Anda di halaman 1dari 3

NAMA : DEVI MEILANI AYU

KELAS : XI MIPA 3
ABSEN : 12
MAPEL : BAHASA INDONESIA

DEWASA TANPA IBU

Namaku Salma Noni Ramadhani, anak kedua dari Ibuku dan anak tunggal dari
ayahku. Aku memiliki satu kakak ia sudah besar dan sudah bekerja, kakak
membantu melanjutkan bekngkel punya kakung. Kita tinggal ditempat yang berbeda,
kakak tinggal di Ungaran bersama nenek dan aku tinggal di Semarang tepatnya di
Pedurungan dengan keluarga baru Ayah ya aku satu rumah dengan ibu sambung,
rasa sedih sudah menjadi makanan sehari-hari tetapi disisi lain aku merasa bahagia
karna Ayah telah menemukan temen hidup untuk menemani ayah dimasa tua nya
nanti.

Pada tahun 2014 saat aku umur 8 tahun tepat duduk dibangku kelas lima
masih menempuh pendidikan dasar di SD Pedurungan Kidul 02. Ibu memiliki
penyakit kanker servik stadium akhir, perut ibu besar dan badan ibu kurus. Dulu aku
tidak paham bahwa ibu mengidap penyakit yang serius. Ibu dirawat

Bulan Februari ibu dikabarkan kritis dirumah Ungaran, aku dan ayah dirumah
pedurungan karena persiapan untuk berangkat sekolah. Mendengar kabar itu ayah
langsung lemas dan kami berdua bergegas ke ungaran untuk mengecek kedaan ibu.
Sesampai dirumah Ungaran ayah dan aku langsung masuk rumah dan ternyata ibu
telah tiada secepat itu ibu meninggalkan kita semua. Waktu itu aku tidak tau apa-apa
hanya diberitau bahwa ibu cuman tidur sebentar, aku tunggu dikamar depan sampai
ibu selesai dimandikan. Perasaan bingung menyelimuti pikiranku melihat ayah
tergeletak lemas dan sedikit mengeluarkan air mata ingin sekali aku memeluk ayah
dan bertanya apa yang terjadi sampai ayah menangis begini, tetapi kuurungkan niat
itu. kami semua siap siap pergi ke makam.

Sesampainya di makam, teman-teman serta beberapa guru sekolahku datang satu


persatu dan menyambutku dengan pelukan hangat. Setelah proses pemakaman
selesai kami semua kembali kerumah dengan suasana berduka.

Hari demi hari sudah ku lewati, betapa dipaksa dewasanya aku oleh keadaan, aku
yang sudah diharuskan menjadi anak yang teguh, kuat, dan tegar. Untuk menjalani
hari demi hari setelah ibu meninggalkan kita aku selalu mencuci baju, menyetrika,
menjemur baju, menyapu dan membersihkan rumah semua saya lakukan sendiri
dan selalu mandiri.

Tahun demi tahun sudah keluargaku lewati, aku sudah masuk pendidikan Sekolah
Menengah atas (SMA) hari berat pun sudah terasa dengan kondisi keuangan
keluarga yang sedang turun tidak seperti dulu lagi. Pahamnya memiliki tabungan
dan keuangan sendiri. Memiliki rasa kesepian dan terasa hidup sendiri diposisi ini
memiliki rasa rindu terhadap orang tua dan masa-masa kecil yang ingin sekali
diulang kembali.
Rasa kehilangan dan ingin menangis sejadi-jadinya mulai kurasakan sekarang, ini
adalah tingkat kesedihan yang paling sedih dan butuh ditenangkan. Kehilangan
memang tidak permah menyenangkan, puncak patah hati seorang anak adalah saat
ditinggal orang tuanya pergi untuk selamanya dan tidak akan pernah kembali lagi.
Banyak hal-hal yang baru aku tahu dari ditinggalkan salah satunya adalah melihat
orang terdekat kita juga menangis kehilangan.

Senin, 13 November 2022

Keluarga besar berkumpul dirumah nenek di Ungaran banyak sekali yang datang
ada keluarga dari ayah, keluarga dari ibu, ponakan-ponakan, dan cucu-cucu.
Ditengah keseruan acara berlangsung aku tiba-tiba merindukan ibu

“andai ibu disini pasti saat ini ibu sedang duduk disebelahku.” Batinku.

Menahan nangis ditengah keramaian cukup berat bagiku, beberapa menit kemudian
aku sudah tidak tahan berpura-pura tegar, aku akhirnya menangis didepan keluarga-
keluarga, aku ditenangkan oleh ayah dan saudara saudara lainnya. Kami sekeluarga
bergantian menukarkan cerita tentang ibu kesedihan, kesan, kalimat yang diingat,
sampai harapan-harapan yang terpaksa harus dinisankan.

Menangis didepan banyak orang memang sangat canggung, sejak kecil aku
diajarkan untuk tidak boleh menangis dan selalu kuat, tabah, ikhlas ketika menerima
cobaan. Yaaa, seperti itulah didikan orang tuaku.
Tapi akhirnya aku menangis didepan banyak orang kemudian bercerita tentang
kesedihan yang sedang aku rasakan, beban dalam dada sudah mulai agak surut.

“Dulu ketika malam, ibu sering bertanya besok masak apa ya?”

“Biasanya kalo jam segini, ibu sudah bangun dan mulai masak”

Ingatan-ingatan akan kenangan mulai kami lampiaskan, kami menjadi terbiasa


bercerita tentang kehilangan meski dengan air mata, namun kami lega saat
bercerita.

Diawal momen aku sadar bahwa aku kehilangan sosok ibu malaikat hidupku, aku
sangat lemas meski secara fisik tidak dapat mengerjakan apa-apa, namun secara
mental aku sudah habis dan butuh istirahat. Beban setelah ditinggalkan ibu semakin
berat, aku harus memikirkan masa depan

“bagaimana masa depanku nanti tanpa seorang ibu?”

“besok saat aku wisuda memakai toga ibu tidak ada disana ya?”

Berbagai omongan sedih diotakku mulai muncul satu persatu.

Ayah kini menikah lagi dan memiliki keluarga baru, ya aku tinggal serumah bersama
ibu tiri. Aku merasa ibu tiri sangat baik padaku, paling tidak masih menyisakan
sedikit lauk dan nasi untukku, setelah lelah seharian jadi tidak perlu masak sendiri.
Jadi, hubungan dengan ibu tiri masih terhitung cukup harmonis.

Aku belajar dengan keras dan akhirnya berhasil dalam ujian masuk perguruan tinggi.
Akan tetapi, karena kondisi ekonomi keluargaku sedang tidak baik, ayah tidak
memiliki cukup dana untuk membayar uang kuliah. Ketika sedang diliputi
kecemasan, ayah menyerahkan sebuah kotak kecil padaku dan memberitahukan
bahwa sebelum ibu meninggal dunia dan berpesan agar menyerahkan kotak ini
kepadaku pada saat menemui kondisiku yang paling sulit.
Aku menerima kotak yang ayah berikan, ketika aku membuka kotak itu didalam nya
ada setumpuk uang dengan selembar surat disampingnya. Dalam surat itu tertulis
pesan ibu.

“Anakku, kali itu ketika ibu pergi ke kota, sebetulnya ibu pergi memeriksakan
kesehatan tubuh ibu. Setelah dilakukan pemeriksaan, barulah ibu tahu kalau ibu
terkena kanker dan sudah stadium akhir. Saat itu ibu hampir-hampir tidak bisa
berdiri lagi. Ibu bukan khawatir akan diri ibu. Akan tetapi, ibu khawatir akan dirimu.
Ibu berpikir jika ibu sudah tiada, bagaimana dengan dirimu nanti? Kamu masih kecil,
bagaimana kamu bisa melanjutkan hidup? Bagaimana kamu menghadapi masa
depanmu?
Anakku, walau ibu tidak pernah bertanya kepadamu, tetapi di dalam hati ibu
sebetulnya tetap mengkhawatirkan dirimu.
Ketika kamu pulang sekolah dengan tubuh lelah dan perut lapar, ibu membiarkanmu
memasak sendiri. Ibu berharap agar sesudah ibu tiada nanti, kamu bisa menjaga
diri. Dulu ibu mengerjakan semuanya untukmu, tetapi sesudah ibu tiada nanti, siapa
lagi yang akan menjagamu? Segala sesuatu di kemudian hari harus bergantung
pada dirimu sendiri.
Ibu berlaku buruk padamu, bahkan tidak memasakkan nasi untukmu dan semua
pekerjaan harus kamu lakukan sendiri walau kamu masih dini. Dengan demikian,
ketika nanti ayahmu menikah kembali, kamu akan berpikir bahwa ibu baru akan
lebih baik dari ibu sehingga kalian akan dapat berhubungan dengan baik dan hari-
harimu akan lebih mudah dilalui.
Dalam kotak ini ada uang 50jt yang diberikan nenek kepada ibu. Sebetulnya ini
adalah uang untuk ibu berobat, tetapi ibu tidak rela menggunakannya. Ibu tinggalkan
uang ini untukmu dengan harapan ketika nanti kamu masuk perguruan tinggi dan
membutuhkan uang, kamu dapat menggunakannya. Sekarang, ibu meminta bantuan
ayah untuk menyampaikannya kepadamu” isi kertas itu.

Banjir air mata menyelimuti seluruh mukaku, rasa sesak didadaku mulai muncul.
Ingin sekali memeluk ibu seerat-eratnya. Setelah membaca pesan dari ibu aku
langsung memeluk ayah sambil menangis didekapnya.

Anda mungkin juga menyukai