Riuh suara klakson bus antar kota antar provinsi yang sedang beradu kecepatan memaksaku menepi. Memilih turun dari sepeda ontel dan menuntunnya melewati jalur berkerikil di pinggir jalan raya. Kesal sekali rasanya, melihat tingkah sopir yang ugal-ugalan. Seakan menganggap jalan raya ini milik mbah buyutnya. Terkadang terlintas di benak, apa mereka itu tak memikirkan keselamatannya? Bagaimana kalau tiba-tiba mereka mengalami kecelakaan. Apa tak kasihan dengan keluarganya yang menanti di rumah. Suara adzan Maghrib sayup-sayup mulai terdengar dari kejauhan. Di bawah sebatang pohon waru doyong yang tumbuh di pinggir jalan, aku putuskan untuk beristirahat sebentar. Tadi sebelum berangkat berkeliling, Simbok membekaliku sebotol teh tawar dan sebungkus nasi aking bertabur kelapa parut. Lumayan lah, walau tak mewah, kali ini aku bisa berbuka puasa dengan perut kenyang. Tak seperti kemarin, karena tak ada yang dimakan, terpaksa aku hanya minum air putih. Ya … beginilah kehidupan kami. Ketika di bulan Ramadhan orang lain bisa makan enak, bebas memilih makanan yang mereka mau, kami ada yang bisa dimakan saja sudah bersyukur. Jika mereka berpuasa setahun sekali, kami berpuasa hampir setiap hari. Hari ini bisa makan, besok puasa, lusa bisa makan, lusanya lagi, puasa. Di satu sisi mereka para orang kaya membuang-buang makanan, sementara di sini kami para kaum kere mau makan saja sulit. Huff … kadang hidup ini memang embuh. Harum aroma nasi aking yang dibungkus daun pisang menggodaku untuk segera menghabiskan bekalku. Lapar sekali rasanya. Cuaca hari ini sangat terik, apalagi tadi aku mulai berangkat keliling pas matahari sedang tepat berada di tengah kepala. Hari mulai gelap, aku harus segera mencari masjid untuk menunaikan sholat Maghrib dan segera pulang. Perih hati ini melihat tikar-tikar mendong yang teronggok di dalam keranjang. Dari enam tikar yang kubawa, tak satu pun yang laku. Semakin kesini peminat tikar mendong semakin berkurang. Zaman sekarang orang-orang lebih memilih menggunakan karpet atau tikar plastik yang memang lebih awet. Kembali kukayuh sepeda ontel peninggalan Mbah Kakung, menyusuri jalanan beraspal dengan hati masygul. Membayangkan wajah sedih Simbok nanti yang melihatku pulang tanpa membawa uang. Kutarik nafas dalam-dalam dan membuangnya kasar, mengusir kabut yang mulai menghalangi pandangan. Aku lelaki, pantang menangis. Memasuki jalanan kampung, terlihat teman-teman sebayaku hendak berangkat ke masjid. Sesekali tawa mereka pecah. Saling bercanda, berkejar-kejaran sambil mengibas-ngibaskan sarung yang mereka bawa. Kupacu sepeda lebih cepat. Agar bisa segera bergabung dengan mereka. Tak ingin kulewatkan tarawih kali ini. Tadi, saat di sekolah, Joko temanku bercerita, katanya malam ini ada seorang dermawan dari kota yang akan memberikan santunan Ramadhan buat kaum dhuafa di kampung kami. Semoga saja aku kebagian. Siapa tahu ada amplopnya, bisa kupakai buat membeli sepatu yang sudah saatnya dimuseumkan saking antiknya. Bayangkan, sejak kapan sepatu ada jendelanya? Aku tersenyum sendiri, membayangkan bagaimana teman-temanku suka menggoda. “Ndri, Sepatumu kui lho, ndang kon leren, melas masuk angin ngko jempolmu.” Memasuki pelataran rumah, hatiku dirundung cemas. Pintu masih terbuka tapi mengapa gelap gulita? Ke mana Simbok? Apa sedang pergi? “Mboook! Simboook!” “Iya.., apa Le. Sudah pulang kamu?” Seraut wajah tua muncul dari balik pintu. Lega rasanya, tadi sempat terlintas fikiran-fikiran buruk. Takut terjadi sesuatu sama Simbok. Sudah beberapa hari kondisi Simbok kurang sehat. Terus menerus batuk. Kasihan sekali bila malam, Simbok jadi tidak bisa tidur nyenyak. Sudah kuingatkan agar pergi berobat ke rumah bidan Marni. Toh bu bidan itu orang yang baik, beliau jarang mau menerima bayaran dari orang-orang seperti kami. Tapi tetap Simbok tak mau, mungkin sungkan. Akhirnya, Simbok hanya minum parutan kencur yang memang banyak tertanam di kebun belakang rumah, atau sesekali beli obat di warungnya Mbah Mikem. “Klasane hari ini gak ada yang laku, Mbok,” ujarku, sambil menuntun sepedaku dan menyandarkannya ke tiang bambu penyangga emper. Tak berani kutatap wajahnya. “Yo wes, Ndak apa-apa. Besok pasti laku. Sana cepat mandi, nanti telat sholat Tarawihnya.” Segera kuberlari ke jeding (kamar mandi), mandi seperlunya dan berwudhu. Ketika di ruang tamu langkahku sempat terhenti melihat apa yang sedang Simbok lakukan. Tapi mengingat sebentar lagi Iqamat, kutepis tanya di benak. Takut ketinggalan. Alhamdulillah, benar apa kata Joko, kali ini aku pulang dengan membawa sekantung plastik bingkisan. Sempat kuintip tadi isinya, sekaleng roti, beras, sirup, gula, teh, minyak goreng dan beberapa bungkus mie instan. Ada juga sepucuk amplop yang di rekatkan di tutup kaleng roti. Semoga saja isinya cukup untuk menambahi celenganku bakal beli sepatu. Aku pulang dengan hati berbunga-bunga, terbayang besok aku dan simbok, sahur bisa makan dengan kuah mie instan yang pasti sangat lezat. Esok aku akan langsung ke pasar beli sepatu baru. Biar jempolku gak masuk angin lagi. “Assalamualaikum.” “Wa’alaikum salam. Apa yang kamu bawa itu, Le.” “Bingkisan. Mbok. Tadi ada orang kaya dari kota yang mbagi-bagiin ini.” Tak sabar, kutaruh plastik itu di atas meja kayu lalu mengeluarkan isi plastik satu persatu. Tentu saja karena ingin melihat isi amplop. “Alhamdulillah, mudah-mudahan rejeki mereka semakin bertambah dan berkah,” sahut Simbok sambil ikut memegang-megang isi plastik. “Kok lampune nggak dinyalain, Mbok.” “Ya embuh, Le. Tadi siang Lik Pangat ke sini, minta setoran listrik. Kan, memang udah dua bulan kita belum mbayar.” Aku langsung tanggap, mungkin gara-gara itu maka sengaja Lik Pangat memutuskan aliran listrik ke rumah kami. Ah tidak, bukan rumah sebenarnya. Mungkin lebih tepatnya gubuk. Mana ada rumah hanya berdinding anyaman gedek yang udah pada bolong, dan beratap rapak (anyaman daun tebu). Kok ya kebangeten banget Lik Pangat itu. Padahal lampu yang kami pakai hanya satu. Bohlam kuning yang tergantung di tengah rumah. Itupun dinyalakannya jam enam sore dan dipadamkan jam enam keesokan harinya, langsung dari rumah Lik Pangat. “Lik Pangat itu jadi orang kaya kok pelit yo, Mbok.” “Hush, gak boleh ngomong begitu.” “Lha itu buktinya, Cuma lampu wae kok dipateni”. Simbok tampak menarik nafas, sambil tersenyum dia membelai rambutku, “Ya mungkin kondisinya lagi nggak bagus, Le. Jadi kalau kita nunggak ndak mbayar, dia jadi ngeluarin uang lebih banyak buat setoran ke PLN” “Tapi kan, Mbok ….” “Sst, Wis. Gak usah ngomong wae. Ini bantu Simbok, masukin benang. Dari tadi Simbok udah nyoba merucut terus.” ‘Ealah Mbok … Mbok, ya gimana mau masuk. Wong pas siang terang benderang saja, Simbok pasti teriak-teriak kalau mau njahit. Apalagi sekarang malam, hanya ada nyala lampu senthir. Kulihat Simbok membentang-bentangkan mukena. Mencari posisi yang robek. Pantas saja, tadi Simbok tidak ikut berangkat ke Masjid. Wong mukena satu-satunya suwek mbebrek begitu (sobek parah). “Suwek lagi ya, Mbok?” tanyaku, sambil mengangsurkan jarum dan benang yang barusan kutelusupkan. Terlihat sobekan itu memanjang persis di bagian atas kepala. Lucu sebenarnya, mukena Simbok putih lha kok benangnya berwarna hitam. Tapi mau gimana lagi, wong adanya cuma itu. “He eh, kecanthol kawat jemuran tadi, Le.” Ah Simbok, biarpun aku anak lelaki, aku juga paham, penyebab sobeknya itu bukan karena kecantol, tapi karena wis amoh (usang lapuk). Bagaimana tidak amoh, usia mukena itu lebih tua dari umurku. Sejak aku mudeng, itulah satu-satunya mukena yang Simbok punya. Warnanya menguning. Di beberapa tempat terlihat tambalan, dan jahitan yang pating njekitut. Belum pernah sekalipun diganti. Perih hatiku melihat jemari tua Simbok gemetar saat menjahit. Tentu tidak mudah baginya menjahit di tengah cahaya lampu yang temaram. “Besok aja lagi, Mbok. Kalau hari terang.” “Lha nanti Simbok sholat e piye?” “Ya, gak usah sholat dulu. Prei. Allah juga maklum.” “Heh, ra pareng ngomong begitu. Biar gimanapun kondisinya, harus terus menjaga sholat, Le.” “Lha kita sholat terus juga ndak sugih-sugih, Mbok. Mau makan aja susah. Kae artis-artis, orang kaya, pada nggak pernah sholat tapi uripe pada enak.” Mendengar omonganku yang terus ngeyel, akhirnya Simbok berhenti menjahit. Dengan sabar mulai menasehati. “Le.., apapun kondisinya, sesulit apapun hidup kita, sholat harus tetap dijaga. Allah paring rejeki itu gak semata-mata hanya duit atau kekayaan. Kesehatan, kebahagiaan, ketenangan, itu juga wujud rejeki. Nggak apa-apa sedikit yang penting berkah, halal, Allah Ridho. Bayangin apa jadinya kita, udah miskin, gak mau sholat, terus sakit-sakitan. Udah di dunia uripe rekasa (hidup susah) nanti di akherat plung langsung nyemplung neraka. Kamu mau?” “Ya emoh, Mbok.” “Makane, jangan lagi ngomong begitu, Mbok e ndak suka. Sana gek bobok. Besok awas aja kalau susah dibangunin sahur. Simbok grujuk nanti pake air comberan,” sahutnya sambil menjewer sayang telingaku. Setelah salim Simbok, aku pun berlalu menuju bale-bale bambu satu-satunya milik kami di sudut ruangan. Sebuah ide terlintas di benak. Seulas senyum tersungging di bibirku. Dalam hati ikut menyenandungkan sholawat Nariyah yang Simbok lantunkan. Hingga perlahan aku terlelap ke alam mimpi. Terukir janji dalam hati, aku akan sekolah yang pintar dan setinggi mungkin, kelak harus jadi orang sukses, akan kubahagiakan Simbok. Akan kutunjukkan pada dunia, jika Simbok tak pernah salah sudah memungutku dari pinggir kalen (parit) deket sawah sebelas tahun yang lalu. Hari ini kujalani hariku dengan penuh semangat. Sepulang sekolah kubobol celengan bagongku. Simbok tak terlihat. Mungkin sedang membantu Pak Supri, juragan gabah, menjemur hasil panennya. Alhamdulillah, uang pecahan dua ribuan dan logam seribuan serta lima ratusan terkumpul tiga puluh delapan ribu rupiah. Ditambah uang amplop yang semalam kuterima, kira-kira cukuplah untuk membeli barang yang aku mau. Kembali kukayuh sepeda butut menyusuri jalanan. Menuju pasar di tengah kota. Semoga di pasar banyak pembeli yang berminat dengan tikar mendong buatan Simbok. Dengan suara lantang, kutawarkan barang daganganku. Sepertinya ini hari keberuntunganku. Benar kata Simbok, Rejeki Allah yang mbagi. Sudah ditakar sesuai kebutuhan masing-masing hamba-Nya. Daganganku ludes tak bersisa. Simbok pasti nanti senang sekali. Apalagi akan ada kejutan lain buatnya. Di depan sebuah toko yang memajang berbagai perlengkapan sholat, aku berhenti. Sepeda terpaksa aku rubuhkan. Maklum sudah tak ada tiang standardnya. Kulepas sandal jepit usang yang kukenakan. Sayang, bila lantai keramik yang putih mengkilat itu harus kotor karena debu dari sendalku. Di dalam toko aku celingak celinguk. Semua mukena yang digantung sangat indah. Aku tak berani menyentuhnya. Kuperhatikan satu persatu. Hingga akhirnya perhatianku tertuju pada mukena putih berbodir bunga-bunga kecil. Kubayangkan, pasti Simbok akan sangat cantik mengenakan mukena itu. “Cari apa, Dik?” teguran seorang lelaki berwajah khas timur tengah mengagetkanku. Postur tubuhnya tinggi gede, dengan cambang lebat di dagu. Sorot matanya tajam. Tiba-tiba saja rasa takut menyelusup di sudut hati. “Em … sa … saya mau beli mukena buat Simbok, Pak.” “O ya, silahkan dipilih, mau beli yang mana?” “Kalau yang itu berapa, Pak?” tanyaku sambil menunjuk mukena berbodir yang sejak tadi kuperhatikan. “Seratus ribu rupiah saja.” Hatiku mencelos. Seratus ribu? Lha uangku saja tak sampai segitu jumlahnya. Kukeluarkan uang hasil dagangan. Menimbang-nimbang, tapi segera kumasukkan lagi ke kantong celana. Ini uang Simbok, aku tak boleh menggunakan semauku tanpa izinnya. “Yang harganya lebih murah ada nggak, Pak? uang saya Cuma lima puluh delapan ribu.” Mendengar ucapan polosku, Bapak pemilik toko tersenyum. “Kamu mau yang ini?” Aku mengangguk, “Tapi uangnya tidak cukup, Pak. Ini ada uang, tapi uange Mboke. Wis gak apa-apa yang lebih murah." “Ayo, ikut Bapak.” Digandengnya tanganku menuju dalam toko. Sesaat menghilang di balik Etalase lalu muncul dengan sebuah plastik berisi mukena. Di hadapanku, dibukanya plastik itu dan membentangkan isinya. “Kamu mau yang ini kan?” Mataku berbinar, reflek kusentuh mukena itu yang begitu lembut dan pasti adem bila dipakai ketika sholat. Tak sadar aku mengangguk. Si Bapak langsung melipat mukena itu kembali, memasukkannnya ke dalam plastik beserta satu buah sajadah berwarna hijau bergambar ka’bah. “Ini buat kamu. Kasihkan ke Simbok ya.” "Tapi uange ndak cukup ki, Pak. Udah yang lain aja mboten napa-napa." Tiba-tiba saja, si bapak pemilik toko duduk di depanku. Kini tinggi kami sejajar. "Kalau mau ngasih orang tua, usahakan yang paling bagus. Biar Allah tambah ridho." Aku menatapnya tak percaya, berulangkali pandanganku beralih antara plastik berisi mukena yang dia pegang dan wajahnya. Si Bapak mengangguk, “Iya, ini buat kamu. Ambillah.” Bibirku tak sanggup berkata-kata. Rasa Bahagia membuncah di dada. Gemetar rasanya ketika menerima plastik itu. Ini bukan mimpi kan? Kuraih tangan kekar lelaki berhati malaikat yang sudah mengabulkan impianku dan menciumnya takzim. Tak lupa menyerahkan uang receh lima puluh delapan ribu rupiah milikku. Penuh kasih, dia mengelus rambutku. “Tetaplah jadi anak yang sholeh. Allah menyertaimu.” “Maturnuwun, Pak.” Tanpa menunggu jawabannya aku segera berlalu. Meraih sepeda pancal dan mengayuhnya secepat mungkin. Tak sabar rasanya untuk segera sampai di rumah. “Mbok eeeeeeeee! Mukenamu anyaaaarr!” “Mbok eeeeeeeeee! Mukenamu anyar Mboooook!” Sepanjang jalan, kalimat itu yang terus kuteriakkan. Tak peduli dengan pandangan orang- orang yang mungkin menganggapku kurang waras. Kali ini aku sangat bahagia. Lebaran kali ini Simbok bisa memakai mukena baru untuk sholat Idul Fitri. Senyuman tak henti-hentinya tersungging di bibirku yang kering. Namun, ketika sampai di depan rumah. Mulutku tiba-tiba terkunci rapat. Tetangga kanan kiri menyesaki gubukku yang sempit. Kali ini Lik Pangat berbaik hati. Tidak hanya satu bohlam lampu yang dia beri, tapi beberapa hingga rumahku yang biasanya temaram kini terang benderang. Melihat kedatanganku, mereka menyingkir memberi jalan. Beberapa orang memeluk dan mengelus kepalaku. Sebagian yang lain memintaku untuk bersabar. Ada apa ini? Sepedaku kugeletakkan begitu saja. Dengan tentengan plastik yang kubawa, aku segera masuk rumah. Bale-bale bambu yang biasa kutiduri bersama simbok, kini sudah berpindah ke tengah ruangan. Di atasnya, membujur jasad Simbokku masih mengenakan mukena kumal yang semalam dijahitnya. Aku jatuh bersimpuh di samping bale-bale itu. Menatap wajah ayu simbok yang lebih mirip orang yang sedang tidur. Tenang, damai, dengan seulas senyum yang tersungging di bibir. Tak setitikpun air mata mengalir di pipiku. Hanya bibir yang terkunci dan tenggorokan yang tercekat. Bude RT maju menghampiri, ikut duduk di sampingku, sambil mengelus pundak, “Nangisa, Le. Jangan ditahan.” “Cah lanang ora pareng nangis, Budhe.” Mendengar jawabanku, tangis Ibu-Ibu tetangga yang hadir di ruangan ini pecah. Rangkaian prosesi pemakaman Simbok berjalan dengan lancar. Dari memandikan, mengkafani, menyolatkan hingga mengantarnya ke pemakaman kuikuti tanpa setetes pun air mata yang mengalir. Perlahan jenazah Simbok diturunkan ke liang lahat. Sayang, tenagaku masih belum kuat untuk menyambutnya. Namun ketika mengadzani Simbok, aku meminta pada Pak Ustadz untuk mengadzaninya sendiri. Aroma harum menguar dari jenazah wanita terkasihku ini. Semua yang hadir serentak mengucapkan tasbih. Perlahan tanah merah diturunkan menutupi jasad Simbok hingga akhirnya tak terlihat lagi. ‘Selamat jalan, Mbok. Terimakasih untuk semua yang sudah Simbok berikan untukku.’ Usai sudah semuanya, kini aku, Andri, di usia sebelas tahun harus hidup sebatang kara. Semampuku, sudah berusaha memenuhi bakti sebagai cucu, untuk mikul dhuwur lan mendem jero derajate Mbah Kakung dan Simbok, orang tua yang kupunya. Bagaimana masa depanku nanti? Entahlah. Terserah Allah mau mengarahkannya kemana. Bukankah terkadang hidup ini memang EMBUH? Analisis Unsur Intrinsik a.Tema : Selalu bersyukur. b. Penokohan : Andri, memiliki sikap pekerja keras, pantang menyerah, berhati mulia, dan tegar. 1. Kembali kukayuh sepeda menyusuri jalanan. Menuju pasar di tengah kota. 2. Aku lelaki, pantang menangis. 3. Kali ini aku sangat bahagia. Lebaran kali ini simbok bisa memakai mukena baru untuk sholat idul fitri. 4. “ Cah lanang ora pareng nangis, Budhe”. Simbok, memliki watak penyabar, penasihat yang baik, dan berhati mulia. 1. “ Yo wes. Ndak apa-apa. Besok pasti laku. Sana cepat mandi, nanti telat sholat Tarawehnya”. 2. “Le.., apapun kondisinya, sesulit apapun hidup kita, sholat harus tetap dijaga. Allah paring rejeki itu gak semata-mata hanya duit atau kekayaan. Kesehatan, kebahagiaan, ketenangan, itu juga wujud rejeki. Nggak apa-apa sedikit yang penting berkah, halal, Allah Ridho. Bayangin apa jadinya kita, udah miskin, gak mau sholat, terus sakit-sakitan. Udah di dunia uripe rekasa (hidup susah) nanti di akherat plung langsung nyemplung neraka. Kamu mau?” 3. “Ya mungkin kondisinya lagi nggak bagus, Le. Jadi kalau kita nunggak ndak mbayar, dia jadi ngeluarin uang lebih banyak buat setoran ke PLN” Lik Pangat, mempunyai watak yang baik hati dan mengerti keadaan. 1. Aku langsung tanggap, mungkin gara-gara itu maka sengaja Lik Pangat memutuskan aliran listrik ke rumah kami. 2. Kali ini Lik Pangat berbaik hati. Tidak hanya satu bohlam lampu yang dia beri, tapi beberapa hingga rumahku yang biasanya temaram kini terang benderang. Penjual Mukena, memiliki sifat yang dermawan dan berhati mulia. 1. Si Bapak langsung melipat mukena itu kembali, memasukkannnya ke dalam plastik beserta satu buah sajadah berwarna hijau bergambar ka’bah. 2. Si Bapak mengangguk, “Iya, ini buat kamu. Ambillah.” Budhe RT, mempunyai empati yang tinggi. 1. Budhe RT maju menghampiri, ikut duduk di sampingku, sambil mengelus pundak, “Nangisa, Le. Jangan ditahan.” c. Alur : Alur maju. d. Setting : Latar tempat : pinggir jalan raya, rumah Simbok, pasar, toko perlengkapan sholat, pemakaman. 1. Riuh suara klakson bus antar kota antar provinsi yang sedang beradu kecepatan memaksaku menepi. Memilih turun dari sepeda ontel dan menuntunnya melewati jalur berkerikil di pinggir jalan raya. 2. Memasuki pelataran rumah, hatiku dirundung cemas. 3. Semoga di pasar banyak pembeli yang berminat dengan tikar mendong buatan Simbok. 4. Di depan sebuah toko yang memajang berbagai perlengkapan sholat, aku berhenti. 5. Rangkaian prosesi pemakaman Simbok berjalan dengan lancar. Dari memandikan, mengkafani, menyolatkan hingga mengantarnya ke pemakaman kuikuti tanpa setetes pun air mata yang mengalir. Latar waktu : sore hari, malam hari. 1. Suara adzan Maghrib sayup-sayup mulai terdengar dari kejauhan. 2. Dalam hati ikut menyenandungkan sholawat Nariyah yang Simbok lantunkan. Hingga perlahan aku terlelap ke alam mimpi. Latar suasana : ceria, tegang, sedih. 1. Kali ini aku sangat bahagia. Lebaran kali ini Simbok bisa memakai mukena baru untuk sholat Idul Fitri. Senyuman tak henti-hentinya tersungging di bibirku yang kering. 2. Melihat kedatanganku, mereka menyingkir memberi jalan. Beberapa orang memeluk dan mengelus kepalaku. Sebagian yang lain memintaku untuk bersabar. Ada apa ini? 3. Mendengar jawabanku, tangis Ibu-Ibu tetangga yang hadir di ruangan ini pecah. e. Sudut pandang : Sudut pandang orang pertama. f. Amanat : seperti apapun keadaan yang sedang kita alami, kita harus tetap bersyukur kepada Allah. Dan ingat, Allah tidak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan hambanya.