, Ann ?"
Ia meronta. Menjatuhkan diri. Menghadap ke dinding memunggungi aku. Ia
tersedan-sedan pelan. Dan aku tak menyesal telah mengasarinya dengan pertanyaan
yang menyiksa.
Ia masih juga tersedan-sedan dan aku tak menanggapi.
"Kau menyesal. Mas. Kau menyesal," sekarang ia menangis.
Kembali aku disadarkan oleh tugasku.
"Maafkan aku," dan kubelai rambutnya yang lebat seperti ia sendiri membelai
bulusuri kudanya. Ia menjadi agak tenang.
"Aku tahu," ia memaksakan diri, "pada suatu kali seorang lelaki yang aku cintai akan
bertanya begitu." Ia menjadi lebih tenang dan meneruskan, "Seluruh keberanianku
telah kupusatkan untuk menerima pertanyaan itu. Untuk menghadapi. Aku tetap
takut, takut kau tinggalkan. Akan kau tinggalkan aku, Mas ?" ia tetap memunggungi
aku.
"Tidak, Annelies sayang," hibur sang dokter.
"Akan kau peristri aku, Mas ?" "Ya."
Ia menangis lagi. Pelahan sekali. Bahunya terguncang. Aku tunggu sampai reda.
Masih tetap memunggungi ia berkata sepa-tah-sepatah dengan suara hampir
berbisik:
"Kasihan, kau, Mas, bukan lelaki pertama. Tapi itu bukan kemauanku sendiri -
kecelakaan itu tak dapat kuelakkan."
"Siapa lelaki pertama itu ?" tanyaku dingin.
Untuk waktu agak lama ia tak menjawab.
"Kau mendendam padanya, Mas, ?"
"Siapa dia ?"
"Memalukan," ia tetap memunggungi aku.

! 190!

Anda mungkin juga menyukai