Anda di halaman 1dari 10

laporan analisis cerpen

"Penulis tua"

Disusun oleh kelompok 3:


1. Clara
2. Enrico
3. Ingrid
4. Michael
Penulis Tua
Karya : Haryo Pamungkas

Tidak ada yang lebih menarik dari orang berumur 80 tahun


sepertiku selain merenung dan mengenang. Sudah tak ada gairah
untuk masa depan, tak ada ambisi, semua yang kudapat sampai
saat ini terasa sudah cukup. Sisa bekal kesiapan untuk dunia
selanjutnya. Dan menunggu. Seperti antre dalam loket
pembayaran.

Kenang-kenangan masa lalu mirip potongan puzzle yang mulai


terbentuk satu per satu ketika merenung. Kenangan sewaktu
muda bersama almarhumah istriku, atau soal lika-liku kehidupan
yang pernah kujalani.

Barangkali inilah fase paling menarik dalam hidup: mengenang


masa lalu. Setelah semua hal buruk dan baik datang silih berganti
sebagai bumbu perjalanan usia. Inilah fase itu, ketika diam-diam
aku tertawa membayangkan permainan masa kecil yang begitu
menyenangkan bersama sahabat-sahabat kecil yang entah di
mana sekarang. Atau terkadang, ketika melihat cucuku Alenia,
aku membayangkan, apakah anak kecil sekarang masih
merasakan betapa menyenangkannya bermain di sungai yang
jernih, atau memanjat pohon kelapa setelah riang bermain
sepakbola di tanah lapang? Sedikit banyak kuamati anak-anak
kecil—khususnya yang tumbuh di kota—sekarang lebih senang
bermain gadget. Aku membayangkan betapa tidak serunya ketika
nanti mereka sudah seusiaku, hal apa yang bisa dikenang? Jika
hidup hanya dihabiskan di depan layar kotak yang bisa memuat
segalanya?

“Kakek, kakek…” lamunanku buyar ketika mendengar suara


manis dari cucuku, Alenia.
“Iya sayang?”

“Coba lihat, tadi Alenia disuruh menggambar di kelas. Ini gambar


buat kakek.” Dengan senangnya gadis kecil yang giginya masih
belum genap itu menyerahkan selembar kertas yang berisi
gambar padaku.

“Mana? Coba kakek lihat.”

“Ini gambar Alenia? Bagus ya…”

Gadis kecil itu hanya meringis, tersipu malu. Ah, satu lagi hal
menarik untuk orang berumur 80 tahun sepertiku: melihat
senyum manis yang tergambar dalam wajah cucuku, Alenia.

Sebenarnya aku membatin. Gambar itu, tidak seperti gambar


yang dibikin anak kecil dulu. Dua gunung kembar, di tengahnya
ada matahari yang siap tenggelam, dan di langit, gambar burung
sederhana mengepak sayap beserta sawah dengan gambaran
padi mirip huruf V. Itulah gambar yang selalu dibikin anak kecil
dulu. Ah, barangkali zaman sudah berbeda…

“Kenapa Alenia menggambar gedung-gedung ini?” tanyaku


penasaran.

“Alenia coba menggambar kota dan gedung, Kek. Ini kota Alenia.”
masih dengan meringis Alenia menjawab pertanyaanku.

Mungkin benar juga, untuk anak kecil seusianya, barangkali ia


menggambar apa yang sering ia lihat. Tumbuh di antara banyak
gedung-gedung tinggi dan jalanan macet, maka begitulah yang ia
tuangkan dalam gambar.

“Alenia pernah lihat sawah atau sungai?”


“Pernah dong,” katanya, “Di dekat sekolah Alenia ada sungai. Tapi
sungainya bau, Alenia nggak suka sungai. Sawah juga pernah.”

“Di mana sayang?”

Ia menghambur ke dalam kamarnya dan mengambil telepon


genggam yang diberikan sebagai hadiah ulang tahun lalu.

“Di sini, Kek. Kakek juga mau lihat sawah? Dari sini bisa lihat
sawah dan banyak lagi.” Ia berkata sambil menatap telepon
genggam di tangannya.

Aku tersenyum, menghela napas, dan membatin. Barangkali


inilah zaman di mana kenangan tak akan terbentuk dengan baik
nantinya. Ketika semua hal hanya diketahui dari segenggam
kotak kecil. Maya. Berikut bersama semua kenangan yang
terbentuk. Tidak nyata seluruhnya…

***

Waktu beranjak, kenangan terus terbentuk, usiaku kini telah


menembus 83 tahun. Cukup tua untuk ukuran manusia. Dan
tentunya, sudah banyak pula kejadian-kejadian yang kulihat.

3 tahun belakangan, aku memposisikan diri lebih sebagai


pengamat. Orang-orang, anak muda yang begitu bergairah, kisah-
kisah romansa yang mulai bersemi di taman-taman, atau jalanan
yang sibuk sepanjang Jembatan Kembar. Kebiasaan baruku tiga
tahun ini, setiap sore, sebelum senja, aku mengunjungi tempat-
tempat yang cocok untuk merenung dan mengenang. Taman di
dekat alun-alun, Jembatan Kembar yang menghadirkan senja
menawan, dan desa-desa yang masih dibentangi sawah-sawah
hijau beserta petani-petani yang mulai sibuk selepas subuh.
Ternyata di tempat lain, jauh dari kota, masih ada harapan
kenangan tumbuh dengan baik. Beberapa orang tak terlalu
bergairah dengan uang, dengan menumpuk kekayaan, saling
teguh kebenaran. Setidaknya, inilah tempat-tempat yang bakal
membentuk kenangan dengan baik nantinya.

“Kelak, apa cita-citamu?”

“Entahlah, aku masih belum tahu pastinya. Tapi aku ingin jadi
penulis, kau tahu? Menurutku penulis tumbuh sekaligus
membentuk kenangan.”

Dan itulah yang kukatakan kepada almarhumah istriku, ketika kita


belum menikah dulu. Di sebuah taman dekat alun-alun yang
dulunya ditumbuhi begitu banyak bunga-bunga harum yang
benar-benar menggairahkan. Tempat itu dulunya ramai oleh
sepasang kekasih yang mulai meracik romansa baru; seorang
laki-laki yang membacakan sajak manis untuk wanitanya; atau
laki-laki yang memainkan biola dengan nada menyayat karena
kisahnya baru saja berakhir. Tapi sudah jarang kutemui yang
seperti itu di taman. Kecuali sepasang anak muda yang saling
bercumbu, atau saling melontarkan rayuan gombal yang
memusingkan kepala.

Mungkin memang benar, waktu terus tumbuh, kenangan terus


terbentuk, dan zaman akan terus berubah. Bolehkah aku
merindukan kejadian-kejadian masa lalu yang lebih membuatku
hidup sebagai manusia?

Jalanan sepanjang Jembatan Kembar macet, deru klakson keluar


dari begitu banyak kendaraan yang mengekor bak ular panjang.
Umpatan, sumpah serapah keluar dari bibir-bibir yang putus asa.
Mereka adalah orang-orang sibuk yang bergegas pulang. Aku
mengamati dari tepi Jembatan Kembar sembari menunggu senja.
Menunggu langit menghadirkan panorama terbaik untuk
merenungi semua perjalanan hidup. Dan tentu, sudah jarang
pula kutemui beberapa orang yang menunggu senja di sini
sepertiku. Mungkin sudah tak ada waktu. Padahal merenung
adalah bagian terpenting dalam hidup yang serba sebentar.
Apalagi ketika senja datang. Percayalah, senja memang dibikin
untuk merenung. Dan, di tengah kegaduhan yang akhir-akhir ini
melanda, satu-satunya yang kurang hanyalah: kemauan untuk
merenung. Intropeksi diri.

“Kakek, kenapa setiap sore selalu ke sini?” tanya cucuku, Alenia.


Aku memang sengaja mengajaknya ke mari. Agar nantinya,
kenangan dalam kepalanya tak hanya dipenuhi oleh gemerlap
kesibukan kota dan cahaya yang keluar dari telepon genggam.

“Supaya Alenia bisa gambar langit yang indah, sayang.”

Alenia duduk di sampingku, menjuntai kaki dan mata kita hanya


fokus pada satu titik di langit. Titik terjauh, titik paling sendu, dan
titik paling merah keemasan yang ditunggu-tunggu. Titik itu
adalah titik yang sama, ketika aku dan almarhumah istriku
memandangi langit setiap sore di tepi Jembatan Kembar ini.

“Wahh, langitnya bagus. Alenia suka warna langitnya…”

Aku hanya tersenyum, sedikit membatin, iya sayang, kelak


tumbuhlah dengan kenangan terbaik sepanjang hidup yang serba
sebentar ini…

“Kamu mengajak Alenia?”

Suara itu…

“Kamu ingin Alenia tumbuh sepertimu?”


Bayangan samar yang begitu kukenali duduk di antara aku dan
Alenia di tepi Jembatan Kembar. Ikut menjuntai kaki dan menatap
langit kemerah-merahan.

“Seperti yang kukatakan dulu kepadamu. Setidaknya aku ingin


Alenia tumbuh dan membentuk kenangan dengan baik.”

Samar-samar kulihat wajah bayangan itu tersenyum, membelai


kepala Alenia diam-diam.

“Aku setuju kalau begitu.”

“Kakek, kakek bicara dengan siapa?” tanya Alenia penasaran.

Aku membelai kepalanya, dan hanya bisa tersenyum. Tepat ketika


senja, di tepi Jembatan Kembar di kota Jember hadirlah potret
antara aku, almarhumah istriku, dan Alenia yang saling
berpelukan menatap senja di langit….
Analisis Cerpen
⚫ Unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen “Penulis
Tua” karya Haryo Pamungkas:

1. Tema: Kehidupan
2. Tokoh dan penokohan:
-Aku sebagai kakek tua, digambarkan memiliki karakter yang
penyayang.
-Alenia sebagai cucu kakek, digambarkan memiliki karakter
periang.
3. Alur: Campuran (maju mundur)
4. Sudut pandang: orang pertama, ditandai dengan kata aku.
5. Latar:
-Latar tempat: rumah, taman, alun-alun, dan jembatan kembar.
-Latar waktu: pagi dan sore hari.
-Latar suasana: sunyi, ramai, dan gaduh.
6. Amanat: Jika menghabiskan hidup hanya dengan melihat layar
kotak yang bisa memuat segalanya, kita tidak akan tahu
bagaimana indahnya mengenang masa lalu yang begitu
menyenangkan pada usia muda tanpa kita mengetahui dunia
luar. Maka dari itu, manfaatkan masa muda dengan
memperbanyak kenangan-kenangan indah.

⚫ Unsur-unsur ekstrinsik yang terdapat dalam cerpen "Penulis


Tua" karya Haryo Pamungkas:

1. Latar belakang penulis:


Cerpen karya Haryo Pamungkas (Banjarmasin Post, 18 November
2018). Haryo Pamungkas lahir di Jember. Ia merupakan
mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNEJ. Cerpennya telah
dimuat di berbagai media cetak dan online, berdomisili di Jember.
Analisis Cerpen

2. Latar belakang masyarakat:


Dalam cerita ini terdapat unsur latar belakang masyarakat
dimana cerita ini mengambil latar belakang di masa
perkembangan zaman, yang dulunya masih lingkungan pedesaan
menjadi lingkungan perkotaan.

3. Nilai
Nilai yang terkandung dalam cerita pendek "Penulis Tua" adalah
nilai sosial. Dimana dalam cerita tersebut kita melihat bahwa
perkembangan zaman mengubah segala sesuatu yang ada. Mulai
dari suasana, lingkungan, dan sebagainya.
KESIMPULAN

Cerpen ini menggambarkan perjuangan seorang


kakek tua yang merenungi kehidupan dan kenangan
di masa lalu. Ini menginspirasi pembaca agar
memanfaatkan masa-masa muda dengan kenangan
indah. Gaya penulisan Haryo Pamungkas dalam
cerpen ini menunjukkan kepiawaiannya dalam
meramu kata-kata, menciptakan suasana yang kuat,
dan mengekspresikan karakter tokoh dengan baik.
Cerpen ini mengangkat tema-tema kehidupan.
Cerpen "Penulis Tua" bisa dianggap sebagai karya
yang bernilai dan layak untuk dianalisis.

Anda mungkin juga menyukai