Anda di halaman 1dari 7

“Karena Allah selalu Kun Fa Yakun”

Karya Zidni Mahdiyatul Ula


Cobaan apalagi ini ya Rabb ? Bisakah sesekali aku mengecap kebahagiaan dan
menganyam sebuah senyuman bersama sang pemilik hati ? itulah pertanyaan dari hati yang tak
bertuan ini. Entah sampai kapan pertanyaan itu akan menemukan jawabannya. Mungkin sampai
aku merindu hebat. Merenungkan ini semua pasti tak akan ada habisnya. Langit itu rindu. Kita
berada dibawah satu langit, tapi seluruh angkasa menyambutmu. Mereka mengirimmu dalam
ruang rinduku. Kau misteriusku, nafas keduaku, bulir nadiku, sapa aku dalam ruang dengarmu.
Aku berdiri tak jauh dari dan berjarak dari telpon genggam, karena itu pengganti pelukmu.

~~~

Sang surya yang perlahan menampakkan sinar hangatnya di ufuk timur mengiringi
langkahku menuju tempat dimana aku menimba ilmu. Walau tempat ini masih asing bagiku.
Hembusan angin yang masih dingin begitu terasa dikulit. Tampak satu dua orang melewati
gerbang dengan langkahnya. Tapi kaki ini, masih terasa enggan untuk melewatinya. Mau tidak
mau aku harus melewati ini walau dengan berat hati. Karena disinilah aku akan menimba ilmu
dua tahun kedepan.

Dari arah yang berlawanan, seorang gadis cantik memakai seragam yang sama denganku
berlari kecil menghampiriku. Dia adalah Aini. Teman baruku yang sudah seperti sahabatku.
Khimarnya tampak terombang-ambing karena berlari.

“Varisha !” sapanya dengan diiringi tangan yang mendarat tepat dibahu kananku.

“Heii, Aini ! Pekerjaanmu hanya mengagetkanku saja !” protesku.

“Afwaann ukhti” ucapnya seraya memasang wajah ‘melas’nya.

“Iyaa iyaa.”

“Ke kelas, yukk !” ajaknya.

“Ayukk !”

Empat kaki melangkah bersama menuju kelas yang akan ditempati 2 siswa 19 siswi.
Hentakan kaki begitu tampak mengiringi langkah kami. Tak terasa, sekarang aku sudah
mengenakan seragam putih abu-abu diusiaku yang masih 14 tahun. Namun ini tidak akan
mengahalangiku untuk berteman dengan mereka yang lebih tua dariku. Kupercepat langkahku
ketika aku menyadari bahwa hari ini adalah jadwal harianku.

“It’s break time ! Saatnya istirahat.” Bunyi bel yang lebih dikenal dengan mbak Bela berbunyi
dengan kerasnya.

Karena sekarang memang jam istirahat, kuajak Aini untuk menemaniku mengisi perut
yang kosong ini.

“Aini ! ke kantin, yukk ! Laper, nih!” ajakku seraya menarik tangannya.

“Aduhh, Varisha ! Biasa aja, deh !” ujarnya sambil menggerutu.


“Hehehe, Nggak ikut ke kantin juga, Yas ? Nan ? Re ? Nad ?” daripada hanya berdua, akhirnya
kuajak juga mereka. Tapi hanya Rias, Rere, dan Nadia yang mau. Sedangkan Nanda memilih
untuk berduaan dengan ponselnya.

Suara hentakan dari sepatu pantofel kami tampak begitu keras beriringan dengan tawa
melengkapi langkah kami menuju pemadam kelaparan. Suasana ini menambah rasa betahku
disini.

“Bu, es blewah 1.” Pesanku pada seorang perempuan paruh baya yang sedang sibuk melayani
pelanggannya.

“Aku juga ya, Ris.” Pinta Rias.

“Akuu !!” disusul Rere dan juga Nadia.

“Yaudah, bu es blewahnya 4.” Ralatku pada Bu kantin itu.

“Aku juga es blewah !” ujar Aini tiba-tiba.

“Huhh, kamu ini ! kesalku pada Aini.

“Tambah 1 bu es blewahnya, hehehe.”

Sembari menunggu es blewah pesanan kami, kuambil ponsel yang terselip didalam
kantong mungilku. Kubuka social media favoritku yaitu instagram. Sebuah foto terpampang
jelas. Foto itu mengingatkanku akan kebersamaan sebuah teman yang sudah seperti keluarga.
Dalam benakku terlintas sebuah pertanyaan “Akankah aku akan memiliki keluarga seperti disaat
aku didunia putih-biru dulu ?” sebuah gemelut rindu menghampiriku hingga aku lupa jika es
blewah pesananku sudah siap. Setelah Aini, Rias, Rere dan Nadia mendapatkan es blewahnya
masing-masing, kuputuskan untuk kembali kekelas.

~~~

Hari Jumat hari yang berkah. Hari demi hari berlalu seraya mengukir cerita disetiap
detiknya. Tak terasa aku semakin betah disini. KBM disekolah pun berjalan seperti biasanya. Ya,
ketika pelajaran itu membosankan sudah hal yang pasti jika kantuk datang menyerang mata.
Apalagi, untuk anak pondok yang sering begadang ‘katanya’. Pelajaran terkahir hari ini ialah
SKI. Ya, Sejarah Kebudayaan Islam. Inilah waktu dimana mata berjuang untuk tetap terbuka.
Walau terkadang tangan tak mampu untuk menahannya.

Satu jam telah berlalu, itu artinya KBM sudah selesai. Hari ini memang pulang pukul
setengah 12. Tetapi, kelas kami sepakat untuk berlatih pensi. Sebelum kami berlatih, sudah hal
biasa jika kami mengunjungi kantin terlebih dahulu. Semangkuk soto ayam mengisi siang kami
ditemani dengan teriknya matahari yang tepat diatas kepala. Tak lupa minuman favorit kami
yaitu es blewah sebagai pelengkap makan siang.

Disela-sela canda gurau, tawaku terhentikan oleh geteran ponsel yang begitu terasa dalam
genggaman tanganku. Kulihat ponsel putih berbalut warna pink itu. Tampak sebuah notifikasi
BBM. Setelah kubuka, ternyata sebuah undangan untuk berteman. Dari namanya tampak asing
kurasa. Kuterima permintaan pertemanan itu semata-mata hanya untuk menambah teman. “Tak
ada salahnya, bukan ?”

15 menit telah kami habiskan di kantin. Aku, Aini, Rias, dan Nadia bergegas untuk
kembali menuju kelas. Kami tercengang ketika teman-teman sudah mulai berlatih pensi.
Kemarahan begitu tampak pada raut wajah mereka.

“Kalian dari mana aja, sih ?!” Tanya Illah dengan nada penuh amarah.

“Eeee, dari kantin.” Jawab Aini agak ketakutan, karena Illah adalah teman kami yang paling
galak.

“Udaaahhh, yang penting kan mereka udah datang. Mending sekarang kita latian aja.” Lerai Eva
meredakan suasana tegang bak akan Perang Dunia ke-3.

Latihan pensi pun berlanjut.

~~~

17.00 WIB

Jam yang terlilit ditangan kiriku sudah menunjukkan pukul 5 sore. Sudah seharusnya aku
bergegas untuk pulang. Sebelum itu, kubereskan perlengkapanku dan ku cek ponsel yang sempat
kuabaikan beberapa waktu. Tak kusadari, sebuah pesan BBM menghiasi layar atas ponselku.
Tanpa kutunda, kubuka pesan itu. Rupanya dari orang yang mengirimiku undangan pertemanan
disiang hari tadi.

“PING!!!” pesan darinya.

“PING!!!” balasku.

“Ini Varisha kelas unggulan, ya ?”

“Iya. Ini Afsheen kelas X MIA itu, kan ?”

“Iya.”

“Oalaahh, ada apa ?”

“Gapapa, cuma pengen kenalan, kok .”

“Hahahaha.”

Begitulah percakapan singkatku dengannya. Teman baruku. “Akankah ini menjadi awal
dari sebuah kisah ?”

~~~

Sabtu pagi.

Sayup-sayup suara adzan mulai terdengar melalui celah-celah ventilasi rumah. Disusul
suara ayam jantan yang ikut mengeluarkan suara emasnya. Kukumpulkan niat untuk menunaikan
dua rakaat shubuh.
Dua rakaat sudah terpenuhi. Kini saatnya untuk diriku bersiap-siap mencari ilmu.
Matahari yang mulai menampakkan sinarnya selalu menjadi saksi perjalananku. Dengan
semangat kulangkahkan kaki ini menuju tempat yang awalnya memang tak kuinginkan dan
sekarang menjadi yang kubanggakan. Hari ini merupakan hari dimana gladi bersih kedua akan
dilaksanakan.

“Dimumkan kepada seluruh siswa kelas sepuluh untuk segera menuju aula MAN 3 Malang.”
Suara Pak Nur dengan tegasnya mengumumkan melalui sound terdengar begitu jelas.

Tanpa menunda lagi, aku bersama 19 temanku berjalan bersama menuju aula sesuai yang
diperintahkan. Sendau gurau selalu menjadi sela dalam keheningan. Paving-paving sekolah
selalu menjadi saksi bisu kebersamaan dengan keluarga baruku.

~~~

09.00 WIB

Kelas demi kelas telah menunjukkan penampilan mereka. Kini saatnya, kelas terpencil ini
menunjukkan kebolehannya. Rasa yang berdebar langsung menyambar jantung. Tapi jantung
lebih kuat dikala semangat datang menggelora jiwa. Kak Umam wali pensiku begitu yakin akan
hasil karya kami.

“Allahu akbar !! Bismillahirrohmanirrohim !!” sebuah kata penggugah semangat keluar dari
mulut kami. Sebuah keyakinan akan hasil yang maksimal menjadi tambahan dalam kepercayaan
diri kami.

Sepuluh menit sudah penampilan kami. Kak Umam menyampaikan pujiannya pada kami.
Hal itu menjadi tambahan tersendiri untuk kami. Menambah semangat dan juga menjadi
motivasi kami untuk terus lebih baik.

“Ris, kelasmu keren loh penampilannya.” Sanjung Putri teman lamaku.

“Haha, makasih, Put. Penampilan kamu juga bagus kok,Put.” Sahutku.

“Ris !” salam sapa dari seorang bertubuh tinggi yang berdiri tepat dibelakangku.

“Hei ! Oh, Afsheen. Ada apa ?” Kubalikkan badanku dan kubalas sapa hangatnya.

“Penampilanmu keren, Ris. Salut sama kamu.” Segelintir pujian keluar dari bibirnya diikuti
dengan sesimpul senyum manis. Dan disaat yang sama, rasa berdebar hadir begitu saja dalam
tubuhku.

“Hahaha … makasih, Af. Penampilanmu juga keren, kok.” Kubalas pujiannya dan kulemparkan
senyum padanya.

“Ris ! Ayoo !! Dipanggil Kak Umam, tuh !” Panggil Aini seraya menarik tanganku dengan
paksa. Kutinggalkan Afsheen yang masih berdiri tegap ditempat yang sama.

~~~
Ketika teman berubah menjadi sahabat. Ya, aku dan Afsheen. Betapa senangnya diriku
memiliki sahabat baru. Tapi hatiku masih bertanya, ‘Perasaan apakah ini ? Kenapa setiap kali ku
bertemu dengannya jantungku berdebar hebat ? Padahal dia hanya sahabatku.’ Sendau gurau
selalu menjadi pelengkap kami dikala salah satu diantara kami sedang dalam duka.

“Ris, kamu tau nggak kenapa daun warnanya hijau ?” tanyanya dengan wajah meremehkan.

“Ya tau lah !” jawabku dengan tegas.

“Apa coba ?”

“Daun itu punya klorofil. Nah, klorofil itu fungsinya untuk membuat makanan, klorofil
memerlukan energi dari cahaya. Karena itu, klorofil menyerap cahaya. Cahaya yang diserap oleh
klorofil adalah cahaya merah dan biru. Cahaya yang tersisa, yaitu cahaya hijau, dipantulkan,
sehingga daun terlihat hijau.” Jawabku panjang kali lebar dengan penuh keyakinan.

“Hmm .. Kurang tepat, Ris.” Bantahnya.

“Lohh, emang apa yang benar kalo bukan itu ?” aku pun tidak terima.

“KASK.” Jawabnya dengan singkat nan penuh keyakinan pula.

“Apaan tuh ?” tanyaku dengan rasa penuh penasaran.

“Tebak aja dulu.” Ejeknya.

“Hmm .. KASK yang lagi nge-trend di instaram itu ya, kepanjangannya Karena Aku Sayang
Kamu.” Tebakku dengan sangat ragu dalam hati.

“Yeee .. Salaahhhh kali, Ris. Yang bener itu, Karena Allah selalu Kun fa Yakun.” Ujarnya
seraya menatapku dengan penuh kesombongan.

“Hhuuuuu, apa sih, Af ?” jengkelku.

“Eitss, tapi bener, kan ?”

“Iya sih, bener juga.” Jawabku mengalah.

Begitulah sosok Afsheen yang kukenal. Ramah, periang, percaya diri, dan juga loyal. Tak
pernah kulihat dia meneteskan beningnya air mata. Dan hanya tawa yang selalu ia tampakkan.

~~~

Minggu pagi.

Semilir angin pagi berhembus dengan lembutnya. Hangatnya sinar mentari mulai
merasuk kedalam tubuh. Lantunan adzan begitu terdengar dalam gendang telinga. Bersamaan
dengan suara ayam jantan yang terus berkokok. Kubangkitkan tubuhku dari pulau kapuk yang
tentu sangat empuk. Berjalan menuju kamar mandi yang jaraknya hanya 15 meter dari kamarku
lalu mengambil air wudhu. Dan mengahadap pada sang Maha Kuasa.

Dua rakaat pun tuntas kutanaikan. Kubuka ponsel yang ada didekat tempat tidurku.
Sebuah pesan BBM tampak menyambut pagiku. Setelah kubuka, ternyata itu pesan dari Afsheen.
Ya, sesuai dugaanku. Entah mengapa dia begitu rajin mengirimiku pesan. Afsheen mengajakku
untuk bersepeda pagi ini. Tanpa berfikir panjang, kuiyakan ajakannya. Hanya sekedar untuk me-
refresh otak yang sudah panas dengan begitu banyak tugas.

Kringg !! Kringg !! sebuah suara yang begitu keras menyerupai bel sepeda. Kulihat
seorang laki-laki didepan halaman rumahku siap dengan sepedanya. Tampangnya tampak samar
dari kejauhan ditambah dengan mataku yang minus. Setelah kuingat lagi, itu adalah Afsheen.
Tak kusangka dia begitu cepat. Akupun tak ingin Afsheen menunggu lama. Kubergegas
mengambil sepeda yang telah lama mendekam didalam garasi.

“Afsheen, udah nunggu lama, ya ?” tanyaku memastikan.

“Nggak, kok. Udah ayo berangkat ?”

“Ayo !” seruku.

Kukayuh sepedaku. Begitu juga dengan Afsheen. Angin yang berhembus begitu sejuk
dirasa. Padi dengan gemulainya mengikuti arah angin. Kicauan burung yang turut hadir
melengkapi indahnya pagi ini. Sesekali Afsheen memperlihatkan lesung dipipinya

Kayuhan Afsheen terhenti ketika aku mengeluh lelah. Singgah sejenak disebuah gubug
kecil ditengah sawah. Sebotol air minum cukup mengurangi rasa dahagaku. Kuamati alam
sekitar. Betapa bersyukurnya orang yang masih bisa menikmati indahnya alam tanpa polusi.
Sawah membentang luas. Sungai mengalir deras dengan air jernihnya. Burung yang terbang
kesana kemari dengan riangnya.

“Ris, aku boleh tanya nggak ?”

“Boleh.”

“Jujur ya, Ris. Sebenernya aku suka sama kamu. Tapi aku takut kamu keganggu dengan
kehadiranku. Jadi, aku baru berani bilang sekarang.” Ungkapnya yang seketika membuatku
tersadar akan satu hal.

“Hmm .. Af. Jatuh cinta itu boleh. Tapi, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Memilih cinta
itu ternodai atau membiarkannya tetap suci. Lebih baik kita menyimpannya hingga cinta itu
menjadi halal. Mendingan, kita fokus mikirin masa depan dulu.” Tanggapku.

“Kalau gitu, aku tetep akan nunggu kamu, Ris. Janji.” Ucapnya dengan penuh keyakinan terlihat
dari raut wajahnya.

“Makasih, Af.”

~~~

3 bulan lamanya tak kulihat lagi senyum manis Afsheen. Bahkan, jarang sekali
kubertemu dengannya walau hanya berpapasan. Tak kudengar lagi kabar tentangnya. Notifikasi
BBM darinya tak lagi menghiasi layar ponselku. Entah apa yang membuatnya seperti ditelan
bumi. Hanya sesekali kulihat dia sedang duduk termurung ditaman sekolah.
Jam dinding yang terpaku diam sudah menunjukkan pukul 15.00. Itu artinya waktu
pulang. Seperti biasanya, kubereskan barang-barangku yang berserakan diatas meja. Ponselku
yang bergetar membuatku berhenti membereskan barang. Pesan dari Afsheen. Aku tertegun
ketika tau jika Afsheen akan pergi menuju kota metropolitan. Jakarta. Dia harus pergi karena
permintaan ayahnya. Mau tidak mau Afsheen harus mematuhinya. Kucoba untuk menemui
Afsheen di tempat favoritnya. Hanya sebuah buku yang tergeletak diatas bangku taman yang
sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya. Tertulis jelas buku itu berjudul “Karena Allah selalu Kun
fa Yakun”. Terselip selembar kertas.

“Aku terpikat pada luturmu, aku tersihir jiwamu, terkagum pada


pandangmu, cara melihat dunia. Kuharap kau tahu, bahwa aku terinspirasi
darimu.”

Benir-benir airmata berjatuhan begitu saja membasahi pipi. Diikuti dengan hujan deras
mengguyur taman. Ketika Allah berkata “Kun fa Yakun” artinya “Jadilan maka jadi” begitulah
takdir Allah. Ketika Allah menghendaki untuk berpisah maka akan terjadi. Dan jika Allah
menghendaki untuk kembali maka ia akan kembali. Tak peduli sampai kapan harus menunggu.
Aku percaya pada Sang Maha Cinta bahwa Dia memberi sesuatu yang jauh lebih indah daripada
yang aku minta.

Anda mungkin juga menyukai