Anda di halaman 1dari 6

Cerpen Karangan: Muid Sidik

Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Sedih


Lolos moderasi pada: 13 November 2017

Waktu mulai berlalu dengan lambatnya sampai sore mulai menjelang, dan
pamanku juga datang di rumah. Namun cuaca seolah tidak bersahabat hari ini hujan
disertai angin kencang menambah suasana menjadi seolah mencekam. Dan aku pun
tetap setia mendampingi ibuku, dan sesekali tanpa terasa air mata pun tak luput
menetes, dan suatu ketika aku terkaget dengan kejang ibu kembali. Aku pangil ayahku
dan pamanku dan seperti saran ayahku tadi aku mulai menyiapakn kain untuk
mengganjal mulut ibuku, sampai beberapa menit berlalu kejang ibu sudah mulai hilang
kembali, dan saat itu juga aku menangis sejadi-jadinya.
Ayahku mulai menenangkanku “udah emak tidak apa-apa” nasehatnya padaku.
“Tapi pak” selahku, “berdaoa semoga emakmu segera diberi kesehatan” pesanya
padaku, “iya pak” jawabku. Setelah itu hampir disetiap doaku aku mengharapkan ibu
diberikan kesehatan kembali. Setelah kejadian ini ayahku pun berdiskusi dengan: aku,
ayah, paman, dan nenek, kami sepakat untuk membawa ibu ke rumah sakit sampai
hampir menjelang magrib mobil yang kami sewa untuk mengantarkan ibuku baru
datang, ibuku pun aku papah untuk menuju mobil, namun kaki ibu seolah lemas dan tak
mampu berjalan, aku pun akhirnya meggendongnya sampai di mobil.
Di sini aku, paman, bibik, dan ayah mengantarkan ibu ke rumah sakit tepat pada
bakda isya kami sampai di rumah sakit, dan ibuku langsung ditangani, namun hal yang
paling mengejuatkanku aku malah di suruh pulang dulu, padahal aku masih ingin
menemani ibuku. “Besok saja kamu ke sini, sekalian bawa pakaian ibumu” saranya
padaku, “iya pak” jawabkau, aku pun dengan perasaan sedih harus pulang.
Keesokan harinya selasa, “kring, kring, kring”, suara telepon mulai berdering aku
bergegas mengangkat telepon dan berharap kabar baik tentang ibuku terjadi. “Iya pak,”
jawabku dalam telepon “dik segera, ke rumah sakit, bawa semua pakaian emakmu dan
bapak, kita akan pergi ke rumah nenekmu di linggau hari ini” pesannya seoalah gugup
terdengar. “Tapi pak, gimana kondisi emak pak?” tanyaku seoalah penasaran dengan
kondisi ibuku, “sudah jangan banyak tanya” cepat ya jawabnya singakat “iya pak”
jawabku sambil berlari menuju lemari ibu dan ayahku, kumasukkan semua pakaian
mereka dalam tas, seolah tak satupun aku tinggal. Aku pun mulai bergegas menuju
rumah sakit dengan parasaan gemuruh cemas di dadaku. Seolah perjalanan serasa
sangat lama aku rasakan memang rumahku dengan rumah sakit tempat ibu dirawat
berjarak puluhan KM, hingga sampai nya di sana aku tidak lagi melihat senyaum ayah
di wajahnya ibuku seolah nampak diam dengan terpejam kedua matanya. “dik hari ini
kita ke rumah nenek, di sana biar ibumu ada yang mengurusi selain kita” jelasnya, “iya
pak” jawabku “tapi emak bagaimana kondisinya?” Tanyaku penasaran, “emakmu, tadi
kambuh lagi, namun sekali lagi kata dokter secara medis ibumu tidak apa-apa,
makanya emakmu ayah bawa ke tempat mbahmu di sana ada kiayi yang akan
menyembuhkan emakmu” jelasnya padaku “baik pak” jawabku.
Siang pun mulai menjelang ternyata datang lah rombongan keluargaku yang di
linggau. di sana ada pakde, paman, kakak ipar, bude, bibik dengan menggunakan
mobil. dan tepat jam dua ibuku dibawa keluarganya menuju rumah nenekku di linggau
dimana di sanalah ibuku dilahirkan, aku pun membuntutinya dengan motorku, seoalah
memang teman nyata bagiku saat ini yang setia menemani tanpa ada tuntutan
keinginan selain aku beri minum seguyur bensin. Jarak rumah sakit denga rumah
nenekku mencakup hampir 3 jam perjalanan, dan tepat jam lima kami pun sudah
sampai di rumahku yang selama ini aku tempati sendirian. Sebelumya aku mengira
akan setengah bulan meninggalkannya, ternyata cuma tiga hari kita berjumpa lagi
gumam dalam hatiku.
Ibuku pun dibawa kedalam dan dibaringkan di kamarku, di sinilah mulai ramai
berdatangan keluargaku yang di linggau seoalah tak percaya dengan kondisi tubuh ibu
yang saat ini. Sampai sore menjelang, kini di rumah tidak hanya ada aku dan ayahku
yang mejaga ibu, namun ada kakakku juga yang menjaganya. Sampai malam pun
mulai menjelang. Di sinilah ibuku mulai menampakan gelagat aneh, ibuku berteriak-
teriak seolah tak mau diam dan terkadang tertawa dengan sendirinya dan terkadang
pula menyanyi dengan sendirinya aku pun berusaha menenangkan ibu, namun tetap
saja ibuku seperti itu.
Namun suara ibu ini lambat laut mulai terdengar kencang maklum, suara tadi
masih terhalau oleh bisingnya kendaran sekarang kian sepi kendaraan hingga serasa
suara ibu bergema tanpa penghalang. Hingga mengundang warga sekitarnya. mereka
pun akhirnya berdatangan dan menanyakan ada apa, ada apa” tanya salah satu warga,
tanpa jawaban mereka akhirnya melihat sendiri. Sampai pada akhirnya banyak warga
yang datang dan berkumpul di rumahku. Aku dan ayahku seoalah berterima kasih atas
kedatangan mereka sampai subuh hadir dan mulai azan subuh berkumandang dan
ibuku berhenti dengan sendirinya
Hari rabu, hari ini pun nampak seperti hari-hari berikutnya. Namun ada sedikit
yang berbeda hari ini, ayahku membawa seoarang kiyai yang akan menyembuhkan
ibuku, dengan lantunan doa yang terucap dalam segelas air putih, beliau memintaku
untuk meminumkanya. Dan seperti biasa ibuku tanpa seribu bahasa dan tetap diam.
Sampai siang menjelang, kiyai itu pun pulang dan kini kejang ibu pun kambuh kembali,
dan aku pun sedikit heran karena kejang ibu terjadi buakan hanya satu kali atau dua
kali dalam sehari bahkan hampir setiap jam sekali ibuku kejang. Aku selalu berdoa agar
ibu di beri kesembuhan, namun seolah doaku kali ini seperti angin yang berlalu tanpa
balas.
Kondisi ibu pun kian parah, hinga dihari hari berikutnya seperti kamis, jumat
nampak ibuku tak ada perubahan, bahkan semakin kasihan aku melihatnya. Dan
semakin putus asa harapanku padanya, namun kondisi ibuku yang seperti ini bukan
berarti aku atau ayahku atau bahkan keluargaku tanpa ikhtiar atau usaha sema sekali,
bahkan aku pun menghitung sampai ada tujuh orang pintar menangani ibuku. Namun
seoalah tetap saja kondisi ibu kian memburuk bahkan kejang ibu kian hari kian
meningkat rentetan durasi waktunya yang semula setiap jam sekali kini berubah
menjadi semenit sekali.
Di hari sabtu aku mulai memandangi wajah ibu, yang kian nampak lusuh dan
pucat seolah, ibu tak berdaya lagi mempertahankan hidupnya. Namun dihari itu aku pun
masih berharap ibu masih diberi kesembuhan, seolah terkadang terbesit di pikiranku
andaikan nyawaku dapat aku tukar dengan kesembuhan ibu pasti aku lakukan. Aku pun
terkadang masih teringat dengan betapa bodohnya diriku yang dulu ketika permintaan
ibu untukku segera pulang namun malah aku abaikan. Hal-hal itu yang kian
berkecamuk dalam diriku. Hingga peristiwa itu mungkin tak pernah aku lupa dan selalu
menjadi ingatan yang menggambarkan betapa berdosanya dan bersalahnya aku pada
ibuku. Dan sesekali aku berucap, “ibu, tolong maafkan aku”.
Sampai siang menjelang aku dipanggil bapakku “dik, dik ke sini, panggil
kakakmu sekalian” panggilnya padaku, “iya pak” jawabku sambil mengajak kakakku
kami pun bertiga duduk. Sampai suatu ketika hal yang tak pernah aku lihat dari seorang
ayah yang selalu terlihat kuat dan gagah di mataku seolah hari ini tak berlaku lagi, air
mata yang seolah beliau simpan dan tak pernah keluar kian bercucuran “hari esok tepat
seminggu emakmu sakit, bapak Cuma bisa berpesan pada kalian apa pun yang terjadi
pada ibumu tolong iklaskanlah”, pesannya padaku dan kakakku, air mataku dan
kakakku pun seoalah tak terbendung mengalir dengan sendirinya seolah tidak pernah
percaya dengan pesan ayahku tadi, namun sebagai anak laki laki aku pun berusaha
tegar walau seolah tulang penyangga tubuh seolah kian hilang dalam tubuhku, aku pun
mencoba bersabar dan mulai kembali duduk di sebelah ibu, dan lagi-lagi aku melihat
sungguh amat kasihan ibuku, apakah benar apa yang dikatakan ayahku kalau kami
harus mengiklasakanya, pikiran itu mulai berkecamuk dalam benakku, seolah terbesit
apakah aku mampu hidup tanpa seorang ibu.
Sampai sore menjelang ibu pun tak kunjung ada perubahan, sampai azan
magrib berkumandang, aku pun melakukan rutinitas ibadahku dan saat ini doaku pun
aku rubah mungkin yang dulu selalu optimis meminta kesembuhan ibu sekarang
berbeda. Karena kali ini Sang Kuasa hanya aku beri dua pilihan, bukan berarti aku tak
sayang lagi pda ibuku, tapi aku sangat dan bahkan sangat sayang kepadanya melebihi
apapun, tetapi kondisi ibu yang kian memburuk membuatku seperti ini aku pun
mengutarakan kepada sang Kuasa jika engkau beri kesembuhan maka segeralah beri
kesembuhan untuk ibuku, namun jika tidak maka aku ikhlaskan Engkau mengambilnya
dariku. Itu doa yang aku utarakan pada sang Kuasa kali ini Sudah tentu dengan
perasaan berkecamuk di dalam diriku.
Sampai malam pun menjelang. Ramainya warga berdatangan seolah tak
terhentikan sampai tengah malam menjelang, kini mulailah sedikit demi sedikit orang
berpamit pulang dan entah kenapa malam ini seolah memberi rasa kantuk yang
mendalam untukku, aku pun tanpa sadar tertidur, dan pada akhirnya aku bermimpi hal
yang sangat aneh dalam hidupku dimana aku, ayahku, dan kedua kakakku memikul
sebuah keranda jenazah, yang aku sendiri tidak tahu siapa di dalamnya sampai suatu
ketika ada tangan dan suara yang membangunkanku, “dik, dik bangun” suara ayah
membangunkanku, “iya pak, maaf ketiduran”, ujurku “iya tidak apa-apa, oya buruan
bangun dan ambil air wudhu ikutlah membaca yasin berjamaah” mintanya padaku,
“malam-malam begini pak” tanyaku seolah tak percaya “iya” jawabnya singkat, “ya
sudah aku mengambial air wudhu dulu” jawabku, aku berjalan mengambil air wudhu
seolah rasa kantuk tak mau lepas dariku aku berwudhu, dan kembali ke rumahku, di
sana sudah ada enam orang yang siap membaca surat yasin dan ditambah aku maka
menjadi tujuh orang. Dan di sekeliling itu aku melihat ada sebaskom air yang berada di
tengah, dan tanpa berpikir panjang aku pun duduk dan mengikuti yang lainnya setelah
semua terasa sudah siap kami pun mulai membacakanya dan setelah selesai aku diberi
satu gelas air itu dan memintaku untuk meminumkanya kepada ibuku, tanpa berpikir
panjang aku menurutinya aku minumkan perlahan dengan sendok nasi, baru empat kali
aku minumkan seolah ibuku telah menolaknya aku pun menyudahinya dan meletakkkan
gelas tersebut dan berbalik memandangi ibuku, seolah tak percaya kenapa wajah ibu
begitu pucat, aku mulai memeriksa kepalanya nampak terasa dingin di sekujur
tubuhnya aku pun mulai khawatir dan berteriak “mak, kanapa mak”, semua keluarga
berdatangan, mereka memeriksa urat nadi ibuku, akau pan mulai khawatir kalau kalau.
“udah ya dik di ikhlasih ibumu” ucap budeku, aku pun seoalah tak percaya, aku panggil
ibuku “mak, mak bangauan mak”, “udah dik” ucap budeku menenangkanku, ayahku dan
semua nampak menangisi kepergian ibu, di sanalah aku menangis seolah aku tak
pernah percaya ibuku telah pergi, dalam keheninganku aku berkata “mak aku sudah
pulang mak, maafin sidik yang terlambat” sambil menangis, budekuku pun memapahku
menjauhi ibuku yang akan segera dibaringkan di meja. Aku tetap menangis sampai tak
terasa subuh pan menjelang dan tanpa aku lupa aku pun menjalannkan rutinitas
ibadahku dan aku berdoa, dan mengadu, “kenapa ya Tuhan, Kenapa?” Namun terbesit
juga dalam benakku aku harus mengiklaskanya.
Sampai pagi menjelang banyak warga yang berdatangan di rumahku untuk
mengurusi jenazah ibuku, aku pun seolah tak mau ketinggalan mengurusi ibuku aku
ikut memandikannya, mengkafaninya, menyaolatkanya, mengantarkanya serta
menguburkanya, seoalah aku tak mau menyia-nyaiakan kesempatan terakhirku untuk
berbakti kepada ibuku, selesanya aku pun seoalah berat untuk melangkah
meninggalkan makam ibuku, terbersit dalam hatiku, “semaoga Tuhan mempertemukan
kita di akhirat kelak, walau emak tidak pernah ada lagi di sekelilingku, namun di hatiku
emak tak sedikitpun pernah hilang dalam jiwaku, dan terimakasih selama ini telah
menjagaku, merawatku, dan mengajariku banyak hal, mungkin hari ini aku masih
terlihat gagal di mata orang, namun aku berjanji untuk selalu berusaha menjadi yang
terbaik selama Tuhan masih memberiku kehidupan, dan aku berjanji akan selalu
menjaga bapak dan kakak dengan sekuat tenagaku, sekali lagi, selamat jalan mak”.

Anda mungkin juga menyukai