Anda di halaman 1dari 11

20.

Puisi Penjahat Kemanusiaan


Penjahat Kemanusiaan
(oleh Moh. Zahirul Alim)
Bukan tentang apa yang kau rasakan hari ini
bukan pula tentang apa yang kau nikmati detik
ini ini tentang apa yang mereka alami selama ini
sekian lama mereka kau tindas
sekian lama sudah mereka kau sakiti
sekian lama mereka kau hancurkan
dengan peluru, bom, roket, dan senjata canggih
rusak betul hidup mereka
lengkap benar nestapa mereka
sampai kapan mereka harus menerima
semua perlakuan ini
sampai kapan mereka harus menanggung duka ini
hai kamu yang berambisi besar untuk mencaplok bumi Tepi Barat
dan merampas hak-hak manusia tak berdosa
sadarlah, roda akan selalu berputar
ingatlah tidak selamanya kamu yang menindas
dan mereka tertindas
ingat, segala sesuatu ada waktu dan gilirannya

Contoh Puisi Perjuangan


21. Puisi Demi Orang-orang Rangkasbitung
Demi Orang-orang Rangkasbitung
(oleh W.S. Rendra)
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
Salam sejahtera!
Nama saya Multatuli
Datang dari masa lalu.
Dahulu abdi Kerajaan Belanda,
ditugaskan di Rangkasbitung,
ibukota Lebak saat itu.
Satu pengalaman penuh ujian.
Rakyat ditindas oleh bupati mereka sendiri.
Petani hanya bisa berkeringat,
tidak bisa tertawa,
dan hak pribadi diperkosa.
Demi kepentingan penjajahan,
Kerajaan Belanda bersekutu dengan
kejahatan ini.
Sia-sia saya mencegahnya.
Kalah dan tidak berdaya.
Saya telah menyaksikan
bagaimana keadilan telah dikalahkan
oleh para penguasa
dengan gaya yang anggun
dan sikap yang gagah.
Tanpa ada ungkapan kekejaman
di wajah mereka.
Dengan bahasa yang rapi
mereka keluarkan keputusan-keputusan
yang tidak adil terhadap rakyat.
Serta dengan budi bahasa yang halus
mereka saling membagi keuntungan
yang mereka dapat dari rakyat
yang kehilangan tanah dan ternaknya.
Ya, semuanya dilakukan
sebagai suatu kewajaran.
Dan bangsa kami di negeri Belanda
pada hari Minggu berpakaian rapi,
berdoa dengan tekun.
Sesudah itu bersantap bersama,
menghayati gaya peradaban tinggi,
bersama sanak keluarga,
menghindari perkataan kotor,
dan selalu berbicara
dalam tata bahasa yang patut,
sambil membanggakan keuntungan besar
di dalam perdagangan kopi,
sebagai hasil yang efisien
dari tanam paksa di tanah jajahan.
Dengan perasaan mulia dan bangga
kami berbicara
tentang suksesnya penaklukan dan penjajahan.
Ya, begitulah.
Kami selalu mencuci tangan sebelum makan
dan kami meletakkan serbet
di pangkuan kami.
Dengan kemuliaan yang sama pula
ketika kami memerintahkan para marsose
agar membantai orang-orang Maluku dan
orang-orang Java
yang mencoba mempertahankan
kedaulatan mereka!
Ya, kami adalah bangsa
yang tidak pernah lupa mencuci tangan.
Kita bisa menjadi sangat lelah
apabila merenungkan gambaran kemanusiaan
dewasa ini.
Orang Belanda dahulu
juga mempunyai keluh kesah yang sama
apabila berbicara tentang keadaan mereka
di zaman penjajahan oleh Spanyol.
Mereka memberi nama yang buruk
kepada Pangeran Alba yang sangat menindas.
Tetapi sekarang pakah mereka lebih baik
dari Pangeran yang jahat itu?
Tentu tidak hanya saya
yang merasa gelisah
terhadap dawat hitam
yang menodai iman kita.
Pikiran yang lurus menjadi bercela
karena tidak pernah bisa tuntas
dalam menangani keadilan.
Sementara waktu terus berjalan
dan terus memperlihatkan keluasan
keadaannya.
Kita tidak bisa seimbang
dalam menciptakan keluasan ruang
di dalam pemikiran kita.
Memang kita telah bisa berpikir
lebih canggih dan kompleks,
tetapi belum bisa lebih bebas
tanpa sekat-sekat
dibanding dengan keluasan waktu.
Bagaimana keadilan bisa ditangani
dengan pikiran yang selalu tersekat-sekat?
Ya, saya rasa kita memang lelah.
Tetapi kita tidak boleh berhenti di sini.
Bukankah keadaan keadilan di sini
belum lebih baik dari zaman penjajahan?
Dahulu rakyat Rangkasbitung
tidak mempunyai hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati Lebak.
Sekarang
apakah rakyat kecil
sudah mempunyai hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati-adipati masa kini?
Dahulu
Adipati Lebak bisa lolos dari hukum.
Sekarang
Adipati-adipati yang kejam dan serakah
apakah sudah bisa dituntut oleh hukum?
Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu
adalah kemerdekaan negara dan bangsa?
Negara anda sudah merdeka.
Tetapi apakah bangsa anda juga
sudah merdeka?
Apakah bangsa tanpa hak hukum
bisa disebut bangsa merdeka?
Para pemimpin negara-negara maju
bisa menitikkan air mata
apabila mereka berbicara tentang democratie
kepada para putranya.
Tetapi dari kolam renang
dengan sangat santai dan penuh kewajaran
mereka mengangkat telefoon
untuk memberikan dukungan
kepada para tiran dari negara lain
demi keuntungan-keuntungan materi bangsa
mereka sendiri.
Oh! Ya, Tuhan!
Saya mengatakan semua ini
sambil merasakan rasa lemas
yang menghinggapi seluruh tubuh saya.
Saya mencoba tetap bisa berdiri
meskipun rasanya
tulang-tulang sudah hilang dari tubuh saya.
Saya sedang melawan perasaan sia-sia.
Saya melihat
negara-negara maju memberikan
bantuan ekonomi.
Dan sebagai hasilnya
banyak rakyat dari dunia berkembang
kehilangan tanah mereka,
supaya orang kaya bisa main golf,
atau supaya ada bendungan
yang memberikan sumber tenaga listrik
bagi industri dengan modal asing.
Dan para rakyat yang malang itu, ya Tuhan,
mendapat ganti rugi
untuk setiap satu meter persegi dari tanahnya
dengan uang yang sama nilainya
dengan satu pak sigaret bikinan Amerika.
Barangkali kehadiran saya sekarang
mulai tidak mengenakkan suasana?
Keadaan ini dulu sudah saya alami.
Apakah orang seperti saya harus dilanda
oleh sejarah?
Tetapi ingat:
sementara sejarah selalu melahirkan
masalah ketidakadilan,
tetapi ia juga selalu melahirkan
orang seperti saya.
Menyadari hal ini
tidak lagi saya merasa sia-sia atau tidak sia-sia.
Tuan-tuan, para penguasa di dunia,
kita sama-sama memahami sejarah.
Senang atau tidak senang
ternyata tuan-tuan tidak bisa
meniadakan saya.
Nama saya Multatuli
saya bukan buku yang bisa dilarang
dan dibakar.
Juga bukan benteng yang bisa
dihancurleburkan.
Saya Multatuli:
sebagian dari nurani tuan-tuan sendiri.
Oleh karena itu
saya tidak bisa disamaratakan dengan tanah.
Tuan-tuan, para penguasa di dunia,
apabila ada keadaan yang celaka,
apakah perlu ditambah celaka lagi?
Pada intinya inilah pertanyaan sejarah
kepada anda semua.
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya
yang hadir di sini,
setelah memahami sejarah,
saya betul tidak lagi merasa sepi.
Dan memang tidak relevan lagi bagi saya
untuk merasa sia-sia atau tidak sia-sia,
sebab jelaslah sudah kewajiban saya.
Ialah: hadir dan mengalir.
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
terima kasih.

22. Puisi Krawang-Bekasi


Krawang Bekasi
(oleh Chairil Anwar)
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi,

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,


terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan
arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi kami adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi ada yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.
Baca Juga: Teks Pidato: Pengertian, Struktur, Ciri, Metode, dan Contoh

Contoh Puisi Sejarah


23. Puisi Sjahrir di Sebuah Sel
Sjahrir di Sebuah Sel
(oleh Goenawan Mohamad)
Dari jendela selnya,
(kita bayangkan ini Jakarta,
Februari 1965, dan ruang itu lembap,
dan jendela itu rabun),
ia merasa siluet pohon
mengubah diri jadi Des,
anak yang berjalan dari selat
memungut cangkang nyiur,
dan melemparkannya
ke ujung pulau.
“Aku selalu berkhayal tentang selat,
atau taman kembang, atau anak-anak.”
Itu yang kemudian ditulisnya
di catatan harian.
Maka ditutupkannya daun jendela
dan ia kembali ke meja,
ke peta dengan warna laut
yang tak jelas lagi.
Ia cari kapal Portugis.
Tapi Banda begitu pekat, dan laut
menyembunyikan ingatannya.
(Seorang pemetik pala
pernah mengatakan itu
di sebuah bukit
kepada Hatta)
Kini ia mengerti: juga peta
menyembunyikan ingatannya,
seperti malam Rusia
menyembunyikan sebuah kota.
Tiap pendarat tak akan
mengenali letak dangau,
jejak ketam pasir,
batang rambai yang terakhir,
di mana sisa hujan
agak disamarkan.
“Sjahrir. Bukankah lebih baik lupa?”
Seekor ular daun pernah menyusup
ke sandalnya dan ia ingat ia berkata,
“Mungkin. Mungkin aku tak akan mati.”
Esoknya ia berlayar.
Di jukung itu anak-anak mengibarkan
bendera negeri yang belum mereka kenal.
“Lupa adalah…”
“Jangan kau kutip Nietzsche lagi!”
“Tidak, Iwa. Aku hanya ingin tahu
sejauh mana kita merdeka.”
Di beranda rumah Tjipto,
di tahun 1936 itu,
percakapan sore,
di antara pohon-pohon Naira,
selalu menentramkan.
“Jangan beri kami attar
dan tuhan imperial.”
seseorang menirukan doa.
“Tapi kita dipenjarakan, bukan?”
Ya, tapi ini penjara yang pertama,
yang memisahkannya dari ingin
dan kematian.
“Ah, lebih baik kita diam,”
kata tuan rumah.
“Abad ke-20 adalah abad
yang memalukan.”
Di sana, di beranda rumah Tjipto,
menjelang malam, di tahun 1936,
mereka selalu tertawa
mengulang kalimat itu.
Di sini, (kita bayangkan di Jakarta,
Rumah Tahanan Militer, 1965),
ia tak pernah merasa begitu sendiri.
Hanya ada suara burung tiung
(atau seperti suara burung tiung)
ketika siang diam.
Tapi ia takut duduk.
Ia tak ingin menghadap ke laut,
(andaikan ada laut),
seperti patung Jan Pieterszoon Coen,
seperti pengintai di menara benteng
yang menunggu kapal-kapal
di dekat langit
sebelum perang.
Ia tak ingin duduk.
“Siapa yang menatap jurang dalam,
jurang dalam akan menatapnya.”
Mungkinkah ia sendiri
yang mengucapkannya di sel itu?

24. Puisi Stalingrad, Sebuah Pagi


Stalingrad, Sebuah Pagi
(oleh Laras Sekar Seruni)
saya mengingat sebuah kisah–pagi yang
temaram, dan Sungai Volga menyimpan
peluh terakhirnya.
hari itu, rumput pada tanah tidak pernah
mengenal deru senapan, bahkan bangunan-bangunan
masih tertinggal di
pondasinya.
tapi Stalin tertinggal di tanggal sejarah–ia
mengubah Stalingrad sebagai kotanya,
dan menaburkan nama-nama baru bagi kawanan
camar.
dan Stalin, ia berkaca pada tahun 1901,
ketika roti dan gandum menemukannya di
tepi jalan Kremlin.
sudahkah engkau mati?
sudahkah engkau mati setelah pagi yang kau
binasakan-sebuah pertarungan besar
melawan führer dan kawanan anjing dari
Jerman?
betapa saya mengamini, hanya Volgograd
yang merapikan isi kepalanya setelah salju
terakhir di ujung minggu. sementara
Stalingrad adalah sebuah kisah–Stalin yang
memungut puntung rokok dari dahimu,
melinting hidupmu dalam detik-detik bisu.

Contoh Puisi Tentang Alam


25. Puisi Pengayuh Rakit
Pengayuh Rakit
(oleh Inggit Putria Marga)
sebab segala yang mendatanginya selalu pergi setelah beberapa puluh hari sambil duduk
mendekap lutut di tepian rakit, kepada air sungai yang penuh wajah matahari, pengayuh rakit
meratapi perannya di kelahiran kali ini yang baginya, serupa sepetak tanah yang hanya layak
ditanami sawi: tanah gembur dan berhumus di lapisan pertama, keras dan berbatu di lapis-
lapis lainnya.
tak ada tanaman tahunan yang dapat subur di tanah seperti itu. mereka hidup tapi hidup
seperti payung terkatup. pokok jati di belakang rumahnya semacam bukti: belasan tahun akar
menjalar, tubuh hanya mampu setinggi lembu, daun kalah lebar dengan daun telinga anak
gajah, lingkar batang lebih ramping daripada lingkar pinggang atlet renang. jati yang tumbuh
terhambat kerap membuatnya ingat pada pohon cita-cita yang sejak kecil tertanam di ladang
dada: batang kerdil, daun mungil, tiada buah meski sepentil.
sementara para sawi, di tanah itu, dengan panjang akar hanya beberapa senti mampu
mencapai puncak hidup dalam puluhan hari. daun-daun muda tengadah seperti tangan berdoa.
daun-daun tua rebah di tanah bagai petualang istirah. sayang, sebelum kembang-kembang
sawi lahir, hubungan tanah dan tumbuhan berakhir. sawi dicerabut. tanah melompong
ditertawai kabut. melompong serupa wajahnya saat segala yang mendatangi hanya singgah
beberapa puluh hari, lalu pergi: hewan atau manusia, malaikat atau hantu, bahagia atau pilu.
alih-alih menjemput penumpang di tepi sungai untuk diantar menyeberang pengayuh rakit
terus-menerus meratap buaya menyembul dengan mulut mangap

26. Puisi Monolog Tentang Ibu


Monolog Tentang Ibu
(oleh Laras Sekar Seruni)
/I/
ibu bercerita tentang rentang impian anak-anak hujan berwajah jendela. di sisi kirinya
tersemat pusaka tanah rampasan perang yang didekap senandung gamelan. di sisi kanannya
tercurah kesuburan nan teduh untuk memikat kehidupan.
/II/
ibuku, kawan, memiliki gunung yang rampai menembus awan. di atasnya angkasa perkasa
menjadi penjaga tanpa cela. di bawahnya mengalir santun tetesan air dari mata nirwana.
begitu luruh. begitu gemuruh. rambut ibuku mengakar pada sebidang inseptisol, menjengkal
setiap kisah wanara yang dipenjara buku-buku tua.
/III/
ibuku menyibak tabir bisu dari senandung waktu. sedangkan ibumu melampaui jemari
halaman bukit kencana di lembah terjamah mezbah.

Contoh Puisi Perjalanan


27. Puisi Penjelajah
Penjelajah
(oleh Adimas Immanuel)
Hanya biru laut. Hanya laut.
Siang malam kita teropong.
Hanya biru laut, lembar tabut.
Bayang wajah yang terpotong.
Tiada bayang emas dan sutra.
Hanya hijau pesona selalu
berdenyut di kelopak mata.

Tapi aku tak cari pantai


hidup sudah cukup landai.
Aku hanya menantang
Tuhan yang semayam
dalam gejolak gelombang
: cinta adalah firman yang
Berangkat dari kutukan!

Hanya laut, kelebat kalut.


Kau masih tak tertempuh
tak mungkin turunkan sauh.

Letih penjelajahan ini


akan berakhir di mana
jika tak tertambat
di tanjung nyawamu?

Hanya wajahmu, rupa waktu


yang jika sirna dari makna
yang jika susut dari maksud
tetap ada di mana-mana.

28. Puisi Merapi; Fragmen Perjalanan


Merapi; Fragmen Perjalanan
(oleh Laras Sekar Seruni)
Merapi–sebuah
saksi yang
dirambati jutaan
kenangan, dengan
sisa-sisa
ranting patah,
warna tanah,
dan udara pagi yang
lesap bersama
tubuh kita di
pinggir cangkir
kopi.
Kita–sepasang
mata kata yang
enggan terjalin,
namun selalu
berpilin. kata
yang saling
menebak,
merebakkan
deburan kuasa
atas takdir-Nya.
sampai Merapi
terpejam,
mengamini
kepergian kita
menuju tembaga
waktu, memeluk
telaga waktu.
Baca Juga: Hikayat: Pengertian, Karakteristik, Jenis, Bentuk, dan Contoh

Contoh Puisi Kuliner


29. Puisi Sayur Buatan Ibuku
Sayur Buatan Ibuku
(oleh Ni Made Purnamasari)
Sayur buatan ibuku
seperti sajak yang pernah kutulis

Aku perlu garam, ibu


kata-kata menghilang
tak mau jadi hujan
tak mau jadi sajak

Sayur buatan ibuku


mengingatkan tentang kamarku
jaring laba-laba
potret ayahku
sajak yang terselip
di bawah lemari

aku tak suka terasi, ibu


derik jangkrik
mencuri sajak-sajakku:
sajak tentang bulan
tentang pohonan
atau jalan lengang
di sebuah kota

Aku perlu kata-kata


seperti bawang merah ini
seperti kau hambarkan sayur ini

Lalu adakah kecap di meja, ibu?

Sayur ini hambar


seperti sajak
yang pernah kutulis

Anda mungkin juga menyukai