Anda di halaman 1dari 46

First Love Never Dies

Oktober 10, 2011 oleh emmaclaire13

Langit malam tampak lebih indah dari biasanya saat bulan purnama yg benderang ada

disana. Aku dan Irwan berbaring tenang di atas mobil pick-up milik Irwan yang

tengah mencoba untuk menghitung bintang -bintang yg bertaburan. Ia terus

mengulangi hitungannya dari awal tiap kali aku menyela, dan ia tampak cukup kesal.

“Irwan, berisik ah! Kamu nggak bakal bisa hitungin bintang sebanyak itu..”

Irwan berhenti menghitung lalu menghela nafas panjang, “Oke… Aku berhenti, tapi

kamu harus jawab pertanyaanku dulu!”

“Oke, siapa takut?? Fisika? Kimia? Aku jagonya!”

“Ihh, bukan soal pelajaran tau! Dengar ya.. Apa bedanya bintang kejora dengan mata

birumu??”

“Hmm, ya iyalah beda. Itu ‘kan bintang, kalo ini mata..”

“Eits, salah! Jawabannya, kalau bintang kejora itu menerangi banyak orang di bumi

tiap malam hari. Nah, kalau mata birumu itu menerangi hidup, jiwa, dan hatiku tiap

hari, tiap jam, dan tiap detik”

Aku tertawa, “Rayuan palsuu”

“Ihh, serius! Tau ngga, kalo langit itu seharusnya malu sama aku??”

“Lho, memangnya kenapa?”

“Karena.. Bintang-bintang yang langit punya itu kalah indahnya sama mata biru kamu!”
“Eh, tapi kamu sayang sama aku bukan cuma gara-gara mata biru aku ‘kan??

Irwan menggeleng dgn penuh keyakinan, “Ya jelas bukan. Aku sayangsama kamu itu

ya karena diri kamu sendiri, Winda”

Aku dan Irwan sama-sama tersenyum dan suasana pun hening sejenak.

Irwan mengecup keningku dan…

BRUK..!!

“Aduh!|

Aku terbangun dan lagi-lagi karena jatuh dari tempat tidur.

Aku pun mencoba untuk berdiri walau sulit karena selimut tebalku melilit tubuhku

dan aku harus melepaskannya terlebih dahulu.

Pintu kamar lalu terbuka, “Winda, kamu jatuh dari ranjang lagi?” tanya Mama.

Ya, pintu kamarku memang tak pernah ku kunci agar Mama bisa leluasa keluar masuk

kamarku untuk membangunkanku yang walau sudah berumur 23 tahun ini masih saja

tidak bisa bangun pagi. Dan untuk lima hari ini, ia tak perlu lagi repot-repot

membangunkanku karena sudah lima hari ini aku terjatuh dari tempat tidur tiap pagi

dan hal itu membuatku bangun dengan sendirinya.

“Terus saja seperti itu. Jadi Mama tidak perlu membangunkanmu lagi tiap pagi”

lanjutnya dengan mimik wajah senang.


Aku cemberut, “Anaknya kesakitan kok malah senang sih, Ma. Lama-lama bisa encok

nih!”

“Haha, ada-ada saja. Kamu itu masih muda, belum waktunya encok segala. Mendingan

kamu cepat-cepat mandi, deh. Terus antar adikm ke sekolah. Mama mau siapin

sarapan buat kalian dulu”

Aku hanya mangut-mangut sambil berjalan santai ke dalam kamar mandi, menyalakan

shower dan percikan air hangat pun membasahiku.

Namun, pikiranku kembali tertuju pada mimpiku tadi. Momen itu terjadi enam tahun

lalu saat aku dan Irwan merayakan usia hubungan kami yang menginjak 13 bulan

lamanya.

Irwan memang selalu memuji mata biruku yang ku punya secara alami sejak lahir ini.

Dan mungkin tak hanya Irwan, tapi semua orang pun akan memuji mata biru yg orang

Indonesia biasanya tak miliki. Sedangkan aku bisa memilikinya walau tak ada

keturunan orang asing atau berdarah campuran dari negara manapun. Tapi, untuk

saat ini hal itu tak penting untuk dibahas karena ada yg lebih membuatku reash

akhir-akhir ini — Irwan.

Aku terus bertanya-tanya apa maksud dari semua ini. Memimpikan kenangan

lamabersama orang yg tidak pernah ku temui lagi enam tahun lamanya dalam lima

hari berturut-turut tentu bukan hal yg biasa.Aku bahkan tak pernah sedikitpun

mengungkit-ungkit tentang Irwan akhir-akhir in. lalu, ada apa?.

Irwan sesungguhnya adalah cinta pertamaku saat aku masih berumur 14 tahun dan

masih tinggal di kota Malang. Dan tepat ketika aku berumur 17 tahun, aku pergi

meninggalkannya ke Jakarta dengan alasan untuk berkuliah disana sekaligus karena

Papaku yang merupakan seorang pelatih sepakbola direkrut oleh salah satu klub

sepakbola di Jakarta. Kisah kasihku dengannya pun secara otomatis berakhir begitu
saja tanpa banyak kata terungkap dari bibirku seiring aku tak pernah

menghubunginya lagi.

Terdengar begitu singkat memang, tapi rasanya akan terlalu panjang jika aku harus

menjelaskannya secara mendetail. Dan kini momen-momen manis bersama Irwan itu

merasuk ke dalam mimpi-mimpiku dimalam hari seakan menghantuiku dan tak rela

untuk dilupakan.

“Windaa..!!” suara Mama menggelegar dari ruang makan.

Aku yang baru saja selesai berpakaian sambil terus memikirkan mimpi-mimpi itu

segera menghampirinya dalam waktu kurang dari 1 menit dan tanpa ragu aku pun

mencomot omelet ayam yang tersaji di atas meja makan.

Sabdra, adikku, yang tampaknya baru selesai sarapan dengan menu sereal

kesukaanna menatapku dengan wajah bingung.

“Kaka hari ini nggak kuliah?”

Aku menggeleng, “Ada pekerjaan, hehehe. Hari ini kakak dapat panggilan untuk

menyanyi di 2 acara pernikahan. Nah, nanti malam, kakak juga harus nyanyi di kafe

kayak biasa. Gimana? Jadwal kakak full banget kayak selebriti ‘kan? Sampe-sampe

ga sempat kuliah”

Mama tiba-tiba mencubit pipiku, ‘Jangan mentang-mentang karena kamu sudah S1

dan punya pekerjaan, kamu jadi malas nyelesein S2 kamu, ya!”

Aku meringis kesakitan sambil senyum-senyum, “Yayaya, aku ngerti. Bawel ah, aku

mau manasin mobil dulu. San, kamu kalau sudah siap langsung ke depan yaa!”

Sandra hanya mengangguk pelan dan aku berlari-lari kecil keluar menghampiri

mobilku yang terparkir di halaman rumah.


Tiba-tiba saja handphone-ku berdering saat aku mulai memanaskan mobil. Dan, oh,

panggilan dari Papaku.

“Hai, Pa”

“Winda, kamu bisa datang ke tempat Papa ngelatih bola?”

“Hah? Buat apa?”

“Datang aja. Lagipula kamu juga ga ada kerjaan ‘kan jam segini?”

“Iya sih, tapi aku mau antar Sandra ke sekolah dulu ya, Pa?”

“Oke, Papa tunggu” Papa mengakhiri pembicaraan.

Sandra datang menghampiriku, “Itu tdi tekpon dari Papa, ya?”

“Yap. Memangnya kenapa?”

“Papa bilang apa kak?”

“Cuma nyuruh kakak datang ke tempat Papa ngelatih bola”

“Ohh, aku boleh titip pesan buat Papa nggak??”

“Boleh dong, apa pesannya?”

“Belikan aku boneka Barbie yang baru soalnya yang lama sudah rusak”
Aku mengacak-acak poni adik perempuanku satu-satunya yang baru berumur 7 tahun

itu, “Pasti kakak sampaikan, kok. Tapiiii… Sekarang kamu harus masuk mobil dalam

hitungan ketiga dan kita akan berangkat! Satuu.. Dua.. Tiga..!!”

Sandra pun sudah duduk manis didalam mobil.

Alu memasang sabuk pengaman dan.. Brrmm! Mobilku melaju ke sekolah Sandra.

“Kakak nanti jemput aku atau nggak?”

Aku berpikir sejenak, “Kakak nggak bisa pastikan sekarang. Nanti kamu telpon kakak

aja”

“Memangnya kakak sibuk, ya?”

“Ya begitulah..”

“Lebih sibuk mana, penyanyi atau dokter??”

Aku mengernyitkan dhi, “Pertanyaanmu kok aneh begitu?”

“Aku punya teman yang namanya sama dengan kakak..”

“Ohh ya? Namanya Winda juga?”

Sandra mengangguk, “Kakaknya Winda itu dokter. Dokter ‘kan punya banyak pasien,

tapi kok kakaknya Winda selalu bisa antar jemput Winda kemanapun dia pergi.

Sedangkan aku, kakakku penyanyi, itupun bukan penyanyi terkenal. Tapi kakak jarang

sekali bisa antar jemput aku” ujar Sandra panjang lebar.

Aku terdiam sebentar, sebeleum akhirnya menemukan sesuatu untuk dikatakan,

“Kamu tahu? Kamu beruntung masih punya kakak yang bisa antar jemput kamu, walau
jarang. Kalau dulu, kakak nggak pernah tuh, diantar jemput siapapun. Sampai

akhirnyaa…” aku tiba-tiba menghentikan pembicaraanku.

“Sampai akhirnya apa kak??”

Tak terasa kami sudah sampai di depan sekolah Sandra, aku menghela nafas lega,

“Lupakan deh, mulai sekarang kakak akan coba untuk terus antar jemput kamu dan

sekarang mendingan kamu turun, masuk ke kelas, terus belajar yang rajin. Oke??”

Sandra pun segera turun dari mobil tanpa banyak omong.

Aku menyandarkan tubuhku dikursi moil dan memejamkan mata untuk sesaat,

melanjutkan kata-kataku yang belum selesai, “Sampai akhirnya aku bertemu Irwan

dan ia pun dengan tuklus mengantar jemputku kemanapun aku mau.. Ya Tuhan, enam

tahun sudah berlalu dan aku hampir berhasil melupakannya tapi …” kalimatku

terhenti lagi.

Mobil itu. Ya, mobil pick-up yg berhenti didepanku saat ini persisi seperti mobil pick-

up milik Irwan. Berwarna merah, dengan plat.. Hei, aku jadi ingin tahu plat mobil

pick-up di depanku ini… I 12 WAN?!!

Tidak salah lagi, ini mobil Irwan!.

Aku segera menyalakan mesin mobilku seiring mbil picl-up itu mulai berjalan

menjauh.

Aku harus mengejarnya, gumamku.

Pikiranku melayang, mengingat salah satu hari terindah dalam hidupk, sementara

mataku tetap terfokus mengikuti arah kemana mobil pick-up itu pergi…

*
Bukannya berhenti, hujan justru menjadi makin deras. sesekali terdengar suara

petir menyambar disana-sini, kedeipan kilat pun jadi bagaikan lampu disko yg

menambah gundah hatiku.

Jam tanganku menunjukkan jam 6 sore. Langit pun makin lama jadi makin gelap

tertutup awan hitam yg menakut-nakutiku, seakan mentaru telah lenyap dari alam

semesta. Aku belum beranjak dari halte depan sekolahku sejak tiga jam yang lalu

hujan mulai turun dan hingga kini tak kunjung berhenti. Dan angkutan umum yg ku

tunggu sedari tadi tampaknya juga tak kunjung datang.

Telepon genggamku tertinggal di rumah dan menambah rumit suasana. Andai saja aku

tak lupa membawanya, mungkin saat ini seseorang telah menjemputku. Dan ku jamin,

saat ini Mamapasti sedang cemas bukan main. Sayang, Mama tak bisa mengendari

mobil, sementara Papa sedang berada di luar kota membimbing klub sepakbola

asuhannya bertanding. Tapi, apa daya aku bahkan tak rela hujan-hujanan untuk

menghampiri telepon umum yg ada di seberang sana.

Menit demi menit berlalu, mataku terpejam karena kelelahan. Tampaknya malam ini

aku harus tidur disini, pikirku.

Tiba-tiba sesuatu yang tebal menutupi badanku. Aku membuka mataku dan.. “Irwan?

Kamu…” jari telunjuk Irwan langsung berada tepat didepan bibirku, ‘Sst..”

Aku memeluk badannya yg basah kuyup karena kehujanan begitu erat, “Kamu naik

motor hujan-hujanan? Mana mobil kamu?”

Irwan mengangguk, “Mobilku ‘kan sedang di bengkel”

“Tapi kok jaket ini kering?” aku memegang jaket yg td iapakaikan padaku saat aku

hampir terlelap.
“Aku taruh jaket itu di bagasi motorku, aku tahu pasti kamu lagi kedinginan, makanya

aku bawa jaket itu, walau sebenarnya aku juga perlu. Tapi kalo buat kamu, apa sih yg

nggak? Hehehe”

Aku tercengang memandangi Irwan. Di saat seperti ini saja ia masih bisa tertawa

untukku, “Darimana kamu tahu aku disini? Bukannya kamu baru pulang dari Bandung?”

“Iya, aku sampai di Malang jam 3 sore tadi. Aku istirahat sebentar dan telpon kamu.

Tapi kok nggak diangkat?”

“Handphoneku ketinggalan di rumah..”

“Ohh, pantas. Tadi, aku bingung kenapa kamu nggak angkat, jadi aku langsung ke

rumah kamu, soalnya aku juga mau nganterin oleh-oleh yg aku bawa dari Bandung.

Sampai disana, Mama kamu bilang kamu belum pulang. Aku tungguin deh disana, tapi

makin lama hujan makin deras, kamu nggak pulang-pulang juga. Aku jadi khawatir,

aku cari kamu ke semua rumah temen-temen kamu, tapi nggak ada. Sampai akhirnya

aku nemuin kamu disini. Aku lega banget Win, aku takut kamu kenapa-kenapa” ia

mendekapku, aku bisa merasakan rasa kekhawatirannya dari tatapan dan cara ia

bicara. Namun aku masih terus memikirkan bagaimana ia melakukan semua yg

dilakukannya itu dgn berhujan-hujanan.

“Kamu selama sejam penuh nyariin aku, Wan??”

“Iya. Lihat deh, aku gemetaran begini. Dingin banget.. Kita langsung pulang aja deh,

ya”

Irwan tersenyum sambil terus menggigil kedinginan. Ia pun naik ke motor.

“Eh, ngomong-ngomong oleh-oleh buatku mana??” tanyaku.


Raut wajah Irwan langsung berubah menjadi serius, ia nampak kebingungan dan

terus berpikir keras, hingga ia menepuk dahinya, “Astaga! Ketinggalan di rumah

temenmu itu, si Sinta! Aduh, ya udah sekarang aku antar kamu pulang dulu, ya, terus

aku ambil oleh-olehnya”

Aku geleng-geleng kepala, menahan tawa. Bagaimanapun, ia selalu bisa membuat

keadaan serumit apapun menjadi begitu menyenangkan..

Tanpa ku sadari air mataku mengalir begitu deras, mengenang kenangan itu. Aku

menyadari betapa bodohnya aku saat pergi meninggalkannya begitu saja, tanpa

sepatah kata pun yang terucap. Aku juga sadar, saat itu cinta yg ia miliki benar-

benar tulus untukku, dan apa balasannya? Aku pergi dan membiarkannya mencari-

cariku yg tanpa ia ketahui telah berlalu ke Jakarta. Dan kini hukum karma

tampaknya tengah ku terima.

Aku mengusap air mataku sambil terus memandangi mobil pick-up merah yg aku

harap ada Irwan didalamnya itu dan.. Hei, mobil itu berhenti di tempat tujuanku. Ya,

itu tempat Papa melatih sepakbola bersama klub asuhannya.

Pintu mobil pun terbuka, jantungku berdegup kencang namun.. Papa! Argh, ia muncul

dan menghadang mobilku. Mau tak mau, aku pun harus keluar dari mobil dan

menghampirinya.

“Halo, Pa!” sapaku.

“Hei, kamu tadi kelihatannya tidak berniat berhenti disini. Bukannya Papa tadi minta

kamu untuk nemuin Papa, ya?”

Papa lalu memerhatikanku dari ujung kaki sampai kepala dgn penuh curiga, “Mobil

pick-up merah yg barusan pergi itu??”


Aku tak mersepon, hatiku benar-benar ingin mengejar mobil itu, namun tak mungkin.

“Mobil seperti itu tak hanya satu di dunia ini, Winda” lanjut Papa. Ia tahu pasti

betapa aku merindukan Irwan, karena ia pun tahu, sejak pergi dari Irwan, aku tak

pernah lagi menjalin hubungan dengan lelaki manapun.

“Tapi, Pa..”

“Sudahlah. Papa mau kamu relakan Irwan, lupakan dia. Ayo, sekarang kamu ikut Papa”

Aku pun dengan kepala tertunduk mengikuti Papa ke lapangan sementara para pemain

tengah sibuk pemanasan.

“Papa ingin kamu jadi asisten pelatih”

Aku mengernyitkan dahi, “Secepat ini?”

“Kamu sudah sangat mengerti dan menyukai sepakbola ‘kan? Papa yakin kamu bisa.

Dan untuk beberapa hari ini, Papa akan mengajarkan kamu bagaimana caranya

menjadi seorang pelatih sebelum kamu benar-benar jadi asisten Papa. Dan dengan

satu syarat, kamu nggak boleh kasih tahu Mama”

Aku hanya bisa mengangguk, sejujurnya aku memang suka dgn pekerjaan ini, lagipula

aku tak punya alasan untuk menolaknya.

“Ayo, Papa mau kenalkan kamu ke semua pemain”

Aku menggaruk-garuk kepalaku yg sebenarnya sama sekali tak gatal, kebingungan,

Ada sedikit perasaan nervous didalam dada. Papa lalu memanggil para pemain untuk

berkumpul sejenak.
“Selamat pagi semua”

“Pagiiiiiiii” sahut mereka.

“Mulai hari ini, kita akan punya asisten pelatih baru, atau lebih tepatnya calon

asisten pelatih, yang mana merupakan anak saya sendiri. Karena untuk sementara

waktu, saya kira dia akan perlu menyesuakan diri terlebih dahulu”

Papa lalu mempersilakan aku untuk mengenalkan diri, ah, ini hal yg paling tidak aku

sukai.

“Halo semua, nama saya Winda Carolina. Calon asisten pelatih kalian. Mohon

bantuannya, ya” kataku singkat.

“Oke, ada pertanyaan? Kalau tidak ada, kita akan mulai latihan”, Papa lalu

mempersilakan seorang pemain yg menangkat tangannya untuk bertanya. Cih, seperti

anak SD saja harus angkat tangan, bisikku dalam hati.

“Coach Winda, sudah punya pacar belum??”, mendengar lelucon itu, sontak saja

seluruh pemain tertawa, bahkan Papa pun juga ikut tertawa. Aku hanya tersenyum

tersipu, namun bukan karena pertanyaan itu, melainkan karena ia telah memanggilku

‘Coach Winda’ yang membuatku merasa bagai melayang diudara.

“Oke, saya kira kita bisa mulai latihan sekarang”

Para pemain lalu mulai mengikuti tiap-tiap instruksi dari Papa sementara aku terus

memikirkan bagaimana caranya, bagaimana caranya untuk menemukan Irwan..

Aku meniup api diatas enam belas lilin kecil yg menghiasi kue ulangtahunku. Teman-

temanku bersorak, bertepuk tangan dan menyanyikan lagu selamat ulangtahun tanpa
henti. Papa dan Mama yg berada disebelah kanan dan kiriku mengecup kepalaku

secara bergantian. Tapi aku tak menampakkan ekspresi senang, karena sejauh mata

memandang, aku tak melihat Irwan datang ke pesta. Padahal, tadi pagi ia menelponku

dan berjanji akan datang jauh sebelum pesta ulangtahunku dimulai.

“Jo, Irwan mana?” aku menghampiri Johan, sahabat dekat Irwan.

Namun Johan hanya mengangkat kedua bahunya, mengisyaratkan bahwa ia tidak tahu

sambil terus melahap sepotong kue ulang tahun yg baru saja dipotong dan dibagikan.

Aku keluar dari ruangan, meninggalkan teman-temanku yg tampaknya akan tetap bisa

bersenang-senang walau tanpa aku. Bukannya aku marah, hanya saja aku masih

menanti-nanti Irwan yg entah kemana.

Aku memandangi layar handphone, berkali-kali sudah aku mengirimkan pesan singkat,

berkali-kali pula aku mencoba untuk menelpon Irwean, namun tak ada respon atau

jawaban.

Hatiku rasanya ingin menjerit. Perasaan marah, bingung, sedih, cemas dan kecewa

bercampur aduk membuat resah.

Aku akhirnya membalikkan badan dan berniat kembali masuk ke dalam rumahku,

bergabung dgn teman-temanku yg berpesta..

“Windaaaa!!!”

Aku menghentikan langkah. Aku kenal suara itu dan.. benar saja. Aku menoleh dan

melihat Irwan keluar dari sebuah mobil mewah dibopong oleh seorang bapak-bapak

yg tampak seperti seorang pejabat kaya.

Aku melirik lutut kaki kira Irwan yg ia tekuk dan penuh dgn luka, ia hanya berjalan

dgn satu kaki & itupun dibantu oleh orang yg tak aku kenal itu.
Aku segera menghampirinya, siku kedua tangan Irwan pun ternyata penuh luka dan

ada sedikit luka memar dipipi kanannya. Aku tak tahu apa yg barusan terjadi, namun

Irwan tampak baru saja mengalami kecelakaan motor. Mobil pick-up yg biasa

digunakannya memang masih berada di bengkel.

“Kamu kenapa??” tanyaku.

Irwan justru merespon wajah cemasku dgn senyuman lebar yg indah, ia lalu

menyodorkan setangkai bunga mawar dan sebuah boneka beruang coklat besar

padaku, “Maaf aku terlambat, aku juga nggak bisa lama-lama. Satu hal yg perlu kamu

tahu, aku sayang sm kamu. Aku td ditabrak lari sama mobil, untung banyak warga yg

mau nyelametin aku dan akhirnya ada orang baik seperti Pak Ahmad yg bersedia

nolong aku. Dia tadinya mau langsung anterin aku ke rumah sakit, tapi aku minta dia

utk nganterin aku kesini dulu untuk kasih kado buat kamu. Aku minta maaf ya, dihari

ulangtahun kamu aku nggak bisa nemenin kamu karena hali ini. Tapi aku yakin kamu

bisa ngerti. Kamu tau ‘kan gimana rasanya ditabrak mobil, hehehe. Selamat ulang

tahyn, Wina. Sekarang aku harus ke rumah sakit, sekali lagi aku minta maf” Irwan

lalu mengecup keningku. Aku tak tahu apa yg harus ku katakan selain berterima kasih

pada Pak Ahmad yg mau menolong kekasihku yg terluka ini. Ia lalu tersenyum sesaat

kepadaku dan kembali membopong Irwan masuk ke dalam mobil.

Aku memandanginya, Irwan terlihat melambaikan tangannya padaku dari dalam mobil,

membuatku menitikkan air mata haru. Ia sudah mau repot-repot menyampaikan kado

untukku walau dalam keadaan terluka parah seperti itu, dan aku yakin hal itu

sebenarnya tidak mudah. Irwan punsama sekali tak menunjukkan mimk kesakitan

ataupun kesusahan, ia bahkan masih sempat tertawa.

Aku memluk erat boneka beruang coklat besar yg lembut itu, bnga mawar ygia

berikan pun ku dekatkan ke hidungku untu untuk menghirup wangi ketulusan cinta

Irwan.
Hari ini akan menjadi hari ulang tahun terindah yg akan ku ingat untuk selamanya.

Selamanya.

Mataku terbuka secara tiba-tiba. Kali ini, aku bangun dgn sendirinya tanpa perlu

jatuh dari ranjang. Namun, lagi-lagi aku memimpikan salah satu momen terbaik yg

menjadi kenangan terbaik pula.

Aku segera mengambil kursi dan menarhnya dekat lemari, aku naik ke atas kursi itu

dan mengambil kotak besar yg ada diatas lemari penuh perjuangan.

Kptak besar itu kutaruh diatas tempat tidur.

Didalamnya, masih tersimpan dengan apik semua yg perna Irwan berikan untuku,

ternasuk boneka beruang coklat besar yg kini warnanya sudah pudar itu. Namun,

setangkai bunga mawar yg pernah ia berikan sudah taka ada lagi karena layu seiring

berjalannya waktu.

Aku kembali memeluk erat boneka itu dan mengingat pertama kali aku memeluknya,

aku belum pernah melupakan hari itu.

“Irwan..” bisikku, seakan berharap ia yg tak ku ketahui keberadaannya dapat

mendengar isak tangisku yg mulai pecah.

Aku masih ingat, keesokan harinya setelah hari ulangtahunku, aku menjenguk Irwan

yg akhirnya harus dirawat inap. Ia meyakikanku bahwa ia tak apa-aopa, dan hanya

sedikit terkilir.

Namun, ia memang selalu berbohong demi kebaikan. Karena saat aku menanyakan apa

yg terjadi pd Irwan dgn dokter, dokter justru memberitahuku bahwa tulang kaki

kiri Irwan telah patah disebabkan kecelakaan itu.Senyumanku dirusak oleh


kesedihan, aku masih sangat terpukul tiap kali mengingatnya, membayangkan betapa

ia menahan sakitnya patah tulang demi menjaga perasaanku dan membuatku

tersenyum. Padahal aku sendiri tahu, patah tulang itu sakitnya bukan main. Aku

sendiri menangis semalaman saat aku mengalami patah tulang waktu kelas 1 smp

karena terjatuh dari tangga, sedangkan dia? Raut wajah lesu pun sama sekali tak ada

dan ia justru memancarkan sinar kebahgiaan dari kedua bola matanya, meyakinkan

bahwa ia tak terluka.

“Winda.. Papa..”

Aku yg terkejut akan kedatangan Papa yg tiba-tiba masuk ke dalam kamarku segera

mengusap air mataku. Ia tak boleh melihat boneka beruang ini maupun benda-benda

lain yg pernah jd tanda cinta Irwan padaku. Namun terlambat.. raut wajah Papa

berubah dalam seketika, aku bisa melihat kemarahan dari sorot matanya, aku pun

tak dapat berbuat apa-apa saat ia berusaha merebut boneka kesayanganku,

“Papa, jangan, Paaa..”

“Sudah berapa kali Papa bilang, BUANG SAMPAH INI!!!” Papa membentakku tanpa

ampun, aku terus berusaha mempertahankanboneka dan kotak berisi segalanya yg

pernah Irwan beri itu, namun apa daya, tenagaku bahkan tak lebih kuat dari Papa yg

dengan mudahnya merebut semua itu.

Ia keluar dari kamarku dan mengnci pintunya, tampaknya Papa akan segera

membakar barang-barang kesayanganku itu, dan sekeras apapun aku menggedor-

gedor pintu kamarku, berteriak mengemis siapapun yg ada diluar untuk membukakan

pintu, semua itu sia-sia. Namun aku masih tak peduli, aku terus menjerit,

mengeluarkan segalanya yg ada dihatiku, memohon Papa untuk tidak membuang

barang-barang kenangan itu, berjam-jam, tanpa ada yg mersepon. Hari demi hari pun

berlalu dan masih tak ada jawaban dari luar sana, aku bahkan sudah merasa seperti

orang gila, hingga akhirnya suaraku habis dan tak mampu untuk bersuara lagi.
Mataku kelelahan, entah berapa lama aku tak tidur dan menghabiskan waktuku disini

untuk menjerit, dan mengamuk seperti orang gila. Aku melihat ke sekelilingku,

kamarku tak terlihat seperti sebuah kamar lagi, melainkan lebih mirip layaknya kapal

pecah. Segalanya yg terbuat dari kaca telah hancur ku pecahkan, dan aku rasa tak

ada orang lagi diluar sana. Entah kemana Papa, Mama, dan Sandra pergi

meninggalkanku. Aku tak pernah lagi mendengar suara-suara apapun dari luar sana yg

menandakan bahwa ada seseorang yg beraktivitas, suasana begitu hening. Listrik pun

tampaknya telah diputus sejak kemarin malam, aku menyadari bahwa AC-ku bahkan

tak menyala lagi, dan akhirnya aku pun melewati malam-malamku bersama kegelapan.

Aku menyandarkan tubuhku ke dinding, entah jam berapa saat ini. Jam dinding di

kamarku terlanjur aku rusak, aku juga tak bisa melihat jam di handphone-ku yg telah

ku banting berkali-kali dan akhirnya rusak. Aku tak bisa menghubungi siapa-siapa,

aku tak bahkan terlalu lemah untuk mendobrak pintu dan kabur, karena sudah

berhari-hari aku tak makan.

Aku mencoba untuk bernyanyi memecah keheningan, namun lagi-lagi aku gagal.

Kemungkinan besar aku sudah bisu, kemungkinan besar pula aku akan mati didalam

kamar menyedihkan ini, karena Irwan….

Hujan tengah menerpa malam ini tanpa ampun, angin membawa tiap-tiap tetesan air

hujan masuk ke teras rumahku dimana aku berdiri. Aku memandangi langit malam yg

tanpa bintang, melainkan kilat dan suara petir menyambar dimana-mana. Sweater

tebal berwarna merahmarun yg aku kenakan ini bahkan tak benar-benar membuatku

terlindung dari dinginnya udara yg menusuk pori-pori.

Papa secara perlahan mengendarai mobil keluar dari garasi, dan menghampiriku yg

menantinya di teras rumah sambil terus memeluk boneka beruang coklat besar

pemberian Irwan diulangtahunku ke-16 lalu.


Semua koper telah ku masukkan dalam bagasi mobil, dan aku pastikan tak ada yg

terlupa selain..

“Kamu sudah beritahu Irwan malam ini kita berangkat?” tanya Papa dari dalam mobil,

aku yg masih berdiri linglung di teras rumah tak menjawab. Aku sama sekali tak

memberitahu Irwan tentang kepergianku ke Jakarta, bahkan saat tadi sore ia

mengajakku ke danau seperti biasa. Aku tak menampilkan wajah seakan akan

meninggalkannya, aku tak berani merusak kebahagiaannya, dan menurutku pergi

tanpa sepatah kata adalah jalan terbaik. Walau aku tahu, ini pun juga akan

menghancurkannya. Namun aku tak cukup kuat untuk menjalin kasih bersamanya

secara jarak jauh. Dan aku juga tak mau memutuskan indahnya hubungan yg telah

kami jalin 3 tahun lamanya ini.

Jantungku berdegup kencang, aku rasa aku tak siap untuk melakukan hal ini, tapi aku

harus…

Telepon genggamku berdering dan.. Irwan menelponku.

“Itu pasti Irwan. Lebih baik kamu angkat” tebak Papa yg masih menungguku didalam

mobil.

Walau ragu, akupun akhirnya mengangkatnya juga, namun beranjak menjauh terlebih

dahulu dari Papa, aku tak mau Papa tahu bahwa aku dan Irwan belum putus.

“Hai Wan” sapaku.

“Winda, kamu dimana sekarang?”

“Dihatimu sayang, hahaha. Aku ada di rumah. Kenapa?”

“Ohh, syukurlah.. Jangan kemana-mana yaa, malam ini hujannya deras sekali,

anginnya juga kencang..”


“Iyaa, Wan”

Irwan terdiam sejenak, “Hmm.. Winda?”

“Iya??”

“Hmm.. Kamu tau rasanya kehilangan ‘kan?”

“Yaa, aku tahu”

“Aku nggak mau ngerasain hal itu. Apalagi kehilangan kamu. Pasti rasanya sakit. Kamu

ingat saat janji kita di danau tadi ‘kan? Kamu juga ingat apa yg kita ukir di pohon

tadi ‘kan?”

“Iyaa, aku ingat” ucapku dgn perasaan bersalah, terlebih saat mengingat momen tadi

sore..

Aku dan Irwan duduk di bawah pohon rindang di tepi danau, ia memeluk pundakku

sambil berbicara tentang kisah-kisah cinta abadi yg melegenda di dunia seperti

Romeo & Juliet, si cantik dan si buruk rupa, Cinderella dan pangerannya, bahkan

kisah cinta di kapal Titanic yg sangat tersohor itu. Aku terus mendengarkannya dgn

seksama, dan aku menanyakan apakah kisah aku dan ia akan seperti kisah-kisah cinta

abadi seperti yg tadi ia ceritakan. Dan dengan segala keyakinannya, ia menjawab

‘Tentu, because FIRST LOVE NEVER DIES, ya ‘kan? Kamu janji akan jadikan aku

cinta pertama dan terakhir??’, aku mengangguk dan kami berdua pun akhirnya

mengukir nama kami berdua di pohon dan menuliskan kalimat ‘FIRST LOVE NEVER

DIES’ dibawah nama kamu berdua..

“Winda?? Kamu disana??” aku terpecah dari lamunanku saat mendengar suara Irwan.

“Ehh.. Iya, iya. Kenapa?”


“Aku bilang, jangan pernah ingkari janji itu..”

“Iyaa, aku janji..”

Irwan terdiam lagi, ia terdengar menghela nafas panjang, “Dan andai suatu saat

nanti.. Kamu pegi ninggalin aku.. Kamu harus ingat satu hal, kalau aku.. sayang sama

kamu.. selamanya. Dan apapun akan aku lakukan untuk terus jagain kamu, walau suatu

saat nanti aku mungkin akan kehilangan jejak, dan aku mungkin nggak tahu lagi kamu

ada dimana, aku akan terus cari kamu. Walau yg tersisa cuma batu nisan kamu..”

Air mataku jatuh mendengarnya, dan KLIK! aku segera mematikan handphone-ku,

mengeluarkan SIM Card yg ada didalmnya dan melemparnya jauh-jauh. Aku tak

peduli walau harus mengingkari janjiku padanaya, seiring aku masuk ke dalam mobil

dan Papa mulai mengendarainya menjauh dari kota Malang yg penuh akan ceritaku

bersama Irwan..

Maaf jika aku ingkari janji, FIRST LOVE NEVER DIES..

“Nggaaaaaakkkkk…!!!!! Aku nggak ingkar!!”

“Winda, sadar, Winda…!!”

Perlahan-lahan kelopak mataku terbuka, aku berusaha menenangkan diri, menyadari

apa yg barusan ku lihat dalam mimpi, sebuah momen saat aku pergi meninggalkan

Irwan.. Mataku silau oleh cahaya lampu, entah berapa lama aku terjebak dalam
kegelapan kamarku, dan.. Dimana aku sekarang?? Dan suara yg tadi, aku yakin suara

itu tak asing lagi bagiku, aku menyadari bahwa ada seseorang duduk ditepi tempat

tidur diman aku berbaring sekarang…

“Kamu sudah sadar, Win??”

Aku termenung. Otakku telah menemukan jawaban dari semua pertanyaanku selama

ini. Aku tak habis pikir bagaimana carana ia berada disini namun aku tak peduli

tentang hal itu karena yg terpenting bagiku saat ini adlah aku berhasil. Aku berhasil

bertemu dengannya. Sesuatu yg sedari dulu mengganjal hatiku sejak malam itu

terasa mulai sirna seiring aku memerhatikan keindahannya dari ujung kepala sampai

ujung kaki. Mata coklatnya yg dulu selalu menatap mata biruku membuat air mata

mengaliri pipiku. Ia tersenyum, menunjukkan kebahagiaan yg juga ku balas dgn

senyuman, dan tampak tak ada yg berbeda dari senyuman indahnya, sejak pertama

kali bertemu hingga kini entah berapa lama aku sudah tak melihatnya.

Dan detik demi detik berlalu ku lewati dengan larut dalam suasana, ia juga mulai

menjatuhkan butir-butir air mata seiring aku mulai bangkit dari tempat tidur dan

duduk perlahan agar bisa dengan yakin meyakini hatiku bahwa itu benar-benar…

Irwan.

Bukan orang lain, dan ini bukan mimpi. Ia mendaratkan jemarinya di tiap helai

rambutku, membelaiku penuh sayang.

“Kamu masih ingat aku, Winda?”

“Sekarang katakan padaku kenapa begitu sulit melupakan kamu?” tanyaku lirih.

“Aku bahkan tak tahu kenapa sangat sulit menemukanmu?” ia balik bertanya.

“Maafin aku soal itu, tapi semenjak enam tahun yg lalu, aku masih teguh memegang

janji kita”
Raut wajah Irwan berubah, “Enam tahun? Hmm, oke biar aku luruskan..”

“Maksudmu?”

“Maksudku, tiga tahun yg lalu aku yg nggak berhenti nyariin kamu akhirnya nemuin

alamat rumah kamu. Aku datang kesana, dengan harapan akan bisa ketemu kamu lagi.

Tapi, sesampainya disana, rumah kamu kosong. Tapi aku punya firasat kuat kaalau

kamu ada di dalam. Akhrinya aku dobrak semua pintu yg terkunci, dan yg terakhir,

pintu kamar kamu.. Aku kaget, aku nemuin kamu terbaring lemah disana, kamu

bahkan nggak sadarkan diri. Ada perasaan bahagia, sih, karena berhasil nemuin

kamu. Tapi aku sedih karena nemuin kamu dgn keadaan begitu. Aku panggil ambulans,

bawa kamu ke rumah sakit. Jadi, kesimpulannya, kamu koma selama tiga tahun ini.

Dan aku terus nungguin kamu disini, megang teguh janji kita” cerita Irwan panjang

lebar.

Aku tak tahu harus berkata apa, yg jelas aku hampir tak percaya semua itu telah

terjadi andai aku tak melihat ke cermin dan menyadari perubahan-perubahan

fisikku.

“Irwan..” aku memeluknya erat-erat, berjanji tak akan pernah melepasnya lagi.

“Aku nggak mau kehilangan kamu lagi, kehilangan kamu itu jauh lebih pedih daripada

kehilangan dompet tau ngga!” omelnya, dan seperti biasa disaat-saat serius seperti

ini pun ia masih bisa membuatku tertawa.

“Memangnya kamu pernah kehilangan dompet?”

“Pernah, tapi ketemu. Ternyata dompetnya ada didalam kulkas”

“Hah?? Hahaha, serius??”


“Iyaa! Oiya, coba kamu lihat ini” Irwan menunjukkan sebuah foto rumah minimalis yg

indah.

“Apa ini??” tanyaku kebingungan.

“Rumah itu baru aku beli seminggu yg lalu dari hasil jerih payahku jadi dokter selama

ini. Dan kamu tahu?? Ternyata adikmu itu temannya adikku, yg aku kasih nama Winda

juga, hehe”

“Rumahmu? Terus ngapain dilihatin ke aku? Oiya, selama tiga tahun aku koma,

kemana Papa, Mama, dan Sandra??”

“Aku belum mau bahas kemana mereka bertiga pergi. Yang jelas, rumah yg ada dalam

foto itu, akan jadi rumah kita berdua. Karena aku udah janji, suatu saat nanti saat

kamu sadar, aku akan langsung nikahin kamu! Dan karena sekarang kamu udah sadar,

pernikahan kita akan diadakan se-ce-pat-nya!! Horee..” sorak Irwan.

Sementara aku mengernyitkan dahi, “Menikah? Secepat ini??”

“Cepat katamu? Hei, kamu itu udah 26 tahun sekarang. Aku nggak mau kamu jadi

perawan tua dulu, baru aku nikahin. Mendingan sekarang kamu tunggu aku disini

soalnya aku mau panggil dokter! Oke??” Irwan berlari keluar, meninggalkan aku yg

masih tak percaya akan semua ini. Namun satu hal yg akan selalu ku ingat, bahwa aku

tak akan pernah pergi darinya lagi.. Selamanya.

*
Sepuluh tahun telah berlalu sejak hari bertemunya aku dgn Irwan untuk pertama

kalinya setelah aku meninggalkannya begitu saja. Sekarang, aku dan Irwan tinggal di

Malang, di rumah dalam foto yg pernah ia tunjukkan padaku itu. Dan kami sudah

menikah, tepat seminggu setelah aku sadarkan diri dari tidur panjangku, segalanya

pun benar-benar berjalan sesuai apa yg selalu ku impikan. Aku berhasil bertemu lagi

dgn Papa, Mama, dan Sandra setelah suatu hari aku berkunjung ke rumah Pamanku di

Malang. Dan, ada hal lain yg lebih menggembirakan, karena aku sudah punya dua anak

kembar lelaki dan perempuan berumur 9 tahun yg aku bernama Irwin dan Wanda,

singkatan dari nama aku dan Irwan.

Fiuh.. Aku masih tak percaya bahwa kisah cintaku benar-benar abadi sepert Romeo

dan Juliet, si cantik dan si buruk rupa, Cinderella dan pangerannya, bahkan kisah

cinta dalam film Titanic itu. =)

FIRST LOVE NEVER DIES

~~THE END~~

First love never die. - Cinta

View : 21822

Created by : mimi

First love never die.

=====================

Kenapa bisa ada kalimat itu? Apakah karena cinta

pertama sangat indah? Lebih indah dari cinta-cinta

selanjutnya? Apa cinta terakhir sudah tak indah lagi?


Jawabannya adalah, karena cinta pertama adalah cinta

paling murni dalam sejarah perjalanan lelaki dan

perempuan.

Cinta pertama bukan pacar pertama. Firts love adalah

saat kita jatuh cinta pertama kali pada seseorang.

Biasanya pada usia belia. Bisa 10 , 12, 13 bahkan 8

tahun!

Pada usia sehijau itu, kita bahkan tidak tahu apa itu

cinta yang sesungghnya atau bukan. Yang jelas kita

kasmaran pada seseorang. Tak bisa tidur. Lagu First

Love-nya Nikka Costa sangat mewakili perasaan itu.

"Everyone can see...there's a change in me...bla bla

bla".

Di usia sebelia itu, bayangan kita tentang cinta

sangatlah indah dan mulia. Tidak ada bumbu seks.

Boro-boro deh!. Tepat sekali kalau diibaratkan cinta

masa itu sebagai domba yang cute dan innocent. Lembut,

polos, kekanakan dan menggemaskan. Bebas dari dosa.

Sungguh definisi cinta dalam arti paling murni.

Seiring waktu, usia tambah dewasa. Cinta pertama

terlupakan sejenak. Menyusul cinta kedua, ketiga,

kesebelas..ke sekian puluh...ke seratus..dan

seterusnya. Kian angka itu bertambah, kian jauh dari

gambaran indah. Ada seks, nafsu, obsesi materi, dan

sejenisnya.

Kalau 1st love adalah domba yang imut, maka semua hal

buruk-buruk yang menyelingi cinta berikut-berikutnya

adalah serigala. Katakanlah seks itu serigala. Maka


sekarang, di usia yang tak lagi belia, maka yang

beredar adalah serigala berbulu domba. Tambah sulit

saja mengenali mana domba sejati. Bahkan mungkin tidak

ada lagi.

Itulah mengapa dikatakan first love never die. Sebab

memang 1st love adalah cinta paling agung dalam

hubungan lelaki-perempuan. Tidak ada nafsu seks,

obsesi kecantikan, ketampanan, kekayaan dan

sebagainya. Dan kini yang kita jumpai dimana-mana

adalah serigala berbulu domba. Sungguh ironis.

“Mungkin aku telah kehilangan banyak tulisan tentangmu. Mungkin aku kini tidak lagi

memiliki satu pun gambar dirimu. Tapi bukan berarti hidup tanpa kenanganmu.”

“Aku masih menyimpan semuanya. Aku merekam segalanya. Walau dalam objek tak

berbentuk dan tak terlihat, aku ingin kau tahu bahwa sampai detik ini aku bisa

merasakannya.”

“Setiap momen yang terlewat dengan hadirmu, sorot matamu, suaramu, gerak

gerikmu, aku mampu mendeskripsikannya dengan tepat.”

Hmm jatuh cinta…

Perasaan yang tiba-tiba datang dan mengejutkan, kemudian menyisakan ruang kosong

yang disisipi rindu saat ia pergi. Setiap momen yang terlewat dengan hadirmu, sorot

matamu, suaramu, gerak gerikmu, aku mampu mendeskripsikannya dengan tepat. M

U….

Ini kisah tentang cinta pertamaku..


Entahlah, apakah perasaan ini layak disebut cinta atau bukan, yang pasti perasaan

itu masih ada menempel dengan kuatnya dihatiku..

Karena menurutku cinta memang tak terdefinisikan dan hanya bisa dirasakan.

Tahun 2002

Aku menyukainya jauh sebelum dia mengenalku..

Kami dipertemukan di kota tempat kami menimba ilmu, aku sering berkumpul dengan

teman-temannya, kadang kami berada di satu tempat yang sama namun tak pernah

menyapa satu sama lain, mungkin karena dia sedang asyik dengan kekasihnya saat itu

dan tak pernah menyadari kehadiranku.

Rasa itu kusimpan rapat dan kubiarkan mengendap didalam hati.

Tahun 2003

Ada sms dari nomor tak dikenal, aku melonjak kegirangan setelah tahu pesan singkat

itu dari dia yang ingin berkenalan denganku dan ternyata dia sudah putus dari

kekasihnya.

Hari-hariku pun menjadi berbunga, kami bisa menghabiskan ratusan sms sehari

untuk bercerita tentang hal yang sebenarnya tidak penting, kemudian dilanjutkan

dengan pembicaraan lewat telephone semalam suntuk (saat itu ada provider baru

yang promosi ratusan sms sehari dan nelpon gratis semalaman)


Aku tahu dia menyukaiku, tapi kenapa dia tak pernah mengatakannya langsung

kepadaku?

Aku mengetahui semua itu hanya dari temannya dan dari pesan singkat yang

dikirimnya, sebenarnya aku ingin dia mengatakan itu dihadapanku, aku selalu

menunggu dia mengatakan suka padaku tapi hal itu tak pernah terjadi.

Mungkin dia menganggapku tak menyukainya sehingga dia pun menjalin kasih dengan

sahabatku.

Rasa itu kembali kusimpan dan kubiarkan mengendap didalam hati.

Dia dan temanku tak bertahan lama, entah kenapa perasaanku sangat senang saat

dia kembali sendiri, tapi tak lama kemudian dia bersama perempuan lain lagi, akupun

kembali kecewa.

Hal itu tidak mengurangi keakraban kami, walaupun tidak sedekat dulu lagi.

Rasa itu tetap kusimpan dan tetap kubiarkan mengendap dihatiku.

Tahun 2006

Akhirnya kami harus berpisah dan kembali ke kota masing-masing.

Komunikasi kami masih cukup baik, setidaknya aku masih tahu kabar tentangnya.

Kami sudah hidup dijalan masing-masing dan akupun sudah menjalin hubungan dengan

lelaki lain.

Rasa itu tetap ada dan masih mengendap dihatiku.


Tahun 2007

Berawal dari pertanyaan iseng melalui sms, “kapan kau akan menikahiku?”

Aku kaget dengan jawabannya, dia ingin agar aku menunggunya menyelesaikan

pendidikannya dulu.

Sebenarnya aku sangat ingin mengiyakan.

Tapi menunggu beberapa tahun tanpa kepastian?

Lagipula tempat tinggal antara aku dan dia sangat jauh dan tidak memungkinkan

untuk bersama kecuali salah satu dari kami mengalah (saat itu aku tidak mau

mengalah untuk hal ini)

Dan aku sudah mempunyai kekasih! aku tak mungkin mengkhianati komitmenku.

Ah lagipula aku tidak tahu dia serius atau cuma bercanda dengan ucapannya itu.

Akupun tak memikirkan hal itu lagi.

Rasa itu kucoba menghilangkan tapi tetap mengendap dihatiku.

Tahun 2009

Dia kembali!
Aku sudah bekerja di kota lain, dia pun bekerja di kota yang tak jauh dari kota

tempatku bekerja.

Kami memang tak pernah bertemu tapi masih berkomunikasi lewat situs jejaring

sosial.

Rasa itu masih ada dan kubiarkan terus mengendap dihatiku.

Tahun 2011

Kami bertemu!

Ternyata sekarang dia tinggal di kota yang sama denganku.

Hariku kembali berbunga.

Dia mampu membangkitkan hidupku yang baru saja mengalami kegagalan cinta.

Pernah aku berpikir kalau dia adalah jodohku, dari sekian banyak kisah yang kami

alami dan sekian tahun terpisah tapi akhirnya dipertemukan kembali di suatu kota

yang tak pernah kami pikirkan sebelumnya.

Aku sangat bahagia.

Aku kembali jatuh cinta dengannya.

Tapi itu tak berlangsung lama, ternyata dia sudah mempunyai kekasih.

Akupun berangsur-angsur menjauh karena tak ingin merusak kebahagiannya bersama

perempuan itu.
Sungguh hal itu sangat menyiksaku, aku tak dapat menahan perasaan yang sudah

lama kupendam.

Aku ingin mengakhiri perasaan itu, aku pun mengatakan apa yang kurasakan padanya.

Aku tak ingin mendapat jawaban atas perasaanku, aku hanya ingin meluapkan apa

yang kurasakan dan berharap dapat mengakhirinya.

aku tak ingin merasakan penyesalan seumur hidup karena tak pernah mengatakan

perasaan pada orang yang kucintai.

Setidaknya itu dapat mengurangi bebanku dan dapat membuatku melupakannya.

Rasa itu semakin menyakitiku dan mengendap semakin dalam dihatiku.

Tahun 2012

Cinta pertama terlalu manis untuk dilupakan.

Ya, aku takkan melupakannya.

Kami masih berteman baik, dia masih ada disaat aku memerlukan seseorang untuk

berbagi bebanku.

dan rasa cinta itu tak akan kuhilangkan, tetapi akan ku rubah menjadi rasa cinta

dalam bentuk yang lain.


aku akan menyayanginya sebagai sahabatku.

Dulu aku menganggap kalimat “aku bahagia bila kau bahagia” adalah omong kosong,

ternyata setelah mengalaminya sendiri aku membenarkan kalimat tersebut.

Mengikhlaskan seseorang yang kita cintai memilih kebahagiannya sendiri ternyata

juga bisa memberikan kebahagiaan bagi kita.

Semoga aku pun bisa menemukan kebahagiaanku sendiri.

Rasa itu akan terkikis dan akhirnya tak lagi mengendap dihatiku.

Karena tak semua kisah cinta berakhir bahagia.

First Love Never Dies?

Cinta pertama tidak akan pernah mati. Dia akan tetap hidup. Katanya, selamanya.

Berulang seseorang menyusun keping-keping cintanya yang luluh lebur, tetapi selalu

saja runtuh. Mencoba seseorang membuka lembaran baru dan membangun kehidupan

cinta yang baru, namun rapuh jua. Terlepas dari cinta pertamanya masih hidup atau

sudah tiada, laki-laki atau perempuan, kehadiran kekasih dan belahan jiwanya yang

sudah pergi ke entah, tampak masih nyata.

Gallian Shields melukiskan tentang kisah ketakbisalupaan cinta pertama itu dengan

menarik. Dalam Immortal First Love Never Dies (Dastan Books;2010) Shields

menghadirkan seorang Sebastian, pemuda misterius berwajah pucat dengan

sepasang mata biru dan berambut hitam. Bagi Evie Johnson, Sebastian seperti
berasal dari negeri dongeng yang kehadirannya membuat dadanya bergetar.

Lantaran itu tidak heran, jika gadis berusia enam belas tahun ini akhirnya jatuh

cinta kepada Sebastian. Namun sayang, Evie merasakan Sebastian menyembunyikan

sesuatu tentang masa lalunya dan siapa dirinya yang sebenarnya. Dan inilah yang

membuat Evie penasaran dan juga ciut. Semakin ia mencoba untuk mengungkap jati

diri Sebastian yang kelam juga, pada saat yang sama perlahan menguak tabir masa

lalunya yang juga akan menempatkan jiwanya dalam kecemasan yang mendalam.

Sesungguhnya, baik Sebastian maupun Evie menyimpan tentang sebuah masa lalu

yang sulit lupa, yakni kisah tentang cinta yang tidak pernah mati. First love never

dies. Di Wyldcliffe Abbey School yang dingin dan suram keduanya berkutat dengan

masa lalu mereka masing-masing. Dapatkah mereka membunuh cinta pertama

mereka, selanjutnya membuka lembaran baru dengan kehidupan cinta yang baru?

Mampukah mereka menerima masa lalunya dengan ikhlas dengan mencoba perlahan

melupkannya? Dalam Immortal First Love Never Dies, kita menemukan jawabannya.

Membaca Immortal First Love Never Dies selanjutnya mengalami pengalaman-

pengalaman perjumpaan dengan kisah-kisah cinta pertama dengan orang-orang yang

kukenal, sesungguhnya cinta pertama itu sangat menyiksa. Cinta pertama yang

senantiasa dikenang, selalu diingat adalah jeruji bagi relasi cinta mereka. Bahkan

untuk mereka, para pencinta yang selalu terjebak dalam ingatan akan cinta pertama

aku menyebutnya sebagai para pembunuh cinta.

Sebab, mereka tidak hanya menyiksa diri mereka sendiri dengan cinta yang tidak

pernah lupa. Mereka tidak hanya menutup diri sendiri untuk memahami dan mengenal

cinta yang lain. Bahkan lebih dari itu, mereka secara perlahan membunuh hakikat

cinta itu sendiri. Bahwa cinta itu tidak untuk dimiliki dan memiliki. Cinta sudah cukup

untuk cinta. Menarik hakikat cinta itu ke dalam kenangan emosional dalam peristiwa

yang disebut sebagai cinta pertama adalah adalah tindakan pemenjaraan,

pengekangan dan bahkan pembunuhan atas cinta.


Lantas, bagaimana kita dapat membunuh cinta pertama agar dia dapat mati?

Kematian, kata sebagian orang adalah pembunuh itu sendiri. Hanya dengan kematian

cinta pertama itu meregang nyawa. Napas cinta dipenggal. Jiwanya lepas melayang

ke dunia entah.

Sebagian yang lain mengajukan tanya pun jawaban. Haruskah kita menemukan

pembunuhnya dalam diri para pencinta yang lain, yang hadir dalam kehidupan kita?

Jika itu mungkin, maka itu adalah peristiwa unik yang hanya terjadi pada segelintir

orang. Dan mereka yang dapat membunuh kenangan akan cinta pertama adalah

orang-orang yang sabar, yang juga hadir sebagai pembunuh berjiwa besar, yang

bersedia kalah walau disandera, yang bersedia disandera walau tewas dalam

penyiksaan yang panjang.

Namun bagiku, bagaimana membunuh dan menemukan pembunuh yang sesungguhnya

bagi kenangan atas pengalaman cinta pertama adalah diri sang pencinta itu sendiri.

Ia harus membunuhnya dengan ikhlas dan perlahan melepaskannya terbaring tenang

pada kotak sejarah masa lalu. Mengenang kisah cinta pertama dalam sosok kekasih

pujaan bukan pekerjaan yang salah, sebab sejarah tidak dapat dipenggal. Namun,

menghadirkan senantiasa sosok kekasih pujaannya dalam setiap perjumpaan dengan

dan kepada setiap orang adalah dosa, sebab sejarah tidak pernah terulang.

Lantaran itu melepaskannya sebagai bagian dari kenangan, kemudian membangun

lembaran baru dalam dan melalui perjumpaan yang tulus adalah perbuatan mulia dan

terpuji. Dapatkah kita melakukan itu?

Selingkar Pelangi Untuk Jari Manismu

Surabaya, 07 Juli 2011


Hari ini aku harus ke Ibu Kota. Seorang teman lama mengadakan pameran barang-

barang antik koleksi pribadinya. Sekalian dia ingin bertemu denganku, katanya. Ya,

dia teman sebangku waktu SMA dulu. Kami berteman sangat baik. Mungkin ini akan

jadi reuni kecil bagi kami.

Dan sekarang aku sudah berada di bandara, menunggu pesawat yang akan

mambawaku ke Ibu Kota. Dan seperti biasa mungkin akan delay lagi. Menyebalkan.

Tapi tak apa, karena delay, sekarang aku jadi punya waktu untuk mencatat beberapa

hal dalam catatanku. Terutama tentang perjalanan hari ini.

Belakangan kenangan-kenangan lama sering menghantui pikiranku. Mereka seperti

hantu-hantu dari masa lalu yang muncul dari laci. Kemudian beramai-ramai

mengejarku. Berusaha mencekekku. Mereka seolah marah karena aku meninggalkan

mereka di masa lalu.

Dan wujud mereka adalah mantan-mantanku dulu. Wajar sebenarnya kalau mereka

semua marah padaku. Aku terlalu memberi mereka harapan, lalu aku pergi begitu

saja meninggalkan mereka. Tanpa kabar. Dan semua hubungan menjadi gantung.

Entah mengapa aku selalu malas mejalin sebuah hubungan.

Pikiran-pikiran tentang kenangan-kenangan lama tersebut tak jarang terbawa sampai

ke dalam mimpi. Dan satu kenangan yang paling sering menghantuiku adalah tentang

Dina.

Bahkan ketika menuliskan namanya barusan, aku harus menarik nafas panjang dulu.

First Love Never Die. Agaknya pepatah tersebut ada benarnya. Setidaknya aku

merasakannya sekarang. Dia adalah wanita paling lama yang mendiami hatiku. Bahkan

rasanya ia tak pernah benar-benar pergi dari hatiku. Meski waktu berlalu dan

beberapa wanita menempati hatiku, tapi seolah ia menjadi bayangan disana.


Apakah aku yang setengah hati untuk melupakannya? Kadang aku bertanya seperti

itu pada diriku sendiri. Dan jawabannya aku sendiri tak tahu.

Yah, cinta pertama memang dilupakan. Ingin rasanya bertemu dia lagi. Ya, sudah

lama juga aku tidak melihat senyumnya. Hmm.. kalau dia tersenyum matanya yang

sipit itu hilang. Tenggelam ditelan pipinya. Ah aku suka gemas dengan pipinya itu.

Sudah setengah jam pesawatku delay. Berapa lama lagi aku harus menunggu?

Mengunggu pesawat delay seperti ini rasanya seperti menunggu kepastian sebuah

hubungan saja. Tanpa kepastian. Tapi kadang cinta juga seperti jadwal pesawat,

tidak pernah tepat waktu. Kadang terlalu cepat, kadang terlambat, atau malah dia

datang ketika bukan waktunya.

Ya sudahlah, mungkin sekarang aku diberi kesempatan lebih untuk menulis di

catatanku.

Kalau mau flashback ke saat-saat dimana aku jatuh cinta pertama kali itu memang

unik. Ada semacam perasaan yang ganjil dan sulit digambarkan. Dan secara aneh

tiba-tiba otakku menghasilkan banyak sekali kata-kata. Hampir di semua catatanku,

di bagian belakangnya dipenuhi puisi-puisi. Tapi dari dulu aku tak berani mengirimkan

satu puisipun pada Dina.

Ya Dina, dialah wanita yang kurang beruntung dicintai pria seperti aku. Pria yang tak

berani mengirimkan surat cintanya. Pria pemalu. Sangat pemalu.

Bahkan hal seperti itu berlangsung menahun. Aku yang pemalu hanya menikmati rasa

cintaku secara diam-diam melalui puisi yang secara rutin kutulis setiap malam.

Ah kenapa aku malah curhat bagini? Tapi tak apalah, toh itu hanya cerita masa lalu.

Dan sesekali kitapun perlu untuk menengok masa lalu dan belajar darinya. Bukankah

begitu?
Suasana bandara selalu penuh haru ya? Lihatlah di ujung sana, terlihat seorang

wanita sedang berbincang dengan seorang pria, sepertinya itu kekasihnya. Wajahnya

nampak cemas bercampur sedih. Mungkin mereka baru saja jadian atau baru

bertunangan, dan karena sesuatu, cinta mereka sementara waktu harus terhalangi

jarak.

Si pria tampak tegar, ketegeran yang ia tularkan ke bahu sang kekasihnya. Hari ini

mereka mungkin akan berpisah, terpisah oleh jarak. Dan selanjutnya mereka akan

mulai menyimpan harapan, harapan-harapan untuk segera bertemu. Yah, dalam

perpisahan memang selalu ada harapan untuk sebuah pertemuan.

Namun bagi sebagian orang-orang bodoh, perpisahan bagi mereka adalah untuk

menyesali sebuah pertemuan. Tindakan tolol menurutku. Dan orang-orang seperti itu

mungkin tidak punya harapan. Dan manusia yang tanpa harapan, hanyalah mayat hidup

yang mondar mandir tanpa tujuan.

Sekarang si wanita tampak menangis. Kekasihnya menghapus air matanya, lalu

memeluknya. Dan itu mungkin pelukan yang akan mereka rindukan. Aku berharap

cinta mereka kuat menghadapi jarak.

Sepertinya aku sudahi dulu catatanku. Akan kusambung lagi nanti setelah sampai.

***

Akhirnya aku sampai di Ibu Kota. Rasanya sudah lama sekali aku tak kesini. Sampai-

sampai semuanya terasa asing. Aku serasa mengunjungi tempat yang belum pernah

aku kunjungi sebelumnya. Beberapa sudut kota sudah tampak berubah. Bangunan-

bangunan bertambah besar saja disini, seolah-olah mereka tumbuh, tapi tak ada

yang memberi mereka makan. Jalan sudah makin banyak saja tingkatnya. Diatas jalan

bahkan ada jalan.


Semuanya memang tumbuh disini, termasuk kemiskinan. Dulu seingatku anak jalanan

dan pengemis tak sebanyak ini. Kini mereka ada dimana-mana. Disinilah kota, disini

semua serba ada, termasuk kemiskinan.

Aku menumpang sebuah taksi dan meminta supir taksi tersebut mengantarku ke

salah satu museum disini. Supir taksi yang ramah. Sesekali dia menanyakan

tentangku. Tentang tempat tinggal, dan keperluanku kesini. Aku hanya menjawab

seperlunya, dengan keramahan tentunya. Aku jadi bertanya, ada berapa banyak

orang sehangat dan seramah supir taksi ini di kota seperti ini? Pasti langka.

Aku juga sesekali bertanya tentang dirinya. Namanya, Pak Imran. Umurnya sudah

lima puluhan. Wajahnya sangat bersahaja. Wajah yang biasa memberikan kasih

sayang kepada anak dan istrinya. Terbayang di benakku, dia pulang di suatu sore, lalu

anaknya berlari menyambutnya, mencium tangannya. Juga istrinya, memberikan

sebuah senyum ramah. Membuatkan segelas kopi pelepas lelah. Ah aku ingin sekali

punya keluarga seperti itu, sederhana dan penuh cinta.

Setelah beberapa menit, akhirnya aku sampai di museum. Aku meminta Pak Imran

menunggu sebentar, karena aku hanya sebentar saja. Sekedar melepas penat dan

sedikit mengenang sejarah. Aku memang senang dengan sejarah. Kerena apa yang

ada sekarang semuanya tak lepas dari sejarah.

Setelah puas berkeliling museum, aku langsung meminta Pak Imran mengantarku

menuju hotel. Beristirahat sejenak. Aku ingin mandi air panas, lalu menikmati senja

disini, sebelum besok pagi aku menghadiri undangan Pameran Barang Antik teman

lamaku.

Pukul 16.00 aku tiba di hotel. Setelah check in dan menyelesaikan urusan

administrasi aku langsung menuju kamarku. Kamar yang cukup nyaman, dengan

sebuah balkon untukku sejenak menikmati langit sore di Ibu Kota.


Setelah mandi, aku duduk di balkon kamarku. Menikmati pemandangan sore ibu kota.

Yang bahkan di saat sore seperti ini masih terlihat sibuk. Hari ini aku beruntung,

langit sorenya sangat indah. Sulit aku gambarkan dengan kata-kata.

Aku menyeruput segelas teh hangat. Sambil menyelesaikan catatanku ini. Sesekali

aku memandangi langit sore, yang semakin lama semakin pekat jingganya. Di cangkir

tehku, tiba-tiba aku seperti melihat wajah Dina. Wajahnya senyumnya berputar-

putar dalam cangkir tehku. Lalu wajahnya mengepul bersama asap teh yang masih

hangat. Aroma teh ini, seperti aroma Dina dan sedikit aroma rindu juga.

‘Dina, aku Rindu’. Tanpa sadar aku telah menulisnya kata tersebut dipinggir

catatanku. Spontan, saja tanganku menulis kalimat itu. Awalnya aku ingin

mencoretnya. Tapi sudahlah, mungkin itu suara hatiku.

Aku beranjak ketika langit mulai gelap, dan cahaya diambil alih oleh lampu-lampu

jalan yang redup. Besok pagi-pagi aku harus datang ke pameran. Mungkin tidur bisa

sedikit membunuh lelah.

***

Jakarta, 08 Juli 2011

Sedikit kesiangan, dan akupun akhirnya sampai di tempat pameran. Pameran yang

lumayan besar. Sepertinya temanku ini benar-benar sukses sekarang. Koleksi barang

antiknya lumayan banyak.

Aku sedang melihat beberapa koleksi Keris kuno, lalu tiba-tiba seorang pria dengan

pakaian kemeja dan jas sederhana tersenyum sumringah menghampiriku. “Ah

Winduuu…. “, serunya padaku. Lalu kami berpelukan hangat. “Apa kabar Win?”.

“Alhamdulillah aku baik Fiz, kamu sendiri gimana? Kayaknya makin sukses aja nih”.

“Ah kamu bisa aja, Allah hanya sedang berbaik hati padaku”, jawabnya dengan

rendah hati.
Hafizh, kemudian mengajakku makan. Kamipun berbincang hangat, mengenang masa-

masa SMA yang dipenuhi kenakalan-kenakalan remaja dulu. Setelah makan siang

Hafizh kembali mengajakku ke pameran barang antiknya.

Sejenak kemudian Hafizh terpaksa harus pergi menemui pengunjung pameran. Aku

melanjutkan berkeliling melihat barang-barang antik koleksi Hafizh. Tiba-tiba ada

yang menepuk pundakku. “Windu kan?”, Seorang wanita ternyata, dan dia

mengenaliku. Sejenak aku memandangi wajahnya. “Dina?”, tanyaku pada wanita itu.

“Iya ini aku Dina, Win. Ini beneran kamu kan Win. Nggak nyangka deh aku bisa

ketemu kamu disini. Duh udah lama ya kita nggak ketemu? Kamu kemana aja Win?”.

Aku dengan tersenyum memperhatikannya bicara. “Kok kamu senyum-senyum aja.

Lupa ya sama aku?”. Aku cuma tersenyum, “Kamu masih cerewet ya, kayak dulu”,

jawabku. Dina hanya tersipu malu.

Masih agak kaget aku bertemu Dina tanpa sengaja seperti ini. Dan sepertinya

sekarang aku percaya bahwa tangan Tuhan selalu ikut campur dalam setiap langkah

kita. Seperti pertemuan hari ini. Tidak mungkin kan tanpa sengaja aku bisa bertemu

Dina. Bahkan setelah sekian lama kita tidak bertemu.

Kami akhirnya pergi dari pameran. Dan aku terlebih dahulu pamit pada Hafiz. Aku

kemudian mengajak Dina minum kopi. Ya hitung-hitung menikmati suasana sore di Ibu

Kota. Lagian aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Apalagi akhir-akhir ini

pikiranku sering dihinggapi senyumnya.

Kami mampir di sebuah Coffee Shop yang menyediakan tenda-tenda di pinggir jalan.

Kami memilih duduk di sebuah sudut. Gerimis mulai turun perlahan. Suasana seperti

ini memang cocok menikmati secangkir kopi.

Dua cangkir kopi hangat yang kami pesan pun datang. Asapnya mengepul pekat. Lalu

aku dan Dina saling pandang. Di depan kami mengepul asap dari gelas kopi masing-

masing. Lalu kami berdua sama-sama tersenyum. “Kenapa tersenyum?”, kita berdua
bertanya serentak. “Aku senang bisa ketemu kamu lagi”, kata Dina kemudian. “Apa

bedanya denganku. Semenjak nggak ngeliat kamu aku bikin kopi selalu pahit. Soalnya

gulanya kebawa senyum kamu sih”, kebiasaan gombalku mulai muncul. “Ah gombal

kamu. Sejak kapan nih ngegombal. Perasaan kamu dulu pemalu deh”, sambil berkata

seperti itu pipinya malah merona. “Entahlah, aku sendiri juga bingung”, jawabku asal.

Dina kemudian menyeruput kopinya. “Win, kemana aja sih, kok kamu tiba-tiba nggak

ada kabar gitu?”

“Ehm… aku nggak kemana-mana kok, aku selalu duduk manis di hati kamu. Jarang

ngecek hatinya ya?”, jawabku sambil bercanda. Kusuruput kopiku yang masih hangat.

“iiih… tuh kan kamu becanda lagi, serius nih Win”, wajahnya manyun. Manyun-manyun

manja. Kalau dia udah kayak gitu, akunya yang gemes.

“Beneran, aku nggak kemana-mana. Kita nggak pernah berjauhan kok. Percaya nggak?

Kalau nggak percaya, sekarang buktinya kita malah bertemu disini”, lalu kututup

jawabanku dengan sebuah senyum.

“Tapi kamu baik-baik saja kan? Oh iya, gimana, kamu udah punya pacar?”

“Heh? Pacar?? kok nanyain pacar?”, pertanyaan itu dari dulu memang menggangguku.

“Ya penasaran aja, orang pemalu kamu bisa dapat pacar nggak ya? Hahaha”, Dina

tertawa meledekku.

“Ngeledek nih ceritanya. Hmmm… Pacar ya? Aku pernah punya. Tapi nggak bertahan

lama. Mungkin aku terlalu pemalu kali ya? Orang pemalu seperti aku kadang jadi

pendiam. Mungkin dia bosan dengan sikapku yang seperti itu”, Kuseruput cangkir

kopiku.
Dina juga menyuruput kopinya. “Kalau diliat dari cara kamu ngegombal tadi, aku

nggak yakin kamu masih pemalu. Aku curiga jangan-jangan kamu sudah jadi playboy

sekarang. Hahaha..” Dina tertawa kecil, lalu meminum kopinya lagi.

“Eh tahu nggak, kemaren wajah kamu mengepul dari cangkir teh ku”, kataku sambil

tersenyum kecil.

“Ah kamu bilang kangen aja sampe kayak gitu, susah banget ya bilang ‘Aku kangen

kamu?’”, bibirnya kembali menyentuh cangkir kopi.

“Ah kamu, ge-er nya kebangetan”, aku menyeruput sisa kopiku. Habis.

Kemudian kami hanya diam. Sementara senja mulai merangkak turun. Waktu

sepertinya tak mampu menolong matahari yang tenggelam di barat. Sisa cahayanya

jingga. Menyapu wajah Dina. Aih anggunnya.

“Win, kamu masih suka warna senja seperti ini?”, tiba-tiba Dina memecah

keheningan.

“Masih, bahkan aku masih menyimpan lukisan kecil kamu dulu”, kataku sambil

memandang langit barat yang berwarna jingga.

“Lukisan itu, aku aja bahkan hampir lupa loh. Bahkan bagaimana gambarnya aku lupa.”

Dina juga ikut memandangi langit senja. “Aku jadi kepengen ada doraemon deh Win”

“Hah? Doraemon?? Buat apa?”, tanyaku heran.

“Mau minjem mesin waktu, terus kembali ke waktu dimana aku ngelukis lukisan itu.

Pengen ngelukis kayak gitu lagi”

“Ah kamu. Etapi juga pengen deh ada doraemon”


“Buat apaan?”, giliran Dina yang heran. Dia menoleh padaku, dan keningnya mengerut.

“Mau minjem pintu kemana saja, terus aku mau pakai buat ke pergi hati kamu. Mau

ngecek ada atau nggak nama aku disana”

“hahaha”, aku dan Dina sama-sama tertawa. Lalu kami menghabiskan sisa senja dalam

diam. Lampu-lampu mulai menyala. Kota mulai temaram. Sementara gerimis makin

lebat. Dina sesekali melirik jam tangannya. Sepertinya dia ada janji lain.

“Ada apa Win, kok gelisah gitu?”, tanyaku pada Dina.

“Aku ada janji sama sama teman Win. Disini nggak ada taksi lewat lagi”, wajah Dina

makin gelisah.

Aku membuka jaketku, “Ayo Win, aku antar sampai ke tempat taksi”. Aku kemudian

menjadikan jaketku untuk memayungi Dina. Kami berjalan di bawah gerimis, dan

remang-remang lampu jalanan.

Beberapa menit berjalan, kamipun sampai di jalan yang dilewati taksi. Dina sedikit

basah. “Bawa saja jaketku, nanti kamu kedinginan”, kataku pada Dina saat dia

mengembalikan jaketku. Dia pun kemudian memberikan nomor handphonenya,

“Hubungi aku nanti ya?”. Kemudian pintu taksi ditutup. Lalu menghilang di belokan.

Aku lalu kembali ke hotel dalam keadaan basah kuyup. Sepanjang malam aku malah

tak bisa tidur. Heran bagaimana bisa semua ini terjadi. Tuhan seperti telah

mempersiapkan pertemuan kecil ini. Beberapa hari pikiranku terus menerus di

datangi wajah Dina. Lalu hari ini kita bertemu. Ah rasanya bersyukur sekali.

Dulu aku memutuskan untuk menghilang darinya. Sekarang mungkin sudah saatnya

aku menjelaskan semuanya, dan memberitahukan semua yang aku rasakan. Kemudian

ku ambil sebuah kotak. Didalamnya ada cincin. Bukan cincin sesungguhnya. Tapi

kilaunya tidak kalah dari cincing asli. Kilaunya bahkan berwarna warni seperti
pelangi. Kupandangi terus. Ini kubeli sewaktu SMA dulu. Tapi nasibnya sama seperti

puisi-puisiku, tak pernah sampai ke tujuan. Aku kemudian menatap dua belas nomor

yang diberikan Dina tadi.

Aku kemudian mengambil handphone, kemudian menuliskan sebuah pesan singkat.

“Ini aku, besok kita harus bertemu”. Kemudian aku memasukkan dua belas nomor

yang diberikan Dina. SENT! Lima menit kemudian, handphone ku bergetar. Sebuah

pesan singkat. “Oke Win, dimana dan jam berapa”

Aku kemudian menyebutkan tempat dan waktunya. Dina pun setuju. Aku kemudian

memandangi cincin tadi sekali lagi. Menutup kotaknya. Dan berharap besok semua

akan berjalan lancar.

***

Jakarta, 09 Juli 2011

Aku menunggu di waktu dan tempat yang telah kujanjikan. Duduk di sebuah bangku

kayu. Menikmati sore yang mulai turun. Menghirup anginnya yang khas.

Beberapa menit kemudian Dina datang, dari kejauhan ia sudah tersenyum, membuat

mata sipitnya ikut tersenyum.

“Hai, sudah lama?”, tanya Dina dengan senyum super manis. Ia lantas duduk

disampingku

“Belum, baru aja”

“Mau ngomongin apa sih?”


“Hari ini aku cuma mau ngasih sesuatu. Sesuatu yang sudah bertahun-tahun ingin aku

kasih ka kamu. Tapi tahulah, aku kan dari dulu orangnya pemalu”

“Sesuatu? Apa?”, tanya Dina dengan penasaran.

Aku kemudian mengeluarkan cincin yang sudah kupersiapkan. “Ini”, kataku sambil

menunjukkan cincin itu pada Dina.

“Wah indahnya, permatanya kok bisa warna warni seperti itu. Kayak pelangi Win”,

Dina pun berbinar-binar menatapnya.

“Ya, memang seperti pelangi. Aku juga tidak tahu pasti. Mungkin pembuatnya benar-

benar membuat cincin ini dari sebuah pelangi. Tapi ini cuma cincin mainan kok. Dari

dulu aku ingin melingkarkannya di jari manismu. Dan hari hari ini aku benar-benar

ingin melingkarkan pelangi ini di jari manismu”

Kemudian Dina terdiam. Ia menggeleng, “Nggak bisa Win”. Ia kemudian menunjukkan

sebuah cincin di jari manis kirinya.

Aku tersenyum, “Nggak apa-apa kok. Kamu nggak harus memakainya. Kamu bisa

menyimpannya. Setidaknya ditanganmu warna pelangi ini tak akan memudar”. Aku

kemudian meraih tangannya, meletakkannya di telapak tangannya, dan

mengatupkannya kembali. “Aku ingin kamu menyimpannya.”

Dina hanya tersenyum. Kemudian kami saling diam.

“Besok pagi aku akan kembali, aku disini cuma dua hari saja. Itulah kenapa aku ingin

memberikan cincin itu sekarang. Aku tak ingin lagi menunda-nunda memberikannya.

Aku juga ingin kamu menyimpan catatanku ini”, kataku sembari memberikan

catatanku pada Dina.“Setelah ini kita tidak tahu kan, apakah kita masih bisa

bertemu. Yang punya kuasa atas cerita kan bukan kita. Dan hari ini aku juga ingin

mengucapkan kalau aku mencintaimu.”


Dina hanya terdiam. Aku tahu ia ingin sekali mengucapakan ‘Aku juga mencintaimu’.

Tapi cincin di jari manis kirinya pasti membungkam mulutnya.

Lalu senja merangkak turun. Warna jingganya menyapu wajah kami berdua. Aku

menoleh menatap wajah anggun Dina, dan untuk kali pertama ia juga menatapku. Lalu

wajah kami semakin dekat. Bahkan aku bisa melihat detail bulu mata lentiknya. Dan…

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

…………………………

Dina kemudian membalik lembaran-lembaran catatan peninggalan Windu. Namun

hanya lembaran-lembaran kosong, kosong dan kosong. Hanya di lembaran terakhir

dia tertulis “Selingkar Pelangi untuk Jari Manismu”.

Tubuh Dina kemudian terguncang. Isak tangis tak mampu dia bendung lagi. Perlahan

cairan hangat dari pipi Dina jatuh membasahi lembaran-lembaran catatan tersebut.

Di depan Dina, TV masih sibuk mengoceh tentang berita kecelakaan pesawat

kemarin. Di atas meja juga sama, sebuah koran sibuk bercerita tentang kecelakaan

pesawat kamarin yang semua penumpangnya tewas.

Dina masih terisak-isak, catatan yang diberikan Windu kemaren lusa basah oleh air

matanya. Dan cincin pelangi dari Windu tergolek ditengahnya. Dina bersimpuh,

berurai air mata. Sementara di luar hujan turun dengan deras. Menghapus sesal-

sesal bertahun-tahun lalu. Dan hujan di luar mungkin ikut melunturkan warna pelangi.

Sekali lagi Dina menatap cincin peninggalan Windu dengan matanya yang sembab.

Anda mungkin juga menyukai