Anda di halaman 1dari 4

Penulis Tua

Penulis : Haryo Pamungkas


Penerbit : Banjarmasin Post, Cerpen Koran Minggu
Jumlah Halaman : 5 Halaman
Tanggal Terbit : 18 November 2018

Kenang-kenangan masa lalu mirip potongan puzzle yang mulai terbentuk satu per satu
ketika merenung. Kenangan sewaktu muda bersama almarhumah istriku, atau soal lika-liku
kehidupan yang pernah kujalani.
Barangkali inilah fase paling menarik dalam hidup: mengenang masa lalu. Setelah
semua hal buruk dan baik datang silih berganti sebagai bumbu perjalanan usia. Inilah fase itu,
ketika diam-diam aku tertawa membayangkan permainan masa kecil yang begitu
menyenangkan bersama sahabat-sahabat kecil yang entah di mana sekarang. Atau terkadang,
ketika melihat cucuku Alenia, aku membayangkan, apakah anak kecil sekarang masih
merasakan betapa menyenangkannya bermain di sungai yang jernih. atau memanjat pohon
kelapa setelah riang bermain sepakbola di tanah lapang? Sedikit banyak kuamati anak-anak
kecil—khususnya yang tumbuh di kota—sekarang lebih senang bermain gadget. Aku
membayangkan betapa tidak serunya ketika nanti mereka sudah seusiaku, hal apa yang bisa
dikenang? Jika hidup hanya dihabiskan di depan layar kotak yang bisa memuat segalanya?
“Kakek, kakek…” lamunanku buyar ketika mendengar suara manis dari cucuku. Alenia.
“Iya sayang?”
“Coba lihat, tadi Alenia disuruh menggambar di kelas. Ini gambar buat kakek.” Dengan
senangnya gadis kecil yang giginya masih belum genap itu menyerahkan selembar kertas
yang berisi gambar padaku.
“Mana? Coba kakek lihat.”
“Ini gambar Alenia? Bagusya…”
Gadis kecil itu hanya meringis, tersipu malu. Ah, satu lagi hal menarik untuk orang
berumur 80 tahun sepertiku: melihat senyum manis yang tergambar dalam wa jah cucuku,
Alenia.
Sebenarnya aku membatin. Gambar itu, tidak seperti gambar yang dibikin anak kecil
dulu. Dua gunung kembar, di tengahnya ada matahari yang siap tenggelam, dan di langit,
gambar buruing sederhana mengepak sayap beserta sawah dengan gambaran padi mirip huruf
V. Itulah gambar yang selalu dibikin anak kecil dulu. Ah, barangkali zaman sudah berbeda…
“Kenapa Alenia menggambar gedung-gedung ini?” tanyaku penasaran.
“Alenia coba menggambar kota dan gedung, Kek. Ini kota Alenia,” masih dengan meringis
Alenia menjawab pertanyaanku.
Mungkin benar juga, untuk anak kecil seusianya, barangkali ia menggambar apa yang
sering ia lihat. Tumbuh di antara banyak gedung-gedung tlnggi dan jalanan macet, maka
begitulah yang ia tuangkan dalam gambar.
“Alenia pernah lihat sawah atau sungai?”
“Pernah dong,” katanya, “Di dekat sekolah Alenia ada sungai. Tapi sungainya bau. Alenia
nggak suka sungai. Sawah juga pernah.”
“Di mana sayang?”
Ia menghambur ke dalam kamarnya dan mengambil telepon genggam yang diberikan
sebagai hadiah ulang tahun lalu.
“Di sini, Kek. Kakek juga mau lihat sawah? Dari sini bisa lihat sawah dan banyak lagi,” ia
berka ta sambil menatap telepon genggam di tangannya.
Aku tersenyum, menghela napas, dan membatin. Barangkali inilah zaman di mana
kenangan tak akan terbentuk dengan baik nantinya. Ketika semua hal hanya diketahui dari
segenggam kotak kecll. Maya. Berikut bersama semua kenangan yang terbentuk. Tidak nyata
seluruhnya…
***
Waktu beranjak, kenangan terus terbentuk, usiaku kini telah menembus 83 tahun.
Cukup tua untuk ukuran manusia. Dan tentunya, sudah banyak pula kejadian-kejadian yang
kulihat.
Tiga tahun belakangan, aku memosisikan diri lebih sebagai pengamat. Orang-orang.
anak muda yang begitu bergairah, ki sah-kisah romansa yang mulai bersemi di taman-taman,
atau jalanan yang sibuk sepanjang Jembatan Kembar. Kebiasaan baruku tiga tahun ini, setiap
sore, sebelum senja, aku mengunjungi tempat-lempat yang cocok untuk merenung dan
mengenang. Taman di dekat alun-alun, Jembatan Kembar yang menghadlrkan senja
menawan, dan desa-desa yang masih dibentangi sawah-sawah hijau beserta petani-petani
yang mulai sibuk selepas subuh. Ternyata di tempat lain, jauh dari kota, masih ada harapan
kenangan tumbuh dengan baik. Beberapa orang tak terlalu bergairah dengan uang, dengan
menumpuk kekayaan, saling teguh kebenaran. Setidaknya, inilah tempat-tempat yang bakal
membentuk kenangan dengan baik nantinya.
“Kelak, apa cita-citamu?”
“Entahlah, aku masih belum tahu pastinya. Tapi aku ingin jadi penulis, kau tahu? Menurutku
penulis tumbuh sekaligus membentuk kenangan.”
Dan itulah yang kukatakan kepada almarhumah istriku, ketika kita belum menikah
dulu. Di sebuah taman dekat alun-alun yang dulunya ditumbuhi begitu banyak bunga-bunga
harum yang benar-benar menggairahkan. Tempat itu dulunya ramai oleh sepasang kekasih
yang mulai meracik romansa baru; seorang laki-laki yang membacakan sajak manis untuk
wanitanya; atau laki-laki yang memainkan blola dengan nada menyayat karena kisahnya baru
saja berakhir. Tapi sudah jarang kutemui yang seperti itu di taman. Kecuali sepasang anak
muda yang saling bercumbu, atau saling melontarkan rayuan gombal yang memusingkan
kepala.
Mungkin memang benar, waktu terus tumbuh, kenangan terus terbentuk, dan zaman
akan terus berubah. Bolehkah aku merindukan kejadian-kejadian masa lalu yang lebih
membuatku hidup sebagai manusia?
Jalanan sepanjang Jembatan Kembar macet, deru klakson keluar dari begitu banyak
kendaraan yang mengekor bak ular panjang. Umpatan, sumpah serapah keluar dari bibir-bibir
yang putus asa. Mereka adalah orang-orang sibuk yang bergegas pulang. Aku mengamati dari
tepi Jembatan Kembar sembari menunggu senja. Menunggu langit menghadirkan panorama
terbaik untuk merenungi semua perjalanan hidup. Dan tentu, sudah jarang pula kutemui
beberapa orang yang menunggu senja di sini sepertiku. Mungkin sudah tak ada waktu.
Padahal merenung adalah bagian terpenting dalam hidup yang serba sebentar. Apalagi ketika
senja datang. Percayalah, senja memang dibikin untuk merenung. Dan, di tengah kegaduhan
yang akhir-akhir ini melanda, satu-satunya yang kurang hanyalah: kemauan untuk merenung.
Intropeksi diri.
“Kakek, kenapa setiap sore selalu ke sini?” tanya cucuku, Alenia.
Aku memang sengaja mengajaknya ke mari. Agar nantinya, kenangan dalam
kepalanya tak hanya dipenuhi oleh gemerlap kesibukan kota dan cahaya yang keluar dari
telepon genggam.
“Supaya Alenia bisa gambar langit yang indah, Sayang.”
Alenia duduk di sampingku, menjuntai kaki dan mata kita hanya fokus pada satu titik
di langit. Titik terjauh, titik paling sendu, dan titik paling merah keemasan yang ditunggu-
tunggu. Titik itu adalah titik yang sama, ketika aku dan almarhumah istriku memandangi
langit setiap sore di tepi Jembatan Kembar ini.
“Wahh, langitnya bagus. Alenia suka warna langitnya…”
Aku hanya tersenyum, sedikit membatin, iya sayang, kelak tumbuhlah dengan
kenangan terbaik sepanjang hidup yang serba sebentar ini…
“Kamu mengajak Alenia?”
Suara itu…
“Kamu ingin Alenia tumbuh sepertimu?”
Bayangan samar yang begitu kukenali duduk di antara aku dan Alenia di tepi
Jembatan Kembar. Ikut menjuntai kaki dan menatap langit kemerah-merahan.
“Seperti yang kukatakan dulu kepadamu. Setidaknya aku ingin Alenia tumbuh dan
membentuk kenangan dengan baik.”
Samar-samar kulihat wajah bayangan itu tersenyum, membelai kepala Alenia diam-
diam.
“Aku setuju kalau begitu.”
“Kakek, kakek bicara dengan siapa?” tanya Alenia penasaran.
Aku membelai kepalanya, dan hanya bisa tersenyum. Tepat ketika senja, di tepi
Jembatan Kembar di kota Jember hadirlah potret antara aku, almarhumah istriku, dan Alenia
yang saling berpelukan menatap senja di langit…

Anda mungkin juga menyukai