Anda di halaman 1dari 19

UPACARA ADAT DI INDONESIA

Upacara Adat Ngaben di Bali

Ngaben adalah suatu upacara pembakaran mayat yang dilakukan umat Hindu di Bali,
upacara ini dilakukan untuk menyucian roh leluhur orang sudah wafat menuju ketempat
peristirahatan terakhir dengan cara melakukan pembakaran jenazah.

Dalam diri manusia mempunyai beberapa unsur, dan semua ini digerakan oleh
nyawa/roh yang diberikan Sang Pencipta. Saat manusia meninggal, yang ditinggalkan hanya
jasad kasarnya saja, sedangkan roh masih ada dan terus kekal sampai akhir jaman. Di saat itu
upacara Ngaben ini terjadi sebagai proses penyucian roh saat meninggalkan badan kasar.

Kata Ngaben sendiri mempunyai pengertian bekal atau abu yang semua tujuannya
mengarah tentang adanya pelepasan terakhir kehidupan manusia. Dalam ajaran Hindu Dewa
Brahma mempunyai beberapa ujud selain sebagai Dewa Pencipta Dewa Brahma dipercaya juga
mempunyai ujud sebagai Dewa Api. Jadi upacara Ngaben sendiri adalah proses penyucian roh
dengan cara dibakar menggunakan api agar bisa dapat kembali ke sang pencipta, api penjelmaan
dari Dewa Brahma bisa membakar semua kekotoran yang melekat pada jasad dan roh orang yang
telah meningggal.

Upacara Ngaben ini dianggap sangat penting bagi umat Hindu di Bali, karena upacara
Ngaben merupakan perujudan dari rasa hormat dan sayang dari orang yang ditinggalkan, juga
menyangkut status sosial dari keluarga dan orang yang meninggal. Dengan Ngaben, keluarga
yang ditinggalkan dapat membebaskan roh/arwah dari perbuatan perbuatan yang pernah
dilakukan dunia dan menghantarkannya menuju surga abadi dan kembali berenkarnasi lagi
dalam wujud yang berbeda.

Ngaben dilakukan dengan beberapa rangkaian upacara, terdiri dari berbagai rupa
sesajen dengan tidak lupa dibubuhi simbol-simbol layaknya ritual lain yang sering dilakukan
umat Hindu di Bali. Upacara Ngaben biasa nya dilalukan secara besar besaran, ini semua
memerlukan waktu yang lama, tenaga yang banyak dan juga biaya yang tidak sedikit dan bisa
mengakibatkan Ngaben sering dilakukan dalam waktu yang lama setelah kematian.

Pada masa sekarang ini masyarakat Hindu di Bali sering melakukan Ngaben secara
massal / bersama, untuk meghemat biaya yang ada, dimana Jasad orang yang meninggal untuk
sementara dikebumikan terlebih dahulu sampai biaya mencukupi baru di laksanakan, namun bagi
orang dan keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya, untuk sementara
waktu jasad disemayamkan di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Ada anggapan kurang
baik bila penyimpanan jasad terlalu lama di rumah, karena roh orang yang meninggal tersebut
menjadi bingung dan tidak tenang, dia merasa berada hidup diantara 2 alam dan selalu ingin
cepat dibebaskan.

Pelaksanaan Ngaben itu sendiri harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan pendeta
untuk menetapkankan kapan hari baik untuk dilakukannya upacara. Sambil menunggu hari baik
yang akan ditetapkan, biasanya pihak keluarga dan dibantu masyarakat beramai ramai
melakukan Persiapan tempat mayat ( bade/keranda ) dan replica berbentuk lembu yang terbuat
dari bambu, kayu, kertas warna-warni, yang nantinya untuk tempat pembakaran mayat tersebut.
Dipagi harinya saat upacara ini dilaksanakan, seluruh keluarga dan masyarakat akan
berkumpul mempersiapkan upacara. Sebelum upacara dilaksanakan Jasad terlebih dahulu
dibersihkan/dimandikan, Proses pelaksaaan pemandian di pimpin oleh seorang Pendeta atau
orang dari golongan kasta Bramana.

Setelah proses pemandian selesai , mayat dirias dengan mengenakan pakaian baju adat
Bali, lalu semua anggota keluarga berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir dan
diiringi doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh kedamaian dan berada di tempat yang
lebih baik.

Mayat yang sudah dimandikan dan mengenakan pakaian tersebut diletakan di


dalam“Bade/keranda” lalu di usung secara beramai-ramai, seluruh anggota keluarga dan
masyarakat berbarisdidepan “Bade/keranda”. Selama dalam perjalanan menuju tempat upacara
Ngabentersebut, bila terdapat persimpangan atau pertigaan, Bade/keranda akan diputar putar
sebanyak tiga kali, ini dipercaya agar si arwah bingung dan tidak kembali lagi ,dalam pelepasan
jenazah tidak ada isak tangis, tidak baik untuk jenazah tersebut, seakan tidak rela atas
kepergiannya.Arak arakan yang menghantar kepergian jenazah diiringi bunyi gamelan,kidung
suci.Pada sisi depan dan belakang Bade/keranda yang di usung terdapat kain putih yang
mempunyai makna sebagai jembatan penghubung bagi sang arwah untuk dapat sampai ketempat
asalnya.

Setelah sampai dilokasi kuburan atau tempat pembakaran yang sudah disiapkan, mayat
di masukan/diletakan diatas/didalam “Replica berbentuk Lembu“ yang sudah disiapkan dengan
terlebih dahulu pendeta atau seorang dari kasta Brahmana membacakan mantra dan doa, lalu
upacara Ngaben dilaksanakan, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi abu. Sisa abu dari
pembakaran mayat tersebut dimasukan kedalam buah kelapa gading lalu kemudian di
larungkan/dihayutkan ke laut atau sungai yang dianggap suci.
Dari pemamaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Ngaben adalah upacara pembakaran mayat
di Bali yang saat disakralkan dan diagungkan, upacara ini adalah ungkapan rasa hormat yang
ditujukan untuk orang yang sudah meninggal. Upacara ini selalu dilakukan secara besar besar
dan meriah, tidak semua umat Hindu di Bali dapat melaksanakannya karena memerlukan biaya
yang tidak sedikit. Semua yang berasal dari sang pencipta pada masanya akan kembali lagi dan
semua itu harus diyakini dan ihklaskan. Manusia dilahirkan dan kemudian meninggal itu semua
erat berhubungan dengan amal perbuatannya selama di dunia.
Ngebakan, (Suku Sunda) Jawa Barat

NGARAS & SIRAMAN

Ngebakan atau siraman bertujuan untuk memandikan calon mempelai wanita aga bersih
lahir dan bathin sebelum memasuki saat pernikahan. Acara berlangsung pagi atau siang hari di
kediaman calon mempelai wanita. Bagi umat muslim , sebelum dimulai acara siraman terlebih
dahulu diawali oleh pengajian atau rasulan dan pembacaan doa khusus kepada calon mempelai
wanita. Prosesi yang tercakup dalam acara siraman adalah sebagai berikut :

Ngecagkeun Aisan

Dimulai dengan calon mempelai wanita keluar dari kamar secara simbolis di gendong
oleh Ibu. Sementara ayah calon mempelai wanita berjalan di depan sambil membawa lilin
menuju tempat siraman.

Ngaras
Berupa permohonan izin calon mempelai wanita kepada kedua orangtua dan dilanjutkan
dengan sungkeman serta mencuci kaki orang tua.Perlengkapan untuk prosesi ini cukup sederhana
hanya tikar dan handuk.

Pencampuran Air Siraman


Kedua orang tua menuangkan air siraman ke dalam bokor atau mangkuk dan
mencampurnya untuk upacara siraman.

Siraman
Diawali musik kecapi suling, calon mempelai wanita di bimbing oleh orang tua menuju
tempat siraman dengan menginjak 7 helai kain. Siraman dimulai oleh sang Ibu , kemudian Ayah
dan disusul oleh para sesepuh. Jumlah penyiram biasanya ganjil..antara 7, 9 atau 11 orang.

NGEUYEUK SEUREUH
Adalah prosesi adat dimana orang tua atau sesepuh keluarga memberikan nasehat dan
juga merupakan sex education bagi kedua calon mempelai yang dilambang dengan tradisi atau
benda benda yang ada dalam acara adat tersebut. Tata cara ngeuyeuk seureuh adalah sebagai
berikut :

Pangeuyeuk :

1. Tetua yang dipercaya atau pemandu acara memberikan 7 helai benang kanteh sepanjang 2
jengkal kepada kedua calon mempelai untuk dipegang oleh masing masing pada tiap ujungnya,
sambil duduk menghadap orang tua untuk meminta doa restu.

2. Setelah itu Pangeuyeuk membawakan kidung berupa doa – doa kepada Tuhan YME sambil
menaburkan beras kepada kedua calom mempelai, dengan maksud agar keduanya kelak hidup
sejahtera.
3. Kemudian kedua calon mempelai “dikeprak” ( dipukul pelan pelan ) dengan sapu lidi, diiringi
nasehat bahwa hidup berumah tangga kelak harus dapat memupuk kasih sayang antara keduanya.
4. Selanjutnya membuka kain putih penutup “ pangeyeukan “ yang berarti bahwa rumah tangga
yang kelak akan di bina itu masih putih bersih dan hendaknya jangan sampai ternoda.

5. Kedua calon mempelai mengangkat dua perangkat busana diatas sarung “polekat“ dan dibawa
ke kamar pengantin untuk disimpan.

6. Membelah mayang dan jambe ( pinang ) , calom mempelai pria membelah kembang mayang
dengan hati hati agar tidak rusak atau patah, melambangkan bahwa suami harus memperlakukan
istrinya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.

7. Selanjutnya kedua mempelai dipersilahkan menumbuk “halu “ ke dalam “lumpang “dengan


cara : Keduanya duduk berhadapan, yang pria memegang Alu dan wanita memegang lumpang.
8. Membuat “Lungkun” yakni sirih bertangkai, 2 lembar berhadapan digulung menjadi satu
dengan bentuk memanjang, lalu diikat dengan benang kanteh . Hal ini dilakukan oleh kedua
calon mempelai , orang tua serta para tamu yang hadir disitu melambang kan kerukunan.
Kemudian sisa sirih dan 7 bh tempat sirih yang telah diisi lengkap juga padi, labu dan kelapa
dibagikan kepada orang orang yang hadir disitu. Artinya : bila dikemudian hari keduanya
mendapat rejeki berlebih, hendaknya selalu ingat untuk berbagi dengan keluarga atau handai
taulan yang kurang mampu.

9. Berebut uang, dipimpin oleh pangeuyeuk dengan aba aba, kedua mempelai mncari uang,
beras, kunyit dan permen yang di tebar di bawah tikar. Artinya suami dan istri harus bersama
sama dalam mencari rejeki dalam rumah tangga.

10. membuang bekas pangeuyeuk seureuh, biasanya di simpang empat terdekat dengan
kediaman calon mempelai wanita oleh keduanya. Tradisi ini dimaksudkan bahwa dalam memulai
kehidupan yang baru, hendaknya membuang semua keburukan masa lalu dan menghindari
kesalahan di masa datang.
Accera Kalompoang di Balla Lompoa

Balla Lompoa yang berada di jantung Sungguminasa, ibukota Kabupaten Gowa, hingga
saat ini masih berdiri kokoh dan terawat. Berfungsi sebagai museum, Balla Lompoa yang secara
harfiah berarti Rumah Besar atau Rumah Agung, awalnya adalah istana kerajaan Raja Gowa ke
XXXV, yakni I Mangngi-Mangngi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo Sultan Muhammad
Tahir Muhibuddin, yang beliau dirikan tahun 1936. Di dalam bangunan ini masih tersimpan
berbagai macam benda-benda pusaka peninggalan kerajaan.

Keelompok Pagganrang Tunrung Pa'balle mengiringi rombongan penjemput air menuju


bungung lompoa

Di rumah berarsitektur asli Makassar ini, setiap tahun pewaris kerajaan menggelar
kegiatan yang dinamakan Accera’ Kalompoang, digelar bertepatan dengan perayaan Idul Adha.

Kegiatan Accera’ Kalompoang atau pencucian benda-benda pusaka peninggalan raja-raja


Gowa adalah kegiatan turun temurun yang dilakukan oleh raja-raja Gowa terdahulu dan
dilanjutkan oleh para pewaris kerajaan, yang telah menjadi agenda kegiatan tahunan hingga saat
ini.

Secara bergiliran, mereka membuat antrian panjang untuk mendapatkan seteguk air tuah
yang dapat membuat mereka ‘buas’ di medan perang dan kebal terhadap senjata. Tak ubahnya
ramuan sakti ala Galia dalam komik Asterix

:: Rangkaian Upacara Accera’ Kalompoang ::

Kegiatan Accera’ Kalompoang atau pencucian benda-benda pusaka peninggalan raja-raja


Gowa adalah kegiatan turun temurun yang dilakukan oleh raja-raja Gowa terdahulu dan
dilanjutkan oleh para pewaris kerajaan, yang telah menjadi agenda kegiatan tahunan hingga saat
ini.

Bungung Lompoa disterilkan dari warga


Upacara adat ini telah dilaksanakan secara turun temurun, dan dilaksanakan bertepatan
dengan Idul Adha sebagai puncak acara yang dirangkaikan dengan pencucian benda-benda
pusaka milik kerajaan.
Seperti yang berlangsung Kamis (26/11/09) yang lalu, sehari sebelum pelaksanaan Idul
Adha 1430 H, kesibukan di Balla Lompoa mulai terlihat. Beberapa bura’ne (laki-laki) dan baine
(wanita) berpakaian adat khas Makassar terlihat sibuk melakukan berbagai persiapan menjelang
upacara adat Accera Kalompoang.
Sutrisno Daeng Tojeng, selaku pengawal benda pusaka memimpin upacara ritual
Alleka’ Je'ne atau mengambil air dari Bungung Lompoa. Ritual Alleka’ Je'ne mengandung
makna menjemput, mengambil dan mengantar air bertuah. Kegiatan yang seharusnya dimulai
pada saat matahari sekitar Sitonrang Bulo (antara jam 07.30 - 09.00), terpaksa molor akibat
Paganrang (kelompok pemukul gendang) terlambat datang.

Rombongan Alleka je'ne melintas di batu Pallantikang


Sekitar pukul 10.30 rombongan dan segenap perangkat upacara meninggalkan istana
diiringi irama gendang Tunrung Pa'balle menuju ke Bungung Lompoa atau sumur besar yang
bertuah, terletak di antara kompleks Makam Raja-raja Gowa (termasuk Raja Gowa ke XVI
Sultan Hasanuddin) dan Masjid tua Katangka, melewati Batu Tumanurunga atau Batu
Pallantikang yang dipergunakan sebagai tempat pelantikan raja yang berada di Bukit Tamalatea.
Pengambilan air di Bungung Lompoa mempergunakan timba yang bahannya terdiri dari
unsur alam bersifat nabati, seperti pelepah daun lontar. Uniknya Di dalam Bungung Lompoa,
terdapat dua buah sumur bertuah lainnya yang memiliki fungsi tersendiri, yakni Bungung
Barania dan Bungung Bissua. Kalau Bungung Lompoa dipergunakan untuk membersihkan atau
mencuci (Allangiri) benda-benda pusaka kerajaan, Bungung Barania (Sumur Keberanian)
dipakai untuk kesaktian dan kekebalan (konon, di jaman dahulu kala, sebelum berangkat perang,
para prajurit Gowa meminum air di sumur ini. Secara bergiliran, mereka membuat antrian
panjang untuk mendapatkan seteguk air tuah yang dapat membuat mereka ‘buas’ di medan
perang dan kebal terhadap senjata. Tak ubahnya ramuan sakti ala Galia dalam komik Asterix),
dan Bungung Bissua yang airnya dipergunakan untuk pengobatan.
Pasukan pembawa air bertuah
Sebelum rombongan penjemput air bertuah itu kembali ke Istana Raja Gowa, Balla
Lompoa, air diarak mengelilingi Batu Tumanurunga sebanyak tiga kali.
Setibanya di Istana, sebagian air bertuah tersebut dituangkan di wajan untuk bahan
Appassili, sementara selebihnya disemayamkan di atas Balla Lompoa untuk dipergunakan pada
acara Allangiri Kalompoang.
Upacara kemudian dilanjutkan dengan Ammolong Tedong atau memotong kerbau.
Menurut pemuka adat kerajaan Gowa, upacara Ammolong Tedong ini sesuai ajaran Syariat
Islam yang bermakna sebagai penyerahan dan penolak bala yang berhubungan dengan darah
sebagaimana penuturan yang disepakati secara teguh, turun temurun.
Prosesi pengambilan air bertuah di Bungung Lompoa
Upacara Ammolong Tedong dimulai pada saat posisi matahari Allabang Lino
(pertengahan bumi). Upacara dimulai dengan ritual Appasili Tedong kemudian Apparurui
Tedong atau perlakuan khusus pada hewan kurban. Selanjutnya hewan kurban diarak oleh
rombongan mengitari areal istana, setelah itu dimasukkan ke dalam tempat khusus untuk
disembelih. Sebagian darah ditadah dan disemayamkan untuk bahan Allangiri Kalompoang,
sementara kepalanya disimpan untuk upacara Appidalleki.

Upacara Appidalleki
Appidalleki adalah upacara persembahan sesajen kepada leluhur yang diantar dengan
doa syukur kehadirat Allah SWT. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat posisi matahari kembali
ke peraduannya, sesudah shalat Isya dan takbiran, dimana upacara ini khusus dihadiri oleh
kalangan keluarga Raja.
Sebelum Appidalleki digelar, Allangiri Kalompoang atau biasa diistilahkan
Annyossoro’ terlebih dulu dilakukan. Allangiri Kalompoang adalah upacara pembersihan benda-
benda utama pusaka kerajaan yang dilanjutkan acara menimbang/penakaran benda-benda pusaka
milik kerajaan.

Rombongan penjemput air mengelilingi batu tumanurunga


Allangiri Kalompoang merupakan upacara inti dari segala rangkaian Accera’
Kalompoang yang oleh masyarakat Gowa memberikan arti tersendiri atas pelaksanaannya.
Seperti Annyossoro’ (menggosok benda agar bersih) diartikan sebagai upaya membersihkan diri
dari segala sifat kejelekan manusia; Allangiri diartikan sebagai penanaman keyakinan dan
kesucian; dan Annimbang diartikan sebagai pertanda baik buruknya tingkat kehidupan rakyat di
masa datang, termasuk berhasil tidaknya hasil bumi, ditentukan dari berat ringannya hasil
penimbangan benda-benda kerajaan.

Benda Pusaka yang Dibersihkan


Adapun benda-benda pusaka kerajaan Gowa yang dibersihkan (Allangiri Kalompoang) adalah
1. Pannyanggayya. Tombak yang terbuat dari rotan dan berambut ekor kuda dengan panjang
2,22 cm dipakai pada upacara khusus kerajaan;
2. Lasippo. Benda kerajaan yang berbentuk parang dari besi tua. Senjata sakti ini dipergunakan
oleh raja sebagai pertanda untuk mendatangi suatu tempat yang akan dikunjungi, panjangnya 62
cm, lebar 6 cm;
3. Tataparang. Sejenis keris emas, pakai permata dan besi tua sebagai pelengkapnya. Dipakai
dalam upacara kerajaan, beratnya 986,5 gram, panjang 51 cm dan lebar 13 cm;
4. Salokoa. Mahkota kerajaan terbuat dari emas murni dengan hiasan beberapa butir permata
dan berlian (jumlah 250 butir), bergaris tengah 30 cm, berat 1.768 gram. Bentuknya menyerupai
kerucut bunga teratai yang memiliki lima helai kelopak daun. Salokoa merupakan mahkota raja,
dikenakan saat pelantikan Raja Gowa; sebagai syarat mutlak dan sahnya sebuah pelantikan yang
sakral. Mahkota ini dipercaya berasal dari Raja Gowa pertama, yakni Tumanurunga di abad 13.

Selain itu masih ada sejumlah benda pusaka lainnya yang ikut dibersihkan, di antaranya:
1.Sudanga. Sebuah Kalewang yang dipercaya memiliki kesaktian;
2.Ponto Janga-Jangayya. Gelang yang terbuat dari emas murni dengan berat 985,5 gram,
bentuknya serupa naga yang melingkar, jumlah 4 buah;
3.Kolara’. Rantai kerajaan yang terbuat dari emas murni, menjadi atribut raja yang berkuasa,
seberat 2.182 gram;
4.Bangkara’ Ta'roe. Anting-anting yang terbuat dari emas murni seberat 287 gram;
5.Kancing Gaukang. Anak kancing sebanyak 4 buah, yang terbuat dari emas murni seberat 277
gram;
6.Tobo Kaluku. Kalung yang terbuat dari emas murni pemberian dari Kerajaan Sulu Philipina
Selatan (Manila) pada abad XVI;
7.Mata tombak, cincin emas, parang panjang, penning emas pemberian dari kerajaan Inggris;
serta medali emas pemberian dari kerajaan Belanda.

Upacara Adat Peucicap


Tradisi Upacara Adat Peucicap Aneuk ini dilakukan pada hari ke-7 setelah bayi
dilahirkan, yaitu kepada bayi tersebut dicicipi Madu Lebah, Kuning Telur dan Air Zam-
zam.Oleh pihak orang tua si suami dibawakan seperangkat keperluan bayi tersebut, yaitu ija
(kain) ayunan, ija geudong (kain pembalut) bayi, ija tumpe (popok), tilam, bantal dan tali ayun
(tali ayunan). Kalau dikalangan kaum hartawan ada juga yang membawa tali ayun dari emas.
Selain itu juga diberikan sepersalinan pakaian kepada si istri yang baru melahirkan, yang
diberikan oleh ibu mertuanya. Pada hari itu juga diadakan Akikah, yaitu menyembelih seekor
kambing, cukur rambut bayi dan pemberian nama kepada si bayi, dengan upacara peusijuek dan
sebaran beras- padi serta doa selamat.
Masyarakat Aceh memiliki adat tersendiri dalam memperlakukan anak yang baru lahir.
Adat peucicap dan peutron bak tanoh salah satunya.
Selama 44 hari sejak lahir, ibu bayi banyak menjalani pantangan-pantangan. Ia harus
tetap berada di kamarnya, tidak boleh berjalan-jalan apalagi keluar rumah. Tidak boleh minum
yang banyak, nasi yang dimakan juga tanpa gulai dan lauk pauk. Begitu juga dengan makanan
yang peda-pedas sangat dilarang. Selama pantangan tersebut ibu bayi selalu dihangatkan dengan
bara api yang terus menerus di samping atau dibawah ranjang tidurnya. Masa pantangan inu
disebut madeung.
Setelah masa madeung selesai, ibu bayi akan dimandikan oleh bidan yang merawatnya
dengan air yang dicampur irisan boh kruet (limau perut). Acara mandi ini disebut manoe peu
ploh peut, yang bermakna mandi setelah 44 hari menjalani masa madeueng. Pada hari ini
mertuanya akan datang membawakan nasi pulut kuning, ayam panggang, dan bahan-bahan untuk
peusijuek ro darah (keluar darah) menantunya pada saat melahirkan.
Setelah masa 44 hari ibunya menjalani madeueng, bayi akan diturunkan untuk menginjak
tanah pertama kalinya. Prosesi adat ini disebut peutron bak tanoh. Ada juga yang melakukannya
dengan mengadakan pesta besar-besaran untuk, apalagi pada kelahiran anak pertama.

Upacara Sunat Rasul

Sunat Rasul atau sering disebut Khitan merupakan sebuah upacara dimana seorang anak
akan memasuki jenjang Baligh atau dewasa. Di Aceh, Sunat Rasul dilakukan setelah anak
berumur antara 10 sampai 13 tahun. Untuk melangsungkan Sunat Rasul, anak yang hendak di
khitan di peusijuek terlebih dahulu (ditepung tawar). Sang anak diberi pakaian adat, didudukkan
diatas pelaminan layaknya pengantin yang akan menikah, namun di upacara ini sang anak
ditempatkan sendiri saja tanpa pasangan.

Upacara Adat Perkawinan Aceh


Tiga hari sebelum naik Pengantin (Woe Linto) terlebih dahulu oleh pihak pengantin laki
(Linto) diantar kepada pihak pengantin perempuan (dara baro) sirih inai (Ranub Gaca), Ranub
lipat/Ranub Gapu 1 hidang, 1 hidang alat-lat pakaian Dara Baro, 1 Hidang Breueh Pade, 1
hidang telur rebus yang diberi berwarna, setawar sedingin, dan daun inai (Gaca) untuk inai Dara
Baro. Di rumah Dara Baro diadakan acara Koh Andam.
Ba Ranup merupakan suatu tradisi turun temurun yang tidak asing lagi dilakukan dimana
pun oleh masyarakat Aceh, saat seorang pria melamar seorang perempuan.
Bila lamaran diterima, keluarga pihak pria akan datang kembali untuk melakukan
peukeong haba yaitu membicarakan kapan hari perkawinan akan dilangsungkan, termasuk
menetapkan berapa besar uang mahar yang diterima (disebut jeunamee) yang diminta dan berapa
banyak tamu yang akan diundang. Biasanya pada acara ini sekaligus diadakan upacara
pertunangan (disebut jakba tanda).
Pesta pelamina dilakukan setelah melangsungkan pernikahan antara sang calon pengantin
laki-laki dengan pengantin perempuan, hal ini suatu tradisi atau kebiasaan yang tidak pernah
hilang di dalam kultur budaya Aceh Pidie.

Upacara Petujoh

Upacara Petujoh, yaitu Linto pulang ke rumah Daro Baro dengan rombongan kira-kira 25
orang. Di halaman rumah Daro Baro diadakan Upacara penanaman Kelapa yang dilakukam oleh
Linto bersama Dara Baro. Pada Upacara Peutujoh oleh ibu Dara Baro diadakan teumeutuek
(pemberian) uang kepada Linto disertai sepersalinan pakaian. Pemberian dari pihak orang tua
Dara Baro, oleh Linto dibawa pulang untuk diperhatikan kepada ibu Linto. Selanjutnya boleh ibu
Linto membawa nget tujoh dan peukayan tujoh kepada Dara Baro.

Anda mungkin juga menyukai