Anda di halaman 1dari 6

MIMPI

Karya : Adhisa Dhiya Ulhaq

Sunyi malam mulai terasa, suara angin mengalun berhembus lembut, lampu seperti
semakin temaram walau sebenarnya tidak meredup. Hanya saja aku sudah merasa sangat
terkantuk, kelopak mataku ingin mengatup, dan mataku tak kuasa menahan beban lelah.
Terkadang kantuk itu menguat membuatku hanyut dalam mimpi, mimpi akan kerinduanku
terhadap sahabat. Sering sekali mimpi itu membuatku terhanyut, namun tidak lama kemudian
aku tersadar dan meneruskan kegiatanku. Sudah tiga jam Aku duduk diteras rumahku tetapi
tidak ada yang terlintas dibenakku kecuali memori canda dan tawaku bersama keempat
sahabatku. Ya, keempat sahabatku, mereka adalah Mely, Keysa, Maya, dan Putri. Sahabat
yang terbaik yang pernah kumiliki. Namun semenjak aku meninggalkan kota Semarang
tercinta ini, untuk ikut orang tuaku ke Jakarta, kami tidak pernah memberi kabar satu sama
lain. Naasnya sebelum pergi ke Semarang aku tidak sempat berpamitan dengan mereka
semua. Ditengah lamunanku aku medengar suara yang sangat kukenal, suara yang lembut nan
penuh kasih yang memanggilku, berhasil membuyarkan lamunanku..

“Rania, sudah pukul 10.00 kenapa belum tidur ? besok hari pertama kamu masuk sekolah
lho” Aku terasa dibangunkan dari alam bawah sadarku, jantungku berdebar-debar mendengar
suara itu ternyata itu adalah suara lembut dari ibuku.

“Oh, iya bu, Rania sebentar lagi masuk ke kamar .” Jawabku dengan nada ceria

Tak terasa, tak ada satupun benda langit yang mencul diatas sana. Bulan Purnama
pun telah hilang dililit awan gelap, sedangkan bintang ku yang biasanya tersenyum padaku
kali ini sudah menghilang seperti tidak menyatakan kerinduannya padaku. Tak terasa setetes
air mata mengalir begitu saja di pipiku, sesaat aku memejamkan mata dan berharap bulan
dapat menyampaikan kerinduanku kepada sahabatku.

***

Sebuah benda yang sangat kubenci karena kebisingannya tiba-tiba berbunyi, kulihat
keadaan masih sunyi, tak lama suara adzan yang nyaring membangunkan jiwaku untuk
bangkit dari sekotak keranjang yang empuk ini. Aku keluar untuk mengambil air wudhu yang
dinginnya terasa menusuk sampai ke tulang rusukku. Hembusan angin pagi terasa begitu
sejuk dan syahdu melambaikan setiap pepohonan yang berjejer rapi di pekarangan depan
rumahku.

Aku pun masuk untuk menghadap sang pencipta alam ini. Hari ini aku berharap
banyak hal kepada sang pencipta dan aku yakin bahwa harapanku itu akan terkabulkan
entah kapan.

***

Ku persiapkan tas dan kupakai seragam putih abu-abu ini yang menandakan bahwa
aku telah menduduki kelas menengah atas. Sekolah menurutku ialah hal yang
mengagumkan ,tempat satu-satu nya aku bisa bertemu banyak orang, banyak hal yang bisa
kulakukan dan ku ketahui, dan aku berharap hari pertama masuk sekolah ini aku bisa
menemukan sahabat sebaik mereka.

“Rania, ayo makan dulu sudah pukul 06.00” teriak bundaku yang cantik dari sudut dapur

“iya bundaku sayang, Rania kesana sebentar lagi” sahutku sambil berlari menuju ruang
makan.

“ini nak nasi goreng nya , dimakan terus cepat berangkat sekolah biar tidak telat “ cakap
bunda “iya bunda ku yang cantik” jawabku sambil tersenyum

Aku menaiki sepeda untuk pergi kesekolah , mungkin aku sedikit berbeda dengan
murid yang lainnya. Aku lebih suka naik sepeda saat bersekolah dibanding dengan kendaraan
bermotor. Karena di Jakarta tekenal dengan kemacetan dan polusi udara yang tinggi.
Tak terasa aku telah sampai didepan pintu gerbang sekolahku, senyum manis merona
mengembang dibibirku, inilah hari petama aku menginjakkan kakiku di sekolah yang aku
impikan sejak dulu. Tapi entah mengapa terbesit hal mengganjal dihatiku. Tapi entahlah
mungkin ini hanya perasaanku saja.
***

Dendang bel berbunyi, menyuarakan sebuah nada bel yang khas tanda waktu istirahat
para murid. Siswa-siswi disibukkan dengan kesibukkan masing-masing. Mengobrol,
membaca, mengerjakan tugas, makan siang dan lain-lain. Sedangkan aku hanya bersandar
dikursi sambil menerawang jauh ke pohon rindang di taman sudut sekolah, terbesit
dibenakku masa SMPku yang menyenagkan bersama sahabat-sahabatku, dibawah pohon
itulah kami selalu belajar bersama,bercanda,dan melakukan banyak hal.

Sampai sekarang aku masih merasa asing disekolah ini, bahkan dikelasku sendiri
semua siswa sibuk dengan kesibukannya sendiri-sendiri tanpa mempedulikan betapa
pentingnya bersosilisasi dengan teman disekitarnya, mungkin mereka tidak mengenal satu
sama lain. mereka semua sibuk dengan handphone, laptop dan barang elektronik mereka,
entah apa yang mereka lakukan dengan benda tersebut.

***

Cahaya keemasan matahari dan hembusan angin sore membuat daun-daun kecil
berguguran di pekarangan rumahku. Burung-burung mengibaskan sayapnya nan indah. Mega
merah mulai membuka pintu rumahnya menyambut malam yang indah. Ku ambil secarik
kertas di keranjang ku dan kubaca selembar demi selembar sambil duduk dibawah naungan
bintang kejora.

Butiran air mulai menetes di pipiku membuat tulisanku tak terlihat jelas. Sinar bintang
kejora yang terpapar didepanku menjadi saksi bisu,akan rasa rindu dan sayangku kepada
keempat sahabatku.

Seseorang menepuk pundakku, dengan cepat kuhapus air mata di pipiku, ku tengok
ternyata bundaku. “nak kamu kenapa, apa ada masalah di sekolah baru mu ?, bunda lihat
akhir-akhir ini kamu sering melamun, terlihat murung, dan nafsu makan kamu juga menurun,
kamu tidak boleh seperti itu, nanti kamu sendiri yang kena dampaknya” ujar ibuku.
Aku masih terdiam mendengar ucapan ibuku yang panjang seperti rel kereta. “ibu
tadi pidato apa ceramah sih, panjang benar, sampai-sampai aku pusing mendengarnya”
ucapku dengan muka sebal. ”ya habisnya bunda itu khawatir sama kamu kalau begini terus”
ucap ibuku dengan serius “maafin Rania ya bun, udah bikin bunda khawatir, sebenarnya aku
itu rindu sekali dengan sahabat-sahabat ku di Semarang, di sekolah baru, aku terus
merindukan mereka berempat” cakapku sambil memeluk bundaku.
“ya ampun sayang, ternyata kamu mikirin itu, sudahlah nanti ada waktunya sendiri
kita akan kembali ke Semarang” ucap bundaku sambil mengelus puncuk rambut halusku
“janji ya bun ?” ujarku meyakinkan, bundaku mengaitkan jari kelingkingnya ke jari
kelingkingku sambil tersenyum mengucapkan janji.

***

Pagi yang tenang di daerah pedesaan yang elok nan permai, mentari menyapa dari
ufuk timur dengan senyuman lebar penuh harapan. Bentangan sawah yang berbaris rapi
seakan menandakan desa ini belum tersentuh fenomena perubahan alam, yang mencekam
jiwa-jiwa pencinta ibu pertiwi. Aku duduk diatas batu besar di pinggiran sungai yang
mengalir deras nan begitu jernih, ku menerawang jauh dan berharap aku bisa bertemu dengan
keempat sahabatku di bumi kelahiranku ini. Sesaat pandanganku mengarah pada gubuk di
seberang sungai ini, kupertajam penglihatanku, dan benar saja itu keempat sahabat ku yang
sangat kurindukan sedari dulu, rasa senang dan terharu tercampur menjadi satu dalam hatiku,
ingin sekali aku segera kesana, namun aku tidak mengetahui bagaimana caraku agar sampai
kesana, karena tidak ada akses jalan menuju kesana dan air sungai nya begitu deras.

Kucoba memanggil nama mereka sekeras maksimal suaraku, sambil melambaikan


kedua tanganku ke atas berkali-kali, namun itu semua nihil, mereka tetap saja tidak
menengok, kulihat tiga batu yang agak besar berbaris rapi ditengah air sungai yang
menerjang deras, dengan cekatan aku langsung meloncati satu per satu batu tersebut dengan
hati-hati.

Aku telah berada di seberang sungai, langsung aku dekati gubuk itu, terlihat empat
sahabatku, tapi ada yang aneh dengan tatapan mereka, seolah-olah tak mengenaliku.”hai
sahabatku, kalian masih ingat aku kan ?” ucapku ragu “maaf ya, kita nggak kenal dengan
kamu, dulu kami punya teman tapi dia udah lupain kita semua, dia lebih milih tinggal di kota
dari pada tinggal didesa seperti ini, betul kan teman-teman ?” ucap si Meli “betul dong” ucap
yang lain kompak. Mendengar penuturan teman-teman ku itu lidahku kaku tak bisa berucap,
aku hanya mematung dihadapan mereka semua, bulir-bulir air pun mulai berjatuhan dipipi
chubby ku. “sudah lah nggak usah pura-pura nangis, pasti kamu sudah punya teman yang
lebih asik kan disana, lebih baik kamu pulang lagi ke tempat yang katanya seru itu” ucap
keysa dengan nada membentak “teman-teman tolong dengar penjelasan ku dulu, sebelumnya
aku minta maaf karena aku tidak sempat berpamitan dengan kalian semua, karena aku diberi
tahu bundaku mendadak dan pada saat itu juga aku langsung berangkat ke Jakarta” ucapku
memelas
“ayo nak bangun, kita harus segera berangkat ! ayah sudah menunggu didepan, nanti

kita ketinggalan pesawat lo”

“memang kita mau kamana sih bun, aku masih ngantuk”

“ Rania segera bangun, kita akan pindah ke Jakarta”

“ tapi aku nggak mau berpisah dengan teman-temanku, lagi pula kalau pindah, apa

aku boleh berpamitan dengan mereka ?”

“sudahlah rania, kamu itu tinggal menuruti kata-kata bundamu ini, dan lupakan

teman-temanmu itu, disana masih banyak yang lebih pantas untukmu”

Ya, itu Rania ,dia bimbang harus menuruti yang mana.

Rania berangkat penuh kegelisahan, memikirkan teman-temannya, tapi dia harus

tetap ikut dengan bundanya.

Entah dendam apa yang disimpan teman-teman Rania, mereka tidak memaafkan
permohonan maafnya, hanya author dan Tuhan yang tahu “alah kebanyakan alasan kamu,
pasti kamu bohong, pokok nya kita semua benci sama kamu” ucap si Maya “benar teman-
teman aku tidak berbohong” ucap Rania tanpa tersadar dirinya sudah berada tepat dipinggir
sungai. Melihat hal, itu teman Rania berniat jahat, mereka maju perlaha-lahan mendekati
Rania dengan tatapan jahat ,”Teman-teman kalian mau ngap......AAAAAAAA!!!!!!!” Rania
terhanyut dibawa derasnya air sungai.

Keempat teman Rania, mungkin sekarang bisa dibilang mantan teman, hanya bertos
ria melihat kejadian itu, dan lebih naasnya lagi, tak ada penduduk desa yang melihat tepat
kejadiannya. Tanpa disadari oleh mereka, bunda Rania datang, dan menghampiri mereka
dengan wajah cemas, tapi sebelum Bunda Rania berucap kata, mereka sudah mendahuluinya
dengan memasang wajah khawatir dan takut.”Tante-tante gawat tan, si Rania kepeleset waktu
main didekat sungai itu, padahal kita udah bilangin, jangan main disitu nanti jatuh, eh malah
Rania ngaak mau ndengerin kata saya tan”Alibi Putri. “Astaghfirullahal’adzim
Raniaaaa.....yaudah tante telepon polisi sekarang” cakap bunda Rania sambil menangis.
Tanpa menunggu lama pihak kepolisian datang untuk mencari keberadaan Rania dan
juga Ambulance. “selamat siang buk kami ingin bertanya apakah alur sungai ini cukup
panjang ?” tanya pak polisi “setahu saya tidak pak, hanya sekitar 500 m saja pak” ucap bunda
Rania yakin “baik kalau begitu, itu lebih memudahkan pencarian Rania” Tegas pak polisi
“ayo semunya mulai mencari dengan cermat,tepat,cepat” instruksi pak Komandan sudah
terdengar. Para bawahannya pun mula berpencar ku segala arah penjuru sungai.

Berita baik untuk kuta semua, tanpa menunggu waktu lama salah satu bawahan pak
Komandan sudah menemukan Rania yang tersangkut dibatu, dan masih ditemukan denyut
nadi pada diri Rania, walaupun ditemukan luka dikepala. Rania langsung di evakuasi dan
dimasukkan kedalam Ambulance, tak lupa bunda Rania mendampinginya yang masih
terbujur kaku.

”Ya Allah nak, kenapa kamu bisa begini, hiks.....hiks....hiks....segera bangun ya nak,
kalau kamu bangun nanti bunda turuti semua keinginan kamu” ucap bunda Rania yang tak
henti-hentinya menangis sepanjang perjalanan.

Sampai di Rumah Sakit, Bunda Rania terus mondar-mandir gelisah memikirkan


keadaan anak semata wayangnya, mulutnya terus bergerak mengucapkan do’a untuk
anaknya, tak lama, dokter keluar dari ruangan Rania dirawat. “Dokter bagaiman keadaan
anak saya ?” tanya bunda Rania “anak anda baik-baik saja, hanya luka dibagian kepala,
tetapi tidak parah, tinggal menunggu pasien siuman”cakap pak Dokter “termakasih dok kalau
begitu saya masuk dulu” ucap bunda Rania

Jangan tanyakan keempat mantan teman Rania, mereka sudah tertangkap basah di
tangan para polisi, karena bunda Rania memberi tahu kalau mereka saksi matanya, dan atas
pemeriksaan mereka tidak bisa berbohong, sehingga mereka ditetapkan sebagai pelakunya.

***

Semburat cahaya lolos memasuki celah jendela kamar gadis cantik ini, membuat
gadis itu terbangun dari tidurnya.

HUAAAAAAAAA.........!!!!! gadis itu berteriak dari tidurnya.

Rania bermimpi.

Anda mungkin juga menyukai