Anda di halaman 1dari 4

Narasi Luka

Oleh : Nezhava Eka

Malam ini dingin, dan aku memilih lagu ‘Rehat’ milik Kunto Aji untuk memelukku dengan
liriknya. Aku terbaring lelah dengan sebuah guling dipelukanku, sambil memejamkan mataku yang
terasa perih dan sedikit bengkak. Hal ini sudah seperti rutinitas yang ku lakukan hampir setiap malam.
Mendengarkan lagu setelah menangisi apa yang terjadi hari ini. Seperti remaja pada umumnya, aku
hanya ingin beristirahat dari hiruk pikuk pikiran, dan hari yang sedang membutuhkan jeda untuk
sesaat. Sebelum aku melanjutkan ceritaku, izinkan aku untuk memperkenalkan diri.

Aku Janeva Meera Diphrajesa, biasa dipanggil Eva. Aku berumur 16 tahun dan aku merupakan
anak sulung dari tiga bersaudara. Aku sekarang duduk di bangku SMA, salah satu adikku yang
bernama Alya masih menduduki bangku SMP, dan adikku yang bernama Adrian masih menduduki
bangku SD. Aku bisa dibilang remaja yang tidak banyak bicara, aku cenderung pendiam dan tidak
suka bersosialisasi. Aku tidak memiliki banyak teman, temanku dirumah hanyalah kucingku, Gumi.
Meskipun begitu, aku sering merasa kesepian karena tidak ada teman untuk curhat. Aku suka
mendengarkan lagu pop, karena aku pikir lirik dari beberapa lagu yang sudah ku dengar itu sama
seperti dengan apa yang ku alami. Aku juga suka melihat senja di tepi pantai, dan aku suka melihat
indahnya pemandangan laut. Sesuai dengan nama tengahku, Meera, yang berarti lautan.

Aku memiliki ayah bernama Wasta Sakuntala Raharja, seorang Letnan Kolonel yang memimpin
suatu batalyon. Ayahku berumur 42 tahun, tetapi tubuhnya masih bugar dan wajahnya tampan. Ia
memiliki tinggi sekitar 180 sentimeter dan berat badan yang proporsional. Ayahku sangat senang
berolahraga, karena itu tubuhnya yang sangat tegap dan kulitnya yang kencang. Ayahku memiliki
kulit sawo matang dengan kumis tipis yang membuatnya tampak manis. Rambutnya lurus dan rapi.
Ayahku memiliki kepribadian yang tegas dan penyayang. Aku juga memiliki ibu yang berparas sangat
cantik, namanya Anjani Divija atau lebih akrab disapa “Mama Jani”. Ibuku berumur tidak jauh dari
ayahku, hanya berbeda 3 tahun lebih muda. Tetapi ibuku masih terlihat muda karena rajin merawat
dirinya, rutin berolahraga, dan menjaga pola hidupnya. Ibuku memiliki kulit putih, hidung yang
mancung, dan mata berwarna coklat bulat. Rambut panjangnya terlihat halus terawat meskipun dilihat
dari kejauhan. Ibuku orangnya baik, hanya saja mudah emosi dan sedikit keras kepala. Ibuku bisa
dibilang sedikit pilih kasih dengan anak-anaknya. Terdengar mustahil, tetapi hal itu memang ku alami
sendiri.
Ayahku menjabat sebagai Letnan Kolonel di suatu batalyon tidaklah lama, hanya satu hingga dua
tahun saja. Setelah itu, ayahku akan berpindah ke batalyon lain untuk memimpin batalyon itu hingga
masanya selesai, dan itu terus dilakukan hingga ayahku pensiun. Dengan begitu pastinya aku dan
keluargaku akan selalu mengikuti kemanapun ayahku pergi bertugas. Hal itulah yang membuatku
tidak memiliki banyak teman. Hampir setiap tahunnya aku berpindah sekolah, yang pastinya setiap
tahun teman temanku juga berbeda. Alasanku malas berinteraksi dengan teman disekolahku, tentu
saja karena aku paham bahwa temanku setiap tahunnya pasti akan berganti, dan aku lelah untuk
beradaptasi lagi. Meskipun aku sulit untuk bergaul, aku memiliki kesibukan tersendiri dirumah untuk
mengisi waktu luangku. Aku sangat senang menggambar dan melukis, dan pastinya juga sambil
mendengarkan lagu dari playlist di handphone ku. Aku pernah mendapat juara lomba melukis di
beberapa sekolah saat dulu aku masih SMP. Tetapi tidak ada yang mengapresiasi pencapaianku
kecuali guruku. Kedua orang tuaku tidak ada yang tau kalau aku suka melukis, dan aku ingin menjadi
seorang pelukis terkenal. Yang orang tuaku tau hanyalah, aku seorang anak yang introvert dan tidak
memiliki bakat.

Hari ini, 7 Agustus 2020 adalah ulang tahun adikku, Alya. Mau tidak mau, aku harus ikut ke
acara makan malam dengan keluarga besar sebagai perayaan ulang tahun Alya. Malam ini aku
menggunakan dress classic sepanjang lutut berwarna coklat muda, menyesuaikan dresscode yang
sudah ditentukan oleh keluargaku. Aku duduk di tepi kasur yang ada di dalam kamar ibuku, menatap
ibuku duduk didepan kaca rias sambil menunggu ibuku selesai bersiap-siap menggunakan riasan.
“Nanti kamu harus terlihat ramah di depan semua orang, mama nggak mau lihat wajahmu
cemberut. Bikin malu saja.” ucap ibuku sambil merapikan rambutnya didepan cermin.
“Iya, Ma.” jawabku singkat sambil menatap punggung ibuku dengan malas.

Berkumpul dengan keluarga besar merupakan hal yang paling tidak ku suka. Karena akan ada
banyak pertanyaan ataupun perkataan muncul dari sepupuku yang membuatku merasa tidak nyaman.
Seperti mengkritik penampilanku, mengkritik berat badanku, dan masih banyak lagi.

Ibuku sudah siap untuk berangkat ke restoran yang sudah disewa untuk merayakan ulang tahun
adikku. Begitu juga dengan ayah, dan adik adikku. Kita semua sudah siap, dan akan menuju ke
restoran, diantar oleh supir pribadi ayahku. Aku duduk di bagian mobil yang paling belakang,
bersama si bungsu, Adrian. Suasana di mobil sangatlah sunyi, tidak ada obrolan apapun saat itu.
Hanya ada bunyi klakson dari kendaraan milik orang lain yang terdengar sampai ke dalam mobilku.
Aku menatap ke luar jendela, sambil meletakkan tanganku di dagu sebagai tumpuan, suasana kota
malam ini cukup ramai. Tak terasa 15 menit telah berlalu, dan kami semua sudah sampai di depan
salah satu restoran mewah di kotaku. Ayah dan ibuku sudah jalan lebih dulu memasuki restoran
tersebut bersama Alya. Sedangkan aku, berjalan sambil menggandeng Adrian dan ditemani oleh
beberapa ajudan yang selalu menemani kemanapun kami pergi.

Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam restoran tersebut. Saat pertama kali aku masuk, aku
sudah disambut dengan aroma beberapa makanan yang menggugah selera. Harusnya semua orang
menyukai hal tersebut, tetapi tidak denganku, karena aku tidak suka berada di keramaian. Aku
berjalan cepat menyusul orang tuaku sambil tetap menggandeng Adrian. Lalu aku duduk di sebelah
kiri ayahku, dengan Adrian di sebelah kiri ku. Alya tampak senang dan menikmati acara malam ini, ia
berjalan anggun ke arah tempat tart diletakkan dengan kain berwarna coklat muda yang terbalut di
tubuh cantiknya itu. Saat semua orang sedang memperhatikan Alya ketika ia tiup lilin, aku tidak
terlalu menghiraukannya, aku hanya memperhatikan sekitarku. Restoran mewah dengan interiornya
yang sangat kental dengan suasana Eropa nya. Dengan furniture kayu yang disusun dengan cantik,
lampu gantung berwarna emas yang memberikan kesan mewah, dan lilin kecil yang ada di setiap meja
membuat makan malam di restoran ini seperti layaknya sedang makan malam di Perancis. Acara tiup
lilin dan potong kue pun selesai, semua orang kembali duduk di tempat yang telah disediakan setelah
sibuk memotret Alya. Hidangan yang telah dipesan sudah mulai berdatangan di setiap meja para
tamu. Semua orang menikmati makan malam pada hari itu, kecuali aku. Aku merasa kesal setelah
melihat ibuku yang lebih sibuk kepada Alya, sesekali menyuapi Alya, lalu mengecup keningnya. Ini
memang hari spesial untuk Alya, tetapi aku juga ingin seperti dia, selalu disayang oleh siapapun yang
ada disekitarnya. Jujur, aku iri.

Sekarang pukul 11 malam, dan aku sudah berada di kamarku. Aku memandangi langit-langit di
kamarku sambil mengusap lembut leher kucingku di kasur. Rasanya aku baru saja memejamkan mata
sebentar, namun saat aku membuka mata, ternyata ini sudah pagi. Ya, itu artinya semalam aku tidak
sengaja tertidur bersama Gumi, kucing peliharaan ku. Hari ini adalah hari Minggu, waktu
menunjukkan pukul enam tepat. Aku beranjak dari kasurku, lalu berjalan ke arah jendela yang ada di
kamarku. Aku sedang berdiri di depan jendelaku, melihat suasana pagi itu. Pemandangan jendela
kamarku langsung menghadap ke arah taman kecil di samping rumah, dimana disitu aku bisa
mendapatkan ketenangan. Udara pagi hari yang sejuk, melihat banyak kupu-kupu beterbangan, dan
embun pagi yang menempel pada daun-daun.

9 Agustus 2020.

Pagi ini diawali dengan aku yang terburu-buru memakai seragam sekolah ku, sambil berlari
menenteng tas ransel ku menuju ke mobil. Aku terlambat bangun hari ini, karena semalam aku
melukis hingga larut malam. Dan benar saja, aku sampai di sekolah saat bel sudah bunyi tanda
pelajaran akan segera di mulai. Ini bukan pertama kalinya aku terlambat masuk ke sekolah karena
bangun kesiangan. Aku sudah pernah terlambat masuk sekolah beberapa kali. Aku masih terus berlari
menuju ke kelasku dengan nafas yang tidak karuan. Hingga sampai tepat di depan pintu kelas, aku
mengatur nafas ku sebentar, merapikan rambutku yang berantakan terkena angin. Aku mengetuk pintu
kelas lalu masuk ke dalam kelas dengan langkah kaki yang pelan. Saat aku sudah memasuki kelas,
seketika perhatian seluruh orang terpusat kepadaku. Ada yang memandangku dengan sinis, dan ada
pula yang memandangku seperti seolah-olah memberi tau bahwa ia tidak menyukaiku. Aku bergegas
menghampiri guruku lalu mencium punggung tangannya perlahan, sambil meminta maaf atas
keterlambatan ku di pagi itu. Aku berjalan ke tempat dudukku sambil menundukkan kepala. Rasa
malu pasti ada, tetapi hal tersebut ku lakukan semata-mata karena aku tidak mau melakukan kontak
mata dengan mereka yang melihat ke arahku. Aku tau, mereka pasti akan membicarakan ku di jam
istirahat nanti.

Hari ini berjalan seperti biasa, biasa saja dan tidak ada yang spesial. Sepulang sekolah aku
berniat melanjutkan lukisanku yang semalam belum selesai ku kerjakan. Apalagi saat ini di luar
sedang hujan, ini pasti akan menyenangkan. Saat hendak menuangkan cat akrilik, tiba tiba saja ibuku
memasuki kamarku yang membuatku sontak terkejut dan hampir melempar sebotol cat di tanganku.
Aku langsung saja menutup botol cat itu karena takut cat itu tumpah dan akan mengotori seisi
kamarku. Aku melihat ibuku seperti ingin meledak meluapkan amarahnya. Kedua tangannya
mengepal, mengerutkan dahi, dan menatap mataku tajam. Terlihat ibuku membawa selembar kertas di
tangan kanannya. Ibuku meletakkan kertas tersebut di meja tepat di hadapanku dengan kasar, hingga
terdengar suara ketukan yang lumayan keras di meja kayu itu.
“Kamu tidak bisa ya, tidak buat mama malu, sekali saja?!” ujar ibuku dengan nada yang lumayan
tinggi, menunduk dan menatap mataku dengan tajam.
Aku mencoba mencerna perkataan ibuku. Malu? Apa yang telah ku perbuat? Aku hanya diam
menunggu ibuku menjelaskan semua itu.
“Lihat surat ini, Eva! Mama dapat surat laporan dari kepala sekolah, katanya kamu sering
terlambat. Apa jangan-jangan kamu terlambat sekolah karena lebih mementingkan melukis daripada
belajar? Iya? Ingat ya Eva, kamu melukis itu hanya membuang-buang uang! Kamu tidak akan
memiliki masa depan jika kamu hanya terus-terusan melukis. Apa kamu tidak ingin seperti Alya yang
selalu mendapat juara satu di kelas? Apa kamu tidak ingin punya cita-cita sep–” belum selesai ibuku
berbicara, aku langsung berdiri dan memotong pembicaraannya.
“Mama kenapa sih selalu menuntut aku menjadi anak yang pintar? Mama kenapa selalu
meremehkan apa yang aku lakukan? Aku senang melukis, Mama. Kemampuan setiap anak berbeda-
beda, dan aku tidak bisa menjadi seperti Alya yang mama harapkan!” aku mulai menangis, tetapi aku
masih berusaha untuk mengeluarkan isi hatiku.
Ibuku mulai terdiam, ia terpaku menatapku sedang menangis terisak-isak. Ibuku mulai diam,
seakan-akan menungguku melanjutkan berbicara.
“Mama tidak tau kan kalau aku suka melukis? Mama juga pasti tidak tau apa bakatku. Itu semua
karena mama sibuk dengan urusan mama sendiri! Mama tidak pernah memperhatikanku. Semuanya
selalu saja tentang Alya, Alya, dan Alya, mama! Aku juga ingin menjadi Alya yang bisa mama
banggakan setiap saat. Aku juga ingin menjadi Alya yang mama kecup keningnya setiap hari. Aku
juga ingin menjadi Adrian yang memiliki nama panggilan sejak ia kecil. Kenapa aku yang paling
berbeda, mama? Apakah kehadiranku tidak dinanti oleh keluarga ini?”
“Eva! Kamu sudah mulai berani tidak sopan dengan orang tua, ya?!” ibuku berbicara dengan
nada suara yang sangat tinggi.

Tanpa disadari ibuku mendaratkan satu tamparan keras di pipi kiri ku. Aku memegang pipi kiri
ku sambil menatap ibuku tidak percaya. Ini adalah pertama kalinya ibuku menamparku. Aku semakin
yakin bahwa ibuku memang benar-benar tidak menyayangiku. Aku menahan tangis sesaat dengan
nafas yang tersengal-sengal. Aku berlari keluar kamar dengan tidak memedulikan sekitarku. Aku
berusaha lari dengan sekuat tenaga berniat kabur dari rumah. Aku berusaha lari sejauh mungkin dari
halaman rumahku. Sayangnya saat itu sedang hujan deras yang membuatku tidak bisa melihat
sekitarku dengan jelas. Rintik hujan dengan sekejap membasahi seluruh pakaianku, dinginnya
merasuk kedalam sukma, menusuk ke relung hati yang semakin sepi. Yang dapat kurasakan sekarang
adalah, suatu benda keras yang menghantam tubuhku dengan sangat kencang. Membuatku terbaring
lemah di jalanan dengan mata tertutup karena terus-terusan terguyur oleh air hujan. Aku merasakan
ada bau darah yang menyengat di dekat kepalaku, hal itu membuatku pusing lalu tidak sadarkan diri,
karena aku takut dengan darah.

Aku tidak pernah berpikir bahwa hidupku akan berakhir seperti ini, berakhir sebelum aku
menggapai impianku menjadi pelukis yang terkenal. Kematian ku sangat tidak masuk akal, ya? Hanya
karena bertengkar dengan ibuku, ternyata bisa berakhir seperti ini. Hujan nampaknya sangat setia
menemaniku hari itu. Andai saja tetes hujan itu dapat menghapus satu-persatu garis hidup yang tidak
aku inginkan. Aku sudah memeluk semua rasa sakit ini hingga tidak dapat lagi ku rasakan. Ku
nikmati meski mengiris hati, dan bagian yang paling penting adalah aku akan berdamai dengan
kejamnya takdir. Sekarang, dan selamanya.

Orang-orang bilang aku sombong. Kenyataannya aku ingin berteman, tetapi rasa malu dan
gelisah menahanku. Trauma pertemanan di masa lalu mengintaiku. Orang-orang bilang aku anti
sosial. Sebenarnya, aku ingin bergaul. Tetapi, setiap kali aku memulai pertemanan, aku selalu merasa
tersisihkan. Pagar dan jarak yang terbangun di hadapanku. Pemikiran yang tak pernah sejalan.
Candaan di luar batas. Aku seperti orang luar yang tak tahu ke mana harus pulang. Teman terasa
seperti formalitas. Jadi, aku berjalan sendirian, bersama kesepian sang teman lama. Orang-orang pasti
kasihan padaku. Ini memang berat dan menyedihkan. Tetapi, yang orang tidak tahu. Kesepian ini
adalah berkah yang disamarkan.

Anda mungkin juga menyukai