Anda di halaman 1dari 3

Hari Bersama Kakek dan Nenek

Apa kalian percaya bahwa sampai berumur 12 tahun, belum sekali pun aku
bertemu kakek dan nenekku? Aku lahir dan besar di Jerman, karena ayahku orang
Jerman. Ibuku asal Bandung.
Dua hari yang lalu, ibu bertanya, “Sarah, kamu mau menghabiskan liburan musim
panasmu di Indonesia? Bertemu kakek, nenek dan saudaramu yang lain.”
Mataku berbinar, dan tentu saja aku langsung mengiyakan penuh semangat.
Sampai aku sebesar ini, tidak pernah ibuku menyinggung tentang keluarganya. Selama
ini yang aku kenal hanya keluarga dari ayahku. Aku begitu dekat dengan Opa, ayah dari
ayahku. Sedangkan ibu dari ayahku sudah meninggal sejak lama. Aku sungguh ingin
bertemu kakek dan nenekku di Indonesia.
“Ibu sudah mengurus seluruh keperluan perjalanan kita. Kita berangkat besok
lusa, Sarah. Kamu senang?” tanya Ibu kemarin. “Tentu saja, kapan lagi aku bisa bertemu
kakek dan nenek? Aku sungguh tidak sabar,” jawabku.
Untung saja kami sudah memiliki paspor sejak lama, sehingga Ibu tidak terlalu
repot mengurus perjalanan kami yang mendadak ini. Aku senang sekali, meskipun agak
kecewa karena ayahku tidak jadi ikut karena ada sedikit masalah pekerjaan.
Sewaktu menunggu pesawat lepas landas, aku tak henti-hentinya membayangkan
wajah kakek nenekku. Seperti apakah mereka? Apa kakek berparas tegas seperti Opa?
Apa nenek sudah berambut putih seperti tetangga depan rumahku yang galak itu? Ah, aku
tersenyum sendiri.
Pesawat sudah terbang selama 4 jam, aku semakin tidak sabar. Aku
menyandarkan badanku ke kursi dan melihat awan dari jendela. “Tidur saja, perjalanan
kita masih lama,” kata Ibu sambil menguap. Aku hanya tersenyum.
Aku tidak menyangka penerbangan kami memakan waktu begitu lama. Kami tiba
di Bandara Soekarno-Hatta karena tidak ada penerbangan dari Jerman ke Bandung. Ibu
segera mengambil bagasi. Disuruhnya aku menunggu di sebuah toko makanan dan
minuman. Ibu kembali dengan dua koper besar kami lalu menarik tanganku. “Kita akan
segera bertemu kakek dan nenek.”.
Kami berjalan menuju tempat parkir dan menemukan seorang lelaki yang cukup
tua melambaikan tangannya ke arah kami. Rupanya, itu sopir keluarga ibu sejak ia masih
SD. Pak Parman namanya, dia sudah tua namun masih terlihat kuat dan ramah.
“Dulu, saya yang mengantar ibu Neng Sarah ke sekolah,” kata Pak Parman. Aku
hanya tersenyum lebar karena tidak tahu harus menjawab apa. Aku kembali memikirkan
kakek dan nenekku. Apakah mereka setua Pak Parman? Apa kakek juga berkumis lebat
seperti dia?
Sepanjang perjalanan, Ibu bertanya tentang keberadaan teman-teman masa
kecilnya. Aku hanya diam saja dan sesekali mengintip Pak Parman lewat spion.
Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga jam, kami tiba di rumah kakek dan
nenek. Rumah mereka besar dan halamannya luas. Udaranya sejuk sekali, aku menghirup
napas dalam dalam. Begitu kami menurunkan koper, seorang laki-laki yang masih tegap
meskipun rambutnya memutih dan seorang perempuan berjilbab keluar dari rumah
menyambut kami.
“Itu kakek dan nenek!” Ibu mengambur ke pelukan mereka dan bertangis-
tangisan. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Apa aku harus memeluk mereka
juga? Aku cemas, bisakah kami dekat seperti aku dan Opa?
Saat mereka menyadari kehadiranku, mereka menghampiri dan memelukku
terlebih dahulu. Aku mencium tangan mereka dan memeluk mereka kembali. Nenek
mengelus kepalaku sambil menangis. “Nenek tidak mengira kamu sudah sebesar ini.”
Kulihat kakek, ia tersenyum hangat dan tulus. Kakek mengajakku ke dalam terlebih
dahulu. Aku berjalan beriringan dengan kakek dan digandengnya tanganku. Aku tertawa
lega. Ternyata kakek orang yang asyik.
“Ayo kita temui Bibi Nana di dapur, dia sedang memasak nasi kuning untuk kita.
Setelah itu, kita makan bersama,” ujar Nenek. “Nasi kuning?” aku kebingungan, aku
belum tahu apa itu nasi kuning. Kakek tertawa, berkata nanti aku akan tahu sendiri.
Jadilah hari itu, aku, ibu, kakek dan nenek menghabiskan waktu bersama di
gazebo belakang rumah kakek sambil menikmati nasi kuning buatan Bibi Nana dan
mendengarkan kakek menceritakan dongeng Tangkuban Perahu. For the first time in
forever.
Aku masih mempunyai waktu dua minggu lagi bersama mereka, bertemu
saudaraku yang lainnya daan berkunjung ke berbagai tempat. Aku senang sekali dengan
liburanku tahun ini.

Niswatul Mufidah (23)


8B

Anda mungkin juga menyukai