Anda di halaman 1dari 3

Belajar dari yang Tak Pernah Diajar

Pagi itu aku sedang sarapan dengan sangat tenang, tiba-tiba tersendak karena aku melihat jam sekarang pukul 7. Aku
menggowes sepedaku. Sialnya gerbang sekolahku sudah ditutup, dan dengan wajah kesal pak satpam berkata kepadaku di balik
pintu gerbang.
Lalu dibukakannya pintu gerbang ini, tapi aku bersama murid lain dihukum berdiri di lapangan basket hingga jam pertama
selesai. Aku melirik pos satpam, tempat di mana laki-laki itu setiap pagi datang dan juga bekerja sampai suatu sore hari tiba.
Namanya Pak Asep, tapi anak-anak sering memanggilnya dengan "Mang Oray", aku tak tahu dari siapa orang pertama pencetus
panggilan tersebut pada Pak Asep. Dia memang sangat popular di SMA Negeri 1 karena dekat dan ramah dengan murid-murid,
khususnya kepada murid laki-laki.
Lama setelah itu, aku makin akrab dengan satpam yang tersebut, kawan-kawanku selalu memanggilnya Mang Oray. Pernah
suatu saat dia bercerita kepadaku dan juga kawan-kawanku tentang dia sewaktu seusia kami.
"Dulu, Mamang juga pernah sekolah seperti kalian. Tapi, mamang tidak dapat melanjutkannya hingga selesai, karena orang tua
mamang yang tidak bisa membiayainya," imbuh dia dengan senyum untuk menutupi.
"Kalian harus bisa memanfaatkan kesempatan mengais ilmu di sini, makanya mamang suka sangat marah pada kalian yang suka
terlambat masuk," sambungnya.
Dia kemudian masih melanjutkan ceritanya. Ternyata di dalam rumahnya dia menyediakan perpustakaan mini untuk para
tetangganya yang ingin sekolah, tapi terkendala ekonomi keluarga. Aku pun menjadi sangat kagum dengan berbagai perjuangan
Pak Asep. Di tengah biaya hidup yang kini makin susah, kulit kian menjadi keriput serta rambut kian memutih, dia masih bisa
selalu membantu orang-orang di sekitarnya. Terima kasih, Pak

Meminta Lebih Baik dari Mencuri

Hari ini, aku pulang kuliah lebih cepat dari biasanya, dikarenakan dosen mata kuliah di jam terakhir berhalangan masuk. Aku
pun bergegas pulang, sekitar pukul 15.00 aku tiba di rumah. Namun, aku melihat ibu seperti orang kebingungan yang sedang
mencari sesuatu. Ternyata ibu kehilangan uang kembalian belanjaannya.
Aku pun membantunya, tapi hasilnya pun nihil. Ibu pun pasrah dan aku keluar rumah karena lupa ada yang harus dibeli. Di jalan
dekat warnet, aku bertemu dengan adikku.
"De, kamu main di sini emang ibu kasih uang ke kamu? Kan kamu lagi dihukum ga dikasih uang jajan hari ini?" tanyaku dengan
muka yakin kalo dia pasti mengambil uang ibu. "Oh, kaka tau kamu ambil uang ibu yang di atas meja, ya!?" sambungku.
"I..ii..iya kak, aku ambil uang ibu, tapi cuma aku pakai 5 ribu doang kok, kak," Jawab dia dengan ketakutan.
"Ayo naik ke atas motor, nanti jelasin sama ibu," ucapku sembari membawanya pulang.
Sesampainya di rumah, dia langsung jujur dan menceritakan semuanya kepada ibu. Aku dan ibu langsung menasihatinya sebaik
mungkin.
"De, ibu lebih menghargai kamu meminta ke ibu, sekalipun kamu sedang dihukum. Dari pada mencuri seperti ini kan tidak
baik," kata ibu sambil mengelus rambut adikku.
Dia hanya tertunduk malu dengan rasa bersalahnya yang terpampang jelas dari wajahnya. Setalah dinasihati, adikku mengakui
kesalahannya, meminta maaf kepada ibu dan aku, serta benar-benar berjanji untuk tidak mengulanginya lagi di kemudian hari.

Puisi Kemerdekaan 1:
Karawang Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi


Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami


Terbayang kami maju dan berdegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu


Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa


Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa


Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa

Kami cuma tulang-tulang berserakan


Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan

Atau tidak untuk apa-apa


Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat

Berilah kami arti


Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian

Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

Karya: Chairil Anwar

Puisi Kemerdekaan 2:
Hari Kemerdekaan

Akhirnya tak terlawan olehku


Tumpah di mataku, di mata semua sahabat-sahabatku
Ke hati kita semua
Bendera-bendera dan bendera-bendera
Bendera kebangsaanku
Aku menyerah kepada kebanggaan lembut
Tergenggam satu hal dan kukenal

Tanah dimana kuberpijak berderak


Awan bertebaran saling memburu
Angin meniupkan kehangatan bertanah air
Semat getir yang menikam berkali
Makin samar
Mencapai puncak ke pecahnya bunga api
Pecahya kehidupan kegirangan

Menjelang subuh aku sendiri


Jauh dari tumpahan keriangan di lembah
Memandangi tepian laut
Tetapi aku menggenggam yang lebih berharga
Dalam kelam kuat wajah kebangsaanku
Makin bercahaya makin bercahaya
Dan fajar mulai kemerahan

Karya: Sapardi Djoko Damono

Puisi Kemerdekaan 3:
Jakarta 17 Agustus 45 Dinihari

Sederhana dan murni


Impian remaja
Hikmah kehidupan
berNusa
berBangsa
berBahasa
Kewajaran napas
dan degub jantung
Keserasian beralam
dan bertujuan
Lama didambakan
menjadi kenyataan
wajar, bebas
seperti embun
seperti sinar matahari
menerangi bumi
di hari pagi
Kemanusiaan
Indonesia Merdeka
17 Agustus 1945

Karya: Sitor Situmorang

Anda mungkin juga menyukai