Anda di halaman 1dari 5

Judul: ANTARA ACEP DAN ARMAN

Namaku Arman, aku tinggal di jakarta seorang diri. Ibu dan ayahku sudah lama
meninggal. Aku tak mempunyai satu pun saudara di kota.

Siang ini hujan mengguyur Kota Jakarta. Aku berteduh di warung terdekat dan
memesan segelas teh untuk menghangatkan tubuhku.

“Bu tehnya satu.” Pintaku kepada pemilik marung

Aku menatap hampa jalan seberang, kulihat anak sedang menawarkan payung.

“Payungnya pak, bu biar gak kehujanan.”Tawarnya

Bajunya sudah tak layak pakai lagi. Ia sungguh dekil. Tiba-tiba ibu pemilik warung itu
datang membawakan teh pesananku. Membuat lamunanku buyar.

Segera kuseruput tehku dan kuambil gorengan yang berada di depanku, kemudian aku
kembali mengamati anak itu. Sesekali anak itu balas menatapku. Anak itu terlihat
sangat kelaparan. Kuseruput habis tehku lalu kubayar. Aku mencoba mendekati anak
itu. Anak itu menawarkan hal yang sama padaku.

“Payungnya mas biar gak kehujanan.”Tawarnya kepadaku

Hujan semakin deras didampingi angin yang bertiup kencang. Kilat dan suara gemuruh
guntur pun tak mau kalah. Kuajak anak itu berteduh di warung tadi. Anak itu
mengiyakan ajakanku. Sesampainya di warung aku memesan teh dan nasi.Aku
bertanya pada anak itu.
“Siapa namamu?”

‘Saya Acep, mas sendiri siapa?”Tanya balik anak itu

“Saya Arman.” Jawabku

Ibu pemilik warung itu kembali datang membawa pesanan keduaku. Aku
mempersilakan anak itu untuk makan.

Anak itu tidak memakannya. tetapi meminta pada Ibu penjual nasi itu untuk
membungkusnya.“Bu, aku dirumah mempunyai ibu,” kata Acep menatapku sejenak, lalu
melihat pada Si Penjual.

Si Penjual itu tersenyum dan melakukan apa yang dimaui Acep.

Aku tak sepenuhnya paham dengan apa yang dilakukan Acep. Aku menyelanya:“Kau
bisa memakan itu dan membungkuskan lagi untuk ibumu. Aku akan membayarnya.”

Acep menatapku dengan sangat sopan. “Tapi saya sudah sangat berterima kasih
dengan traktiran sebungkus saja. Saya tidak menggantungkan diri terlalu banyak dari
belas kasihan orang.”

Aku terkejut dengan jawaban Acep. Kukontrol diriku sendiri untuk tak menunjukkan
keterkejutan sepenuh keheranan tersebut. Akan tetapi mau tak mau aku tak bisa
berhenti menatapnya begitu saja. Malahan kian aku menolak keinginan tersebut.
Kemudian aku ingin mengikuti keberadaannya. Tak lama kemudian kami bertatapan
lagi sangat lekat, lalu Acep berpamit kepadaku dengan sangat sopan sembari mencium
tanganku.

“Kenapa buru-buru?”Tanyaku.

“Duluan mas.” Jawab Acep tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Kenapa dengannya? Apa aku membuatnya takut? Apa aku telah menyingung
perasaannya? Kenapa dia langsung pulang?

Arlojiku menunjukkan jam 3 sore. Aku segera pulang ke rumah. Seperti biasa aku di
rumah hanya seorang diri. Kuambil handuk dan segera mandi. Jam berlalu sangat
cepat. Aku menuju kamar untuk tidur. Aku merebahkan tubuhku ke kasur dan terus
memikirkan apa yang di maksud acep. Apa hari ini aku hanya bermimpi.

Hari demi hari telah kulewati. Kejadian itu telah aku lupakan. Aku melalui hariku seperti
biasannya. Malam berganti pagi. Aku bangun untuk lari pagi. Kuambil handuk kecilku
dan kukalungkan di leherku. Kubuka pintu rumahku.

Dari kejauhan, kulihat seorang ibu berbalutkan kain dengan baju atasan kumal sedang
menuntun sepeda tua. Sepeda itu membawa dua bagor dan tumpukan kardus pada
boncengannya. Sesosok anak remaja mengikuti di sebelahnya.

Ia mencoba turut membantu mendorong beban sepeda yang berat tersebut. Ibu dan
anak itu tampaknya bahu membahu mencari barang rongsokan dan membawa ke
pengepul atau membawa pulang. Entahlah, ke mana mereka membawanya.

Aku teringat pada sosok Acep yang kutemui pekan lalu. Ah, kukira Acep tidak cukup
makan bergizi, tapi memiliki ibu. Mungkin juga sepasang ibu dan anak di kejauhan
tersebut juga demikian; mereka tak memiliki rumah nyaman, makanan bergizi dan
mampu membeli pakaian bagus.

Tapi kebersamaan itu? Hati yang dapat bicara satu sama lain; berbagi kepedulian,
kesedihan dan kegembiraan kecil. Betapa indahnya saat saat kebersamaan dengan
seseorang yang siap mendengar keluh kesah kita dan siap menyentuh bahu kita ketika
kita ingin merasakan betapa dalam perhatian itu. Sekarang ini aku sangat ingin
merasakannya. Kenapa aku memikirkannya begitu dalam?

Sebenarnya siapa yang harus mengasihani siapa? Aku kah yang harus mengasihani
Acep karena tidak dapat hidup layak dengan memiliki rumah, makanan dan pakaian
yang layak serta kesenangan lain seperti anak anak di usiaku dulu?

Aku memiliki banyak sekali mainan di rumah, bisa lihat TV dengan layar yang lebar,
bepergian dengan mobil ke tempat tempat menyenangkan, membeli pakaian dan
makanan yang bagus bagus dan enak-enak dengan harga yang mahal dan di tempat
tempat yang bagus.

Tetapi pada akhirnya, ibuku meninggal karena tak tahan menahan malu, dan bapakku
mengakhiri hidupnya sendiri di luar kewenangan Tuhan yang menghidupkannya karena
sebuah kecurangan demi uang. Beberapa waktu kemudian aku merasa tak nyaman
untuk bertemu orang lain.Aku perlu hampir setahun untuk dapat berdiri tegak kembali.

Bagaimana pun seorang temanku pernah menasihatkan :“Kau lelaki, dan kau harus
tabah hidup sendiri. Kendati pun suatu ketika kau memiliki keluarga, lelaki harus tetap
sendiri memikirkan pertahanan hidup.”

Temanku ada benarnya. Aku sudah melewati masa tersulit melepas kepergian kedua
orang tua yang menghancurkan reputasi dinasti kakek nenek. Aku tidak bisa membaca
pikiran mereka, tetapi sekurangnya aku bisa memperkirakan, betapa mereka
menanggung malu atas ulah bapakku.
Aku mendongakkan wajah, berusaha meyakinkan diri bahwa hidup tak sepatutnya
menyerah pada penderitaan. Hidup itu hadiah Tuhan. Si Kecil Acep begitu tabah
menjalani hidupnya yang keras. Maka aku yang sedewasa ini, semestinya
menjadikannya teladan.

Kuambil apel di dalam kulkas. Kubawa apel itu ke kamarku dan kubuka jendela
kamarku. Semribit angin menerpa wajahku. Di kamarku yang biasanya kudinginkan
dengan AC, aku melihat diriku sendiri dalam diri Acep

Anda mungkin juga menyukai