Ngaben adalah suatu upacara pembakaran mayat yang dilakukan umat Hindu di Bali,
upacara ini dilakukan untuk menyucian roh leluhur orang sudah wafat menuju ketempat
peristirahatan terakhir dengan cara melakukan pembakaran jenazah.
Dalam diri manusia mempunyai beberapa unsur, dan semua ini digerakan oleh
nyawa/roh yang diberikan Sang Pencipta. Saat manusia meninggal, yang ditinggalkan hanya
jasad kasarnya saja, sedangkan roh masih ada dan terus kekal sampai akhir jaman. Di saat itu
upacara Ngaben ini terjadi sebagai proses penyucian roh saat meninggalkan badan kasar.
Kata Ngaben sendiri mempunyai pengertian bekal atau abu yang semua tujuannya
mengarah tentang adanya pelepasan terakhir kehidupan manusia. Dalam ajaran Hindu Dewa
Brahma mempunyai beberapa ujud selain sebagai Dewa Pencipta Dewa Brahma dipercaya juga
mempunyai ujud sebagai Dewa Api. Jadi upacara Ngaben sendiri adalah proses penyucian roh
dengan cara dibakar menggunakan api agar bisa dapat kembali ke sang pencipta, api penjelmaan
dari Dewa Brahma bisa membakar semua kekotoran yang melekat pada jasad dan roh orang yang
telah meningggal.
Upacara Ngaben ini dianggap sangat penting bagi umat Hindu di Bali, karena upacara
Ngaben merupakan perujudan dari rasa hormat dan sayang dari orang yang ditinggalkan, juga
menyangkut status sosial dari keluarga dan orang yang meninggal. Dengan Ngaben, keluarga
yang ditinggalkan dapat membebaskan roh/arwah dari perbuatan perbuatan yang pernah
dilakukan dunia dan menghantarkannya menuju surga abadi dan kembali berenkarnasi lagi
dalam wujud yang berbeda.
Ngaben dilakukan dengan beberapa rangkaian upacara, terdiri dari berbagai rupa
sesajen dengan tidak lupa dibubuhi simbol-simbol layaknya ritual lain yang sering dilakukan
umat Hindu di Bali. Upacara Ngaben biasa nya dilalukan secara besar besaran, ini semua
memerlukan waktu yang lama, tenaga yang banyak dan juga biaya yang tidak sedikit dan bisa
mengakibatkan Ngaben sering dilakukan dalam waktu yang lama setelah kematian.
Pada masa sekarang ini masyarakat Hindu di Bali sering melakukan Ngaben secara
massal / bersama, untuk meghemat biaya yang ada, dimana Jasad orang yang meninggal untuk
sementara dikebumikan terlebih dahulu sampai biaya mencukupi baru di laksanakan, namun bagi
orang dan keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya, untuk sementara
waktu jasad disemayamkan di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Ada anggapan kurang
baik bila penyimpanan jasad terlalu lama di rumah, karena roh orang yang meninggal tersebut
menjadi bingung dan tidak tenang, dia merasa berada hidup diantara 2 alam dan selalu ingin
cepat dibebaskan.
Pelaksanaan Ngaben itu sendiri harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan pendeta
untuk menetapkankan kapan hari baik untuk dilakukannya upacara. Sambil menunggu hari baik
yang akan ditetapkan, biasanya pihak keluarga dan dibantu masyarakat beramai ramai
melakukan Persiapan tempat mayat ( bade/keranda ) dan replica berbentuk lembu yang terbuat
dari bambu, kayu, kertas warna-warni, yang nantinya untuk tempat pembakaran mayat tersebut.
Dipagi harinya saat upacara ini dilaksanakan, seluruh keluarga dan masyarakat akan
berkumpul mempersiapkan upacara. Sebelum upacara dilaksanakan Jasad terlebih dahulu
dibersihkan/dimandikan, Proses pelaksaaan pemandian di pimpin oleh seorang Pendeta atau
orang dari golongan kasta Bramana.
Setelah proses pemandian selesai , mayat dirias dengan mengenakan pakaian baju adat
Bali, lalu semua anggota keluarga berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir dan
diiringi doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh kedamaian dan berada di tempat yang
lebih baik.
Setelah sampai dilokasi kuburan atau tempat pembakaran yang sudah disiapkan, mayat
di masukan/diletakan diatas/didalam “Replica berbentuk Lembu“ yang sudah disiapkan dengan
terlebih dahulu pendeta atau seorang dari kasta Brahmana membacakan mantra dan doa, lalu
upacara Ngaben dilaksanakan, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi abu. Sisa abu dari
pembakaran mayat tersebut dimasukan kedalam buah kelapa gading lalu kemudian di
larungkan/dihayutkan ke laut atau sungai yang dianggap suci.
Dari pemamaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Ngaben adalah upacara pembakaran mayat
di Bali yang saat disakralkan dan diagungkan, upacara ini adalah ungkapan rasa hormat yang
ditujukan untuk orang yang sudah meninggal. Upacara ini selalu dilakukan secara besar besar
dan meriah, tidak semua umat Hindu di Bali dapat melaksanakannya karena memerlukan biaya
yang tidak sedikit. Semua yang berasal dari sang pencipta pada masanya akan kembali lagi dan
semua itu harus diyakini dan ihklaskan. Manusia dilahirkan dan kemudian meninggal itu semua
erat berhubungan dengan amal perbuatannya selama di dunia.
Ngebakan, (Suku Sunda) Jawa Barat
Ngebakan atau siraman bertujuan untuk memandikan calon mempelai wanita aga bersih
lahir dan bathin sebelum memasuki saat pernikahan. Acara berlangsung pagi atau siang hari di
kediaman calon mempelai wanita. Bagi umat muslim , sebelum dimulai acara siraman terlebih
dahulu diawali oleh pengajian atau rasulan dan pembacaan doa khusus kepada calon mempelai
wanita. Prosesi yang tercakup dalam acara siraman adalah sebagai berikut :
Ngecagkeun Aisan
Dimulai dengan calon mempelai wanita keluar dari kamar secara simbolis di gendong
oleh Ibu. Sementara ayah calon mempelai wanita berjalan di depan sambil membawa lilin
menuju tempat siraman.
Ngaras
Berupa permohonan izin calon mempelai wanita kepada kedua orangtua dan dilanjutkan
dengan sungkeman serta mencuci kaki orang tua.Perlengkapan untuk prosesi ini cukup sederhana
hanya tikar dan handuk.
Siraman
Diawali musik kecapi suling, calon mempelai wanita di bimbing oleh orang tua menuju
tempat siraman dengan menginjak 7 helai kain. Siraman dimulai oleh sang Ibu , kemudian Ayah
dan disusul oleh para sesepuh. Jumlah penyiram biasanya ganjil..antara 7, 9 atau 11 orang.
NGEUYEUK SEUREUH
Adalah prosesi adat dimana orang tua atau sesepuh keluarga memberikan nasehat dan
juga merupakan sex education bagi kedua calon mempelai yang dilambang dengan tradisi atau
benda benda yang ada dalam acara adat tersebut. Tata cara ngeuyeuk seureuh adalah sebagai
berikut :
Pangeuyeuk :
1. Tetua yang dipercaya atau pemandu acara memberikan 7 helai benang kanteh sepanjang 2
jengkal kepada kedua calon mempelai untuk dipegang oleh masing masing pada tiap ujungnya,
sambil duduk menghadap orang tua untuk meminta doa restu.
2. Setelah itu Pangeuyeuk membawakan kidung berupa doa – doa kepada Tuhan YME sambil
menaburkan beras kepada kedua calom mempelai, dengan maksud agar keduanya kelak hidup
sejahtera.
3. Kemudian kedua calon mempelai “dikeprak” ( dipukul pelan pelan ) dengan sapu lidi, diiringi
nasehat bahwa hidup berumah tangga kelak harus dapat memupuk kasih sayang antara keduanya.
4. Selanjutnya membuka kain putih penutup “ pangeyeukan “ yang berarti bahwa rumah tangga
yang kelak akan di bina itu masih putih bersih dan hendaknya jangan sampai ternoda.
5. Kedua calon mempelai mengangkat dua perangkat busana diatas sarung “polekat“ dan dibawa
ke kamar pengantin untuk disimpan.
6. Membelah mayang dan jambe ( pinang ) , calom mempelai pria membelah kembang mayang
dengan hati hati agar tidak rusak atau patah, melambangkan bahwa suami harus memperlakukan
istrinya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
9. Berebut uang, dipimpin oleh pangeuyeuk dengan aba aba, kedua mempelai mncari uang,
beras, kunyit dan permen yang di tebar di bawah tikar. Artinya suami dan istri harus bersama
sama dalam mencari rejeki dalam rumah tangga.
10. membuang bekas pangeuyeuk seureuh, biasanya di simpang empat terdekat dengan
kediaman calon mempelai wanita oleh keduanya. Tradisi ini dimaksudkan bahwa dalam memulai
kehidupan yang baru, hendaknya membuang semua keburukan masa lalu dan menghindari
kesalahan di masa datang.
Accera Kalompoang di Balla Lompoa
Balla Lompoa yang berada di jantung Sungguminasa, ibukota Kabupaten Gowa, hingga
saat ini masih berdiri kokoh dan terawat. Berfungsi sebagai museum, Balla Lompoa yang secara
harfiah berarti Rumah Besar atau Rumah Agung, awalnya adalah istana kerajaan Raja Gowa ke
XXXV, yakni I Mangngi-Mangngi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad
Tahir Muhibuddin, yang beliau dirikan tahun 1936. Di dalam bangunan ini masih tersimpan
berbagai macam benda-benda pusaka peninggalan kerajaan.
Di rumah berarsitektur asli Makassar ini, setiap tahun pewaris kerajaan menggelar
kegiatan yang dinamakan Accera’ Kalompoang, digelar bertepatan dengan perayaan Idul Adha.
Secara bergiliran, mereka membuat antrian panjang untuk mendapatkan seteguk air tuah
yang dapat membuat mereka ‘buas’ di medan perang dan kebal terhadap senjata. Tak ubahnya
ramuan sakti ala Galia dalam komik Asterix
Upacara Appidalleki
Appidalleki adalah upacara persembahan sesajen kepada leluhur yang diantar dengan
doa syukur kehadirat Allah SWT. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat posisi matahari kembali
ke peraduannya, sesudah shalat Isya dan takbiran, dimana upacara ini khusus dihadiri oleh
kalangan keluarga Raja.
Sebelum Appidalleki digelar, Allangiri Kalompoang atau biasa diistilahkan
Annyossoro’ terlebih dulu dilakukan. Allangiri Kalompoang adalah upacara pembersihan benda-
benda utama pusaka kerajaan yang dilanjutkan acara menimbang/penakaran benda-benda pusaka
milik kerajaan.
Selain itu masih ada sejumlah benda pusaka lainnya yang ikut dibersihkan, di antaranya:
1.Sudanga. Sebuah Kalewang yang dipercaya memiliki kesaktian;
2.Ponto Janga-Jangayya. Gelang yang terbuat dari emas murni dengan berat 985,5 gram,
bentuknya serupa naga yang melingkar, jumlah 4 buah;
3.Kolara’. Rantai kerajaan yang terbuat dari emas murni, menjadi atribut raja yang berkuasa,
seberat 2.182 gram;
4.Bangkara’ Ta'roe. Anting-anting yang terbuat dari emas murni seberat 287 gram;
5.Kancing Gaukang. Anak kancing sebanyak 4 buah, yang terbuat dari emas murni seberat 277
gram;
6.Tobo Kaluku. Kalung yang terbuat dari emas murni pemberian dari Kerajaan Sulu Philipina
Selatan (Manila) pada abad XVI;
7.Mata tombak, cincin emas, parang panjang, penning emas pemberian dari kerajaan Inggris;
serta medali emas pemberian dari kerajaan Belanda.
Sunat Rasul atau sering disebut Khitan merupakan sebuah upacara dimana seorang anak
akan memasuki jenjang Baligh atau dewasa. Di Aceh, Sunat Rasul dilakukan setelah anak
berumur antara 10 sampai 13 tahun. Untuk melangsungkan Sunat Rasul, anak yang hendak di
khitan di peusijuek terlebih dahulu (ditepung tawar). Sang anak diberi pakaian adat, didudukkan
diatas pelaminan layaknya pengantin yang akan menikah, namun di upacara ini sang anak
ditempatkan sendiri saja tanpa pasangan.
Upacara Petujoh
Upacara Petujoh, yaitu Linto pulang ke rumah Daro Baro dengan rombongan kira-kira 25
orang. Di halaman rumah Daro Baro diadakan Upacara penanaman Kelapa yang dilakukam oleh
Linto bersama Dara Baro. Pada Upacara Peutujoh oleh ibu Dara Baro diadakan teumeutuek
(pemberian) uang kepada Linto disertai sepersalinan pakaian. Pemberian dari pihak orang tua
Dara Baro, oleh Linto dibawa pulang untuk diperhatikan kepada ibu Linto. Selanjutnya boleh ibu
Linto membawa nget tujoh dan peukayan tujoh kepada Dara Baro.