Anda di halaman 1dari 3

DARI SAMARINDA MENUJU DEWASA

Oleh : Raisya Putri Rafaindra

Saat aku berusia 4 tahun,ayahku dikirim bekerja ke kantornya yang berada di


Samarinda dari cabang Jakarta.Saat itu aku tidak ingat bagaimana perjalanan ku
kesana,menuju bandara,naik pesawat,menuju rumah baru bagai sebuah mimpi.
Sebuah rumah dengan interior minimalis dan taman yang cantik adalah tempat
tinggal baruku disana. Aku dan keluargaku terus berusaha beradaptasi disana,sampai
akhirnyaa aku masuk TK,di hari pertama ku aku diantar bunda sampai depan kelas
bahkan bunda menungguku di halaman TK.

Sebelum aku masuk TK,aku adalah anak yang sangat manja pada bunda,duduk
dimobil harus dipangku,sepatu harus dipakaikan,dan banyak hal manja lainnya.
Namun saat hari pertama masuk ke kelas pertama ku di TK aku melihat teman-
temanku yang berani maju menceritakan diri mereka dan mereka berkata bahwa
mereka tidak ditemani orang tua mereka sampai pulang sekolah. Besok paginya aku
pun tetap diantar bunda,namun aku menghentikannya didepan gerbang

“ Bunda jangan temenin masuk,Bunda pulang aja.” Ucapku bertolak pinggang.

“ Emangnya bisa? Nanti tiba-tiba nangis nyariin bunda.” Jawab Bunda.

“ Nggak,kata Bu guru ga boleh.” Lantangku.

Akhirnya aku pun pergi masuk kelas meninggalkan bunda.

Setelah pengambilan rapor pertama,Bu guru mengatakan bahwa aku anak yang
cerewet,namun aku memiliki hambatan dalam belajar membaca selama di sekolah.
Bunda pun mengajariku membaca dirumah,namun aku tidak bisa fokus belajar kalau
belajar bersama bunda. Kebetulan adik bunda yang baru lulus SMA di Jkarta akan
dating ke Samarinda, jadi Bunda membuatnya jadi guru les membaca ku. Diluar
dugaan,justru aku bisa fokus dan bisa cepat bisa membaca saat aku belajar
membaca,aku bahkan bisa membaca lebih cepat dari teman lainnya.
Hari-hari berikutnya,aku senang menjelajah komplek ku bersama abangku setiap
pulang sekolah. Komplek perumahanku sangat besar,dan masih banyak tanah kosong
yang belum dibangun. Kami suka mengambil buah di komplek bagian atas,komplek
itu seperti bukit karena secara posisi berada diatas rumahku. Aku dan abangku suka
memotong jalan melalui tebing yang ada di sebuah tanah kosong,di tebingnya ada
tanah yang berbentuk seperti tangga, meski berbahaya kami merasa hal tersebut
sangat menyenangkan.

Kami merasa bahwa pohon itu adalah markas kami,setiap hari kami kesana. Kami
mulai memperhatikan bahwa ada seorang Nenek pemulung yang tinggal diseberang
pohon ceri,dilahan kosong dengan gubuk kecil,tentu ia tinggal disana secara illegal.
Suatu hari ia berhenti didepan kami dan berbicara pada abangku

“ Bang,adeknya buat nenek boleh? Biar Nenek ga sendirian.” Ucap si Nenek

Karena takut,abangku langsung menarikku pulang. Saat pulang kami meliahat seokar
ular yang bisa berbicara,kami langsung lari dan memberi tahu orang dewasa. Mereka
memang tidak percaya,tapi mereka khawatir dan melarang kami kesana lagi. Kami
pun hanya bermain sepeda didepan rumah dan bermain bersama om.

Karena beberapa alsan,om ku pulang ke Jakarta,dan penggantinya adalah seorang


ART,ia orang yang cerewet walau tak secerewet diriku. Ia sempat beberapa kali
menangis karena perkataanku yang menyakitinya,walau kutahu ku salah aku sering
mengulanginya,dan aku sering dimarahi karena itu.

Aku sering dihukum karena kenakalanku,tentu abangku juga selalu ambil peran di
kenakalanku. Suatu sore abangku dan aku dihukum dikunci diluar rumah sampai
ayah pulang kerja. Tapi kami justru senang karena kami jadi bisa main kerumah
tetanggaku bermain bersama anak yang seumuran kami. Aku sedang bermain kuda-
kudaan bersama anak yang lebih kecil,namun tiba-tiba abangku ikut naik ke atasku
dan tanganku pun tak kuat menahan , aku merasa tanganku patah hinnga aku sangat
kesakitan dan berteriak sekencang-kencangnya sambil menangis sampai akhirnya
dibawa pulang.
“Mau main bisbol ga?” Ajak abangku sambal memegang gagang pengki dan bola
kasti,tanganku sudah sembuh jadi aku berkata iya dan kami bermain dihalaman
depan,saat itu suasana benar-benar sepi dan kami bermain. Saat aku melempat
bola,abangku berhasil memukulnya namun itu tepat kearah wajahku,hidungku mati
rasa,kepalaku pusing tak karuan dan aku menangis sambal berteriak,abangku yang
panik langsung memanggil ayahku dan akupun digendong kedalam. Abangku habs-
habisan diomeli bunda dan ayahku membantuku mengelap darah di hidungku yang
sampai mewarnai satu bajuku,ya lagi-lagi kami membaut masalah.

Aku mengajak abangku bermain balap sepeda untuk berbaikan,kami pun bermain
balap sepeda. Aku berada di depan abang dengan mengayuh sekencang mungkin

“udah gede kok kalah sama yang kecil” ejekku sambal menoleh kebelakang

Rupanya aku kehilangan kesimbangan dan remku blong,aku terpental dan sepeda ku
terlihat hancur. Lagi-lagi aku pulang dengan terluka lagi,dan untuk kesekian kalinya
abangku diomeli habis-habisan oleh kedua orang tuaku,bahkan ART ku juga ikut
mengomeliku.

Aku benar benar merasa buruk,aku menyesal dan tiba-tiba Bunda bilang bahwa
Ayah akan pindah kerja lagi ke Jakarta. Sebelum ke Jakarta,bunda menasihatiku
untuk berhenti melakukan hal-hal seperti itu lagi walau dia tahu aku memang masih
anak-anak,aku juga menyadarinya dan aku berjanji untuk menjadi lebih baik. Saat di
Jakarta,aku cenderung menjaga sikap,di Jakarta aku sudah masuk SD dan aku selau
belajar dengan giat untuk mengalihkanku dari bermain dengan hal berbahaya,dan
akupun rangking 1. Aku sadar meski aku masih seorang anak-anak,aku berhasil
menjadi lebih dewasa setelah melewati berbagai petualangan di Samarinda,tentu itu
akan menjadi kenangan masa kecil tersendiri bagiku.

Anda mungkin juga menyukai