Anda di halaman 1dari 8

Nama : Della Bany Ruliana

NIM : 2001040026
Kelas : 5A PBSI
Mata Kuliah : Penulisan sastra kreatif

Jawaban UAS

PUISI
Pejuangan Untuk Masa Depan

(Della Bany Ruliana)

Berjuang melawan malas


Bangun pagi bergegas pergi
Memulai perjuangan
Dengan segenggam doa dan harapan
Tak lupa
Meminta doa dan restu kepada orang tua
Agar dimudahkan dalam mencapai kesuksesan
Berangkat pagi
Pulang saat mentari telah terbenam
Dinginya malam menembus tulangku

Lelahnya hari ini …


Semoga bisa menjadi bekal di masa depan

Cernak

Pak bagus adalah seorang pengusaha mobil yang cukup kaya. Ia sangat dikenal oleh
penduduk kampung Purwasaba. Perusahaan mobil yang besar menampung pekerja kampung
cukup banyak. Selain itu, ia juga memiliki sebuah toko. Toko itu menjual berbagai seperti
apoteker, toko baju, toko aksesoris, toko buah, dan banyak lagi. Toko buah di sana dalam
berbagai tempat.

Siang itu, ketika Abrar berkunjung, Pak Bagus kebetulan ada di rumah, ibu Yati, dan
anaknya Abrar disambut oleh salah seorang pekerjanya. Mereka disuruh menunggu di ruang
tamu. Pak bagus sedang melihat-lihat usah tokonya di samping rumah, perusahaan mobilnya
terletak di depan rumah menghadap ke jalan raya.

Sambil menunggu tuan rumah, kedua mata ibu dan anak itu tidak berhenti berputar.
Mengamati keadaan dalam ruang tamu. Jauh bener dengan rumah mereka. Rumah itu besar.
Ruang tamnya saja dua kali lipat dari rumah mereka. Catnya masih bagus dan terang. Kayu-
kayunya mengkilap. Lantainya bersih dan cermerlang. Selain itu, barang-barangnya pun
indah dan asing bagi mereka.

Abrar terpukau dibuatnya. Pikirannya terbang melayang. Andai saja rumah itu
rumahnya, alangkah senangny. Ia tidak akan malu jika teman-temannya berkunjung. Bahkan
mungkin merasa bangga. Ibunya melirik sambil menarik nafas.

Tidak lama kemudian, Pak Bagus datang. Ia menyambut tamunya dengan ramah.
Dipikirannya tamu yang datang itu mau memesan mobil. Pak bagus mengulurkan tangganya
mengajak bersalaman. Setelah itu, ia bertanya.

"Rumah ibu di sebelah mana? Rasanya saya jarang bertemu ibu?" Tanyanya.

"Memang saya bukan penduduk kampung ini saya dari kampung Batam."

"Oh... Pantas saya jarang melihat! Sebelah mana rumah Cantika?"

" Agak dekatlah, delapan... eh Sembilang rumah ke kiri dari rumah Gric grac, " Jelas
Ibu Nawang. Ia hafal rumah Gric grac karena setiap hari ia menjadi pembantu di rumah itu
setengah hari.

Abrar sudah tidak sabar ingin mengetahui sikap Pak Bagus. Ia berharap cemas. Takut
Pak Bagus marah, menuduh ia mau mencuri dompet. Ia juga takut kalau ibunya yang akan
dituduh pencuri. Selain itu, Abrar juga berharap, ia dapat persenan uang dan pemiliknya.

" Ibu sekarang mau pesen apa? Mobil atau buah-buahan?" tanya Pak Bagus.

" Bukan, Pak. Bukan itu," sahut Ibu Nawang terbata-bata gugup.

" Kalau begitu, barang kali ada perlu apa?" Pak bagus penasaran.
" Saya datang ke sini mau minta .... Maaf, karena...."

" Minta maaf kepada siapa dan untuk apa? Saya rasanya tidak perlu bermasalah
dengan Ibu! Bukankan kita jarang bertemu? Mungkin berkenalan pun baru sekarang."

"Memang sih begitu. Kami mau minta maaf karena .... Karena .... Terlambat
mengembalikan .... Dompet Bapak." Ucapan Ibu Nawang sedikit bergetar.

"Dompet? Dompet saya ada pada Ibu? Dompet kulit warna coklat? Sekarang ada di
mana dompet itu?" Tanya Pak Bagus langsung berdiri. Ia bertanya beruntun dan tampak
sangat terperanjak setelah tidak percaya.

Berfikir cepat ingatannya di suruh bekerja keras untuk mengulang peristiwa yang
sudah di lakukannya. Ia yakin bahwa ia tidak berpergian ke kampung Batam belakangan ini.
Bahkan, sudah lama ia tidak bertemu gric grac berkenalan di kampung batam.

Hati Pak Bagus tidak menuduh Ibu anak itu yang mengambilnya. Mana mungkin
mereka mencuri kalau kemudian ia berani mengembalikannya, pikirnya. Tapi tidak tau juga
jangan-jangan ibu anak ini yang mengambilnya, tapi di mana dan kapan? Mereka terlalu
lugu. Mata Pak Bagus mencuri pandang, Ia melirik kedua orang yang di sekitarnya. Ingin
segera melihat dompetnya. Dompet itu memang masih di dalam tas kecil Ibu Nawang.

" Begini Bu, sekarang agar tidak salah paham, lebih baik ibu perlihatkan dulu dompet
itu. Betul tidak itu dompet saya. Kemudian nanti ibu ceritakan asal usul dompet itu sampai di
tangan ibu, " ujar Pak Bagus penasaran.

Pak Bagus mencoba menahan diri. Ia segera ingin melihat dompet itu. Sudah hampir
satu pekan dompet itu hilang. Ia telah berusaha mencarinya. Bahkan ia sempat
mengumumkan di masjid begitu juga ia telah melaporkan kepada kantor desa dan kantor
kepolisian.

Bagi Pak Bagus dompet itu sangat berarti didalamnya, berisi surat-surat penting,
Antara lain, STNK, SIM, ATM, KTP, dan beberapa uang ia tidak ingat.

Karena surat-surat itu sangat penting ia bermaksud akan segera menggantinya. Pak
Bagus masih sabar. Ia menunggu kesempatan barang kali dompetnya masih akan menjadi
miliknya. Oleh karena itu, betapa kini hati Pak Bagus sangat gembira. Untuk itu ia ingin
segera mengetahui nasib dompetnya.
Perlahan-lahan Ibu Nawang membuka tas tuannya. Tangannya berapa isi kantong itu.
Sesudah ia langsung menarik isi tasnya. Diserahkan dompet tersebut kepada pemiliknya.
Matanya tidak berani menatap ora di depannya. Ia jadi ketakutan, Ibu Nawang berdoa dalam
hati agar Pak Bagus tidak menuduh pencuri.

"Ini Pak, dompetnya! Maaf saya telah membukanya, maksud untuk mengetahui
pemiliknya. Saya sama sekali tidak mengambil apa pun dari dompet itu. Tutur Ibu Nawang
sedikit risau.

"Kalau ada yang hilang, saya berani bersumpah, saya tidak mengambilnya." Ia
khawatir isi dompet itu ada yang hilang. Kemudian menyangka mereka ia telah
mengambilnya.

Pak Bagus segera menerima dompet tersebut. Diamatinya dompet itu sambil dibolak-
balik. Mungkin untuk memastikan keyakinannya. Setelah itu dibuka dompet itu. Satu persatu
dari bagian dompet tersebut diperiksanya. Sekilas dadanya mengembang. Kepalanya sangat
manggut-manggut dan matanya setengah melotot.

"Alhamdulilah, Bu! Dompet ini bener milik saya! Ibu boleh aturkan foto yang ada di
KTP dengan wajah saya sama, tidak?" Serunya setengah berteriak.

"Dari tadi saya juga sudah yakin bahwa foto itu sama dengan wajah Bapak."

"Sekarang tolong ceritakan kepada saya sedikit! Bagaimana dompet itu sampe di
tangan ibu!"

"Yang menemukan dompet ini bukan saya, tapi anak saya ini, Abrar namanya." Kata
Ibu Nawang sambil melirik kepada anaknya. Abrar tertunduk was-was.

"Oh ... Begitu terus, bagaimana?" Pandangan Pak Bagus kini berahli kepada Abrar
yang tetap bertunduk.

"Anu, Pak! Saya menemukannya di kampung saya deket lapangan bola. Tepatnya,
dipinggir jalan deket lapangan bola. Ketika, itu saya sedang mengambil bola yang
menggelinding ke jalan. Maaf, saya tidak cepat-cepat mengambilkan kepada Bapak!"

"Tidak apa-apa, Nak! Belum terlambat. Saya sangat gembira dompet itu kini
ditemukan kembali. Kalian tidak usah minta maaf. Bahkan, saya mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada Ibu dan kamu.
Pak Bagus kembali mengamati dompet beserta isinya. Semua masih utuh. Demikian
juga dengan uangnya. Ia merenung sejenak membayangkan jika dompet itu berisi kartu ATM
yang bernilai mencapai lima belas juta. Selain itu, ada STNK yang sangat berharga.
Walaupun bisa diganti, pengurusannya sangat rumit. Demikian juga dengan SIM, kalau akan
diganti pengurusannya lama. Hanya KTP saja yang dapat diganti dengan mudah.

Kemudian ia memandang ibu-anak itu dengan saksama. Dipandangnya dalam-dalam


kedua orang itu. "Oh ... Tuhan betapa murah Engkau kepadaku. Terima kasih atas
kemurahan-Mu. Berikanlah kemulian kepada kedua orang ini. Mereka begitu berjasa
kepadaku, "Pak Bagus memanjatkan doa dalam hati atas kemurahan yang telah diberikan
Allah kepadanya.

Abrar dan Ibu Nawang menunduk, hatinya ikut merasakan kegembiraan Pak Bagus.
Mereka bersyukur telah dapat membantu orang lain yang mendapat musibah. Ibu Nawang
lebih gembira bahkan lega hatinya. Beban yang dari tadi dipikulnya kini telah lepas. Ia juga
bersyukur karena anaknya telah selamat dari sifat yang tidak terpuji.

Hari telah semakin gelap. Ibu Nawang merasa was-was. Ia tidak mau kemalaman.
Abrar harus ke masjid, mengaji dan mengejarkan PR-nya. Oleh karena itu, ia segera pamit
untuk pulang.

"Sudah hampir magrib, Pak! Saya mau pulang Abrar harus ke masjid dan mengaji.
Dan juga belum mengerjakan PR," kata Ibu Nawang sambil berdiri.

"Tunggu sebentar, nanti sopir saya mengantarkan Ibu pulang." tahan Pak Bagus
sambil masuk ke dalam. Tidak lama kemudian, ia kembali ke ruang tamu sambil membawa
sesuatu.

"Sayang, istri saya sedang pergi ke kota. Saya sampai lupa membuatkan minum.
Begini, Bu. nanti, mungkin besok sore, saya berserta istri mau berkunjung ke rumah Ibu.
Hitung-hitung silaturahmi, sekalian mau berkenalan dengan suami Ibu. Sekarang, ibu boleh
pulang diantar sopir saya. Ini sekedar uang jajan buat abrar dan makanan sedikit untuk ngopi
nanti malam. Jangan menolak rezeki, ya!" Katanya.

Hati Ibu Nawang sedikit berdesir mendengar kata "suami", tetapi ia tidak
menanggapinya. Biarlah besok Pak Bagus mengetahui keadaannya. Walaupun ia merasa
malu juga jika Pak Bagus berkunjung ke rumahnya. "Dimana mesti ia duduk. Aku hanya
punya sebuah bale-bale tua," hatinya menolak kehadiran Pak Bagus ke rumahnya.
"Terima kasih, Pak! Saya senang Bapak hendak berkunjung ke gubuk kami.
Sebelumnya, saya mohon maaf. Saya tidak punya rumah yang layak untuk Bapak kunjungi..
Lagipula ... Saya ... "Ibu Nawang tidak kuasa mengungkapkanya.

"Sudahlah, jangan terlalu merendah! Kedatangan saya ke rumah ibu jangan membuat
ibu repot! Saya tidak mau menyusahkan orang lain. Silahkan, itu sopir sudah siap!" Pak
Bagus segera mempersilahkan ibu-anak itu naik mobil.

Dengan penuh kebanggaan, Abrar naik mobil Pak Bagus. Di mobil ia merasa sedang
menjadi raja sehari. Maklum, dia belum pernah naik mobil sebagus itu. Dia sengaja duduk di
depan dengan sopir. Pak sopir senang melihat keluguan Abrar.

"Anak ini pasti telah berbuat baik kepada majikanku. Tadi majikanku sangat hormat
kepada mereka. Kalau begitu aku juga harus menghormatinya," guman sopir itu dalam
hatinya.

"Ke kampung Batam ya, Bu? Di sebelah mana rumah Pak yanto?"

"Delapan rumah sesudah rumah gric grac. Bukan rumah, hanya sebuah gubuk tua.
Tapi kami beruntung gubuk kami agak di pinggir jalan," jawab Ibu Nawang sedikit bangga.

"Tadi saya lihat Pak Bagus begitu gembira dan begitu baik kepada Ibu, ada apa, Bu?"
Sopir Pak Bagus menyelidiki. Ia tadi sangat penasaran. Majikanya belum sempat bercerita
karena hari telah mulai gelap. Ia ditugasi mengantar tamunya itu.

"Tentu sangat senang. Dompet yang berisi segala macam telah ditemukan kembali,"
kata Bu Nawang.

"Subhanallah, begitu? Pantas ia senang! Sudah berhari-hari ia mencarinya. Bahkan,


sudah lapor ke kantor polisi. Dompet itu isinya surat-surat penting semua, Bu! Beliau sangat
cemas kalau dompet itu tidak di temukan lagi. Saya sebagai pegawainya ikut bersyukur.
Dimana di temukan, Bu? " Pak sopir semakin penasaran, tetapi juga senang. Dengan
hilangnya STNK dan SIM, ia tidak berani membawa mobil jauh-jauh. Dan kini ia bebas jika
harus pergi keluar kota.

"Di tepi jalan kampus batas dekat lapangan bola," kata Bu Nawang.

"Heran! Mengapa sampai ada di sana?" Tanya sopir seolah bertanya kepada diri
sendiri.
Kaca depan mobil sengaja di buka oleh Abrar. Ia ingin teman-temanya melihat bahwa
ia naik mobil bagus. Akan tetapi, sayang hari ini telah hampir magrib. Tidak satu pun teman
sekampungnya yang melihat ia naik mobil bagus.

"Ini rumah Pak Yanto, rumah Ibu sebelah mana?" Tanya Pak sopir.

"Tuh ... Sedikit lagi. Satu ... Dua ... Nah ... Ini istanaku! Kata Abrar senang. Abrar
langsung membuka pintu meloncat bagai kijang. Ia menengok kiri kanan. Di ujung jalan,
terlihat kiki sedang berjalan. Mungkin ia akan ke masjid. Hati Abrar senang, ada teman yang
melihatnya turun dari mobil bagus. Ia berlari masuk rumah.

"Terima kasih, kang! Silahkan mampir ke gubuk saya!" Ajak Ibu Nawang setengah
hati. Itu hanya basa-basi saja.

"Terima kasih, insyaallah lain kali," jawab Pak sopir. Mereka berpisah.

Anda mungkin juga menyukai