Penjahat Kemanusiaan (oleh Moh. Zahirul Alim) Bukan tentang apa yang kau rasakan hari ini bukan pula tentang apa yang kau nikmati detik ini ini tentang apa yang mereka alami selama ini sekian lama mereka kau tindas sekian lama sudah mereka kau sakiti sekian lama mereka kau hancurkan dengan peluru, bom, roket, dan senjata canggih rusak betul hidup mereka lengkap benar nestapa mereka sampai kapan mereka harus menerima semua perlakuan ini sampai kapan mereka harus menanggung duka ini hai kamu yang berambisi besar untuk mencaplok bumi Tepi Barat dan merampas hak-hak manusia tak berdosa sadarlah, roda akan selalu berputar ingatlah tidak selamanya kamu yang menindas dan mereka tertindas ingat, segala sesuatu ada waktu dan gilirannya
Contoh Puisi Perjuangan
21. Puisi Demi Orang-orang Rangkasbitung Demi Orang-orang Rangkasbitung (oleh W.S. Rendra) Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, Salam sejahtera! Nama saya Multatuli Datang dari masa lalu. Dahulu abdi Kerajaan Belanda, ditugaskan di Rangkasbitung, ibukota Lebak saat itu. Satu pengalaman penuh ujian. Rakyat ditindas oleh bupati mereka sendiri. Petani hanya bisa berkeringat, tidak bisa tertawa, dan hak pribadi diperkosa. Demi kepentingan penjajahan, Kerajaan Belanda bersekutu dengan kejahatan ini. Sia-sia saya mencegahnya. Kalah dan tidak berdaya. Saya telah menyaksikan bagaimana keadilan telah dikalahkan oleh para penguasa dengan gaya yang anggun dan sikap yang gagah. Tanpa ada ungkapan kekejaman di wajah mereka. Dengan bahasa yang rapi mereka keluarkan keputusan-keputusan yang tidak adil terhadap rakyat. Serta dengan budi bahasa yang halus mereka saling membagi keuntungan yang mereka dapat dari rakyat yang kehilangan tanah dan ternaknya. Ya, semuanya dilakukan sebagai suatu kewajaran. Dan bangsa kami di negeri Belanda pada hari Minggu berpakaian rapi, berdoa dengan tekun. Sesudah itu bersantap bersama, menghayati gaya peradaban tinggi, bersama sanak keluarga, menghindari perkataan kotor, dan selalu berbicara dalam tata bahasa yang patut, sambil membanggakan keuntungan besar di dalam perdagangan kopi, sebagai hasil yang efisien dari tanam paksa di tanah jajahan. Dengan perasaan mulia dan bangga kami berbicara tentang suksesnya penaklukan dan penjajahan. Ya, begitulah. Kami selalu mencuci tangan sebelum makan dan kami meletakkan serbet di pangkuan kami. Dengan kemuliaan yang sama pula ketika kami memerintahkan para marsose agar membantai orang-orang Maluku dan orang-orang Java yang mencoba mempertahankan kedaulatan mereka! Ya, kami adalah bangsa yang tidak pernah lupa mencuci tangan. Kita bisa menjadi sangat lelah apabila merenungkan gambaran kemanusiaan dewasa ini. Orang Belanda dahulu juga mempunyai keluh kesah yang sama apabila berbicara tentang keadaan mereka di zaman penjajahan oleh Spanyol. Mereka memberi nama yang buruk kepada Pangeran Alba yang sangat menindas. Tetapi sekarang pakah mereka lebih baik dari Pangeran yang jahat itu? Tentu tidak hanya saya yang merasa gelisah terhadap dawat hitam yang menodai iman kita. Pikiran yang lurus menjadi bercela karena tidak pernah bisa tuntas dalam menangani keadilan. Sementara waktu terus berjalan dan terus memperlihatkan keluasan keadaannya. Kita tidak bisa seimbang dalam menciptakan keluasan ruang di dalam pemikiran kita. Memang kita telah bisa berpikir lebih canggih dan kompleks, tetapi belum bisa lebih bebas tanpa sekat-sekat dibanding dengan keluasan waktu. Bagaimana keadilan bisa ditangani dengan pikiran yang selalu tersekat-sekat? Ya, saya rasa kita memang lelah. Tetapi kita tidak boleh berhenti di sini. Bukankah keadaan keadilan di sini belum lebih baik dari zaman penjajahan? Dahulu rakyat Rangkasbitung tidak mempunyai hak hukum apabila mereka berhadapan kepentingan dengan Adipati Lebak. Sekarang apakah rakyat kecil sudah mempunyai hak hukum apabila mereka berhadapan kepentingan dengan Adipati-adipati masa kini? Dahulu Adipati Lebak bisa lolos dari hukum. Sekarang Adipati-adipati yang kejam dan serakah apakah sudah bisa dituntut oleh hukum? Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu adalah kemerdekaan negara dan bangsa? Negara anda sudah merdeka. Tetapi apakah bangsa anda juga sudah merdeka? Apakah bangsa tanpa hak hukum bisa disebut bangsa merdeka? Para pemimpin negara-negara maju bisa menitikkan air mata apabila mereka berbicara tentang democratie kepada para putranya. Tetapi dari kolam renang dengan sangat santai dan penuh kewajaran mereka mengangkat telefoon untuk memberikan dukungan kepada para tiran dari negara lain demi keuntungan-keuntungan materi bangsa mereka sendiri. Oh! Ya, Tuhan! Saya mengatakan semua ini sambil merasakan rasa lemas yang menghinggapi seluruh tubuh saya. Saya mencoba tetap bisa berdiri meskipun rasanya tulang-tulang sudah hilang dari tubuh saya. Saya sedang melawan perasaan sia-sia. Saya melihat negara-negara maju memberikan bantuan ekonomi. Dan sebagai hasilnya banyak rakyat dari dunia berkembang kehilangan tanah mereka, supaya orang kaya bisa main golf, atau supaya ada bendungan yang memberikan sumber tenaga listrik bagi industri dengan modal asing. Dan para rakyat yang malang itu, ya Tuhan, mendapat ganti rugi untuk setiap satu meter persegi dari tanahnya dengan uang yang sama nilainya dengan satu pak sigaret bikinan Amerika. Barangkali kehadiran saya sekarang mulai tidak mengenakkan suasana? Keadaan ini dulu sudah saya alami. Apakah orang seperti saya harus dilanda oleh sejarah? Tetapi ingat: sementara sejarah selalu melahirkan masalah ketidakadilan, tetapi ia juga selalu melahirkan orang seperti saya. Menyadari hal ini tidak lagi saya merasa sia-sia atau tidak sia-sia. Tuan-tuan, para penguasa di dunia, kita sama-sama memahami sejarah. Senang atau tidak senang ternyata tuan-tuan tidak bisa meniadakan saya. Nama saya Multatuli saya bukan buku yang bisa dilarang dan dibakar. Juga bukan benteng yang bisa dihancurleburkan. Saya Multatuli: sebagian dari nurani tuan-tuan sendiri. Oleh karena itu saya tidak bisa disamaratakan dengan tanah. Tuan-tuan, para penguasa di dunia, apabila ada keadaan yang celaka, apakah perlu ditambah celaka lagi? Pada intinya inilah pertanyaan sejarah kepada anda semua. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang hadir di sini, setelah memahami sejarah, saya betul tidak lagi merasa sepi. Dan memang tidak relevan lagi bagi saya untuk merasa sia-sia atau tidak sia-sia, sebab jelaslah sudah kewajiban saya. Ialah: hadir dan mengalir. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, terima kasih.
22. Puisi Krawang-Bekasi
Krawang Bekasi (oleh Chairil Anwar) Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi,
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati? Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami Kami sudah coba apa yang kami bisa Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa Kami cuma tulang-tulang berserakan Tapi kami adalah kepunyaanmu Kaulah lagi ada yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa, Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata Kaulah sekarang yang berkata Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak Kenang, kenanglah kami Teruskan, teruskan jiwa kami Menjaga Bung Karno menjaga Bung Hatta menjaga Bung Sjahrir Kami sekarang mayat Berikan kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian Kenang, kenanglah kami yang tinggal tulang-tulang diliputi debu Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi. Baca Juga: Teks Pidato: Pengertian, Struktur, Ciri, Metode, dan Contoh
Contoh Puisi Sejarah
23. Puisi Sjahrir di Sebuah Sel Sjahrir di Sebuah Sel (oleh Goenawan Mohamad) Dari jendela selnya, (kita bayangkan ini Jakarta, Februari 1965, dan ruang itu lembap, dan jendela itu rabun), ia merasa siluet pohon mengubah diri jadi Des, anak yang berjalan dari selat memungut cangkang nyiur, dan melemparkannya ke ujung pulau. “Aku selalu berkhayal tentang selat, atau taman kembang, atau anak-anak.” Itu yang kemudian ditulisnya di catatan harian. Maka ditutupkannya daun jendela dan ia kembali ke meja, ke peta dengan warna laut yang tak jelas lagi. Ia cari kapal Portugis. Tapi Banda begitu pekat, dan laut menyembunyikan ingatannya. (Seorang pemetik pala pernah mengatakan itu di sebuah bukit kepada Hatta) Kini ia mengerti: juga peta menyembunyikan ingatannya, seperti malam Rusia menyembunyikan sebuah kota. Tiap pendarat tak akan mengenali letak dangau, jejak ketam pasir, batang rambai yang terakhir, di mana sisa hujan agak disamarkan. “Sjahrir. Bukankah lebih baik lupa?” Seekor ular daun pernah menyusup ke sandalnya dan ia ingat ia berkata, “Mungkin. Mungkin aku tak akan mati.” Esoknya ia berlayar. Di jukung itu anak-anak mengibarkan bendera negeri yang belum mereka kenal. “Lupa adalah…” “Jangan kau kutip Nietzsche lagi!” “Tidak, Iwa. Aku hanya ingin tahu sejauh mana kita merdeka.” Di beranda rumah Tjipto, di tahun 1936 itu, percakapan sore, di antara pohon-pohon Naira, selalu menentramkan. “Jangan beri kami attar dan tuhan imperial.” seseorang menirukan doa. “Tapi kita dipenjarakan, bukan?” Ya, tapi ini penjara yang pertama, yang memisahkannya dari ingin dan kematian. “Ah, lebih baik kita diam,” kata tuan rumah. “Abad ke-20 adalah abad yang memalukan.” Di sana, di beranda rumah Tjipto, menjelang malam, di tahun 1936, mereka selalu tertawa mengulang kalimat itu. Di sini, (kita bayangkan di Jakarta, Rumah Tahanan Militer, 1965), ia tak pernah merasa begitu sendiri. Hanya ada suara burung tiung (atau seperti suara burung tiung) ketika siang diam. Tapi ia takut duduk. Ia tak ingin menghadap ke laut, (andaikan ada laut), seperti patung Jan Pieterszoon Coen, seperti pengintai di menara benteng yang menunggu kapal-kapal di dekat langit sebelum perang. Ia tak ingin duduk. “Siapa yang menatap jurang dalam, jurang dalam akan menatapnya.” Mungkinkah ia sendiri yang mengucapkannya di sel itu?
24. Puisi Stalingrad, Sebuah Pagi
Stalingrad, Sebuah Pagi (oleh Laras Sekar Seruni) saya mengingat sebuah kisah–pagi yang temaram, dan Sungai Volga menyimpan peluh terakhirnya. hari itu, rumput pada tanah tidak pernah mengenal deru senapan, bahkan bangunan-bangunan masih tertinggal di pondasinya. tapi Stalin tertinggal di tanggal sejarah–ia mengubah Stalingrad sebagai kotanya, dan menaburkan nama-nama baru bagi kawanan camar. dan Stalin, ia berkaca pada tahun 1901, ketika roti dan gandum menemukannya di tepi jalan Kremlin. sudahkah engkau mati? sudahkah engkau mati setelah pagi yang kau binasakan-sebuah pertarungan besar melawan führer dan kawanan anjing dari Jerman? betapa saya mengamini, hanya Volgograd yang merapikan isi kepalanya setelah salju terakhir di ujung minggu. sementara Stalingrad adalah sebuah kisah–Stalin yang memungut puntung rokok dari dahimu, melinting hidupmu dalam detik-detik bisu.
Contoh Puisi Tentang Alam
25. Puisi Pengayuh Rakit Pengayuh Rakit (oleh Inggit Putria Marga) sebab segala yang mendatanginya selalu pergi setelah beberapa puluh hari sambil duduk mendekap lutut di tepian rakit, kepada air sungai yang penuh wajah matahari, pengayuh rakit meratapi perannya di kelahiran kali ini yang baginya, serupa sepetak tanah yang hanya layak ditanami sawi: tanah gembur dan berhumus di lapisan pertama, keras dan berbatu di lapis- lapis lainnya. tak ada tanaman tahunan yang dapat subur di tanah seperti itu. mereka hidup tapi hidup seperti payung terkatup. pokok jati di belakang rumahnya semacam bukti: belasan tahun akar menjalar, tubuh hanya mampu setinggi lembu, daun kalah lebar dengan daun telinga anak gajah, lingkar batang lebih ramping daripada lingkar pinggang atlet renang. jati yang tumbuh terhambat kerap membuatnya ingat pada pohon cita-cita yang sejak kecil tertanam di ladang dada: batang kerdil, daun mungil, tiada buah meski sepentil. sementara para sawi, di tanah itu, dengan panjang akar hanya beberapa senti mampu mencapai puncak hidup dalam puluhan hari. daun-daun muda tengadah seperti tangan berdoa. daun-daun tua rebah di tanah bagai petualang istirah. sayang, sebelum kembang-kembang sawi lahir, hubungan tanah dan tumbuhan berakhir. sawi dicerabut. tanah melompong ditertawai kabut. melompong serupa wajahnya saat segala yang mendatangi hanya singgah beberapa puluh hari, lalu pergi: hewan atau manusia, malaikat atau hantu, bahagia atau pilu. alih-alih menjemput penumpang di tepi sungai untuk diantar menyeberang pengayuh rakit terus-menerus meratap buaya menyembul dengan mulut mangap
26. Puisi Monolog Tentang Ibu
Monolog Tentang Ibu (oleh Laras Sekar Seruni) /I/ ibu bercerita tentang rentang impian anak-anak hujan berwajah jendela. di sisi kirinya tersemat pusaka tanah rampasan perang yang didekap senandung gamelan. di sisi kanannya tercurah kesuburan nan teduh untuk memikat kehidupan. /II/ ibuku, kawan, memiliki gunung yang rampai menembus awan. di atasnya angkasa perkasa menjadi penjaga tanpa cela. di bawahnya mengalir santun tetesan air dari mata nirwana. begitu luruh. begitu gemuruh. rambut ibuku mengakar pada sebidang inseptisol, menjengkal setiap kisah wanara yang dipenjara buku-buku tua. /III/ ibuku menyibak tabir bisu dari senandung waktu. sedangkan ibumu melampaui jemari halaman bukit kencana di lembah terjamah mezbah.
Contoh Puisi Perjalanan
27. Puisi Penjelajah Penjelajah (oleh Adimas Immanuel) Hanya biru laut. Hanya laut. Siang malam kita teropong. Hanya biru laut, lembar tabut. Bayang wajah yang terpotong. Tiada bayang emas dan sutra. Hanya hijau pesona selalu berdenyut di kelopak mata.
Tapi aku tak cari pantai
hidup sudah cukup landai. Aku hanya menantang Tuhan yang semayam dalam gejolak gelombang : cinta adalah firman yang Berangkat dari kutukan!
Hanya laut, kelebat kalut.
Kau masih tak tertempuh tak mungkin turunkan sauh.
Letih penjelajahan ini
akan berakhir di mana jika tak tertambat di tanjung nyawamu?
Hanya wajahmu, rupa waktu
yang jika sirna dari makna yang jika susut dari maksud tetap ada di mana-mana.
28. Puisi Merapi; Fragmen Perjalanan
Merapi; Fragmen Perjalanan (oleh Laras Sekar Seruni) Merapi–sebuah saksi yang dirambati jutaan kenangan, dengan sisa-sisa ranting patah, warna tanah, dan udara pagi yang lesap bersama tubuh kita di pinggir cangkir kopi. Kita–sepasang mata kata yang enggan terjalin, namun selalu berpilin. kata yang saling menebak, merebakkan deburan kuasa atas takdir-Nya. sampai Merapi terpejam, mengamini kepergian kita menuju tembaga waktu, memeluk telaga waktu. Baca Juga: Hikayat: Pengertian, Karakteristik, Jenis, Bentuk, dan Contoh
Contoh Puisi Kuliner
29. Puisi Sayur Buatan Ibuku Sayur Buatan Ibuku (oleh Ni Made Purnamasari) Sayur buatan ibuku seperti sajak yang pernah kutulis
Aku perlu garam, ibu
kata-kata menghilang tak mau jadi hujan tak mau jadi sajak
Sayur buatan ibuku
mengingatkan tentang kamarku jaring laba-laba potret ayahku sajak yang terselip di bawah lemari
aku tak suka terasi, ibu
derik jangkrik mencuri sajak-sajakku: sajak tentang bulan tentang pohonan atau jalan lengang di sebuah kota
Aku perlu kata-kata
seperti bawang merah ini seperti kau hambarkan sayur ini