Anda di halaman 1dari 5

sebanyak itu, namun kau lulus dengan gemilang. Semua cobaan kau atasi.

" ,
Beberapa hari sebelum upacara pernikahan Bunda datang sebagai satu-satunya wakil
keluargaku. Nyai menyambutnya dengan gembira seakan mereka berdua sudah lama
kenal dan bersahabat. Segera ia jatuh sayang pada Annelies, calon menantunya
Seakan ia tak dapat jauh lagi dari tempat calon pengantin itu dan tak bosan-bosan
terlongok mengagumi kecantikannya.
"Ya, Dik," katanya pada Nyai, calon besan, "bocah koq begini ayu'seperti
Nawangwulan. Barangkali lebih cantik dari Ba-nowati. Ya Allah, Dik, tidak kusangka
tidak kunyana Adik mau mengambil anakku jadi menantu. Dunia-akhirat takkan
kulupakan, Dik....,...."
"Ya, Mbakyu, mereka sudah sama-sama suka. Hanya ampuni sahaya, karena anak ini
tidak berbangsa, berasal dari....."
"Ah, Dik, kalau gadis sudah begini cantik, segala sudah ada padanya."
Di malam hari Bunda berbisik padaku:
"Gus, baik benar peruntunganmu, dapatkan istri secantik itu. Di jaman leluhurmu,
perempuan seindah itu bisa terbitkan perang bharatayuddha."
"Apa Bunda kira sahaya tidak berperang untuk bisa mendapatkannya ?"
"Ya-ya-ya, kau benar, Gus, dan memang dengan kemenangan gemilang." ..
Kami dinikahkan secara Islam. Darsam bertindak sebagai saksi dan Annelies diwali
oleh seorang wali hakim. Itu terjadi pada jam sembilan pagi tepat. Sesuai dengan
kebiasaan, dan seiring dengan perasaan terimakasih, kami berdua melakukan
sembah dan sujud pada Bunda dan Mama.
Mereka berdua menangis bercucuran menerima sembah dan sujud kami dan
merestui kami berdua dengan ucapan terputus-putus. Juga Annelies menangis.
Mungkin dirasainya kekurangan karena tiadanya seorang ayah yang semestinya ikut
berbahagia pada hari kebesaran itu. Mungkin.
Bunda dan Mama saling meletakkan tangan di atas bahu, berpandangan dengan
mata basah, berpelukan. Haruan, perasaan manusia yang murni, airmata. Juga
haruan adalah kesakitan, nyeri pada pedalaman, karena orang bertemu dengan
kelahirannya sendiri sebagai manusia, telanjang bulat dari segala kesea-kanan dan
peradaban.
Kenduri kecil menyusul. Setelah itu pesta sesungguhnya.
Bagi penduduk kampung-kampung perusahaan perkawinan kami menjadi hari pesta
besar Lapangan penjemuran padi dan palawija berubah jadi bedeng-bedeng besar.
Semua mendapat liburan dengan upah penuh. Para pekerja ternak yang tidak boleh
meninggalkan pekerjaannya mendapat upah tiga kali lipat. Lima ekor sapi jantan
muda dipotong Tiga ratus ayam menemui ajalnya. Dua ribu dua puluh lima telur

! 241!
semua produksi sendiri ditumpahkan ke dapur. Seluruh kereta perusahaankah pun
tak dipergunakan, dihias dengan aneka kertas berwarna
Belum pernah penduduk Wonokromo menyaksikan pesta perkawinan sebesar ini.
Annelies pernah bercerita padaku: Mama akan keluarkan apa saja yang dipintanya
untuk keperluan pesta ini. Dan katanya juga: ia ingin melihat sebanyak-banyak orang
ada di sekeliling anaknya, dan ikut bergembira dengannya. Maka ia takkan menyesal
seumur hidup.
Baik Annelies mau pun Mama tidak menghendaki sesuatu maskawin. Apa yang kami
harapkan ? kata Mama, Annelies telah mendapatkan segala dari calon suaminya.
Kalau toh diharuskan ada maskawin, kata Annelies, ialah sesuatu yang belum
kudapatkan dari dia : janji setia selama hidupku. Dan aku telah memberikannya pada
akad nikah.
Pada jam lima sore pintu kamarku diketuk dari luar. Jan Dapperste masuk. Ia
berpakaian bagus dan bersih sekali pun dengan potongan lama.
"Minke, maafkan, aku datang terlalu pagi. Sengaja lebih dulu untuk ikut membantu-
bantu," ia terus duduk seakan tak pernah mengenal kursi selama lima belas tahun
belakangan ini. Uengan nada keluh ia meneruskan, "Kau memang anak Mei, kau
dapatkan segala yang kau kehendaki. Sukses kau dapatkan dan segala usahamu.
Beberapa tahun lagi tentu kau akan iadi bupati."
"Bicaramu seperti anak sial meratapi peruntungan."
"Kau tidak keliru. Aku telah lari dari Papa dan Mama. Waktu kapal berangkat
menuju ke Eropa, aku melompat, berenang ke darat."
"Bohong. Pakaianmu begitu bagus."
"Pinjaman dari teman luar sekolah."
"Orang pada ingin ke Eropa. Hanya kau tidak."
"Ke Eropa hanya singgah, seterusnya ke Suriname. Minke, memang kelakuanku tidak
patut. Anak pungut tak tahu di untung ini..,...."
"Barangkali sudah lebih tiga kali kudengar umpatan diri sepertl itu, "Maafkan
terutama pada hari kebahagiaanmu ini. Sebenarnya tidak patut. Maafkan" Bantulah
aku, Minke. Aku tak ingin keluar dari Jawa. Aku bukan Belanda, bukan Indo. "Sudah
sering kudengar."
"Ya. Dan lebih dari itu tak pernah merasa senang bernama Dapperste*."
Keluarga Pendeta Dapperste tak punya anak. Ia dipungut mereka sejak kecil,
dibaptiskan dan ditambahkan nama kelua ga mereka Dapperste, pada namanya.
Sejak itu ia bernama Jan Sanperste Nama sebelum itu ia tak tahu. Tuan Pendeta
telah berusaha mengambilnya sebagai anak adopsi melalui Pengadilan. Usahanya™
akpernah berhasil, karena hukum perdata Belanda tidak mengenal adopsi. Maka

! 242!
namanya tinggal hanya nama yang diakui hanya oleh masyarkat, tidak oleh Hukum.
"Sejak kecil aku anak penakut. Kau sendiri tahu. Nama Dapperste itu sungguh jadi
siksaan terus-menerus."
Ya semua teman sekolah tahu itu. Bahkan orang mengubah Dapperste jadi Lafste" -
Jan de Lafste. Dan kalau ceritanya benar hanya untuk membebaskan diri dari nama
yang menyiksa ia telah berubah jadi pemberani: menceburkan diri ke laut dan
melarikan diri dari orangtua pungut. Aku masih tetap kurang percaya. .
"Jadi tinggal pada siapa kau sekarang g tanyaku. "Menginap di sana-sini. Dengan
ijasah H.B.S. aku ingin bekerja di sini, di Surabaya. Hanya sialnya, Minke, pada
ijasahku ada nama Dapperste^ Apa untuk seumur hidup harus kujunjung-junjung
nama ini ?"
"Kau bisa rubah namamu."
"Ya, aku tahu. Sudah setahun ini aku mencari-cari keterangan bagaimana caranya."
"Bagaimana caranya ?"
"Mengajukan surat, Minke, pada Residen. Dia akan meneruskan pada Gubernur
Jendral." "Mengapa tak kau lakukan ?"
Ia pandangi aku dengan mata bodoh, seperti bukan lulusan H.B.S. Ia berkecap dan
berpaling muka.
"Tak bisa ? Kan ada contoh-contoh surat resmi”
"Meterainya Minke terlalu mahal, untuk bisa bebas dari nama ini. Surat Permohonan
saja bermeterai satu setengah gulden. Untuk surat ketetapan yang aku butuhkan
harus bermeterai satu setengah gulden lagi. Aku sudah pikir dan pikir timbang dan
timbang.........
"Mengapa tak kau lakukan juga ?"
"Masa kau tak mengerti, Minke ? Dari mana uane tiga gulden ? Belum lagi pranko ?"
"Mengapa tak bilang saja kau bingung tak ada biaya ? Kan itu lebih mudah"
"Maaf, sungguh memalukan bicara seperti ini pada hari kebahagiaanmu."-
"Kan kau tak menyesali kebahagiaanku ?" "Sama sekali tidak. Aku ikut bersyukur
dengan setulus dan sejujur hatiku."
"Kalau begitu mari berbahagia bersama aku." "Itu sebabnya aku memperlukan
datang."
"Dengar, Jan, setelah pesta ini Mama akan memperluas perusahaan, hendak
mencoba di bidang rempah-rempah. Kau bisa belajar kerja di situ. Suka, kan ? sambil
menunggu datangnya surat ketetapan ?"
"Terimakasih, Minke. Kau selamanya baik dan pemurah. Sayang surat ketetapan
harus diawali dengan surat permohonan dulu — itu pun belum lagi dibuat."
"Perusahaan baru itu akan dipimpin oleh seorang Indo, van Doornenbosch. Nanti

! 243!
kuperkenalkan kau padanya. Nantilah semua aku urus sendiri."
Ia pegang tanganku. Kepalanya menunduk dalam. Ia tak bicara.
"Jangan diam saja. Bicaralah selama aku masih ada waktu," "Terimakasih, Minke. Itu
belum lagi semua Kau sendiri dapat mengikuti ceritaku. Penginapanku. Mmke,
barang seminggu dan biaya mondar-mandir ke Surabaya selama itu.
Bunda masuk untuk mempersiapkan riasku Wanita mulia itu telah berjuang untuk
merebut tugas mi. Tak boleh orang lain merias putra kebanggaannya pada waktu
marak jadi, pengantin .Pada tangan kanan ia membawa kopor kertas dan pada
tangan kiri kranjang berisi bunga-bungaan, lepas dan untaian.
Ia ragu melihat Jan Dapperste yang menatapnya dengan pandang melecehkan. ,
"Bundaku, Jan, kataku.
Baru teman itu tersenyum terpaksa dan membungkuk menghormat.
"Bunda tak berbahasa Belanda," kataku memperingatkan.
Dan Jan Dapperste mulai bicara Jawa kromo dengan fasih. Aku tercengang juga
melihat itu. Dan kuterangkan pada Bunda, ia teman selulusan, anak seorang pendeta.
"Bekas anak pungut seorang pendeta," ia membetulkan. "Nak, ibu hendak merias
anakku ini. Maafkan." "Mari, sahaya bantu, Ibu."
"Beribu terimakasih, Nak, jangan. Ini pekerjaan Ibu yang terakhir untuk anaknya.
Harus sahaya lakukan sendiri. Sudi kiranya anak pindah ke tempat lain.
Jan menatap aku dengan mata berteriak-teriak minta tolong.
Aku tahu ia mengantuk. Lebih dari itu: lapar. Aku sudah hafal kelakuannya. Kuambil
secarik kertas dan kutulis surat perintah untuk Darsam supaya mengurusnya.
"Carilah Darsam," ia terima surat itu dan pergi.
*
Lampu gas kamarku sudah bisa kunyalakan, pertanda jam enam tepat. Sentral gas,
yang diurus sendiri oleh Darsam, terletak di sebuah rumah batu kecil di belakang
gedung, sudah dipompa. Kamar menjadi lebih terang.
Bunda menggosok muka, leher, dada, dan tanganku dengan cairan yang aku tak tahu
namanya.
"Di jaman dulu," Bunda memulai seperti semasa aku kecil dulu, "negeri-negeri akan
berperang habis-habisan untuk mendapatkan putri seperti menantuku, mbedah
praja mboyong putri. Sekarang keadaan sudah begini aman, tidak seperti aku masih
kecil dulu, apalagi semasa kecil nenekndamu. Orang bilang; semua takut pada
Belanda maka keadaan jadi lebih aman. Memang Belanda ini tidak sama, berbeda
dari nenek-moyangmu. Biar Belanda ini sangat, sangat berkuasa, mereka tidak
pernah merampas istri atau putri orang seperti raja-raja nenek-moyangmu dulu. Ah,
Nak, kalau kau hidup di jaman itu kau harus terus-menerus turun ke medan-perang

! 244!
untuk dapat tetap memiliki istrimu, bidadari itu. Boleh jadi lebih cantik, Gus.
Pipinya, bibirnya, keningnya, hidungnya, malahan kupingnya, semua seperti lilin
tuangan, dibentuk sesuai dengan impian manusia. Betapa bangga aku dapatkan
menantu dia, Gus. Kau telah bikin aku berbahagia begini rupa."
"Dia, Bunda, menantu Bunda itu, terlalu kurang jawanya." "Kan kau sudah senang
padanya ? Senang pada mulanya, Gus, setelah itu kau akan terus waspada, anak
secantik itu, secantik itu..... para dewa pun takkan berdiam diri.
Bunda masih terus mengurus badanku juga terus bicara dan bicara
"Beruntung kau tak perlu berperang terus menerus seperti nenek-moyangmu."
"Bunda."
"Aduh, kalau bisa aku boyong menantuku ke B, Gus, seluruh negeri akan keluar dari
rumah untuk mengelu-elu, Bagaimana ? Kalian ke B tidak nanti.
"Tidak, Bunda."
"Ya-ya, aku mengerti, Gus. Jadi Bunda selain mengalah berkunjung kemari untuk
melihat kau, menantu dan cucu.
"Ayahanda yang akan berkeberatan, Bunda"
”Stt, diam kau, Jadi kau larang istrimu dipangur ? Kau tak jijik nanti melihat giginya
ada yang runcing ?
"Biar gigi istri sahaya tetap yang asli, Bunda."
Seperti gigi Belanda, seperti gigi raksasi tidak dipangur
Mengapa Bunda gosok sahaya begini seperti sahaya tak pernah mandi ?"
"Husy. Pada hari perkawinanmu aku ingin lihat kau seperti anak dewa. Biar tak ada
sesalan lagi untuk hidupmu dan hidupku selanjutnya."
"Apa guna seperti anak dewa ?"
"Husy. Bukan untuk kau sendiri maka kau harus seperti anak dewa. Pada hari
perkawinan seperti ini semua leluhurmu akan datang menyaksikan dan merestui.
Juga Bunda ini kelak kalau anakmu kawin. Tak mungkin kulewatkan kesempatan
melihat keturunanku. Coba. bagaimana akan rasa hatiku, bila nanti melihat cucuku
naik ke atas puadai pengantin bukan seperti satria Jawa ? Apa akan kataku nanti
kalau sudah mati, melihat cucuku ternyata bukan Jawa, hanya karena kurang urus
dari orangtuanya ?"
"Apa leluhur orang Belanda juga datang menghadiri perkawinan keturunannya,
Bunda ?"
"Husy. Mengapa kau urusi orang Belanda ? Kau belum lagi cukup Jawa, belum cukup
patuhi leluhurmu sendiri. Coba, kata orang kau sudah jadi pujangga. Mana tembang-
tembangmu yang dapat kunyanyikan di malam-malam aku rindukan kau ?
"Sahaya tidak dapat menulis Jawa, Bunda."

! 245!

Anda mungkin juga menyukai