Anda di halaman 1dari 4

AYAH Malam itu entah kenapa aku terbangun dari tidur.

Padahal di luar sana suara gemericik air hujan masih terdengar. Tambah lagi, mataku agak sedikit basah. Tanganku bergerak mencari Hp untuk melihat jam berapa ini. Angka di pojokan display Hp menunjukkan saat itu masih pukul 02.00 dini hari. Aku menggeser sedikit badanku mendekati tembok samping tempat tidur. Malam itu benar-benar aneh. Aku bisa mengingat mimpi yang baru saja membuat terbangun. Bayangan ayahku yang telah lama pergi entah kenapa muncul dalam mimpiku. Walaupun begitu, yang membuatku terbangun sebenarnya bukanlah apa yang ada dalam mimpi. Namun apa yang terjadi dalam mimpi itu. Ayahku yang telah lama pergi terlihat seperti bersedih. Entah apa yang ada dalam benaknya. Satu hal yang pasti, dia bersedih sambil menatapku, lalu tiba-tiba berdiri dan berjalan menjauh. Rasa hangat dari pelupuk mataku perlahan menjalar ke pipi dan dagu. Mungkin rasa hangat itulah yang membuatku terbangun, sekalipun cuaca di luar sangat dingin. Aku bergerak menjauhi tembok dan menuju kamar mandi. Perlahan-lahan air mulai membasahi kedua tanganku, wajahku, kepalaku, dan kedua kakiku. Beberapa menit kemudian jiwaku serasa terhanyut dalam arus perasaan nyaman, hangat, tenang, serta perasaan lainnya yang lebih terasa yaitu perasaan bersalah dan malu. Perasaan bersalah karena terlalu banyak hal buruk yang pernah dilakukan dan perasaan malu karena pada akhirnya aku selalu memohon akan maaf-Nya. Berbagai perasaan yang bercampur-baur dan suara gemericik hujan serta mimpi barusan, mengingatkanku akan hari itu. *** Musim hujan di bulan Desember tahun 2000, aku liburan semester di rumah saudara di Cirebon. Waktu itu orang-orang sedang melaksanakan ibadah shaum karena bertepatan dengan bulan Ramadhan. Aku yang saat itu sudah berumur tujuh tahun, belajar untuk ikut shaum. Kedua Uaku selalu mengatakan untuk tidak terlalu memaksakan diri shaum penuh sampai maghrib. Walaupun begitu, aku sudah terbiasa shaum penuh karena sejak masuk SD ayahku selalu menyemangatiku untuk shaum penuh. Hari pertamaku liburan di rumah Ua dihabiskan untuk sedikit berjalan-jalan di sekitar rumah. Para tetangga yang melihatku berjalan di samping Ua langsung mendekati dan mengulurkan tangannya untuk mencubiti pipiku.

Aduh..lucunya! kata salah seorang tetangga,Siapa namanya? Rahmat Sholeh.jawab Uaku,Dia anaknya adik ipar saya yang di Majalengka. Berapa umurnya, Dek? tanya si ibu menatap ke arahku. Tujuh tahun.jawabku dengan agak ragu. Ya sudah bu, kami permisi dulu.kata Uaku begitu dilihatnya gelagat si ibu yang ingin terus bertanya. Kami berdua melanjutkan jalan-jalan mengelilingi daerah sekitar itu. Setelah agak lama berjalan, aku mengeluh capek dan ingin pulang. Mungkin karena saat itu aku sedang shaum, makanya jadi cepat capek. Waktu maghrib telah tiba. Lantunan suara adzan dari masjid terdekat menandai akhir perjuangan orang yang shaum hari itu. Uaku sekeluarga termasuk aku sudah duduk rapih mengelilingi meja makan. Ua memimpin doa berbuka puasa, Allahuma lakasumtu wa bika aamantu wa ala rizqika aftortu birohmatika yaa arhamarrohimin. *** Hari-hari berikutnya aku lewati dengan bermain-main di sekitar situ, pergi ke rumah anaknya Ua, dan berjuang mempertahankan shaum penuhku. Pada hari ketiga Ua menerima sebuah kabar yang membuat dirinya dan istrinya kaget. Mereka mengatakan kalau aku harus pulang hari ini juga. Maka siang itu aku langsung diantar oleh Om Aci, menantu Uaku, pulang ke Majalengka. Walaupun hujan masih lebat siang itu karena sejak pagi mendung, Om tetap mengantarku pulang. Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam mendengar deru motor yang samar karena tertutup deru hujan yang bercampur angin tanpa petir . Aku yang masih kecil tak merasakan firasat apapun. Walaupun tentu saja aku merasa heran karena Om melajukan motornya dengan begitu cepat. Setelah beberapa saat, hujan mulai melemah. Om sedikit melambatkan laju motornya dan memberitahu kalau kita sudah sampai di Majalengka. Ketika akhirnya kami tiba di dekat rumah, hujan sudah tinggal rintik-rintik. Aku melihat banyak tetangga yang berkerumun, laki-laki perempuan. Sebuah bilik buatan dari terpal mengisi separuh pekarangan rumah yang biasanya lengang. Aku semakin bertanya-

tanya ketika bersama Om melangkah masuk ke dalam rumah. Banyak sekali orang yang menangis di dalam rumah. Sebuah kasur yang terhampar di ruang tamu menggantikan kursikursi dan meja. Seorang tetangga tiba-tiba berbicara,Mat, ibumu ada di kamarnya. Temuilah dia. Aku berjalan ke kamar ibuku, sementara Om berbincang dengan para tetangga. Aku buka tirai penutup kamar dan kulihat ibuku terduduk di pinggir ranjang dengan wajah sembab. Begitu wajahku terlihat dalam pandangannya, ibu langsung mendekat dan merangkulku. Bu, ada apa ini? tanyaku kepada ibu. Beberapa saat tak ada jawaban dan hanya terasa sesuatu yang hangat mengalir di punggungku. Akhirnya ibu bersuara walaupun masih bercampur dengan isakan,Ayahmu meninggal, Mat. Ayah.. ucapku lirih. Tiba-tiba aku merasa seperti melihat dari ribuan pecahan kaca yang menghalangi pandanganku. Air mataku meleleh dan jatuh di pundak ibuku. Ayah.hiks..hiks. Setelah beberapa menit aku terisak di pelukannya, ibu menyuruhku untuk ke depan. Aku dan adik pertamaku yang berumur 4 tahun dituntun oleh seorang tetangga menuju ke bilik terpal di depan rumah. Awalnya aku hanya melihat sekumpulan bapak-bapak yang seperti sedang mengerubungi sesuatu. Kemudian satu persatu bapak-bapak itu mulai menyingkir, memberi kesempatan padaku dan adikku untuk melihat sosok itu. Sosok yang dulu selalu memperhatikan dan menyayangi kami. Sosok yang mengajariku untuk selalu berbuat baik kepada orang lain dan mengajarkanku perlunya optimis dalam menjalani hidup. Sosok yang dulu selalu tersenyum hangat pada siapapun,tegas dan bisa diandalkan, kini terbujur kaku di atas dipan untuk memandikan mayat. Tubuhnya yang dulu kekar kini hanya terlihat bagai tulang yang terbungkus kulit. Perlahan , gejolak perasaan ketika dalam rangkulan ibuku tadi kembali menghampiri. Tapi tak ada air mata yang keluar. Aku hanya berdiri mematung sambil memegang erat tangan adikku. ***

Hal berikutnya yang aku tahu, orang-orang beriringan menuju ke pemakaman umum dengan membawa serta keranda bertutup kain hijau itu. Aku yang masih kecil hanya berdiri di depan pagar rumah, menatap kerumunan orang yang semakin mengecil. Wajahku kembali menghangat, meskipun matahari sore berada di belakangku. *** Kumandang adzan shubuh menyentakanku dari kenangan masa lalu itu. Membawaku kembali ke masa kini seperti sebuah mesin waktu. Segera kuambil air wudhu kembali karena ternyata wajahku sembab dan basah oleh air mata. Selepas shalat shubuh aku kembali termenung. Tiba-tiba saja perasaan bersalah melanda diriku. Perasaan bersalah karena beberapa hari belakangan aku selalu menyalahkan kepergian ayahku atas sikapku selama ini yang tidak dewasa. Aku menyalahkan kepergian sosok yang biasanya dijadikan orang lain sebagai gambaran sikap mereka. Aku berpikir bahwa kedewasaan seseorang itu karena mereka dapatkan dari ayah mereka. Tapi ternyata kedewasaan itu harus ditemukan sendiri oleh masing-masing orang. Dan Allah punya caranya sendiri untuk menempa kedewasaan seseorang. Ya Allah, maafkan aku atas sikap suudzonku selama ini. Tak seharusnya aku memiiki prasangka seperti itu. Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orangtuaku dan sayangilah mereka sebagaimana mereka telah menyayangiku di waktu kecil. Ya Allah, semoga Engkau selalu menemaniku dalam ujian kedewasaanku ini. Amin. Kulihat foto ayah di dinding kamar kosku. Entah kenapa aku seperti melihatnya tersenyum bahagia. ***

By Jun Kamisora

Anda mungkin juga menyukai