Anda di halaman 1dari 3

Nama : Marieta Geren Herin

Kelas : Xl Mia²

Tugas : Bahasa Indonesia (membuat cerpen)

"HARTA BERHARGAKU HILANG SATU PER SATU"

Namaku Lyora, aku terlahir dari sebuah keluarga yang begitu sederhana, yang mempunyai sebuah
rumah berdinding daun lontar dan beratapkan ilalang, yah itulah gubuk kecil kami untuk berteduh disaat
panas terik dan disaat hujan badai. Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak sulungku
bernama Alex dan kakak kedua ku bernama Asthy. Kedua kakaku ini sudah bersekolah, sedangkan aku
bersama Ayah dan Ibu pergi berkebun. Setiap pulang sekolah mereka langsung menyampari kami ke
Kebun. Meskipun keluarga kami begitu sederhana, tapi keluarga kami tetap rukun, tidak ada kata kasar
yang dituturkan oleh Ayah dan Ibu ketika kami melakukan kesalahan, Ayah selalu berkata, "apapun
masalahnya selesaikan dengan cara baik-baik, tidak boleh berkata kasar apalagi sampai memukul, itu
tidak baik". Kami bertiga hanya tertunduk diam mendengar ucapan Ayah.

Pada suatu hari cobaan datang menghampiri keluarga kami. Kebun yang kami olah diambil oleh pemilik
tanah itu, padahal kebun itu satu-satunya harapan keluarga kami. Sejak saat itu Ayah dengan susah
payah banting tulang untuk menghidupi keluarga kami. Aku sedikit membantu Ayah dengan mencuci
pakaian di rumah orang lain agar aku diberikan upah. Meskipun aku adalah anak kecil yang masih di
bawah umur, tapi aku harus tetap membantu Ayah, aku tidak mau kalau Ayah hanya berjuang sendiri.

Ketika langit sore mulai berwarna jingga untuk menemui sang malam, saat itu juga keramaian di rumah
ku berubah menjadi suasana yang begitu hening. Deraian air mata keluar tanpa tahu harus berkata apa.
Kakak Ku Asthy meninggal dunia. Kami sekeluarga tak sempat ikhlas karena tanpa ada sakit sedikitpun,
tanpa ada tanda apapun bahkan tidak ada kata pamit yang dia ucapkan pada kami, Orang-orang yang
sangat mencintainya. Namun kami bisa apa, kami hanya bisa pasrah dan mencoba ikhlas dengan
kepergiannya.

Setelah kejadian itu Ayah dan Ibu memutuskan untuk pergi merantau, aku tidak mau kalau Ayah dan Ibu
harus meninggalkan aku dan Ka Alex sendirian. Tapi aku sadar bahwa untuk bangkit kembali dari rasa
sakit yang begitu dalam Ayah dan Ibu harus keluar agar tidak terlarut dalam kepedihan ini. Sebelum
Ayah dan Ibu pergi, mereka membawa kami pergi ke sebuah kampung yang jauh dari kampung halaman
kami untuk tinggal sementara bersama Kakek dan Nenek disana. Ketika sampai di rumah kakek dan
nenek, Ayah dan ibu perpesan, "Jadilah anak yang baik, jangan nakal, ingat kakek dan nenek sudah tua
kalian harus membantu mereka". Setelah berkata demikian, aku langsung memeluk mereka, "Aku
sangat menyayangi kalian", kataku sambil menangis.

Menjelang satu bulan setelah Ayah dan ibu pergi merantau kak Alex berhenti sekolah. Saat itu kakek dan
nenek tidak mempunyai kebun, karena itu kakek dan nenek selalu membersihkan kebun orang lain agar
mendapatkan upah. Terkadang aku dan kakak juga ikut membantu supaya dapat lebih banyak upah.
Ketika aku berusia delapan tahun kakek dana nenek menyuruhku untuk sekolah, awalnya aku tidak mau
karena umurku sudah lebih kalau untuk masuk sekolah SD. Tapi setelah aku pikir tidak ada salahnya juga
kalau aku sekolah. Akhirnya aku bilang ke kakek dan nenek kalau aku mau masuk sekolah.

Fajar pagi kembali menyapa, Burung-burung bernyanyi indah, Udara pagi yang begitu segar membuatku
semangat untuk menjalani hari yang baru ini. Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Aku
sangat malu karena aku adalah murid yang lebih tua di dalam kelas itu, aku selalu menyendiri. Tapi pada
suatu hari ketika akau sedang duduk sendiri ada seorang ibu guru menghampiriku lalu bertanya
kepadaku, "kenapa kamu menyendiri ?", lalu aku menjawab "aku malu Bu, karena aaku adalah muris
yang paling tua di dalam kelas", kemudian ibu itu berkata kepadaku "sayang entah kamu tua ataupun
muda kamu tetaplah seorang murid, dan semua murid yang datang ke sekolah itu sama-sama mencari
ilmu, jadi berhenti untuk berpikir begitu", ucap Ibu itu dengan lembut. Kata-kata ibu guru tadi
membuatku sadar, akupun mulai berjuang untuk menjadi bintang kelas.

Tahun demi tahun berlalu, tak terasa sudah lama sekali aku dan kakak tinggal bersama kakek dan nenek.
Pada tanggal 13 Agustus 2014 luka yang belum pulih kini kembali terluka lagi. Kakek menutup mata
untuk terakhir kalinya, badan yang dulu begitu kuat untuk melangkah, kini hanya terbaring kaku, tangan
yang dulu rajin bekerja kini hanya terkatup rapat di atas dada. Air mata menetes ketika mengingat
semua perjuangan kakek untuk kami. Kata Nenek, selama ini kakek menyembunyikan sakitnya dari aku
dan kakak. Sakit sekali melihat kakek pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya, lebih sakit lagi
saat kepergian kakek, ayah dan ibu tidak sempat untuk pulang dan berpamitan untuk terakhir kalinya
dengan kakek. Kakek kami tidak akan pernah melupakan semua pengorbananmu untuk kami. Kami
sangat menyayangimu Kakek, tapi kami bisa apa saat tubuh kakek terbaring kaku seperti ini, kami hanya
bisa pasrah dan ikhlas atas kepergianmu.

Setelah kepergian Kakek, kakak meminta ijin kepada nenek untuk k pergi merantau menyusuri ayah dan
ibu, nenek tidak mengijinkan namun kakak bersikeras untuk pergi, akhirnya dengan terpaksa
mengijinkan dia pergi. Kini hanya tersisa aku dan nenek saja. Keluar rumah pun jarang bagiku kecuali
pergi ke sekolah. Suatu saat aku mendengar omongan tetangga bahwa ayah dan ibuku berpisah, aku
tidak percaya itu. Karena sudah terlalu sesak mendengar hal itu, aku berlari pulang ke rumah dan
bertanya pada nenek, "Nek apa benar kata orang-orang kalau ayah dan ibu sudah berpisah?" kataku
dengan tergesa-gesa. Nenek menangis dan memelukku. Dari pelukan dan air mata nenek itu, aku
menyadari bahwa ayah dan ibuku benar-benar berpisah. Aku tahu kalau aku masih terlalu kecil untuk
tahu semua hal ini, tapi aku harus bagaimana agar orang tuaku tidak berpisah. Sejak saat itu aku merasa
kalau aku benar-benar kehilangan kasih sayang kedua orang tuaku.

Setelah semuanya yang itu hari-hari yang aku lewati terasa begitu buruk. Ketika di sekolah aku tidak
fokus pada apa yang guru ajarkan, dan saat ditanya oleh guru tetang materi yang tadi diajarkan, aku
selalu diam karena tidak tahu apa-apa. Aku sering menangis sendiri, suatu hari aku dipanggil Kepala
Sekolah karena masalahku ini. Kepala Sekolah bertanya kepadaku, "apa masalahmu nak?", aku hanya
tertunduk dan menangis mendengar pertanyaan itu. Aku tidak bisa menjawab, rasanya mulutku tidak
bisa sanggup untuk menceritakan seberapa sakitnya diriku. Karena terlalu banyak pikiran dan nenek juga
punya penyakit bawaan, nenek sampai sakit dan drop sampai masuk ke Rumah sakit. Sejak saat itu aku
sadar bahwa aku tidak boleh membuat nenek pikiran lagi, karena hanya nenek satu-satunya orang yang
penting bagiku sekarang. Menduduki bangku kelas enam SD, dan hendak mengikuti ujian. Aku tidak
diperbolehkan untuk mengikuti ujian karena Uang sekolah ku belum lunas. Akhirnya aku dan nene
memutuskan untuk membuat emping jagung, Nenek yang membuatnya dan aku yang akan menjualnya.
Hasil penjualan tersebut aku pakai untuk membayar uang sekolahku, dan akupun diijinkan untuk
mengikuti ujian susulan. Aku lulus dengan nilai terbaik. Ketika masuk SMP aku berusaha mengejar
beasiswa, karena nenekku tidak mampu untuk menyekolahkan ku. Akhirnya keinginan ku mendapat
beasiswa terwujud, aku merasa sangat senang bisa sekolah seperti teman-teman yang lain.

Hari terus berlalu semuanya itu aku jalani dengan begitu bahagia, sampai Tuhan mengambil satu-
satunya kebahagiaanku. Nenek ku, orang yang membuat ku bertahan sampai saat ini telah dipanggil
kembali oleh Tuhan ke hadiratnya. Rasanya aku tidak bisa lagi untuk hidup. Orang-orang yang begitu aku
sayangi telah pergi meninggalkan aku sendiri, kini aku hanya sebatang kara. Saat itu keadaan ku begitu
terpuruk. Sampai saat om dan tante menjemputku untuk tinggal bersama mereka. Aku sangat takut
karena aku belum mengenal mereka, tapi aku berusaha untuk beradaptasi dengan mereka.

Singkat cerita aku menyelesaikan semua pendidikanku dan sekarang aku adalah seorang sarjana. Aku
sangat bersyukur kepada Tuhan, karena telah menghadirkan orang-orang yang sangat menyayangiku
meskipun tidak menemaniku sampai akhir, aku juga berterima kasih kepada Tuhan karena, sudah
menghadirkan Om dan Tante di saat kondisi ku sedang terpuruk. Aku juga berterima kasih kepada diriku
sendiri, karena sudah kuat dalam menghadapi cobaan yang begitu berat.

Disini pesan aku untuk kalian yang membaca cerpen ini, tetaplah berjuang apapun itu cobaannya,
karena Tuhan tidak akan mberi cobaan diluar batas kemampuan manusia. Dan memang benar kata
orang-orang bahwa tetaplah berjuang karena perjuangan yang keras tidak akan pernah menghianati
hasilnya. Tetaplah berjuang, jika lelah istirahat dulu, kemudian lanjutkan lagi. Kita tidak boleh menyerah
karena kesuksesan ada di tangan kita sendiri. Berjuang dan berdoa itulah kunci kesuksesan kita.

Larantuka, 11 Agustus 2022

Anda mungkin juga menyukai