PRAAKSARA YANG MASIH DITERAPKAN PADA MASA SEKARANG
A. NILAI GOTONG ROYONG
Masyarakat praaksara hidup secara
berkelompok, mereka bergotong royong untuk kepentingan bersama, contohnya membangun rumah yang dilakukan secara bersama-sama. Budaya gotong royong juga dapat terlihat dari peninggalan mereka berupa bangunan-bangunan batu besar yang dapat dipastikan dibangun secara gotong royong.
Gotong royong yang sudah ada sejak masa
praaksara berhasil lestari hingga sekarang. Nilai gotong royong tersebut merupakan nilai yang terangkum di dalam Pancasila. Gotong royong dapat kita saksikan ketika ada acara-acar tertentu seperti acar kebudayaan, membangun fasilitas umum, dan hajatan.
Di desa, gotong royong tidak bisa dilepaskan
dari kehidupan sehari-hari. Ketika bertani, seorang petani desa biasa dibantu oleh kawan-kawannya untuk menanam padi. Namun berbeda lagi dengan di kota. Tradisi gotong royong di masyarakat kota sudah mulai terkikis. Masyarakat kota sudah jarang yang mengenal gotong royong, melainkan menggunakan sistem upah.
B. NILAI RELIGIUS
Kepercayaan pada masa prasejarah yaitu
animisme dan dinamisme masih ada hingga saat ini, khususnya di Indonesia. Perwujudan dari masih adanya kepercayaan animisme dan dinamisme dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan sehari-hari di lingkungan kita. Seperti sesaji untuk orang yang telah mati, dengan kepercayaan bahwa orang yang mati itu akan kembali ke rumah untuk mennegok keluarga, hal tersebut merupakan perwujudan dari kepercayaan animisme. Kedua, benda-benda seperti gamelan, keris, atau batu tertentu yang kerap kali dimandikan dan diberi sesaji merupakan wujud dari kepercayaan dinamisme yang massih ada hingga sekarang. Masyarakat paraaksara sudah memiliki kepercayaan dengan adanya kekuatan gaib. Meraka percaya bahwa pohon rimbun yang tinggi besar, hutan lebat, gua yang gelap, pantai, laut atau tempat yang lainnya dipandang keramat karena ditempati oleh roh halus atau mahluk gaib. Meraka meyakini bahwa kejadian-kejadian alam seperti hujan, petir, banjir, gunung meletus. Atau gempa bumi adalah akibat perbuatan roh halus atau mahluk gaib. Untuk menghindari malapetaka maka roh halus atau mahluk gaib harus selalu dipuja. Kepercayaan terhadap roh halus ini disebut dengan “Animisme”.
Selain percaya kepada roh halus, mereka juga
percaya bahwa benda-benda tertentu seperti kapak, mata tombak, atau benda lainnya memiliki kekuatan gaib, karena memiliki kekuatan gaib maka benda tersebut harus dikeramatkan. Kepercayaan bahwa benda memiliki kekuatan gaib disebut dengan “Dinamisme”.
c. NILAI MUSYAWARAH
Dalam kehidupan berkelompok,
masyarakat masyarakat praaksara telah mengembangkan nilai musyawarah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan dipilihnya pemimpin yang dianggap paling tua (sesepuh ) yang mengatur masyarakat dan memberikan keputusan untuk berbagai persoalan yang dihadapi bersama.
Kehidupan berkelompok pada masyarakat
praaksara telah mengilhami masyarakat modern pada saat ini untuk tetap melakukan musyawarah dalam mengambil keputusan. Pengambilan keputusan dengan musyawarah dari zaman praaksara sampai sekarang dapat dilihat ketika adanya musyawarah untuk memilih pemimpin di desa/kota. Meskipun sebagian ada yang melakukan dengan cara voting atau pencoblosan, namun pelaksanaannya tetap memerlukan musyawarah. D. NILAI KEADILAN
Nilai keadilan sudah diterapkan dalam
masyarakat praaksara, yaitu dengan adanya pembagian tugas sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Tugas antara kaum laki-laki berbeda dengan kaum perempuan. Hal ini mencerminkan sikap yang adil karena setiap orang akan memperoleh hak dan kewajiban sesuai dengan kemampuannya.
Nilai keadilan dapat dijumpai di lingkungan
keluarga. Ketika masyarakat praaksara berlangsung, tugas laki-laki adalah berburu, sedangkan tugas wanita adalah mengurus kebutuhan rumah.Hal tersebut masih ada dapat dijumpai sampai sekarang. Namun, zaman sekarang sudah menjadi umum ketika dijumpai wanita bekerja di luar rumah atau biasa disebut wanita karier, akan tetapi wanita tersebut tetap tidak lupa mengurus segala kebutuhan rumah.