Anda di halaman 1dari 2

Selamat Jalan Ayah

Karya: Irma Porat

Seorang gadis kecil yang tertidur pulas di kamar yang begitu luas untuk anak kecil seukurannya.
Sang mentari mulai tersenyum menyapa dunia pagi ini. Sang Mentari itu ditemani nyanyian burung
terbang kesana kemari. Sinar mentari menyelinap memasuki jendela kecil samping tempat tidur. Udara
dingin pun ikut menyerang masuk ke dalam tulang-tulung.

“Kiki…..bangun nak, sudah siang dan saatnya berangkat ke sekolah”, bisik Ibu ke telinga Kiki.

Namun tidak ada balasan dari Kiki, tetapi ibu terus membangunkan Kiki dan mengajaknya ke
kamar mandi. Setelah mandi dan sarapan Kiki berangkat ke sekolah diantar ayah dengan kijang.
Sementara ibu tetap di rumah, memang dalam keluarga ini ayah sebagai kepala keluarga sekaligus
tulang punggung keluarga. Kiki adalah gadis kecil yang selalu ceria, ramah dan tersenyum kepada
siapapun yang ia temui.

Disuatu sore ditemani hujan rintik-rintik, Kiki sedang menunggu ayah pulang dari kantor.
Rasanya hari ini Kiki kangen dengan ayah. Sudah beberapa jam menunggu di teras rumah, tapi beliau
tak kunjung datang. “Tak seperti biasanya”, kata Ibu. Kecemasan juga tampak di wajah Ibu, tetapi Ibu
berusaha menyembunyikan kecemasannya. Kringgggggg…….kringgggggg….kringgggggg bunyi
telepon berdering memecah keheningan kami. Diangkat oleh ibu telephone yang berdering. Setelah
beberapa lama ibu berbicara dengan orang yang menelepon tadi, raut pucat diwajah Ibu tampak semakin
jelas. Diberanikanlah Kiki untuk menanyakan apa yang terjadi sebenarnya. Tetapi Ibu tak menjawabnya,
Ibu hanya diam membisu, Ibu hanya diam dan mematung, lalu Ibu menitihkan air mata. Lama membisu
Ibu menarik Kiki masuk ke dalam kamar dan membawa beberapa peralatan yang sekiranya ia butuhkan.
Sampai saat itu, Kiki bingung tentang apa yang terjadi dan ia tetap memendamnya dalam hati.

Ibu menyuruh Kiki masuk ke dalam mobil, lalu mobil melaju ke depan meninggalkan gerbang
rumah. Mobil yang dikendarai Ibu berhenti di sebuah gedung yang memiliki halaman luas, ramai akan
orang-orang, berdinding putih, bersih dan suci. Kiki masih belum paham itu bangunan apa dan apa
tujuan Ibu mengajaknya kemari. Ibu membawa Kiki keluar dari mobil kemudian masuk ke dalam
gedung tersebut dan kemudian bertemu dengan beberapa temah ayah Kiki yang sudah terlebih dahulu
datang. Ibu menitipkan Kiki kepada Om Seno teman dekat sekaligus teman bisnis ayah, Ibu masuk ke
dalam suatu ruangan yang berada di pojok belakang bangunan tersebut.

“Om, Seno……Ayah kemana kok daritadi belum pulang? Om Seno tahu ayah Kiki dimana?”,
tanya Kiki dengan polos kepada Om Seno. Tampak wajah Om Seno menjadi lebih pucat dari
sebelumnya tadi, keraguan untuk menjawab pertanyaan Kiki tampak jelas diwajahnya. Rasa bingung,
gundah, galau, cemas dan ketakutan yang ada dibenak Om Seno. Lama sunyi dan tak ada jawaban ketika
malam beranjak semakin gelap dan kelam. Akhirnya Om Seno buka suara, “Kiki…………”, kata
pertama yang ia ucapkan. “Jadi Allah sangat sayang sama Ayah Kiki, dan Ayah Kiki diajak pulang ke
rumah Allah”, lanjut Om Seno. Tampak kebingungan diwajah Kiki, Kiki tidak tahu apa maksud dari
kata-kata yang diucapkan Om Seno barusan. Suasana menjadi hening kembali, Kiki masih tampak
memikirkan apa yang barusan dikatakan Om Seno. Hingga malam semakin larut, hingga hujan turun
semakin deras, hingga tak ada satupun orang yang tadi sibuk berkeliaran kesana kemari.

Pagi harinya di rumah Kiki tak seperti biasanya, banyak tamu berdatangan baik keluarga,
tetangga, teman, hingga teman kerja ayah di kantor. Kiki belum paham juga apa yang terjadi, masih
mencari keberadaan dimana Ayahnya. Dan sampai saat ia menemukan Ibunya berada di ruang tengah
rumah bersama Ayah. Namun Ayah dalam kondisi berbeda, ia tidur, ia diam dan ia terbungkus oleh
kain putih yang menutupi seluruh tubuhnya. Tak lama kelapa sekolah Kiki, wali kelas Kiki, guru-guru
Kiki, dan teman-teman Kiki di sekolah Taman Kanak-kanak Al-Hidayah datang ke rumah. “Bu guru…..
kenapa semua datang ke rumah Kiki? Dan kenapa semua terlihat sedih? Lalu kenapa Ayah Kiki tidur
diruang tengah dan dikelilingi orang banyak?”, tanya Kiki kepada Bu Hana sebagai wali kelas yang
dekat dengannya. “Kiki…….”, Bu Hana mulai buka suara. “Sekarang Kiki hanya bersama Ibu Kiki,
karena Ayah Kiki sekarang pergi jauh ke rumah Allah. Jadi Kiki udah gak boleh sama Ayah lagi, Kiki
di dunia sama Ibu Kiki, sama bu guru, sama teman-teman Kiki. Tapi Ayah Kiki sudah gak sama Kiki
lagi”, jelas bu guru kepada Kiki. Mendengar cerita Bu Hana, Kiki sedikit paham bahwa ia sudah tidak
memiliki ayah. Didekatilah ayah yang berada ditengah ruangan dan dikelilingi banyak orang.

Hari-hari berikutnya suasana rumah menjadi berbeda. Yang biasanya matahari pagi terlalu
cerah menjadi mendung, yang biasanya senyum ceria menjadi murung, yang biasanya berangkat
bersama ayah tidak terjadi lagi. Setiap pagi Ibu tetap menyiapkan sarapan untuk Kiki dan bersiap
dengan mengantar Kiki ke sekolah dengan kijang yang dahulu dipakai Ayah. Diantarnya kiki sampai
depan gerbang sekolah, lalu dikendarainya mobil menuju kantor perusahaan milik ayah. Setiap saat Ibu
selalu berpesan kepada Kiki untuk kembali ke Kiki yang dulu, yang ceria, baik, ramah, suka tersenyum.
“Kiki jangan terus-terusan bersedih, ini sudah jalan yang ditakdirkan Allah kepada kita. Ayah sudah
bahagia disana, kita berbuat yang terbaik di dunia ini, biar nanti kita bisa bertemu ayah dalam keadaan
yang bahagia di akherat nanti”, itu kata-kata Ibu yang selalu ia katakan kepada Kiki. Hari berganti hari,
bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun Kiki mulai menyadari hikmah dari semuanya. Kiki
kembali menjadi anak yang ceria, baik, ramah dan ditambah sifat mandiri tumbuh dalam dirinya.

Sumber : https://www.scribd.com/document/371916499/Selamat-Jalan-Ayah

Anda mungkin juga menyukai