Anda di halaman 1dari 5

WAJAH ITU IBU, ya ibu.

Ketika aku terbangun dari ketidaksadaran aku melihatnya,


berada di sampingku menggoyang–goyangkan badanku dan memanggil namaku.
Kulihat sekilas wajahnya tampak pucat, suaranya lirih seperti menahan sesuatu.
Aku segera bangun dengan melawan rasa malas, kulihat jam dinding bulat itu
pukul 04.04 pagi. Kudengar suara gemuruh atap rumahku yang terbuat dari seng
itu terkena ratusan entah ribuan rintik hujan yang masih mengguyur sejak
kemarin malam. Udara begitu dingin, hingga rasanya jarik peninggalan simbahku
ini tak berfungsi sebagai penghangat tubuhku malam ini.

Kulihat lagi wajah ibu seperti menahan dingin.


“Nak, tolong kerikin ibu, ya. Ibu masuk angin.” Sembari menyodorkan balsem dan
uang logam seratus perak jaman dulu.
Jamanku masih SD dulu, uang ini dapat aku belikan jajan yang harganya sekarang
berubah menjadi Rp 500,00 dengan kemasan sedikit lebih besar.

Kukerik punggung ibu secara beraturan, kulit punggung ibu yang putih bersih itu
kini berubah warna menjadi merah gosong. Yang aku herankan ibu tak pernah
mengeluh sakit ketika kukerik.
“Bu gosong, apa tidak sakit dikerik? Kok diam saja”
“Yang namanya dikerik pasti sakit, mau bagaimana lagi biar anginnya keluar?”.
Aku hanya diam mendengar jawaban ibu sembari terus mengkerik punggung ibu.
Kudengar kentut ibu, aku tertawa mendengarnya.
“Alhamdullilah, ibu bisa kentut, nak…” Kata ibu terlihat lega.
Aku tersenyum saja sambil terus menkerik punggung ibu. Dan akhirnya selesai.
Aku segera menutup balsem dan menaruhnya ke dalam almari agar mudah dicari
saat diperlukan.

Aku melihat ibu telah memakai mukena dan membawa sajadah, kesana kemari
mencari sesuatu.
“Cari apa, bu?”
“Payung, nak.”
“Ibu mau ke masjid?” Tanyaku setengah tak yakin.
“Iya.. ”
“Ibu kan sakit, baru saja dikerikin. Udaranya dingin, di luar hujan, sholat di rumah
saja bu…” Ujarku menyakinkan.
“Ibu tidak apa-apa nak, habis dikerikin sudah mendingan. Terima kasih ya, nak.”
“Iya, bu.”
Terkadang ibuku ini memang keras kepala, tetapi dari sifat ibuku inilah aku bisa
belajar total bagaimana mencintai Allah tanpa terkecuali dan juga mencintai
Rasullulah. Aku ingin seperti ibu, menjadi seorang muslim yang tulus.

Mie Instan bisa dikatakan makanan pokok sehari-hari keluarga kecil kami setelah
nasi. Memang, makan Mie Instan setiap hari itu tidak baik. Aku pernah
menjelaskan itu kepada ibu. Namun dengan sabar ibu menjelaskan padaku ”
Adanya ini nak di warung Bu. Rosidah, mau minta telur takut hutangnya tambah
banyak, belum juga beras sehari-hari”.
Memang di toko Bu. Rosidah hanya ada mie dan telur yang hanya bisa dimasak.
Tempe, tahu, dan sayuran tidak ada disana. Hanya warung Bu. Rosidahlah yang
boleh keluarga kami hutangi dan dibayar satu bulan sekali. Kakakku yang
membayarnya. Setiap satu bulan sekali kakakku mengirim uang untuk hidup kami
sebesar Rp 300.000. Mengingat bapak yang sudah tidak bisa lagi bekerja karena
pandangannya yang sudah tidak jelas. Sedangkan ibuku, tidak diperbolehkan
bekerja oleh kakakku, karena tubuhnya yang ringkih.

Suatu hari aku pernah mendengar ibuku berdoa sambil mengaduk-aduk mie yang
sudah diberi bumbu.
“Ya Allah, berikanlah anakku kesehatan, kepintaran dan kesuksesan agar bisa
membanggakan orangtua. Agar tidak menjadi hinaan orang–orang. Amin, amin ya
robbal a’lamin.
Rasanya aku menyesal penah menjelaskan ke ibu, bahwa makan Mie Instan setiap
hari itu tidak baik. Hatiku rasanya hancur melihat air mata itu. Maafkan Putri…
Maafkan Putri bu… Tak seharusnya Putri berkata seperti itu. Kata–kata Putri pasti
menggangu pikiran ibu.
Putri janji, Putri tidak akan mengeluh lagi. Putri mau makan Mie Instan satu
bungkus untuk kita, bu… Untuk bapak, untuk ibu, dan untuk anakmu yang tidak
tahu diri ini, bu. Seharusnya Putri belajar dari ibu, jika kita ikhlas, yakin dan
menyebut nama Allah dengan “Bismillahirrohmanirrohim”, insyaallah Allah pasti
akan selalu bersama kita dan melindungi kita. Mie Instan ini pemberian Allah dan
aku harus mensyukurinya. Masih banyak di luar sana yang kelaparan, Allah itu
ADIL. Banyak juga orang di luar sana yang selalu bisa makan enak setiap hari,
tetapi lupa menyisihkan rezekinya untuk saudaranya. Seharusnya aku bersyukur,
walaupun hanya Mie Instan yang setiap hari keluarga kami makan, tetapi Allah
masih memberikan kesehatan kepada keluarga kami. Yang terpenting adalah
kedua orangtuaku, beliau masih sehat, masih bisa berjalan walaupun umurnya
sudah setengah abad.

Kulihat jam dinding bulat itu pukul 06.10 pagi. Ini saatnya aku berangkat ke
sekolah. Sengaja pagi-pagi sekali, karena aku harus jalan kaki menyeberangi
sungai agar dapat menuju ke sekolah. Aku akumulasikan seperempat jam dari
rumah aku sudah sampai. Jadi, aku masih punya waktu lima menit untuk istirahat.
Mengingat setengah tujuh gerbang sekolah sudah di tutup.

Sudah dua bulan ini aku jalan kaki, karena ban sepedaku sudah tak layak pakai.
Selalu bocor dan hamil. Maklum sudah dari kelas 4 SD sepeda itu yang
menemaniku untuk menuntut ilmu. Merubah nasib dari jalur pendidikan.
Aku ingin kelak menjadi POLWAN (Polisi Wanita). Aku ingin namaku kelak berubah
menjadi Bripda Putri Permata Sari. Aku tak bisa membayangkan betapa akan
bangganya kedua orang tuaku. Ya Allah, kabulkanlah cita-cita hambamu ini lewat
keikhlasan hambamu menjalani takdirmu dan usaha hambamu dalam menggapai
ridhomu.

“Pak, bu. Putri berangkat,” sambil mencium telapak tangan bapak dan ibu.
“Assalamu’alaikum ”
“Wa’alaikum salam..”

Satu hal yang tidak dapat aku lupakan saat aku akan berangkat ke sekolah atau
pergi ke luar rumah adalah meminta izin dan mencium telapak tangan bapak dan
ibu. Rasanya jika kedua hal tersebut tidak aku lakukan semua hal yang kulakukan
terasa janggal.

Kubuka pintu rumahku perlahan.


Wusss!!!
Angin pagi menerpa wajahku. Aku melangkah keluar, berjalan menuju sungai
dekat rumah.
Kini saatnya aku melompat dari satu batu ke batu yang lain. Sebab tidak ada
jembatan penyeberangan disini. Untung saja air sungai sedang tidak naik akibat
hujan tadi malam. Jadi, aku tidak kesusahan untuk melompati batu-batu.
Tepat pukul 06.25 aku sudah sampai di sekolah. Sesampai di sekolah, aku
langsung meletakkan tasku di mejaku dan langsung mengambil Al-Qur’an. Karena,
setiap pukul 06.30 di sekolahku mengadakan kegiatan rutin mengaji pagi.
Seperti biasa, sebelum kegiatan mengaji pagi dimulai. Aku dan teman-teman
duduk di teras depan kelas. Dan tiba-tiba terdengar suara.
“Seluruh siswa berkumpul di lapangan basket membawa Al-Qur’an!”
Pada saat seperti inilah, seluruh siswa berkumpul bersama dan mengaji secara
serempak. Aku sangat menyukai kegiatan mengaji pagi ini. Karena kami dituntut
untuk bisa menghafal Al-Quran melalui rutin mengaji pagi.

Hari ini pelajarannya Bahasa Inggris. Yang mengajar Bu Maria. Walaupun


agamanya bukan islam, tetapi beliau selalu mengingatkan anak didiknya yang
berbeda agama dari beliau untuk selalu melaksanakan kewajibannya sebagai
seorang muslim. Maklum sekolahku mayoritas siswanya beragama islam. Beliau
juga merupakan salah satu guru kesukaanku. Di pelajaran Bahasa Inggris, beliau
selalu memberi motivasi untuk anak didiknya. Bahwa walaupun kita anaknya
orang tidak mampu, kita harus bersungguh-sungguh dalam belajar dan tidak
boleh minder dan harus menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Inilah sebabnya
mengapa aku sangat suka dengan Bu Maria. Walaupun orangnya galak tetapi
beliau sangat perhatian.

Pelajaran hari ini semuanya telah selesai. Aku langsung memasukkan buku-buku
ke dalam tas dan bergegas untuk pulang. Sayangnya, hari ini air sungai sedang
naik. Tentu saja aku tidak berani melompat sebab taruhannya nyawa.
Dengan berat hati, pulang sekolah aku tidak lewat sungai melainkan lewat jalan
raya.

Di tengah perjalanan pulang langkahku terhenti begitu saja ketika melihat seorang
anak yang sedang duduk di teras depan toko. Aku melihatnya penuh dengan rasa
iba. Sebab, aku tahu bahwa dia adalah anak yang autis, yaitu anak yang memiliki
keterbelakangan mental serta memiliki kekurangan fisik dalam hidupnya, yang
bersekolah di SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa ). Terkadang aku berfikir, bahwa
diriku itu kurang bersyukur atas apa yang telah diberikan Allah kepadaku.

Kulanjutkan langkahku menuju rumah. Sesampai di rumah aku melihat bapak dan
ibu menatapku dengan wajah yang gembira.
“Assalamu’alaikum!” Salamku kepada bapak dan ibu.
“Wa’alaikum salam!!!” Jawab bapak dan ibu terlihat gembira.
“Bapak sama ibu kok kelihatan sangat gembira sekali?” Tanyanku dengan penuh
rasa ingin tahu.
“Ada kejutan buat kamu, nak!” Jawab ibu.
“Apa?” Tanyaku semakin penasaran.
“Mulai besok kamu sekolahnya sudah tidak jalan kaki. Melainkan besok kamu naik
sepeda, ban sepedamu sudah diganti, nak!” Kata bapak.
“Alhamdullilah…” Sahutku penuh dengan rasa kegembiraan.
Ternyata benar, bahwa kalau kita menjalani hidup dengan penuh keikhlasan dan
kesabaran pasti ada jalan untuk kita.
“Ibu dan bapak dapat rezeki darimana?”
“Tadi ibumu cari pinjaman!” Sahut bapak.
“Cari pinjaman kemana, bu?”
“Tadinya di rumah Pak Salim, tetapi orangnya tidak mau meminjamkan uang ke
ibu. Malahan ibu dihina-hina, nak. Lalu ibu berusaha mencari pinjaman ke orang
lain. Tetapi tetap sama juga. Tidak dapat pinjaman, tapi dapat hinaan. Akhirnya
ibu ke rumah Bu Carik. Dengan sukarela Bu Carik langsung meminjami ibu uang.
Jadi begitu nak ceritanya.” Terang ibu.
“Sampai segitunya ibu nyariin uang buat Putri. Terimakasih ya, bu…” Kataku
sembari mencium kening ibu.
“Iya, nak. Tapi kamu jangan hanya berterimakasih ke ibu. Tetapi
berterimakasihlah kepada Allah karena Allah yang merencanakan semua ini dan
Allah-lah yang memberi jalan solusi dari semua masalah ini. Dan juga
berterimakasihlah juga kepada Bu Carik.” Kata ibu dengan rendah hati.
“Iya, bu.”

Akhirnya aku dapat bersekolah dengan naik sepeda. Terima kasih ibuku sayang.
Pengorbananmu tidak akah pernah aku lupakan. Perjuanganmu sebagai seorang
ibu sangatlah luar biasa. Perjuanganmu tidaklah akan berakhir sia-sia ibuku
sayang.

Anda mungkin juga menyukai