Anda di halaman 1dari 7

“KAIDAH KEBAHASAAN CERITA SEJARAH RA KARTINI”

Oleh
Kelompok 6

Astrid
Rezky Anungrah
Sul Kifli

MA ANNUR NUSA
TAHUN AJARAN 2022/2023
PANGERAN DIPONEGORO
Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785.
Ibunya merupakan seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati
yang berasal dari Pacitan. Ayahnya bernama Gusti Raden Mas Suraja, yang di
kemudian hari naik takhta bergelar Hamengkubuwana III. Ketika dilahirkan,
Diponegoro diberi nama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian diubah menjadi
Bendara Raden Mas Antawirya. Nama Islamnya adalah Abdul Hamid. Setelah
ayahnya naik takhta, Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan nama Bendara
Pangeran Harya Dipanegara. Menjelang dewasa, Diponegoro menolak keinginan
sang ayah untuk menjadi raja. Dia beralasan bahwa posisi ibunya bukanlah
seorang istri permaisuri. Hal itulah yang membuat dirinya merasa tidak layak
untuk menduduki jabatan tersebut.
Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan
ahli di bidang hukum Islam-Jawa. Dia juga tertarik kepada masalah-masalah
keagamaan daripada masalah pemerintahan keraton. Itulah yang membuatnya
dapat membaur dengan rakyat. Dia lebih memilih tinggal di Tegalrejo, berdekatan
dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti Kangjeng Ratu
Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, daripada tinggal di keraton.
Dahulu Diponegoro mulai menaruh perhatian kepada masalah keraton
sejak dirinya ditunjuk menjadi salah satu anggota perwalian untuk mendampingi
Sultan Hamengkubuwana V yang saat itu baru berusia tiga tahun. Dikarenakan
masih kecil, pemerintahan keraton sehari-hari dikendalikan oleh Patih Danureja
IV dan Residen Belanda. Dia tidak menyetujui cara perwalian seperti itu, sehingga
melakukan protes.
Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan
pemerintah kolonial Belanda yang memasang patok-patok di atas lahan milik
Diponegoro di Desa Tegalrejo. Tindakan tersebut diperparah dengan beberapa
kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan eksploitasi
berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi. Hal inilah yang membuat
Pangeran Diponegoro semakin muak hingga mencetuskan sikap perlawanan.
Menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Profesor Wardiman
Djojonegoro, mengungkapkan bahwa Pangeran Diponegoro merasa sakit hati
terhadap pemerintahan kolonial Belanda dan keraton, yang menolaknya menjadi
raja. Perlawanan yang dilakukan sebenarnya disebabkan karena dirinya ingin
melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak Belanda dan
membebaskan istana dari madat.
Saat itu, dia menyatakan bahwa perlawanannya adalah “perang salib”,
yaitu perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat “perang salib” yang
dikobarkannya membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.
Medan pertempurannya mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Surakarta, dan
beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri,
Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang,
Madiun, Pacitan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dan Surabaya.
Bagi Belanda, Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan
mengerahkan berbagai jenis pasukan, mulai dari pasukan infanteri, kavaleri, dan
artileri, yang sejak Perang Napoleon selalu menjadi senjata andalan dalam
pertempuran frontal.
Para pengikut Pangeran Diponegoro menyatakan bahwa pertempuran
terjadi di berbagai desa dan kota di seluruh Jawa dan berlangsung sangat sengit.
Penguasaan suatu wilayah selalu silih berganti. Jika ada suatu wilayah dikuasai
pasukan Belanda pada siang hari, malam harinya wilayah itu sudah direbut
kembali oleh pasukan pribumi, demikian pula sebaliknya.
Berbagai cara licik juga terus dilakukan Belanda untuk menangkap
Diponegoro, bahkan sayembara pun digunakan dengan mengeluarkan maklumat
pada 21 September 1829, yaitu siapa saja yang dapat menangkap Pangeran
Diponegoro, baik hidup atau mati, akan diberi hadiah sebesar 50.000 Gulden,
beserta tanah dan penghormatan.
Perubahan strategi Belanda terjadi ketika Gubernur Jenderal De Kock
diangkat menjadi panglima seluruh Hindia Belanda tahun 1827. Untuk membatasi
ruang gerak dan strategi gerilya dari Diponegoro, De Kock menggunakan strategi
perbentengan (Benteng Stelsel).
Benteng-benteng dengan kawat berduri didirikan begitu pasukan Belanda
berhasil merebut daerah kekuasaan pasukan Diponegoro. Tujuannya agar pasukan
Diponegoro tidak dapat kembali dan mempersempit ruang geraknya. Jarak
antarbenteng berdekatan dan dihubungkan dengan pasukan gerak cepat.
Perlawanan Diponegoro semakin melemah sejak akhir tahun 1828, yaitu
setelah Kiai Madja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap pada 12
Oktober 1828. Disusul kemudian Sentot Prawirodirdjo dan pasukannya pada 16
Oktober 1828. Keadaan saat itu semakin diperparah karena pasukan Diponegoro
kesulitan biaya, serta istrinya R.A Ratnaningsih dan putranya tertangkap pada 14
Oktober 1829.
Setelah itu, De Kock memberi perintah rahasia kepada dua komandannya
pada 25 Maret 1830, yakni Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V
Michels, mempersiapkan perlengkapan militer untuk mengamankan penangkapan
Diponegoro.
Akhirnya, tanggal 28 Maret 1830, bertepatan dengan Idulfitri, Jenderal De
Kock bertemu dengan Diponegoro. Jenderal De Kock didampingi Residen Kedu
Valck, Letkol Roest (perwira De Kock), Mayor F.V.H.A de Stuers, dan
penerjemah bahasa Jawa, Kapten J.J Roefs.
Pangeran Diponegoro didampingi ketiga putranya, penasihat agama, dua
punakawan, dan panglima Basah Mertanegara. De Kock memulai pertemuan
dengan meminta agar Diponegoro tidak usah kembali ke Metesih. Diponegoro
merasa heran dan mempertanyakan kembali kepada De Kock alasannya tidak
diizinkan kembali, padahal dia hanya bersilaturahmi menjelang akhir bulan puasa.
De Kock langsung bicara akan menahan Diponegoro dan suasana pun langsung
berubah tegang.
Diponegoro langsung meresponsnya dengan menanyakan mengenai
penyebab dirinya harus ditahan. “Mengapa aku harus ditahan padahal aku tidak
bersalah dan tidak menaruh benci kepada siapa saja.” Mertanegara menyela
perbicaraan. “Sebaiknya agar masalah politik bisa diselesaikan lain waktu.” De
Kock langsung memotong perbicaraan dan menegaskan dengan nada tinggi.
“Tidak, masalah politik harus dituntaskan hari itu juga.”
Diponegoro langsung berbicara dan menuding De Kock hatinya busuk
karena keputusannya terburu-buru dan tidak pernah dibicarakan sebelumnya
selama bulan puasa. Dia berbicara bahwa dia tidak memiliki keinginan lain,
kecuali pemerintah kolonial Belanda mengakuinya sebagai kepada agama Islam di
Jawa dan gelar sultan yang disandangnya.
De Kock kemudian memerintahkan Letkol Roest agar Du Perron
menyiapkan pasukan. Diponegoro menjawab tindakan itu dengan mengatakan,
“Dengan situasi seperti itu dan karena sifat jahatmu, aku tidak takut mati. Aku
tidak takut dibunuh dan tidak bermaksud menghindarinya”. De Kock terhenyak
mendengar sikap keras dan teguh Diponegoro dan dengan suara lirih berbicara
bahwa dirinya tidak akan membunuh Diponegoro. Namun, tetap akan memenuhi
keinginan Diponegoro. Sempat terbersit dalam benak Diponegoro untuk
menghujam keris ke tubuh De Kock, tetapi niat itu diurungkan karena akan
merendahkan martabatnya.
Setelah meminum teh dan menghampiri pengikutnya, Diponegoro
beranjak keluar dan dia berhasil ditangkap. Dia bersedia menyerahkan diri dengan
syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Setelah ditangkap di Magelang, dia
diasingkan ke Gedung Keresidenan Semarang yang berada di Ungaran, lalu
dibawa ke Batavia pada 5 April 1830 dengan menggunakan kapal Pollux.
Dia kemudian diasingkan ke Manado pada 30 April 1830 bersama istri
keenamnya, Tumenggung Dipasena, dan para pengikut lainnya seperti
Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna.Mereka tiba di Manado pada 3
Mei 1830 dan ditawan di Benteng Nieuw Amsterdam. Pada 1834, sejak saat itu
Diponegoro dipindahkan ke Makassar dan dikurung dan mengalami kelaparan
hingga akhirnya wafatnya di Benteng Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855.
Kaidah kebahasaan dalam sejarah novel sejarah
No Kaidah kebahasaan Kutipan teks
1. Kalimat bermakna lampau - Dahulu Pangeran Diponegoro
mulai menaruh perhatian kepada
masalah keraton sejak dirinya
ditunjuk menjadi salah satu
anggota perwalian untuk
mendampingi Sultan
Hamengkubuwana V yang saat
itu baru berusia tiga tahun.

- Perlawanan Diponegoro semakin


melemah sejak akhir tahun
1828, yaitu setelah Kiai Madja,
pemimpin spiritual
pemberontakan, ditangkap pada
12 Oktober 1828.

2. Penggunaan konjungsi yang - Saat itu, dia menyatakan bahwa


menyatakan urutan waktu perlawanannya adalah “perang
salib”, yaitu perlawanan
menghadapi kaum kafir.
- Keadaan saat itu semakin
diperparah karena pasukan
Diponegoro kesulitan biaya, serta
istrinya R.A Ratnaningsih dan
putranya tertangkap pada 14
Oktober 1829.
- Sejak saat itu Diponegoro
dipindahkan ke Makassar dan
dikurung dan mengalami
kelaparan hingga akhirnya
wafatnya di Benteng Rotterdam
pada tanggal 8 Januari 1855.

3. Penggunaan kata kerja material - Tindakan tersebut diperparah


dengan beberapa kelakuan
Belanda yang tidak menghargai
adat istiadat setempat dan
eksploitasi berlebihan terhadap
rakyat dengan pajak tinggi.
- Berbagai cara licik juga terus
dilakukan Belanda untuk
menangkap Diponegoro, bahkan
sayembara pun digunakan
dengan mengeluarkan maklumat
pada 21 September 1829.
- Perlawanan Diponegoro semakin
melemah sejak akhir tahun 1828,
yaitu setelah Kiai Madja,
pemimpin spiritual
pemberontakan, ditangkap pada
12 Oktober 1828.
4. Penggunaan kalimat tidak - Menurut mantan Menteri
langsung Pendidikan dan Kebudayaan
Profesor Wardiman Djojonegoro,
mengungkapkan bahwa
Pangeran Diponegoro merasa
sakit hati terhadap pemerintahan
kolonial Belanda dan keraton,
yang menolaknya menjadi raja.

- Para pengikut Pangeran


Diponegoro menyatakan bahwa
pertempuran terjadi di berbagai
desa dan kota di seluruh Jawa dan
berlangsung sangat sengit.

5. Penggunaan kata kerja mental - Perlawanan yang dilakukan


sebenarnya disebabkan karena
dirinya ingin melepaskan
penderitaan rakyat miskin dari
sistem pajak Belanda dan
membebaskan istana dari madat.

- Dia merasa tidak bersalah dan


tidak menaruh benci kepada siapa
saja.

6. Penggunaan dialog - “Mengapa aku harus ditahan


padahal aku tidak bersalah dan
tidak menaruh benci kepada siapa
saja.” Mertanegara menyela
perbicaraan. “Sebaiknya agar
masalah politik bisa diselesaikan
lain waktu.” De Kock langsung
memotong perbicaraan dan
menegaskan dengan nada tinggi.
“Tidak, masalah politik harus
dituntaskan hari itu juga.”

7. Penggunaan kata sifat - De Kock terhenyak mendengar


sikap keras dan teguh Diponegoro
dan dengan suara lirih berbicara
bahwa dirinya tidak akan
membunuh Diponegoro. Namun,
tetap akan memenuhi keinginan
Diponegoro.
- Para pengikut Pangeran
Diponegoro menyatakan bahwa
pertempuran terjadi di berbagai
desa dan kota di seluruh Jawa dan
berlangsung dengan suasana
sangat sengit.

Anda mungkin juga menyukai