Anda di halaman 1dari 28

HASIL BUDAYA PRAAKSARA YANG SEKARANG MASIH

DITEMUKAN DI LINGKUNGAN SEKITAR KITA

Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi masa


praaksara

Dalam masa praaksara, manusia purba masih belum


mengenal tulisan, namun manusia purba sudah
mengembangkan kebudayaan dan teknologi. Teknologi waktu
itu bermula dari teknologi bebatuan yang digunakan sebagai
alat untuk memenuhi kebutuhan. Dalam praktiknya peralatan
atau teknologi bebatuan tersebut dapat berfungsi serba guna.
Pada tahap paling awal alat yang digunakan masih bersifat
kebetulan dan seadanya serta bersifat trial and eror. Mula-
mula, manusia praaksara hanya menggunakan benda-benda
dari alam terutama batu. Teknologi bebatuan pada zaman ini berkembang dalam kurun
waktu yang begitu panjang. Oleh karena itu, para ahli kemudian membagi kebudayaan zaman
batu di era praaksara ini menjadi beberapa zaman atau tahap perkembangan, yaitu
paleolitikum, mesolitikum, neolitikum, megalitikum, dan perundagian
Peralatan pertama yang digunakan oleh manusia purba adalah alat-alat dari batu yang
seadanya dan juga dari tulang. Peralatan ini berkembang pada zaman paleolitikum atau
zaman batu tua. Zaman ini dikatakan zaman batu tua karena hasil kebudayaan terbuat dari
batu yang relatif masih sederhana dan kasar. Alat-alat tersebut berupa kapak genggam, kapak
penetak, mata panah, mata tombak dan alat serpih. Dalam perkembangannya, alat-alat yang
terbuat dari batu tersebut mampu bertahan dan terus berkembang menjadi peralatan yang
dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia. Misalkan saja, pada tahun 1925 Von Stein
Callenfals melakukan penelitian di bukit kerang itu dan menemukan jenis kapak genggam
(chopper) yang berbeda dari chopper yang ada di zaman paleolitikum.
Masa mesolitikum, kapak genggam yang ditemukan di bukit kerang di pantai Sumatra
Timur ini diberi nama pebble atau lebih dikenal dengan Kapak Sumatra. Kapak jenis pebble
ini terbuat dari batu kali yang pecah, sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi bagian dalam
dikerjakan sesuai dengan keperluannya. Di samping kapak jenis pebble juga ditemukan jenis
kapak pendek dan jenis batu pipisan (batu-batu alat penggiling). Di Jawa batu pipisan ini
umumnya digunakan untuk menumbuk dan menghaluskan jamu.
Selain batu pipisan, salah satu alat yang tidak pernah lepas dari
kehidupan manusia sampai saat ini adalah cobek (uleg-uleg). peralatan
itu terbuat dari batu yang merupakan warisan budaya praaksara.
Peralatan dari batu ini sampai sekarang masih digunakan oleh
masyarakat kita. Gambar 1: batu pipisan
Perkembangan selanjutnya, pada masa neolitik, terdapat alat-alat yang terbuat dari batu
dengan pengerjaan yang lebih halus. Misalnya saja pada Kapak persegi. Nama kapak persegi
berasal dari penyebutan oleh von Heine Gelderen. Penamaan ini dikaitkan dengan bentuk
alat tersebut. Kapak persegi ini berbentuk persegi panjang dan ada juga yang berbentuk
trapesium. Ukuran alat ini juga bermacam-macam. Kapak persegi yang besar sering disebut
dengan beliung atau pacul (cangkul), bahkan sudah ada yang diberi tangkai sehingga persis
seperti cangkul zaman sekarang. Sementara yang berukuran kecil dinamakan tarah atau
tatah.

Gambar 2. Kapak Persegi, bahan Gambar 3: cangkul zaman sekarang


Gambar 4: tatah/ tarah
dasar cangkul zaman praaksara

Pada zaman neolitikum,di samping berkembangnya, jenis kapak batu juga


ditemukan barang-barang perhiasan, seperti gelang dari batu, juga alat-alat gerabah atau
tembikar. Untuk perkembangannya hingga saat ini, alat-alat tersebut masih sering kita
temukan di dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya gerabah yang digunakan pada zaman
praaksara masih juga digunakan masyarakat Indonesia saat ini. Bentuk, fungsi, dan teknik
pembuatan gerabah juga tidak jauh berbeda dengan gerabah zaman dulu. Teknik yang biasa
digunakan untuk membuat gerabah yang masih tetap dipertahankan adalah teknik pijit, teknik
pilin, dan teknik putar. Di jawa ditemukan cara-cara membuat gerabah yang dalam
pengerjaannya mempergunaan tatap dan roda pemutar. Daerah-daerah di jawa yang masih
mempergunakan cara-cara tradisional seperti ini diantaranya adalah Tuban, Bantul, Gunung
Tangkil dekat Bogor, dan Desa Anjun dekat Pamanukan.
Sejalan dengan kemampuan berfikir, maka pada masa perundagian manusia praaksara
sudah dapat / mampu membuat peralatan-peralatan dari logam seperti tembaga, perunggu,
dan besi. Tradisi logam itulah yang sampai sekarang menjadi dasar pembuatan alat-alat yang
berteknologi canggih. Untuk membuat alat-alat tersebut, mereka telah mengenal teknik
mencetak a cire produe atau cetak hilang, dan teknik bivalve atau cetak ulang

Pola Hunian

pola hunian manusia purba yang memperlihatkan dua karakter khas hunian purba yaitu,
(1) kedekatan dengan sumber air dan (2) kehidupan di alam terbuka. Pola hunian itu dapat
dilihat dari letak geografis situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa contoh yang
menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba di sepanjang aliran Bengawan
Solo (Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong) merupakan contoh-contoh
dari adanya kecenderungan manusia purba menghuni lingkungan di pinggir sungai. Kondisi
itu dapat dipahami mengingat keberadaan air memberikan beragam manfaat.

Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Kehidupan di sekitar sungai itu
menunjukkan pola hidup manusia purba di alam terbuka. Kondisi yang serupa masih sering
kita jumpai pada pola hunian kerajaan Hindu-Budha di Jawa. Sebagian besar kerajaan Hindu.
Budha masih menggunakan daerah aliran sungai sebagi pusat-
pusat kerajaan, misalnya saja kerajaan Mataram kuno yang
berada di sekitar daerah aliran sungai Opak dan sungai Progo,
kerajaan jenggala dan panjalu yang menggunakan daerah aliran
sungai (DAS) Brantas. Hal ini dimungkinkan karena kondisi
wilayah lembahan sungai yang sangat subur dan terdapat sumber
air yang melimpah.

Manusia purba juga memanfaatkan berbagai sumber daya


lingkungan yang tersedia, termasuk tinggal di gua-gua. Mobilitas
manusia purba yang tinggi tidak memungkinkan untuk menghuni

Gambar 5: Salah satu bentuk


rumah suku Korowae

gua secara menetap. Mereka terus berusaha mencari daerah lain yang memiliki sumber
makanan yang melimpah. Pada perkembangan berikutnya, manusia purba berusaha
melakukan pola hunian yang semi sedenter dengan memanfaatkan dahan-dahan pohon yang
bercabang banyak untuk membuat rumah. Rumah tersebut biasa dikenal sebagai rumah
pohon. Fungsi dari rumah pohon itu sendiri adalah sebagai perlindungan dari terkaman
binatang buas.

Teknologi Pertanian

Teknologi pertanian masa praaksara mulai berkembang ketika


telah ditemukannya api. Bagi manusia purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi
yang sangat penting. Berdasarkan data arkeologi, penemuan api kira-kira terjadi pada
400.000 tahun yang lalu. Penemuan pada periode manusia Homo erectus. Di samping untuk
menghangatkan diri dari cuaca dingin, dengan api kehidupan menjadi lebih bervariasi dan
berbagai kemajuan akan dicapai. Teknologi api dapat dimanfaatkan manusia untuk berbagai
hal. Di samping itu penemuan api juga memperkenalkan manusia pada teknologi memasak
makanan, yaitu memasak dengan cara membakar dan menggunakan bumbu dengan ramuan
tertentu. Manusia juga menggunakan api sebagai senjata. Api pada saat itu digunakan
manusia untuk menghalau binatang buas yang menyerangnya. Api dapat juga dijadikan
sumber penerangan. Melalui pembakaran pula manusia dapat menaklukkan alam, seperti
membuka lahan untuk garapan dengan cara membakar hutan. Tujuan pembukaan lahan
dengan cara membakar hutan ini memiliki dua fungsi, yaitu mempercepat pembukaan lahan,
dan kandungan unsur hara pada arang sisa pembakaran yang bermanfaat untuk kesuburan
tanah.

Kebiasaan bertani dengan menebang lalu bakar (slash and burn) adalah kebiasaan kuno
yang tetap berkembang sampai sekarang. Hal ini bertujuan untuk membuka lahan baru untuk
pertanian, perumahan atau untuk kegiatan industri dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
hidup.

Salah satu daerah yang masih menggunakan teknik slash and burn ini adalah wilayah
Kalimantan. Lebih dari 400 sub suku dengan kelompok besar seperti Kenyah, Taman, Ngaju,
Kadazan, mereka hidup dengan cara bertani. Sistem pertanian mereka masih menerapkan
metode tebas bakar dan metode rotasi. Metode ini berkaitan erat dengan kesuburan tanah dan
keseimbangan alam. Di Kalimantan yang minus Gunung berapi, kesuburan tanah bergantung
pada humus yaitu penguraian unsur-unsur kesuburan yang bberasal dari tumbuh-tumbuhan.

Metode tebas bakar mempercepat propses penguraian, dimana abu hasil pembakaran
pohon dan tumbuhan menjadi unsur penyubur tanah. Sistem rotasi lebih ditekankan pada
pengaturan siklus hutan atau ladang. Rotasi yang baik memberikan kesempatan pada bidang
tanah tertentu untuk budidaya padi lewat proses pembawasan (fallowing)

SISTEM KEPERCAYAAN

Sistem kepercayaan masa praaksara telah muncul pada saat


zaman neolitik. Dimana masyarakat praaksara telah mengenal
sistem kepercayaan animisme dan dinamisme.

 Animisme:

Kepercayaan ini berasal dari perkembangan berfikir manusia dalam memahami sebab-
sebab gejala alam yang terjadi di sekitar mereka. Ketika mereka dihadapkan dengan
fenomena alam seperti hujan, gunung meletus, panas, gempa bumi, air yang mengalir,
manusia memerlukan pemecahan masalah alam tersebut dengan mencari sebab-sebab
fenomena alam tersebut. Karena cara berfikir mereka belum berkembang, mereka
menganggap fenomena tersebut adalah buatan dari roh.

Roh yang dianggap mengatur fenomena-fenomena tersebut bentuknya kasat mata dan
tidak dapat ditangkap dengan panca indra. Agar manusia dapat terus beraktifitas dengan
penuh ketenangan, kelancaran dan sesuai harapan mereka, maka roh-roh itupun perlu
disembah. Penghormatan dan penyembahan manusia purba atas roh pengatur alam semesta,
dilakukan dengan pembacaan doa, pemberian sesaji, atau korban.

Pada saat sekarang, kepercayaan animisme dan dinamisme masih sangat melekat dalam
kehidupan sebagian masyarakat Indonesia baik di kota, maupun di desa. Coba temukan
contoh kepercayaan animisme yang ada di sekitar kalian!

 Dinamisme

Istilah dinamisme berasal dari kata dinamo artinya kekuatan. Dinamisme adalah paham
atau kepercayaan bahwa pada benda-benda tertentu baik benda hidup atau mati bahkan
benda-benda ciptaan memiliki kekuatan gaib dan bersifat
suci. Benda suci itu mempunyai sifat yang luar biasa yang
dapat membawa pengaruh baik atau buruk pada manusia dan
dunia sekitarnya. Benda-benda yang dianggap memiliki
kekuatan gaib disebut fetysyen yang berarti benda sihir.
Benda-benda ini meliputi pusaka, lambang kerajaan, tombak,
keris, cincin, kalung, dan sebagainya.

Bagi masyarakat yang masih menganut dinamisme, sebuah keris tertentu bisa jadi dapat
dianggap memiliki suatu kekuatan gaib seperi membuat lawan jenis tertarik, membuat si
pemilik benda pusaka dapat menghilang atau tidak terlihat. Memberikan usaha yang lancar
dan sebagainya.

Gambar 7: Keris dianggap benda pusaka masyarakat Jawa

a. Tradisi Penguburan

Masyarakat zaman praaksara terutama periode zaman


megalitik sudah mengenal sistem kepercayaan. Mereka sudah
memahami adanya kehidupan setelah mati. Mereka meyakini
bahwa roh seseorang yang telah meninggal akan ada kehidupan di
alam lain. Oleh karena itu, roh orang yang sudah meninggal akan senantiasa dihormati oleh
sanak kerabatnya. Terkait dengan itu maka kegiatan ritual yang paling menonjol adalah
upacara penguburan orang meninggal. Dalam tradisi penguburan ini, jenazah orang yang
telah meninggal dibekali berbagai benda dan peralatan kebutuhan sehari-hari, misalnya
barang-barang perhiasan, periuk dan lain-lain yang dikubur bersama mayatnya. Hal ini
dimaksudkan agar perjalanan arwah orang yang meninggal selamat dan terjamin dengan baik.
Dalam upacara penguburan ini semakin kaya ora yang meninggal maka upacaranya juga
semakin mewah. Barang-barang berharga yang ikut dikubur juga semakin banyak.

Di daerah Tana Toraja, terdapat sebuah kebudayaan yang masih terpelihara sampai saat
ini, diantaranya adalah

 Aluk Rambu Tuka, merupakan upacara yang dilakukan untuk memohon


keselamatan atau ungkapan rasa syukur dalam peristiwa-peristiwa kelahiran
anak, pembangunan rumah Tongkonan, selesai menuai padi, pentahbisan
arwah leluhur menjadi toamambeli dan sebagainya.

 Aluk Rambu Solok atau disebut juga rambe Matampu. Upacara ini merupakan
pemujaan dan persembahan yang khusus berhubungan dengan upacara
kematian. Sejumlah kerbau dikorbankan sesuai kedudukan serta tingkat /
derajat si mati. Upacara dilaksanakan di sebelah Barat rumah Tongkonan pada
waktu mataharii tenggelam.
Penguburan masih dilakukan dengan langsung maupun tidak langsung,menggunakan
wadah atau tanpa wadah. Wadah yang digunakan dpat
dibuat dari bahan kayu, atau kayu utuh yang dilubangi,
dolmen, peti kubur, dan sebagainya, disimpan di dalam
ceruk, gua, batu besar yang dibuat ceruk, dan sebagainya.
Di desa Pacung Buleleng Bali, kematian dianggap menuju
tempat tinggal arwah. Sebelum dikubur, si mati
dimandikan dan dirias dengan menggunakan pakaian adat.
Kemudian si mati diberi sesaji berupa makanan dan
minuman secara lengkap. Setelah upacara, mayat dibawa ke kuburan bersama-sama makanan
dan minuman yang tadi disajikan. Pada saat penguburan, keluarga dapat memberikan bekal
kubur berupa barang yang dapat dipakai atau disenangi semasa hidup si mayat.

Gambar 8: Situs Lemo, Toraja

Di Kalimantan tengah (suku Dayak Ngaju), penguburan cara pertama dilakukan dengan
meletakkan peti mati ke dalam tanah, dengan dibekali benda yang semasa hidup sering
digunakan. Di atas kubur diletakkan tiang penanda bahwa di situ ada kubur. Cara kedua
adalah meletakkan mayat di dalam peti kayu, kemudian peti ini diletakkan di sebuah tempat
yang disangga oleh tiang-tiang yang tinggi. Cara ke tiga adalah dengan membakar mayat.
Tulang-tulangnya kemudian dikumpulkan ke dalam tempayan atau peti kayu. Setelah upacara
selesai, diadakan upacara pertama (tantolaki matei), keluarga dapat melakukan kegiatan biasa
sambil menunggu upacara besar yang disebut tiwah. Upacara ini diadakan jika biayanya
cukup dan ini tergantung pada kemampuan keluarga. Pada penguburan kedua, tulang-tulang
dikumpulkan dan dengan segala macam upacara dimasukkan ke dalam bangunan yang
disebut sandong. Bangunan ini terbuat dari kayu ulin dan berbentuk seperti rumah kecil,
didirikan atau ditempatkan di atas satu atau lebih tangga penyangga.

Pemertintahan/ Sosial

Manusia hidup dalam kelompok-kelompok dan


membekali diri mengjhadapi lingkungan sekelilingnya.
Satu kelompok manusia purba membentuk sebuah
kelompok yang terdiri kelompok-kelompok kecil, dan setiap kelompok terdiri dari 5-20
orang. Mereka dipimpin oleh satu kepala suku yang dipilih menurut sistem primus interpares.
Kepala dipilih karena memiliki keunggulan-keunggulan tertentu dibandingkan individu-
individu lainnya. Misalkan ahli berburu dan kuat melindungi kelompoknya.
Zaman praaksara juga sudah mengenal pembagian tugas. Dimana pembagian tugas
tersebut telah disesuaikan dengan jenis kelamin. Tugas laki-laki adalah berburu, sedangkan
perempuan adalah mengurus anak dan mengumpulkan makanan yang berupa tumbuh-
tumbuhan dan biji-bijian. Kondisi ini masih sangat terlihat pada masyarakat suku Dani yang
masih menggunakan kepala suku sebagai pemimpin dalam sebuah masyarakat.

1. Pola Hunian Masyarakat Pra-Aksara.


Gua Sebagai Tempat Tinggal Masyarakat Pra-Aksara

Sumber : Taufik Abdullah dan A.B Lapian (ed). 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah, Jilid I.
Jakarta: PT Ichtiar Baru
van Hoeve.
Gambar 1.18 Song Keplek situs hunian pada masa akhir Pleistosen-Holosen
Perhatikan gambar diatas, gambar diatas merupakan gua yang biasa dijadikan tempat
tinggal oleh manusia purba. Pola hunian manusia purba memiliki dua karakter yang khas
yaitu 1. kedekatan dengan sumber air dan (2) kehidupan di alam terbuka. Pola hunian itu
dapat dilihat dari letak geografis situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa contoh
yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba di sepanjang aliran
Bengawan Solo (Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong) merupakan
contoh-contoh dari adanya kecenderungan manusia purba menghuni lingkungan di pinggir
sungai. Kondisi itu dapat dipahami mengingat keberadaan air memberikan beragam
manfaat. Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Air juga diperlukan oleh tumbuhan
maupun binatang. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai
binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuh-tumbuhan, air memberikan
kesuburan bagi tanaman. Keberadaan air juga dimanfaatkan manusia sebagai sarana
penghubung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui sungai, manusia dapat
melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lainnya.

2. Pola Hunian Dengan Mata Pencaharian.


Sering kali kita mendengar aktivitas pembukaan lahan di beberapa daerah di Indonesia.
Hal ini bertujuan untuk membuka lahan baru untuk pertanian, perumahan atau untuk kegiatan
industry dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup. Sebenarnya nenek moyang kita
juga sudah melakukan hal serupa. Pola hidup berpindah-pindah dan melakukan aktivitas
bercocok tanam demi kelangsungan hidup mereka.
1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana.
Kehidupan social, budaya, ekonomi masa berburu dan mengumpulkan makanan manusia
purba ditandai dengan cara kehidupan kelompok masyarakat kecil. Mereka hidup secara
berpindah-pindah (Nomaden) Karena kehidupannya masih sangat bergantung pada alam.
Apabila daerah yang lama mulai menipis atau persediaan bahan makanan habis, maka mereka
akan segera mencari tempat yang terdapat sumber makanan.sebagian besar aktivitas manusia
purba dalam hal mengumpulkan makanan menggunakan alat-alat perkakas yang masih sangat
sederhana. Alat-alat perkakas yang digunakan seperti terbuat dari batu, serta tulang binatang
dan ikan. Alat sederhana seperti itu biasanya digunakan untuk menggali umbi-umbian.
Mereka biasanya bergerak tidak jauh dari sumber air seperti sungai, danau. Oleh
karena hanya ditempat itu mereka banyak menjumpai berbagai jenis ikan, kerang, maupun
jenis binatang buruan berkumpul. Pada waktu itu kelompok perburuan relative kecil, laki-laki
bertugas mengejar binatang buruan, sedangkan perempuan tinggal di pangkalan dengan tugas
memeilhara anak-anak, mengumpulkan makanan serta meramunya. Dengan adanya pola
kehidupan seperti itulah dibutuhkan fisik yang kuat sebab selain menghadapi tantangan alam
yang ganas, seringkali pula harus menghadap ancaman binatang buas.

2. Masa peralihan
Sejalan dengan tingkat perkembangan pengetahuan manusia, maka tingkat kehidupan
social, ekonomi dan kebudayaan manusia pun juga mengalami perkembangan. Jika
sebelumnya manusia purba masih hidup secara nomaden, maka pada masa peralihan manusia
sudah mulai memikirkan untuk mencari tempat berteduh dari gangguan alam yang ada di
sekitarnya. Manusia sudah mulai membuat rumah tempat tinggal meskipun tidka permanen.
Guna melindungi diri dari ancaman binatag buas atau gangguan-gangguan lainnya seperti
hujan, badai, petir dan lain-lain. Tahap ini dikatakan sebagai masa peralihan itu dikarenakan
dari tahap berburu dan mengumpulkan makanan menuju ke kehidupan bercocok tanam serta
hidup menetap. Meskipun kehidupan mereka sudah mulai menetap namun kehidupan mereka
masih tetap bergantung pada alam, hanya saja kehidupan nomaden berangsur-angsur
ditinggalkan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya tumpukan sampah dapur yang
membukit berasal dari tumpukan kulit kerang dan banyak dijumpai di daerah-daerah pantai.
Dengan bukti adanya sampah dapur tersebut telah menunjukan bahwa kehidupan mereka
sudah mulai menetap. Dengan mendirikan rumah-rumah bertonggak di pinggir pantai.
Disamping banyak yang bertempat tinggal di daerah sepanjang pinggiran pantai, pada masa
peralihan ini ada juga yang membangun tempat tinggalnya di gua-gua paying atau gua alam,
khususnya di daerah gua-gua yang dekat dengan sumber air, seperti sungai, rawa, danau, atau
bahkan laut. Contohnya seperti di daerah sampung gua lawa, maupun bebrapa gua yang
ditemukan di daerah Sulawesi selatan (gua leang-leang).selain sudah mulai bertempat tinggal
agak lama di suatu tempat, manusia pada masa peralihan ini juga sudah mulai pandai
mengolah makannya sendiri. Hal itu dimungkinkan karena pada waktu itu api sudah dikenal
sebagai sarana kegiatan utnuk memasak.
Selain itu dilihat dari kehidupan seni budaya manusia pada masa berburu dan
mengumpulkan makanan tingkat lanjut serta masuk ke Masa Peralihan ternyata juga sudah
menghasilkan karya yang seni yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya. Hal itu
nampak pada hasil-hasil lukisan mereka yang terdapat pada dinding-dinding gua maupun
dinding-dinding karang dahulu yang pernah menjadi tempat tinggalnya. Di Indonesia lukisan-
lukisan tersebut tersebar di daerah Sulawesi selatan, kepulauan Maluku, dan pulau Irian.
Lukisan-lukisan yang ditemukan berupa cap tangan yang jari2nya direntangkan selain itu
juga ditemukan lukisan seekor babi rusa yang sedang melompat dan terkena panah dibagian
jantungnya.
3. Masa bercocok tanam
Ketika manusia purba sudah mulai mengenal hidup menetap lebih lama lagi maka lahirlah
pola baru yaitu masa bercocok tanam atau bertani. Pada masa ini diperkirakan daerah-daerah
yang ditempati manusia sudah semakin meluas, disamping itu dalam bidang ekonomi mereka
sudah benar-benar mampu menghasilkan makanannya sendiri. Atau dengan kata lain cara
kehidupan ekonominya sudah beralih dari food gathering ke food producing. Adanya
kemampuan menghasilkan makanan itu menandakan bahwa mereka sudah benar-benar
menetap secara permanen. Tempat yang mereka pilih masih sama seperti kehidupan
sebelumnya yang berada di dekat sumber air. Rumah-rumah panggung mulai didirikan pada
masa bercocok tanam dimana berfungsi untuk menghindar dari ancaman binatang buas dan
menghindari banjir. Dengan demikian dapatlah dipahami food producing biasanya di iringi
dengan sedenter (hidup menetap). Selanjutnya mereka mulai memilih bertempat tinggal tetap,
sehingga ada pemikiran untuk segera mendirikan rumah yang permanen. Adnya kehidupan
yang sudah menetap biasanya memunculkan kesadaran betapa perlunya penataan hidup
bermasyarakat. Sebelumnya, ketika orang masih hidup mengembara, manusia masih bisa
hidup semau serta sebebas mungkin. Di sini manusia cukup memperhtikan dirinya sendiri
atau paling besar anggota keluarganya. Selain itu perlu ditetapkan pula seorang pemimpin
yang dapat menjamin serta mengingatkan agar kesepakatan bersama tadi dapat dijalankan.
Pada masyarakat yang masih sangat sederhana selalu ditandai dengan sifat homogenitas.
Yang sangat tinggi. Dalam kaitannya dengan bentuk- bentuk tempat tinggal itulah maka
masyarakat masa bercocok tanam membangun rumah-rumahnya secara seragam. Pada
umumnya bentuk-bentuk tempat tinggal dari masa bercocok tanam itu berupa rumah-rumah
kecil dan bundar atapnya melekat pada tanah. Pada masa bercocok tanam dalam bidang
pertanian itu masyarakat mulai menanami sawah maupun kebunnya dengan berbagai jenis
biji-bijian dan umbi-umbian serta sayuran. Selain bertani mereka juga beternak. Pada masa
bercocok tanam masyrakatnya juga sudah ada yang pandai membuat perahu yang terbuat dari
pohon-pohon besar yang dipotong-potong. Pada saat itu pula sudah ada kegiatan berdagang
walaupun dilakukan dengan sistem barter.

4. Masa perundagian
Masyarakat pada masa bermukim dan bercocok tanam telah hidup menetap dan teratur.
Masyarakat itu kemudian makin maju setelah mengenal logam. Kemampuan mengerjakan
logam menambah kemampuan masyarakat tersebut. Banyak peralatan manusia menjadi
semakin sempurna dan berkembanglah masa perundagian (pertukangan). Pada masa ini
masyarakat sudah mengenal teknik-teknik pengolahan logam berbagai jenis alat dibuat dari
logam, seperti, kapak perunggu, nekara perunggu, bejana perunggu, arca perunggu, dan
barang-barang dari besi. Di asia tenggara logam mulai dikenal kira-kira sekitar 3000-2000
sebelum masehi. Sedangkan khusus di Indonesia penggunaan logam perunggu baru dimulai
beberapa abad sebelum masehi. Namun berdasarkan temuan arkeologis di Indonesia tidak
pernah mengenal alat-alat dari tembaga hanya mengenal alat dari perunggu dan besi saja.
Sedangkan untuk perhiasan selain dari perunggu juga sudah terbuat dari emas.
Teknik melebur logam dan menuangkannya ke cetakan sehingga menjadi alat merupakan
suatu perkembangan teknik tingkat tinggi.yang belum pernah dikenal sebelumnya, sebab
untuk melakukan cara itu dibutuhkan teknik atau cara-cara khusus.dalam kaitannya dengan
pembuatan alat-alat dari bahan logam tersebut pada saat itulah telah dikenal adanya dua
macam teknik atau cara yakni, teknik cetakan setangkap dan teknik cetakan lilin. Oleh karena
itulah maka alat atau benda-benda peninggalan dari logam yang pernah dihasilkan serta
ditemukan di Indonesia memperlihatkan masih adanya pengaruh budaya dari daratan
asia(kebudayaan dongson). Nekara perunggu (gendering, tambur), kapak perunggu (kapak
corong, kapak upacara), serta alat-alat dari besi seperti mata kapak, mata pisau, mata tombak
dan mata pedang.

3. Sistem Kpercayaan.

Sumber: Direktorat Geografi Sejarah. 2009. Atlas Prasejarah


Indonesia. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Gambar 1.20 Menhir yang ada di Limapuluh Koto

Nenek moyang kita mengenal kepercayaan kehidupan setelah mati. Mereka percaya
pada kekuatan lain yang maha kuat di luar dirinya. Mereka selalu menjaga diri agar
setelahmati tetap dihormati. Berikut ini kita akan menelaah bagaimana sistem kepercayaan
manusia zaman pra-aksara, yang menjadi nenek moyang kita. Perwujudan kepercayaannya
dituangkan dalam berbagai bentuk diantaranya karya seni. Satu di antaranya berfungsi
sebagai bekal untuk orang yang meninggal. Tentu kamu masih ingat tentang perhiasan yang
digunakan sebagai bekal kubur. Seiring dengan bekal kubur ini, maka pada zaman purba
manusia mengenal penguburan mayat. Pada saat inilah manusia mengenal sistem
kepercayaan. Sebelum meninggal manusia menyiapkan dirinya dengan membuat berbagai
bekal kubur, dan juga tempat penguburan yangmaka pada zaman purba manusia mengenal
penguburan mayat. Pada saat inilah manusia mengenal sistem kepercayaan. Sebelum
meninggal manusia menyiapkan dirinya dengan membuat berbagai bekal kubur, dan juga
tempat penguburan yang menghasilkan karya seni cukup bagus pada masa sekarang. Untuk
itulah kita mengenal dolmen, sarkofagus, menhir dan lain sebagainya.
Masyarakat zaman pra-aksara terutama periode zaman Neolitikum sudah mengenal
sistem kepercayaan. Mereka sudah memahami adanya kehidupan setelah mati. Mereka
meyakini bahwa roh seseorang yang telah meninggal akan ada kehidupan di alam lain. Oleh
karena itu, roh orang yang sudah meninggal akan senantiasa dihormati oleh sanak kerabatnya.
Terkait dengan itu maka kegiatan ritual yang paling menonjol adalah upacara penguburan
orang meninggal. Dalam tradisi penguburan ini, jenazah orang yang telah meninggal dibekali
berbagai benda dan peralatan kebutuhan sehari-hari, misalnya barang-barang
perhiasan, periuk dan lain-lain yang dikubur bersama mayatnya.
Hal ini dimaksudkan agar perjalanan arwah orang yang meninggal selamat dan terjamin
dengan baik. Dalam upacara penguburan ini semakin kaya orang yang meninggal maka
upacaranya juga semakin mewah. Barang-barang berharga yang ikut dikubur juga semakin
banyak. Selain upacara-upacara penguburan, juga ada upacaraupacara pesta untuk
mendirikan bangunan suci. Mereka percaya manusia yang meninggal akan mendapatkan
kebahagiaan jika mayatnya ditempatkan pada susunan batu-batu besar, misalnya
pada peti batu atau sarkofagus.
Batu-batu besar ini menjadi lambang perlindungan bagi manusia yang berbudi luhur
juga memberi peringatan bahwa kebaikan kehidupan di akhirat hanya akan dapat dicapai
sesuai dengan perbuatan baik selama hidup di dunia. Hal ini sangat tergantung pada kegiatan
upacara kematian yang pernah dilakukan untukmenghormati leluhurnya. Oleh karena itu,
upacara kematian merupakan manifestasi dari rasa bakti dan hormat seseorang terhadap
leluhurnya yang telah meninggal. Sistem kepercayaan masyarakat pra-aksara yang demikian
itu telah melahirkan tradisi megalitik (zaman megalitikum = zaman batu besar). Mereka
mendirikan bangunan batu-batu besar seperti menhir, dolmen, sarkofagus.
Pada zaman praaksara, seorang dapat dilihat kedudukan sosialnya dari cara
penguburannya. Bentuk dan bahan wadah kubur dapat digunakan sebagai petunjuk status
sosial seseorang. Penguburan dengan sarkofagus penguburan tanpa wadah. Dengan kata lain,
pengelolaan tenaga kerja juga sering digunakan sebagai indicator stratifikasi sosial seseorang
dalam masyarakat. Sistem kepercayaan dan tradisi batu besar seperti dijelaskan di atas, telah
mendorong berkembangnya kepercayaan animisme. Kepercayaan animisme merupakan
sebuah sistem kepercayaan moyang memuja roh nenek moyang. Di samping animisme,
muncul juga kepercayaan dinamisme. Menurut kepercayaan dinamisme ada benda-benda
tertentu yang diyakini memiliki kekuatan gaib, sehingga benda itu sangat dihormati dan
dikeramatkan. Seiring dengan perkembangan pelayaran, masyarakat zaman pra-aksara akhir
juga mulai mengenal sedekah laut. Sudah barang tentu kegiatan upacara ini lebih banyak
dikembangkan di kalangan para nelayan. Bentuknya mungkin semacam selamatan apabila
ingin berlayar jauh, atau mungkin saat memulai pembuatan perahu. Sistem kepercayaan
nenek moyang kita ini sampai Sumber: Direktorat Geografi Sejarah.

2009. Atlas Prasejarah Indonesia. Jakarta:


Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.sekarang masih dapat kita temui dibeberapa
daerah.
Gambar 1.21 Sarkofagus atau kubur batu
BUKU SISWA

Perkembangan Teknologi antara


Batu dan Tulang
&
Perkembangan Teknologi antara
PERKEMBANGAN BUDAYA
A. Teknologi Bebatuan
Pada mulanya teknologi muncul dari upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
termasuk untuk mempertahankan dirinya dari berbagai ancaman. Manusia dalam perkembangan
mencari kebutuhan hidupnya sering berhadapan dengan berbagai jenis bahan makanan, seperti
binatang di darat, ikan di air, atau buah-buahan di pohon. Seketika muncul naluri untuk
memperoleh bahan pangan itu, tetapi keterbatasan kemampuan tangannya mendorong timbulnya
keinginan untuk menggunakan alat bantu. Pada tahap paling awal, alat yang digunakan masih
bersifat kebetulan dan instan, yaitu berupa benda-benda alam (batu, kayu, dll) yang tersedia di
sekitarnya. Keberhasilan menggunakan benda tersebut mendorong manusia untuk menciptakan
alat-alat yang menggunakan benda tersebut mendorong manusia untuk menciptakan alat-alat yang
lebih baik lewat pengerjaan. Kemampuan untuk memodifikasi dan menghasilkan bentuk-bentuk
alat yang diinginkan pada akhirnya melahirkan teknologi pembuatan peralatan.
Upaya manusia untuk mempertahankan diri juga merupakan faktor awal kelahiran teknologi
persenjataan. Di kala manusia di dalam pengembaraannya terancam oleh bnatang buas atau oleh
manusia lainnya, timbul naluri untuk mempertahankan diri dengan memanfaatkan benda-benda
alam yang tersedia di sekitarnya.keberhasilan penggunaan benda tersebut mendorong timbulnya
keinginan untuk membuat persenjataan atau peralatan yang lebih efektif dengan cara memodifikasi
bentuk sesuai dengan tujuannya. Kemampuan membuat alat dan persenjataan melahirkan teknologi
yang kemudian diwariskan dan dikebangkan secara turun temurun dan yang lambat laun
berkembang sejalan dengan perjalanan waktu. Semakin maju kemampuan berpikir manusia,
semakin maju teknologi yang dikuasainya, semakin beragam dan canggih pula alat-alat yang
dihasilkan.
Berbicara tentang peralatan manusia purba perhatian kita selalu tertuju pada alat-alat batu.
Hal ini terbukti dari hasil peninggalan berupa artefak atau peralatan yang sampai kepada kita
umumnya terbuat dari batu. Selain peralatan batu, manusia purba telah membuat berbagai alat dari
berbagai bahan lain dalam memenuhi kebutuhannya, seperti kayu, bambu dan tulang. Bahan
organik tersbut (kayu, bambu, dan tulang) mungkin jug digunakan karena disamping ketersediaan
dalam lingkungan, bentuk dan dimensinya yang sangat bervriasi tentu lebih memberikan fungsi-
fungsi yang lebih luas dibanding alat batu.
Teknologi lain di luar peralatan yang juga sudah dikenal dalam periode ini adalah
pembuatan api. Sebagai salah satu inovasi terpenting dalam sejarah peradaban, penemuan api telah
membawa manusia pada berbagai kemajuan. Melalui api manusia dapat menghangatkan badan dari
kedinginan cuaca atau mengolah makanan dengan cara memasak atau membakar.

B. Pengaruh Budaya Bacson-Hoabinh


Diperkirakan berasal dari tahun 10.000 SM-4000 SM, kira-kira tahun 7000 SM. Awalnya
masyarakat Bacson-Hoabinh hanya menggunkan alat dari gerabah yang sederhana berupa serpihan-
serpihan batu tetapi pada tahun 600 SM mengalami dalam bentuk batu-batu yang menyerupai kapak
yang berfungsi sebagai alat pemotong. Bentuknya ada yang lonjong, segi empat, segitiga, dan ada
yang berbentuk berpinggang. Ditemukan pula alat-alat serpih, batu giling dari berbagai ukuran, alat-
alat dari tulang dan sisa-sisa tulang belulang manusia yang dikuburkan dalam posisi terlipat serta
ditaburi zat warna merah.
Ditemukan dalam penggalian di pegunungan batu kapur di daerah Vietnam bagian utara,
yaitu di daerah Bacson pegunungan Hoabinh. Istilah Bacson-Hoabinh digunakan sejak tahun 1920-
an untuk menunjukkan tempat pembuatan alat-alat batu yang memiliki ciri dipangkas pada satu/ dua
sisi permukaannya. Batu kali yang berukuran lebih kurang satu kepalan dan seringkali seluruh
tepiannya menjadi bagian yang tajam. Ditemukan di seluruh wilayah Asia Tenggara, hingga
Myanmar (Burma) di barat dan ke utara hingga propinsi-propinsi Selatan, antara 1800 dan 3000
tahun yang lalu.
Di Indonesia, alat-alat dari kebudayaan Bacson-Hoabinh dapat ditemukan di daerah
Sumatera, Jawa (lembah Sungai Bengawan Solo), Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi sampai ke
Papua (Irian Jaya). Di Sumatera letaknya di daerah Lhokseumawe dan Medan.
Penyelidikan tentang persebaran kapak Sumatera dan kapak Pendek membawa kita melihat daerah
Tonkin di Indocina dimana ditemukan pusat kebudayaan Prasejarah di pegunungan Bacson dan
daerah Hoabinh yang letaknya saling berdekatan.
Alat-alat yang ditemukan di daerah tersebut menunjukkan kebudayaan Mesolitikum.
Dimana kapak-kapak tersebut dikerjakan secara kasar. Terdapat pula kapak yang sudah diasah
tajam, hal ini menunjukkan kebudayaan Proto Neolitikum. Diantara kapak tersebut terdapat jenis
pebbles yaitu kapak Sumatera dan kapak pendek. Mme Madeline Colani, seorang ahli prasejarah
Perancis menyebutkan/ memberi nama alat-alat tersebut sebagai kebudayaan Bacson-Hoabinh.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa Tonkin merupakan pusat kebudayaan Asia Tenggara. Dari
daerah tersebut kebudayaan ini sampai ke Indonesia melalui Semenanjung Malaya (Malaysia Barat)
dan Thailand. Di Tonkin tinggal 2 jenis bangsa, yaitu Papua Melanosoid dan Europaeide. Selain itu
ada jenis Mongoloid dan Australoid.
Bangsa Papua Melanosoid, merupakan bangsa yang daerah penyebarannya paling luas,
meliputi Hindia Belakang, Indonesia hingga pulau-pulau di Samudera Pasifik. Bangsa ini memiliki
kebudayaan Mesolitikum yang belum di asah (pebbles).
Bangsa Mongoloid, merupakan bangsa yang memiliki kebudayaan yang lebih tinggi, yaitu proto-
neolitikum (sudah diasah).
Periodisasi masa pra-aksara berdasarkan perkembangan hasil budayanya dibagi dalam 3 masa
yaitu :
1. Masa berburu dan meramu, cirinya nomaden, kehidupannya berpola Kjokkenmoddinger dan
Arbis sous Roche, menggunakan alat batu sederhana (kapak perimbas/chopper,kapak
genggam/hand adze dan alat serpih/flakes)
2. Masa bercocok tanam dengan ciri hidup menetap/sedenter berpola food producing, tempat
tinggal berpola Kjokkenmoddinger dan Arbis sous Roche dengan mulai mengembangkan sistem
kepercayaannya serta mengenal teknologi gerabah.
3. Masa perundagian/pertukangan, yang mahir dalam mengolah logam menjadi alat-alat kebutuhan
manusia.
Tabel 1
Temuan dan Alat Manusia Purba Indonesia

No Jenis manusia purba Tempat penemuanPenemu Hasil Budaya Tempat


fosil manusia penemuan
Alat/artefak
1 Meganthro-pus Sangiran, Sragen Von
Palaeo-javanicus Koenigswald,
1941
2 Pithecanthro-pus Perning, Von
Mojo-kertensis Mojokerto Koenigswald,
1936
3 Pithecanthropus Trinil, Ngawi Von Pacitan Pacitan
Robus-tus Koenigswald, Culture yaitu
1939 chopper, flakes
4 Pithecanthropus Trinil, Ngawi Eugene Dubois, Pacitan Pacitan
Erectus 1890 Culture yaitu
chopper, flakes
5 Pithecanthropus -Sambungmacan, Teuku Jacob, Pacitan Pacitan
Soloen-sis Sragen 1967 Culture yaitu Sragen
- Karanganyar chopper, flakes Karanganya
- Sangiran, Solo r
Sangiran
6 Homo Solo-ensis Ngandong, Blora Ter Haar dan Alat-alat dari Ngandong,
Oppenoorth, batu, tulang, Blora
1931-1933 tanduk, flakes
7 Homo Wajakensis Wajak, Van Rietschoten, Alat-alat dari Ngandong,
Tulungagung 1889 diteliti batu, tulang, Blora
Eugene Dubois tanduk, flakes
8 Homo Sapiens Sepanjang ti-mur - Pebble Pantai
- Papua Me-lanosoid pantai Sumatra culture Suma-tra
Sampung, - Bone Timur
Ponorogo Sampung Gua Lawa,
- Weddid Culture Ponorogo
Lumancong,
Sulawesi se-latan - Toala Culture
Sulawesi
Se-latan

 Palaeolithikum (Zaman Batu Tua)


1. Pengertian
Paleolitik merupakan budaya tertua yang dicirikan oleh kehidupan mengembara, berburu,
meramu, dan membuat peralatan litik berupa alat serpih dan alat batu inti yang masih
sederhana.
 Paleolitik Atas: periodisasi budaya dalam Prasejarah di eropa, berlangsung di sekitar
35.000-12.000 tahun lalu, umumnya merupakan produk budaya manusia modern
awal
 Paleolitik Bawah: periodisasi budaya dalam prasejarah di eropa yang dimulai dari
kehadiran manusia pertama hingga sekitar 125.000 tahun lalu, umumnya merupakan
produk budaya Homo Erectus
 Paleolitik Tengah: periodisasi budaya dalam prasejarah eropa yang berlangsung
antara 125.000hingga 35.000 tahun lalu, umumnya merupakan produk budaya
manusia Neanderthal. Budaya ini sering disebut budaya Mousterian (fasies budaya
zamanPaleolitik Tengah yang berkembang di eropa antara akhir Interglasial Riss-
Wurm dan Glasial Wurm sekitar 120.000-10.000 tahun lalu. Budaya ini dicirikan
oleh dominasi alat serpih, khususnya lancipan dan serut. Penamaannya berasal dari
situs Gua Moustier di Dordogne, Paris. Fasies budaya ini bercirikan Aluvial, yakni
endapan yang dihasilkan oleh arus atau aliran sungai).
2. Ciri-ciri zaman Paleolitik:
 Jenis manusia
Berdasarkan penemuan fosil manusia purba, jenis manusia purba hidup pada zaman
Paleolitik adalah Pithecantropus Erectus, Homo Wajakensis, Megantropus
Paleojavanicus, dan Homo Soloensis. Fosil ini ditemukan di aliran sungai bengawan
solo
 Kebudayaan
Berdasarkan daerah penemuannya alat-alat kebudayaan Paleolitikum tersebut dapat
dikelompokkan mejadi kebudayaan pacitan dan Kebudayaan Ngandong.
a) Kebudayaan pacitan
Perkembangan studi artefak litik di Indonesia terjadi ketika pada tahun 1934 Von
Koenigswald menemukan alat-alat serpih di bukit Ngebung, Sangiran, yang
dipublikasikan dengan nama the Sangiran flake industry. Hasil kebudayaan yang
dihasilkan masih dikerjakan dengan sangat kasar dan belum
dihaluskan.keseluruhan alat pacitan terdiri dari kapak perimbas, kapak penetak,
kapak genggam, pahat genggam, kapak genggam awal dan alat serpih. Para ahli
menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak penetak. Selain di Pacitan alat-alat
banyak ditemukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa
Barat) dan Lahat (Sumatera Utara)
b) Kebudayaan Ngandong
Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang, flakes, alat penusuk dari
tanduk rusa dan ujung tombak bergigi di daerah Ngandong danSidoarjo.selain itu
di dekat sangiran ditemukan alat sangat kecil dari bebatuan yang amat indah.
Alat ini dinamakan Serbih Pilah, dan banyak ditemukan di Cabbenge (Sulawesi
selatan) yang terbuat dari batu-batu indah seperti kalsedon. Kebudayaan
Ngandong juga didukung oleh penemuan pada dinding goa seperti lukisan tapak
tangan berwarna merah dan babi hutan ditemukan di Goa Leang Pattae (Sulawesi
Selatan).
Zaman Paleolitik ditandai dengan kebudayaan manusia yang masih sangat
sederhana. Ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman ini adalah:
 Hidup berpindah pindah (Nomaden)
 Berburu (Food Gathering)
 Menangkap ikan
3. Hasil kebudayaan
Pada zaman ini alat-alat terbuat dari batu yang masih kasar dan belum dihaluskan.
Contoh alat-alat tsb adalah :
Kapak Genggam, banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat ini
biasanya disebut “Chopper” (alat penetak/pemotong)
Dinamakan kapak genggam, karena alat tersebut serupa
dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara
mempergunakannya dengan cara menggenggam.
Kapak genggam terkenal juga dengan sebutan kapak perimbas,
atau dalam ilmu prasejarah disebut dengan chopper artinya alat
penetak.
Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas
salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanya sebagai tempat
menggenggam.

Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa


Fungsi:
– untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah
- menangkap ikan

Flakes, yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon,yang dapat digunakan untuk mengupas
makanan.
Fungsi:
-untuk menguliti hewan buruan
-mengiris daging buruan
-memotong umbi-umbian./buah – buahan
-menangkap ikan

 Mesolithikum (Zaman Batu Tengah)


1. Pengertian
Zaman mesolitik merupakan budaya yang berkembang pada periode transisi antara
Zaman Paleolitik dan Neolitik dengan ciri kehidupan berburu dan meramu serta produk
teknologi litik yang khas berupa alat-alat mikrolit(alat litik berukuran kecil panjang < 3 cm,
dan umumnya berbentuk geometris serperti bentuk : segitiga, segiempat, setengan bulatan,
dan lain-lain). Terminologi Zaman Mesolitik terutama berlaku di eropa, yakni pada periode
yang berlangsung antara 12.000 dan 6.000 tahun lalu.
2. Ciri-ciri Zaman Mesolitikum
Zaman ini disebut pula zaman ”mengumpulkan makanan (food gathering) tingkat
lanjut”, yang dimulai pada akhir zaman es, sekitar 10.000 tahun yang lampau. Para ahli
memperkirakan manusia yang hidup pada zaman ini adalah bangsa Melanesoide yang
merupakan nenek moyang orang Papua, Semang, Aeta, Sakai, dan Aborigin. Sama dengan
zaman Palaeolitikum, manusia zaman Mezolitikum mendapatkan makanan dengan cara
berburu dan menangkap ikan. Mereka tinggal di gua-gua di bawah bukit karang (abris
souche roche), tepi pantai, dan ceruk pegunungan. Gua abris souche roche menyerupai ceruk
untuk dapat melindungi diri dari panas dan hujan. Alatnya masih seperti masa
Palaeolithikum tetapi sudah mulai diperhalus dan mulai mengenal tempat tinggal berpola
Kjokkenmoddinger dan Arbis Sous Roche;
3. Hasil Kebudayaan
Hasil peninggalan budaya manusia pada masa itu adalah berupa alat-alat kesenian yang
ditemukan di gua-gua dan coretan (atau lukisan) pada dinding gua, seperti di gua Leang-
leang, Sulawesi Selatan, yang ditemukan oleh Ny. Heeren Palm pada 1950. Van Stein
Callenfels menemukan alat-alat tajam berupa mata panah, flakes, serta batu penggiling di
Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo, dan Madiun. Selain itu, hasil peninggalannya
ditemukan di tempat sampah berupa dapur kulit kerang dan siput setinggi 7 meter di
sepanjang pantai timur Sumatera yang disebut kjokkenmoddinger. Peralatan yang ditemukan
di tempat itu adalah kapak genggam Sumatera, pabble culture, dan alat berburu dari tulang
hewan.
Ditemukannya bukit-bukit kerang dipinggir pantai
yang disebut “kjoken modinger” (sampah dapur) Kjoken
=dapur, moding = sampah)

Alat-alat Kebudayaan Mesolithikum yang ditemukan


di gua-gua yang disebut “Abris Sous Roche ” Adapun
alat-alat tersebut adalah :
Flaces (alat serpih) , yaitu alat-alat kecil yang terbuat
dari batu dan berguna untuk mengupas makanan.
Ujung mata panah, batu penggilingan (pipisan),
kapak, alat-alat dari tulang dan tanduk rusa, Alat-alat
ini ditemukan di gua lawa Sampung Jawa Timur (Istilahnya : Sampung Bone Culture = kebudayaan
Sampung terbuat dari Tulang)
Tiga bagian penting Kebudayaan Mesolithikum,yaitu :
Peble-Culture (alat kebudayaan Kapak genggam) didapatkan di Kjokken Modinger
Bone-Culture (alat kebudayaan dari Tulang)
Flakes Culture (kebudayaan alat serpih) didapatkan di Abris sous Roche
Manusia Pendukung Kebudayaan Mesolithikum adalah bangsa Papua –Melanosoid

Sumber :
Buku Sejarah Indonesia SMA kelas X oleh Restu Gunawan, dkk. halaman 49-55
Buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1 oleh Drs.R.Soekmono halaman 25-47.

MATERI
1. Hasil budaya praaksara yang masih ditemukan sekarang (non fiksi)
Menjelang berakhirnya praaksara, muncul keinginan untuk mewariskan hasil budaya, karena
mereka belum mengenal tulisan, maka proses pewarisan dilakukan secara lisan. Tradisi lisan,
budaya lisan dan adat lisan adalah pesan atau kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pesan atau kesaksian itu disampaikan melalui ucapan,
pidato, nyanyian, dan dapat berbentuk pantun, cerita rakyat, nasihat, balada, atau lagu.
Tradisi lisan terangkum dalam apa yang di sebut foklor. Foklor adalah bagian dari
kebudayaan masyarakat yang bersifat tradisional yang diwariskan secara lisan dan turun temurun.
Jenis jenis foklor:
a. Mitos. Adalah cerita rakyat yang tokohnya para dewa pada masa lampau. Contoh Hercules,
mahabarata
b. Legenda. Adalah sama halnya mitos, namun legenda lebih bersifat duniawi. Contoh
walisongo, nyo blorong
c. Dongeng. Adalah cerita fiktif atau imajinatif yang diceritakan secara turun temurun. Contoh
fablel, kancil nyolong timun
d. Nyanyian rakyat. Adalah foklor yang berupa teks dan lagu. Kecak dari Bali.
e. Upacara. Tindakan yang terikat pada aturan tertentu, upacara kasodo masyarakat Tengger.
2. Hasil budaya praaksara yang masih ditemukan sekarang (fiksi)

Nama kapak persegi berasal dari penyebutan oleh von


Heine Geldern. Penamaan ini dikaitkan dengan bentuk alat
tersebut. Kapak persegi ini berbentuk
persegi panjang dan ada juga yang berbentuk trapesium.
Ukuran alat ini juga bermacam-macam. Kapak persegi
yang besar sering disebut dengan beliung atau
pacul (cangkul), bahkan sudah ada yang diberi tangkai
sehingga persis seperti cangkul zaman sekarang.
Sementara yang berukuran kecil dinamakan tarah atau
(kapak persegi) tatah.

Gambar apakah ini? alat ini sampai sekarang masih banyak kita
temukan di rumah tangga di Indonesia. Alat ini sering disebut
dengan cobek, alat untuk menghaluskan rempah-rempah,
menghaluskan bumbu masak atau tempat membuat sambal.
Alat bebatuan ini sudah dikenal ribuan tahun yang merupakan
benda evolusi dari kapak alat dari benda peninggalan budaya batu
zaman Praaksara
(Cobek)
(Gerabah) (Perhiasan batu/ manik manik)

BAHAN AJAR

1. Mengenal Api

Bagi manusia purba, proses penemuan api merupakan bentuk inovasi yang sangat
penting. Berdasarkan data arkeologi, penemuan api kira-kira terjadi pada 400.000
tahun yang lalu.
Penemuan pada periode manusia Homo erectus. Api digunakan untuk menghangatkan
diri dari cuaca dingin. Dengan api kehidupan menjadi lebih bervariasi dan berbagai
kemajuan akan dicapai. Teknologi api dapat dimanfaatkan manusia untuk berbagai
hal. Di samping itu penemuan api juga memperkenalkan manusia pada teknologi
memasak makanan, yaitu memasak dengan cara membakar dan menggunakan
bumbu dengan ramuan tertentu. Manusia juga menggunakan api sebagai senjata. Api
pada saat itu digunakan manusia untuk menghalau binatang buas yang
menyerangnya. Api dapat juga dijadikan sumber penerangan. Melalui pembakaran
pula manusia dapat menaklukkan alam, seperti membuka lahan untuk garapan
dengan cara membakar hutan. Kebiasaan bertani dengan menebang lalu bakar (slash
and burn) adalah kebiasaan kuno yang tetap berkembang sampai sekarang. Pada
awalnya pembuatan api dilakukan dengan cara membenturkan dan menggosokkan
benda halus yang mudah terbakar dengan benda padat lain. Sebuah batu yang keras,
misalnya batu api, jika
dibenturkan ke batuan keras lainnya akan menghasilkan percikan api. Percikan
tersebut kemudian ditangkap dengan dedaunan kering, lumut atau material lain yang
kering hingga menimbulkan api. Pembuatan api juga dapat dilakukan dengan
menggosok suatu benda terhadap benda lainnya, baik secara berputar, berulang, atau
bolak-balik. Sepotong kayu keras misalnya, jika digosokkan pada kayu lainnya akan
menghasilkan panas karena gesekan itu
kemudian menimbulkan api. Penelitian-penelitian arkeologi di Indonesia sejauh ini
belum
menemukan sisa pembakaran dari periode ini. Namun bukan berarti manusia purba di
kala itu belum mengenal api. Sisa api yang tertua ditemukan di Chesowanja, Tanzania,
dari sekitar 1,4
juta tahun lalu, yaitu berupa tanah liat kemerahan bersama dengan sisa tulang
binatang. Akan tetapi belum dapat dipastikan apakah manusia purba membuat api
atau mengambilnya dari sumber api alam (kilat, aktivitas vulkanik, dll). Hal yang sama
juga ditemukan di China (Yuanmao, Xihoudu, Lantian), di mana sisa api berusia sekitar
1 juta tahun lalu. Namun belum dapat dipastikan apakah itu api alam atau buatan
manusia. Teka-teki ini masih belum dapat
terpecahkan, sehingga belum dipastikan apakah bekas tungku api di Tanzania dan
Cina itu merupakan hasil buatan manusia atau pengambilan dari sumber api alam.
2. Sebuah Revolusi

Perkembangan zaman batu yang dapat dikatakan paling penting dalam kehidupan
manusia adalah zaman batu baru atau neolitikum. Pada zaman neolitikum yang juga
dapat dikatakan
sebagai zaman batu muda. Pada zaman ini telah terjadi “revolusi kebudayaan”, yaitu
terjadinya
perubahan pola hidup manusia. Pola hidup food gathering digantikan dengan pola
food producing. Hal ini seiring dengan terjadinya perubahan jenis pendukung
kebudayannya. Pada zaman ini telah hidup jenis Homo sapiens sebagai pendukung
kebudayaan zaman batu baru. Mereka mulai mengenal bercocok tanam dan beternak
sebagai proses untuk menghasilkan atau memproduksi bahan makanan. Hidup
bermasyarakat dengan bergotong royong mulai dikembangkan. Hasil kebudayaan
yang terkenal di zaman neolitikum ini secara garis besar dibagi menjadi dua tahap
perkembangan.

a. Kebudayaan Kapak Persegi

Nama kapak persegi berasal dari penyebutan oleh von Heine Geldern. Penamaan
ini dikaitkan dengan bentuk alat tersebut. Kapak persegi ini berbentuk persegi
panjang dan ada
juga yang berbentuk trapesium. Ukuran alat ini juga bermacam-macam. Kapak persegi
yang
besar sering disebut dengan beliung atau pacul (cangkul), bahkan sudah ada yang
diberi tangkai sehingga persis seperti cangkul zaman sekarang. Sementara yang
berukuran kecil dinamakan tarah atau tatah. Penyebaran alat-alat ini terutama di
Kepulauan Indonesia bagian barat, seperti Sumatra, Jawa dan Bali. Diperkirakan
sentrasentra teknologi kapak persegi ini ada di Lahat (Palembang), Bogor, Sukabumi,
Tasikmalaya (Jawa Barat), kemudian Pacitan-Madiun, dan di Lereng Gunung Ijen (Jawa
Timur). Yang menarik, di Desa Pasirkuda dekat Bogor juga ditemukan batu asahan.
Kapak persegi ini cocok sebagai alat pertanian.

b. Kebudayaan Kapak Lonjong


Nama kapak lonjong ini disesuaikan dengan bentuk penampang alat ini yang
berbentuk lonjong. Bentuk keseluruhan alat ini lonjong seperti bulat telur. Pada ujung
yang lancip ditempatkan tangkai dan pada bagian ujung yang lain diasah sehingga
tajam. Kapak yang ukuran besar sering disebut walzenbeil dan yang kecil dinamakan
kleinbeil. Penyebaran jenis kapak lonjong
ini terutama di Kepulauan Indonesia bagian timur, misalnya di daerah Papua, Seram,
dan Minahasa. Pada zaman Neolitikum, di samping berkembangnya jenis kapak batu
juga ditemukan barang-barang perhiasan, seperti gelang dari batu, juga alat-alat
gerabah atau tembikar. Perlu kamu ketahui bahwa manusia purba waktu itu sudah
memiliki pengetahuan tentang kualitas bebatuan untuk peralatan. Penemuan dari
berbagai situs menunjukkan bahan yang paling sering dipergunakan adalah jenis
batuan kersikan (silicified stones), seperti gamping kersikan, tufa kersikan, kalsedon,
dan jasper. Jenis jenis batuan ini di samping keras, sifatnya yang retas dengan
pecahan yang cenderung tajam dan tipis, sehingga memudahkan pengerjaan. Di
beberapa situs yang mengandung fosil-fosil kayu, seperti di Kali Baksoka (Jawa Timur)
dan Kali Ogan (Sumatra Selatan) tampak ada upaya pemanfaatan fosil untuk bahan
peralatan. Pada saat lingkungan tidak menyediakan bahan yang baik, ada
kecenderungan untuk memanfaatkan batuan yang tersedia di sekitar hunian,
walaupun kualitasnya kurang baik. Contoh semacam ini dapat diamati pada situs
Kedunggamping di sebelah timur Pacitan, Cibaganjing di Cilacap, dan Kali Kering di
Sumba yang pada umumnya menggunakan bahan andesit untuk peralatan.

c. Perkembangan Zaman Logam

Mengakhiri zaman batu masa Neolitikum maka dimulailah zaman logam. Sebagai
bentuk masa perundagian. Zaman logam di Kepulauan Indonesia ini agak berbeda bila
dibandingkan dengan
yang ada di Eropa. Di Eropa zaman logam ini mengalami tiga fase,zaman tembaga,
perunggu dan besi. Di Kepulauan Indonesia hanya mengalami zaman perunggu dan
besi. Zaman perunggu merupakan fase yang sangat penting dalam sejarah. Beberapa
contoh bendabenda
kebudayaan perunggu itu antara lain: kapak corong, nekara, moko, berbagai barang
perhiasan. Beberapa benda hasil kebudayaan zaman logam ini juga terkait dengan
praktik keagamaan misalnya nekara.

3. Konsep Ruang pada Hunian (Arsitektur)

Menurut Kostof, arsitektur telah mulai ada pada saat manusia mampu mengolah
lingkungan hidupnya. Pembuatan tanda-tanda di alam yang membentang tak
terhingga itu untuk membedakan dengan wilayah lainnya. Tindakan untuk membuat
tanda pada suatu tempat itu dapat dikatakan sebagai bentuk awal dari arsitektur.
Pada saat itu manusia sudah
mulai merancang sebuat tempat. Bentuk arsitektur pada masa pra-aksara dapat
dilihat dari tempat hunian manusia pada saat itu. Mungkin kita sulit membayangkan
atau menyimpulkan bentuk rumah dan bangunan yang berkembang pada masa pra-
aksara saat itu. Dari pola mata pencaharian manusia yang sudah mengenal berburu
dan melakukan pertanian sederhana dengan ladang berpindah memungkinkan
adanya pola pemukiman yang telah menetap. Gambar-gambar dinding goa tidak
hanya mencerminkan kehidupan sehari-hari tetapi juga kehidupan spiritual. Cap-cap
tangan dan lukisan di goa yang banyak ditemukan di Papua, Maluku, dan Sulawesi
Selatan dikaitkan dengan ritual penghormatan atau pemujaan nenek moyang,
kesuburan, dan inisiasi. Gambar dinding yang tertera pada goa-goa mengambarkan
pada jenis binatang yang diburu atau binatang yang digunakan untuk membantu
dalam perburuan. Anjing adalah binatang yang digunakan oleh manusia pra-aksara
untuk berburu binatang. Bentuk pola hunian dengan menggunakan penadah angin,
menghasilkan pola menetap pada manusia masa itu. Pola hunian itu sampai saat ini
masih digunakan oleh Suku Bangsa Punan yang tersebar di Kalimantan. Bentuk hunian
itu merupakan bagian bentuk awal arsitektur di luar tempat hunian di goa. Secara
sederhana penadah angin merupakan
suatu konsep tata ruangan yang memberikan secara implisit memberikan batas
ruang. Pada kehidupan dengan masyarakat berburu yang masih sangat tergantung
pada alam, mereka lebih mengikut ritme dan bentuk geografis alam. Dengan demikian
konsep ruang mereka masih kurang bersifat geometris teratur. Pola garis lengkung
tak teratur seperti aliran sungai, dan pola
spiral seperti route yang ditempuh mungkin adalah citra pola ruang utama mereka.
Ruang
demikian belum m e n g u t a m a k a n arah utama. Secara sederhana dapatlah kita
lihat bahwa,pada masa praaksara konsep tata ruang, atau yang saat ini kita kenal
dengan arsitektur itu sudah mereka kenal.

ALAT –ALAT ZAMAN NEOLITHIKUM

KAPAK PERSEGI GERABAH


PERHIASAN BATU NEKARA

KAPAK PERIMBAS / KAPAK GENGGAM

Kapak genggam terkenal juga dengan sebutan kapak perimbas atau dalam ilmu prasejarah disebut dengan
ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai. Kapak genggam terkenal juga dengan
sebutan kapak perimbas atau dalam ilmu prasejarah Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan
Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat. artefak Paleolitik dengan himpunan alat yang didominasi kelompok
kapak perimbas Kini sebuah tantangan dihadapkan pada kita untuk menelusuri arti dan fungsinya.

PABBLE / KAPAK SUMATERA

Kapak genggam Sumatera atau pebble ditemukan tersebar di pantai timur Sumatera terutama Fungsi alat
pada masa bercocok tanam tidak saja untuk membantu manusia. Dengan kapak genggam di jaman
Paleolithikumyang dinamakan pebble atau Sumateralith kapak Sumatera buat menghaluskan biji-bijian atau
bahan cat berwarna merah. Fungsi Pebble/Kapak Sumatera · · Kapak Pendek Hache Ditemukan di Sumatera
Jawa bali Nusatenggara Maluku Sulawesi dan Kalimantan Kapak Persegi Fungsi ukuran besar

ALAT-ALAT DARI TULANG DAN TANDUK

Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa Alat-alat tulang dan tanduk Rusa Fungsi untuk mengorek ubi
dan keladi dari dalam tanah menangkap ikan. Sebagai contoh kapak genggam dan alat-alat perburuan dibu at
dari tulang dan tanduk binata ng lebih tinggi jika barang itu diperindah dan berwujud estetik 1 Fungsi dan
Pusat Alat Peraga Terlengkap dari TK SD SMP SMU Politeknik Universitas dan Umum Mikroslaid Tulang
Rawan Pembangkit Fungsi Gelombang 2. Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa Alat-alat tulang dan
tanduk Rusa Fungsi untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah menangkap ikan 3. sangat kagum
karena tanduk yang muncul dari binatang ekor darah janin dan alat kelamin rusa atau anestesi barulah tanduk
tersebut diambil atau dipotong Rusa. alat dari tulang atau tanduk hewan alat-alat dari tanduk dan tulang
binatang berupa tulang manusia jenis Papua Melanesoid flakes alat-alat dari tulang dan tanduk rusa

KAPAK PERSEGI

Kapak Persegi Fungsi: - ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan ... Kapak Bahu, sama seperti kapak
persegi ,hanya di bagian yang diikatkan pada ..Kapak Bahu, sama seperti kapak persegi ,hanya di bagian
yang diikatkan ... Fungsi: – sebagai cangkul/pacul. Megalithikum (Zaman Batu Besar). Pemberian nama
kapak persegi didasarkan pada bentuknya. Bentuk kapak ini yaitu batu yang garis irisannya melintangnya
memperlihatkan sebuah bidang segi panjang atau ada juga yang berbentuk trapesium. Jenis lain yang
termasuk dalam katagori kapak persegi seperti beliung atau pacul untuk yang ukuran besar, dan untuk ukuran
yang kecil bernama tarah. Tarah berfungsi untuk mengerjakan kayu. Pada alat-alat tersebut terdapat tangkai
yang diikatkan. Orang yang pertama memberikan nama Kapak Persegi yaitu von Heine Geldern. Daerah-
daerah tempat ditemukannya kapak persegi yaitu di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi,
dan Kalimantan. Batu api dan chalcedon merupakan bahan yang dipakai untuk membuat kapak persegi.

ABRIS SOUS ROCHE

Selain Kjokkenmoddinger, jenis tempat tinggal lainnya ialah abris sous rosche, yaitu tempat berupa gua-gua
yang menyerupai ceruk-ceruk di dalam batu karang. Peralatan yang ditemukan berupa ujung panah, flakes,
batubatu penggiling, dan kapak-kapak yang sudah diasah. Alat-alat itu terbuat dari batu. Ditemukan juga
alat-alat dari tulang dan tanduk rusa. Tempat ditemukannya abris sous rosche, antara lain Gua Lawa di
Ponorogo, Bojonegoro, dan Lamoncong (Sulawesi Selatan).

GERABAH
Penemuan gerabah merupakan suatu bukti adanya kemampuan manusia mengolah makanan. Hal ini
dikarenakan fungsi gerabah di antaranya sebagai tempat meyimpan makanan. Gerabah merupakan suatu alat
yang terbuat dari tanah liat kemudian dibakar. Dalam perkembangan berikut, gerabah tidak hanya berfungsi
sebagai penyimpan makanan, tetapi semakin beragam, bahkan menjadi barang yang memiliki nilai seni.
Cara pembuatan gerabah mengalami perkembangan dari mulai bentuk yang sederhana hingga ke bentuk
yang kompleks. Dalam bentuk yang sederhana dibuat dengan tidak menggunakan roda. Bahan yang
digunakan berupa campuran tanah liat dan langsung diberi bentuk dengan menggunakan tangan. Teknik
pembuatan semakin berkembang, pencetakan menggunakan roda, agar dapat memperoleh bentuk yang lebih
baik bahkan lebih indah. Dalam perkembangan ini, pencetakan sudah memiliki nilai seni. Sisi gerabah mulai
dihias dengan pola hias dan warna. 

KAPAK LONJONG

Pemberian nama kapak lonjong berdasarkan pada bentuk. Bentuk alat ini yaitu garis penampang
memperlihatkan sebuah bidang yang berbentuk lonjong. Sedangkan bentuk kapaknya sendiri bundar telor.
Ujungnya yang agak lancip ditempatkan di tangkai dan di ujung lainnya yang bulat diasah hingga tajam. Ada
dua ukuran kapak lonjong yaitu ukuran yang besar disebut dengan walzeinbeil dan kleinbel untuk ukuran
kecil. Kapak lonjong masuk ke dalam kebudayaan Neolitihikum Papua, karena jenis kapak ini banyak
ditemukan di Papua (Irian). Kapak ini ditemukan pula di daerah-daerah lainnya, yaitu di Seram, Gorong,
Tanimbar, Leti, Minahasa, dan Serawak. Selain di Indonesia, jenis kapak lonjong ditemukan pula di negara
lain, seperti Walzeinbeil di temukan di Cina dan Jepang, daerah Assam dan Birma Utara. Penemuan kapak
lonjong dapat memberikan petunjuk mengenai penyebarannya, yaitu dari timur mulai dari daratan Asia ke
Jepang, Formosa, Filipina, Minahasa, terus ke timur. Penemuan-penemuan di Formosa dan Filipina
memperkuat pendapat ini. Dari Irian daerah persebaran meluas sampai ke Melanesia

PUNDEN BERIMBAS

Kapak genggam terkenal juga dengan sebutan kapak perimbas, atau dalam ilmu. Adapun fungsi dari alat-
alat tersebut adalah untuk mengorek ubi dan keladi . Punden berundak-undak adalah bangunan dari batu
yang bertingkat-tingkat dan . Punden berundak-undak adalah bangunan dari batu yang bertingkat-tingkat dan
fungsinya Alat-alat yang digunakan: 1) Batu inti, yaitu kapak perimbas (chopper), atau sisa pembuatan alat-
alat lain dengan fungsi sebagi alat pemotong.

MENHIR

“Man and Menhir Contemporary Megalithic Practice of Sa’dan Toraja of Sulawesi perbedaan latar belakang
keagamaan terdapat pula perbedaan status dan fungsi bangunan. Contoh bangunan-bangunan megah seperti
piramida tembok cina menhir alat rumah Fungsi spinx adalah penjaga piramida Perhatikan gambar di atas. 2
Menhir bangunan berupa tiang atau tugu batu sebagai tanda peringatan dan Kul-kul memiliki fungsi yang
sama dengan menara yakni memberi informasi. Adapun fungsi dari alat-alat tersebut adalah untuk mengorek
ubi dan .....

DOLMEN

Dolmen Bentuk-bentu tempat penguburan dapat berupa dolmen, peti kubur batu, ... Beberapa bentuk
megalitik tadi mempunyai fungsi lain, misalnya dolmen, yang memiliki variasi ... Penggolongan Biaya ·
Macam-macam Alat Pendidikan ... merupakan meja dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji.

CANDRASA

Sejenis kapak upacara yang mempunyai mata kapak melebar kesamping dan kedua ujungnya melengkung ke
dalam. Pada gagang terdapat motif geometris yang dikombinasi dengan motif lengkung kecil. Motif hias
seperti ini umum dijumpai pada kapak-kapak perunggu dari masa prasejarah. Candrasa digunakan sebagai
perlengkapan upacara.

Candrasa ini diduga tidak berfungsi sebagai alat pertukangan atau pertanian,melainkan beralih fungsi
sebagai alat perlengkapan upacara keagamaan dan tanda kebesaran penguasa.Daerah persebaran kapak
corong ialah di Sumatera Selatan,Jawa,Bali,Sulawesi Tengah dan Selatan,pulau Selayar,serta Irian dekat
danau Sentani.Selain kapak corong,ada juga arca-arca dari perunggu.

MOKO

Perkenalan : Moko adalah benda kebudayaan dari perunggu yang bentuknya seperti dandang yang
terlungkup. Beberapa teori mengatakan bahwa Moko berasal dari Kebudayaan Dongson di Vietnam Utara,
sedangkan orang Alor sendiri percaya bahwa Moko berasal dari tanah. Moko dimiliki terutama oleh para
bangsawan karena nilainya sangat tinggi. Kegunaan dari Moko : Moko digunakan oleh masyarakat Alor
sebagai mas kawin karena dipercaya dapat mengikat perkawinan. Selain itu juga digunakan sebagai gendang
untuk mengiringi tarian adat.

KAPAK CORONG

kapak corong.Pada dasarnya bentuk bagian tajamnya tidak jauh berbeda dengan kapak batu,hanya pada
bagian tangkainya yang berbentuk corong.Corong ini sebagai tempat untuk tangkai kayu.Disebut juga
sebagai kapak sepatu,karena diumpamakan kapaknya seperti sepatu,dan tangkai kayunya disamakan dengan
kaki.Ada variasi bentuk dari kapak corong,yaitu candrasa,dimana salah satu sisi tajamnya
memanjang,bentuknya sangat indah dan dilengkapi dengan hiasan.

BEJANA PERUNGGU

Bejana Perunggu, ditemukan di Indonesia hanya dua buah , yaitu di Sumatra dan Madura. Bejana perunggu
berbentuk bulat panjang seperti kepisi atau keranjang untuk tempat ikan yang diikatkan di pinggang ketika
orang sedang mencari ikan. Bejana ini dibuat dari dua lempengan perunggu yang cembung, yang diletakan
dengan pacuk besi pada sisi-sisinya. Pola hias pada bejana ini tidak tidak sama susunannya. Bejana yang
ditemukan di Kerinci (Sumatra) berukuran panjang 50,8 cm dengan lebar 37 cm. Sebagian lehernya sudah
hilang. Bagian leher ini dihias dengan huruf J dan pola anyaman. Pola huruf S terdapat di bagian tengah
badan. Di bagian leher tampak logam berlekuk yang mungkin dipergunakan untuk menggantungkan bejana
pada tali.

MATA PANAH
Mata panah merupakan alat yang mencerminkan sebagai alat berburu pada zaman praaksara. Ada dua tempat
penemuan yang penting berhubungan dengan mata panah pada zaman praaksara, yaitu Jawa Timur dan
Sulawesi Selatan. 

Tempat peninggalan di Gua-gua yang disebutkan di atas merupakan tempat penting pada masa berburu
tingkat lanjut yang menggunakan peralatan dari tulang. Keberadaan alat mata panah ini ternyata setelah di
selidiki tidak menunjukan secara kronologis. Contohnya di Gua Lawa, lapisan tanah yang menghasilkan
mata panah berada di lapisan yang menghasilkan alat-alat dari tulang dan tanduk, sedangkan lapisan teratas
menampilkan lapisan beliung bercampur dengan alat-alat dari logam. Bersama dengan ditemukannya mata
panah, juga ditemukian beberapa pecahan gerabah perhiasan pola tali. Contoh lain adalah Gua yang ada di
Bojonegoro, Tuban, dan besuki menghasilkan mata panah yang letaknya selapis dengan alat-alat tulang tipe
sampung.. Para peneliti menganggap bahwa unsur mata panah ini menerima pengaruh dari luar Nusantara,
mereka selalu menghubungkannya dengan mata panah yang ditemukan di Jepang dan banyak menunjukan
persamaan dengan mata panah dari Sulawesi Selatan.

SARKOFAGUS

Sarkofagus mengacu pada kasus, ukiran batu umumnya di mana lenan-dibungkus mumi ditempatkan..
Sarkofagus disepuh Raja Tut dengan wajah dicat menggambarkan raja bocah mungkin yang paling dikenal
dari sarkofagus Mesir. Sarkofagus dapat digunakan untuk merujuk ke peti mati - terutama salah satu dari
batu. Jamak dari sarkofagus sarkofagus biasanya, meskipun kadang-kadang ditulis sebagai sarcophaguses.
Sarkofagus berasal dari bahasa Yunani untuk pemakan daging.

KAPAK BAHU

Alat-alat tulang dan tanduk Rusa Fungsi untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah menangkap Kapak
Bahu sama seperti kapak persegi hanya di bagian yang kapak persegi kapak lonjong kapak bahu http asah
dari monofasial ke arah bifasial dari kapak kapak dua fungsi pulsaki yaitu untuk memotong dan membelah
Kapak bahu salah satu alat hidupnya dari logam Teknik pembuatan alat Fungsi dari kapak persegi ini ada
yang digunakan.

MATA TOMBAK

Tombak atau lembing adalah senjata yang banyak ditemukan di seluruh peradaban dunia, terutama karena
kemudahan pembuatannya dan biaya pembuatannya yang murah. Tombak adalah senjata untuk berburu dan
berperang, bagiannya terdiri dari tongkat sebagai pegangan dan mata atau kepala tombak yang tajam dan
kadang diperkeras dengan bahan lain. Bersamaan dengan kapak tombak adalah perkakas pertama yang
dibuat manusia dan sejalan dengan perkembangan peradaban mata tombak dan kapak yang semula berupa
tulang atau batu yang dihaluskan diganti menjadi logam yang lebih kuat dan tahan lama.

Di Indonesia tombak menjadi senjata utama yang banyak digunakan oleh tentara-tentara tradisional
nusantara. Ini terutama karena kelangkaan besi dan logam lainnya di Indonesia sehingga sulit untuk
membuat pedang. Oleh karena itu senjata yang lebih umum digunakan di Indonesia atau bangsa-bangsa
melayu dulu adalah senjata yang menggunakan lebih sedikit besi dibanding pedang yaitu kapak, parang atau
golok, dan tombak. Di antara senjata-senjata tadi yang hanya tombak yang digunakan hanya sebagai
senjata(termasuk sebagai senjata berburu).

Anda mungkin juga menyukai