Anda di halaman 1dari 2

Lantunan Sendu Melodi Biolaku

Mungkin aku memang tak sempurna. Sedari kecil tak ada yang mau menerima kekuranaganku.
Tak terkecuali orangtuaku sendiri. Bahkan nama indah yang kupunya bukan pemberian mereka.
Namaku Angelica Melodi. Nama indah pemberian mendiang kakekku.

Dua bulan lalu langit seperti runtuh menimpaku. Hidupku bagai telah berakhir. Satu-satunya
orang yang menerimaku dengan penuh senyum pergi meninggalkanku. Bukan untuk sesaat.
Bukan untuk sekejap. Ia telah pergi jauh menghadap Tuan hidup.

Hidupku kembali terombang-ambing. Ingin hidup tak ada alasan lagi. Tapi mimpi mendiang
kakekku yang beliau titipkan padaku belum juga kuraih. Berkali-kali kupikirkan semuanya,
berkali-kali juga aku menyerah. Pasrah.

Kulangkahkan kakiku mantap menuju panggung impianku bersama mendiang kakekku. Sedikit
senyum kusunggingkan menambah semangatku. Kuingat kembali kata terakhir mendiang
kakekku.

“Tunjukkan alunan melodi indahmu. Biarkan seluruh dunia tahu. Jangan biarkan mereka
hentikan langkahmu walau hanya selangkah. Kakek yakin kamu pasti bisa.”

Kulihat sayup-sayup mata yang memandangku aneh tak percaya. Melihatku berada di panggung
ini. Memang aku tak berdiri. Aku duduk di atas kursi roda yang menompang tubuhku. Kursi roda
yang mungkin bisa dikatakan saksi bisu pahitnya duniaku. Yang menopang tubuh rentaku sedari
kecil.

Terkadang aku merasa iri dengan mereka yang dapat berlari sejauh mereka mau, menaiki sepeda
sekadar berkeliling taman. Hal-hal yang tak bisa kulakukan sendiri tanpa kaki renta tua itu.
Sepasang kaki milik mendiang kakekku.

Ku mulai menarik napasku perlahan. Kusadari puluhan mata di depanku melihatku dengan tatap
cerca. Kuhela napasku lagi. Ku mulai memainkan melodi-melodi indah biolaku. Perlahan tatap
cerca itu luluh. Ku mulai menikmati melodi biolaku.

Satu persatu suara telapak tangan bertemu mengiringi akhir permainan biolaku. Sungguh aku tak
percaya dengan apa yang kulihat. Setetes cairan bening terjun bebas tanpa malu-malu
membasahi pipiku.

“Mimpimu telah kuraih.”

Cerpen Karangan: Riska Putri Meiyana

Facebook: Riska Putri Meiyana


Nasihat Terakhir Dari Mama
Namaku Alya Nafriza Chintia Sari. Biasa dipanggil Alya. Aku berumur 13 tahun. Saat ini aku
duduk di bangku SMP. Aku tinggal di Jl Pancasila no. 5 bersama mama dan kakakku. Ayahku
sudah meninggal sejak aku berumur 9 tahun dikarenakan kecelakaan tunggal di jalan raya. Aku
bisa merelakan hal itu karena itu adalah kehendak Allah.

4 Tahun berlalu..

Sekarang adalah hari ini. Hari dimana aku bersekolah pada pagi hari. Aku pun bergegas pergi ke
kamar mandi. Setelah mandi, aku melaksanakan sholat shubuh. Aku mendoakan ayah agar diberi
tempat yang layak di sisi Allah SWT. Selesai sholat, aku pergi ke ruang makan untuk sarapan
pagi. Tampaknya mama dan kakak sudah menungguku dari tadi.

“Lama banget sih. Ngapain aja?” Keluh kakakku, Dita

“Kalau nggak sabar ingin makan, gak usah tunggu aku deh!” Jawabku dengan nada marah

“Sudah-sudah, kalian berdua gak boleh berantem. Harus akrab!” Tegas mama

“Iya ma…” Balas kakak

Selesai makan, kami berdua diantar mama ke sekolah. Aku diantar paling dulu oleh mama,
sedangkan kakakku terakhir.

“Ma, Alya sekolah dulu ya… Assalamu’alaikum” sambil melangkah pergi masuk ke gerbang
sekolah

“Iya, Wa’alaikumsalam”

Aku pun melaksanakan kegiatan sekolah hari ini dengan baik. Selesai bersekolah hari ini, aku
pulang. Aku menunggu mama menjemputku di tempat biasanya. Entah kenapa, hari ini mama
telat untuk menjemputku.

“Hai Alya! Lagi ngapain?” Teriakku temanku, Dini, sambil berlari ke arahku.

“Ini lagi tungguin mama jemput aku.”

“Oh.. Aku duluan ya”

“Oh iya, sampai ketemu besok pagi ya”

“Iya..” sambil pergi menjauh

30 menit berlalu..

Mobil mama pun terlihat. Aku kesal karena mama menjemputku terlambat.

“Mama, mama kok lama sih jemput aku? Mama ngapain aja?” Tanyaku dengan nada kesal

“Maaf sayang, tadi ada meeting dadakan. Jadi mama terlambat deh nyusul kamu. Maaf ya
sayang?” jawab mama dengan nada bersalah

Anda mungkin juga menyukai