Anda di halaman 1dari 9

1.

Sajak Seonggok Jagung

Sajak Seonggok Jagung

(oleh W.S. Rendra)

Seonggok jagung di kamar


dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan

Memandang jagung itu,


sang pemuda melihat ladang;
Ia melihat petani;
Ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar…

Dan ia juga melihat


suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium bau kue jagung.

Seonggok jagung di kamar


dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung.

Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja

Tetapi ini:
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.

Ia memandang jagung itu


dan ia melihat dirinya terlunta-lunta
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik
etalase ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.

Seonggok jagung di kamar


tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan.
Yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarnya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.

Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi
asing di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran
atau apa saja
bila pada akhirnya
ketika ia pulang ke daerahnya lalu berkata
Di sini aku merasa asing dan sepiiiii!

2. Puisi Sekolah di Pulau Kelapa


Sekolah di Pulau Kelapa
(oleh Imam Budiman)
sebuah sekolah—sedikit daratan
halamannya laut dan langit terbentang
sejauh mata menghadang di batas lazuardi.
tiada roda empat, pula jalan aspal
motor matik melupakan masa lalu
menanggalkan spion kepalanya.
pada jam istirahat, ditambatkan kapal mesin
dan perahu milik nelayan. seragam hari senin
disapu terik, anak-anak berebut membeli jajan
kepada seorang perempuan muda bermata
indah penjual mie instan dadakan
di kejauhan seorang guru berwajah datar
memantau di depan pagar—barangkali
menyimpan amarah, mungkin pula
sedikit kesepian.
Contoh Puisi Guru
3. Puisi Fasal-Fasal Ihwal Guru
Fasal-Fasal Ihwal Guru
(oleh Imam Budiman)
[pembuka]
dari para guru aku bermula,
segenap cahaya pewaris Nabi
[satu]
Guru adalah sampan dengan kemudi cinta serta dayung cahaya
yang melarung tubuhku bertualang ke samudera pengetahuan;
ke huruf-huruf arkais yang tak kukenali, ke taman bunga
penuh rumusan, angka-angka, juga kiasan bahasa
[dua]
Guru adalah peletak batu pertama di alas kepalaku,
upaya dirinya menuntun–membaca aksara zaman
cahaya dalam pengabdian: teladan dan kata-kata
[tiga]
Guru adalah mata air yang mengalir dalam sukmaku,
nasihat yang terbit dari ketulusan dan keluhuran cinta
semoga Tuhan selalu menerangi jalanmu; kini dan kelak
[empat]
Guru adalah muara khidmat tak berselat,
tanpa kenal payah hingga parau bersuara
–menjauhkanku dari segala tuba kejahilan
[lima]
Guru adalah kompas di tengah belantara
yang mengarahkanku mencintai sungai,
lapisan tanah, susunan langit, hujan
: semua rahasia semesta raya
[enam]
Guru adalah desau angin yang merawat dedaunan
yang melahirkan matahari kecil di hati dan pikiran
: menjadikan akal budiku manusia
[penutup]
kepada para guru aku akhiri,
segenap cahaya pewaris Nabi

4. Puisi Guru Baik dan Penurut


Guru Baik dan Penurut
(oleh Imam Budiman)
kemeja motif batik. rambut klimis. parfum murah. sepatu diusap sekenanya. pagi-pagi sekali
saya harus berangkat ke sekolah. mengejar waktu. menghajar sepi. mengajar anak-anak kami
yang kehilangan orang tua dalam profesi.
sekolah adalah lumbung ilmu. tapi lumbung ilmu belum tentu di sekolah.tahun-tahun pelik
dan memprihatinkan, anak-anak mulai bosan belajar.
anak-anak mulai merasa
terpaksa menuju sekolah.
anak-anak kini lebih mencintai langit, hutan serta sungai sebagai guru yang baik, penyayang
dan tentu saja tak suka marah-marah.
pada pelajaran matematika, anak-anak dipaksa menghafal rumus, lalu menghitung rapi
kesedihan demi kesedihan sampai umur bertaut uzur.
pada pelajaran bahasa Indonesia, anak-anak dipandu bermain-rangkai imaji dan metafor, lalu
mengarang puisi yang tak pernah bisa dipahami oleh guru, bahkan oleh diri mereka sendiri.
sekolah-madrasah menerbitkan rasa tabah:
bilik-bilik keramaian yang asing, lalu lalang ilmu pengetahuan yang sunyi dalam keberaturan.
tetapi, kata Negara, sekolah adalah pilar utama dalam kemajuan dan kehidupan berbangsa.
sebagai guru yang baik,
saya pun iya-iya saja.
sebagai guru yang baik,
saya ikut apa kata Negara.

Contoh Puisi Sahabat


5. Puisi Sajak-Sajak Amelinda
Sajak-Sajak Amelinda
(oleh Laras Sekar Seruni)
/i/
ketika subuh
menjelma bait-bait
rindu
kita
dihampar garis waktu
yang masih bisu
tapi sama rata
sama rasa
/ii/
dan anak-anak
kucing berkejaran
di jalanan rindang
di depa kenangan
di hela jari-jari
kwatrinmu
dan aku
masih mencari sisa ceritamu
/iii/
di sela-sela jemuran
kersik-kersik teras
depan kamar
kresek-kresek hitam
bertebaran
menjadi bisik-bisik
suaramu yang
lekap dengan aroma siang
/iv/
duh, teman
turunkan segenap
suar yang kau bentangkan
di hadapannya
dan saat dia membuatmu
merana karena cinta,
katakan pada kita.
biar dia tahu rasanya
dilibas dengan kata-kata
/v/
kapan kita mengulang
fragmen hari ini dan
esok dan lusa dan
detik-detik berikutnya
dalam detak napasmu?
sebab kita tidak pernah
mengenal kemarin
/vi/
hanya ada
waktu
dan kamu
/vii/
aku mencintai hujan
dengan segenap
suara riuhnya
aku mencintai
pelangi
karena ada kita
di dalamnya
/viii/
sanggupkah kau
merindukan tiap
uap suaranya?
semagis sayap embun
di akhir pagi
sepurna jingga
di batas senja
Baca Juga: Memahami Cerpen: Pengertian, Sturktur, Jenis, dan Ciri-Ciri

Contoh Puisi Ibu


6. Sajak Ibunda
Sajak Ibunda
(oleh W.S. Rendra)
Mengenangkan ibu
adalah mengenangkan buah-buahan.
Istri adalah makanan utama.
Pacar adalah lauk-pauk.
Dan Ibu
adalah pelengkap sempurna
kenduri besar kehidupan.
Wajahnya adalah langit senja kala.
Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.
Suaranya menjadi gema
dari bisikan hati nuraniku.
Mengingat ibu
aku melihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu,
aku percaya akan kebaikan manusia.
Melihat foto ibu,
aku mewarisi naluri kejadian alam semesta.
Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,
aku pun ingat kamu juga punya ibu.
Aku jabat tanganmu,
aku peluk kamu di dalam persahabatan.
Kita tidak ingin saling menyakitkan hati,
agar kita tidak saling menghina ibu kita masing-masing
yang selalu, bagai bumi, air dan langit,
membela kita dengan kewajaran.
Maling juga punya ibu. Pembunuh punya ibu.
Demikian pula koruptor, tiran, fasis,
wartawan amplop, anggota parlemen yang dibeli,
mereka pun punya ibu.
Macam manakah ibu mereka?
Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?
Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?
Apakah sang anak akan berkata kepada ibunya:
“Ibu aku telah menjadi antek modal asing;
yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi
kemelaratan rakyat,
lalu aku membeli gunung negara dengan harga murah,
sementara orang desa yang tanpa tanah
jumlahnya melimpah.
Kini aku kaya.
Dan lalu, ibu, untukmu aku beli juga gunung
bakal kuburanmu nanti.”
Tidak. Ini bukan kalimat anak kepada ibunya.
Tetapi lalu bagaimana sang anak
akan menerangkan kepada ibunya
tentang kedudukannya sebagai
tiran, koruptor, hama hutan,
dan tikus sawah?
Apakah sang tiran akan menyebut dirinya
sebagai pemimpin revolusi?
Koruptor dan antek modal asing akan
menamakan dirinya sebagai pahlawan pembangunan?
Dan hama hutan serta tikus sawah akan
menganggap dirinya sebagai petani teladan?
Tetapi lalu bagaimana sinar pandang mata ibunya?
Mungkinkah seorang ibu akan berkata:
“Nak, jangan lupa bawa jaketmu.
Jagalah dadamu terhadap hawa malam.
Seorang wartawan memerlukan kekuatan badan.
O, ya, kalau nanti dapat amplop,
tolong belikan aku udang goreng.“
Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu.
Kamu adalah tugu kehidupanku,
yang tidak dibikin-bikin dan hambar seperti Monas dan Taman Mini.
Kamu adalah Indonesia Raya.
Kamu adalah hujan yang dilihat di desa.
Kamu adalah hutan di sekitar telaga.
Kamu adalah teratai kedamaian samadhi.
Kamu adalah kidung rakyat jelata.
Kamu adalah kiblat nurani di dalam kelakuanku.

7. Puisi Wajah Ibu dalam Skripsi


Wajah Ibu dalam Skripsi
(oleh Imam Budiman)
di lembar-lembar skripsi,
kucari-cari sisa wajah ibu.
bagaimana kabar ketulusan
di balik purba rahimnya?

ibu lebih setia merentang jarak


di antara lembah dua spasi.

di sela kata, ia mengintip dengan tatap yang entah.


di celah waktu, ia mendoakan meski tiada kabar.
di ujung bab lima, ia purna menuju Tuhan.

Contoh Puisi Tentang Kota


8. Puisi Koplo Kota Tua
Koplo Kota Tua
(oleh Esha Tegar Putra)
Aku turut berjoget di jalanan kota tua, istriku. Turut larut dalam sihir angklung tegalan
bersama rombongan muda-mudi bahagia. Barangkali mereka dari Bojong, Sawangan, atau
mungkin pelancong Sumatera tersesat dan kehabisan sewa losmen.
Aku turut berjoget bersama mereka. Karena dalam joget aku lihat bagian sebenarnya dari
kota ini. Kota dimana patung-patung dipahat dari gamping gunung lalu dibenamkan dalam
akuarium. Kota dimana mataku ditundukkan tembakan laser dan jantungku dibuat remuk
udara menggila. Kota dengan orang-orang memasang lentera pada pantat mereka, melipat
nasib dalam ponsel, berdoa sekaligus mengumpat sebisanya agar jalur-jalur trem dibangun
dengan segera.
Kupasang baju hangat, kuselempangkan sarung, dan aku turut berjoget di jalanan kota tua itu.
Aku jadi paham, bahwa revolusi turut dikumandangkan dalam dangdut koplo. Aku terus
berjoget sebab mereka juga terus berjoget. Bagian lain dari kota ini telah menemukan juru
selamat mereka: tukang gendang berkaki pincang, pemain angklung bermuka murung, serta
biduanita dengan dada tersumbul semenjana.
Dalam joget aku juga ingat kota kita. Serasa dihembus angin pedalaman itu pada
punggungku, serasa sampai debur ombak yang tertahan itu ke pangkal telingaku, dan serasa
dipiuh-dipilin tali jantungku pada retakan tungku batu. Dalam joget aku terus terbayang jauh
ke seberang sana, ke kota kita. Di sana, sebuah puisi akan terus tumbuh, akan terus
bergemuruh.

9 Puisi Menjadi Kemacetan


Menjadi Kemacetan
(oleh M. Aan Mansyur)
kita lelah dan
mesin mesin tidak tahu bergerak
kau ingin aku menjadi sesuatu

yang ringan dan pandai terbang


aku lebih suka andai bisa menjadi mobil
bertumpuk di belakang pabrik

yang sudah pensiun


atau belukar yang menjadikannya taman
ular dari jendela mobil yang gelisah
tidak ada yang tampak indah bahkan

matahari yang menenggelamkan diri


dan jingga sebagian

hujan sejak lama sudah sial tercatat


di laporan tahunan departemen sosial
selebihnya
memilih sembunyi di sajak siapa penyair itu

dan aman jadi laut


atau langit
atau cuaca tanpa

ada yang mengubah namanya jadi keluhan


kau ingin aku jadi kekasih atau puisi yang tangannya
bisa memijat betismu yang kram
aku lebih suka andai bisa jadi trotoar
atau pohon tua
yang mengajakmu berlari-lari kecil
seperti bocah riang pulang sekolah

kita lelah dan kata-kata dusta


dan kota-kota jauh jatuh

dari layar telepon genggammu yang lelah


kau pandangi
kau sedih seolah semua orang yang kau
kenal tiba-tiba menghapusmu

kau ingin aku menjadi negara


atau hal-hal lain yang gemar berlibur
aku lebih suka andai bisa jadi buku
dongeng yang kau baca di tempat tidur
kau peluk aku
sambil tertawa membayangkan kita
sepasang anak kecil yang selamanya
ku peluk kau sambil membayangkan

lengan kita adalah negara satu satunya


mesin mesin ini tetap bodoh
dan tak tahu bergerak
teleponmu basah dan mati
dan lepas dari genggaman
tidur
atau mungkin maut memasuki tubuhmu
pelan-pelan

matamu museum kupu-kupu


ku lihat mimpi satu demi satu keluar dari
sana
aku
seperti biasa memikirkan cita-citaku
yang selalu
ingin segera berhenti jadi buruh

Anda mungkin juga menyukai