PERAN NU DALAM BERBANGSA DAN BERNEGARA Oleh : ADY ASHARI, M.Pd. Peranan NU dalam Partai Politik
Keinginan menjadi partai politik pertama kali muncul pada Muktamar
Menes 1938 ketika membahas perlunya NU menempatkan wakil dalam Dewan Rakyat (Volksraad) atas usul cabang Indramayu. Usul itu ditolak dalam sidang dengan perbandingan suara, 39 menolak, 11 mendukung dan 3 abstain. Dengan ditolaknya usul ini, sampai awal masa kemerdekaan secara formal NU tetap menjadi organisasi keagamaan. Tetapi tidak berarti NU tidak pernah bersinggungan dengan hal-hal yang bersifat politis. Tercatat pada tahun 1935 tiga tahun menjelang Muktamar Menes, NU mengeluarkan keputusan dalam kaitan pembelaan negara dari ancaman musuh bahwa Indonesia adala negeri muslim. Dan pada masa pemerintahan Jepang NU menyatakan bahwa membantu Jepang dalam perang pasifik tidak wajib. Kembalinya NU ke Khittah
Organisasi NU awalnya memang hanya sebuah kepanitiaan kecil
beranggotakan para kiai yang dinamakan “Komite Hijaz”. Komite ini bertugas menyampaikan aspirasi kepada penguasa tanah Hijaz atau Saudi Arabia yang baru, Raja Ibnu Saud, agar umat Islam tetap diberikan kebebasan untuk bermadzab, dan agar makam dan tempat-tempat bersejarah di tanah suci tidak diratakan dengan tanah. Dan aspirasi para kiai akhirnya dikabulkan oleh Raja Wahabi itu. Khittah NU atau Khitah Nahdliyyah sudah ada jauh-jauh hari, bahkan sebelum organisasi ini berdiri. Khittah itu semacam kepribadian khas yang dimiliki oleh umat Islam di Nusantara. Khitah NU baru didefinisikan secara rinci pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo, sekitar 58 tahun kemudian. Khittah NU ialah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU. Landasan itu ialah paham Ahlussunah Waljama’ah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia. Kembalinya NU ke Khittah
Sikap Kemasyarakatan NU terdiri dari empat hal yang utama:
Pertama, sikap tawassuth dan i’tidal atau sikap berada di tengah-
tengah, menjadi kelompok panutan, bertindak lurus, bersifat membangun, dan tidak ekstrim.
Kedua, sikap tasamuh atau toleran di dalam perbedaan pendapat
keagamaan serta toleran di dalam urusan kemasyarakatan dan kebudayaan.
Ketiga, sikap tawazun atau keseimbangan dalam berkhidmah kepada
Allah SWT, kepada sesama manusia dan kepada lingkungan hidup, serta keselarasan antara masa lalu, masa kini dan masa depan.
Keempat, amar ma’ruf nahi mungkar atau kepekaan untuk
mendorong perbuatan baik dan mencegah hal yang dapat merendahkan nilai-nilai kehidupan. Peran dan Perjuangan Nahdlatul Ulama (NU) Masa Kemerdekaan (1945-1959)
Kegiatan politik NU semakin kental pada masa kemerdekaan. Hal ini
ditunjukkan pada Muktamar NU di Surabaya tanggal 22 Oktober 1945. Dalam muktamar tersebut, NU mengeluarkan “Resolusi Jihad” yang menyatakan bahwa perjuangan untuk merdeka adalah Perang Suci (jihad).
Resolusi ini berarti bahwa penolakan terhadap kembalinya kekuatan
kolonial yang mengakui kekuasaan suatu pemerintah republik baru sesuai dengan Islam.
Resolusi jihad ini juga terbukti dengan penentangan NU terhadap
beberapa perjanjian dan konsesi diplomatic yang diadakan pemerintah seperti Perjanjian Renville (1946), Perjanjian Linggarjati (1948) dan juga Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949). NU dalam Tubuh Masyumi
Pada tanggal 3 November 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat
No. X yang berisi anjuran tentang berdirinya partai-partai politik. Umat Islam dengan segera menyambut bahagia adanya keputusan tersebut, sehingga tanggal 7 November dibentuklah Masyumi. Sementara NU yang telah berdiri sebelumnya sebagai jam’iyah kemudian bergabung dengan Masyumi pasca mengadakan Muktamar NU XVI di Purwokerto tahun 1946. Bergabungnya NU dalam Masyumi menjadi pengalaman berharga bagi NU. Ia mulai mengalami liku-liku politik, sesuatu yang baru bagi NU. Menurut NU, politik dapat dijadikan media untuk memperluas peran ulama. Tokoh NU, Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Ketua Umum Majelis Syuro (Dewan Penasehat Keagamaan). Sementara tiga tokoh NU lainnya menduduki jabatan menteri sebagai wakil Masyumi, yakni Wahid Hasjim, Masjkur, dan K. H. Fathurrahman Kafrawi. Tokoh lainnya yang juga berkiprah di pemerintahan adalah Wahab Chasbullah sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. NU dalam Tubuh Masyumi
Majelis Syuro ini memiliki peran yang sangat penting dalam tubuh
Masyumi, antara lain yang tercantum dalam anggaran rumah tangga di bawah ini:
Majelis Syuro berhak mengusulkan hal-hal yang bersangkut paut dengan
politik kepada pimpinan partai. Dalam soal politik yang bersangkut paut dengan masalah hukum agama, maka pimpinan partai meminta fatwa dari majelis Syuro. Keputusan Majelis Syuro mengenai hukum agama bersifat mengikat pimpinan partai . Jika muktamar/ dewan partai berpendapat lain daripada keputusan Majelis Syuro, maka pimpinan partai dapat mengirimkan utusan untuk berunding dengan Majelis Syuro dan hasil perundingan itu merupakan keputusan tertinggi. NU sebagai Partai Politik
Hubungan antara Masyumi dengan NU berubah pada 1952, yang
mana NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri. Keputusan untuk keluar dari Masyumi yang diambil oleh NU ini dibarengi dengan penyampaian beberapa amanat kepada pengurus, yakni: Pelaksanaan keputusan tersebut agar jangan sampai menimbulkan kegoncangan di kalangan umat Islam, Pelaksanaan keputusan tersebut dilakukan dengan perundingan terlebih dahulu dengan Masyumi, dan Keputusan ini dijalankan dalam gubungan yang lebih luas yang berkenan adanya keinginana untuk membentuk dewan pimpinan umat Islam yang nilainya lebih tinggi, dimana partai-partai dan organisasi-organisasi Islam baik yang sudah maupun belum tergabung dalam Masyumi dapat berkumpul dan berjuang bersama-sama. Pasca meninggalkan Masyumi dan menjadi sebuah partai politik, NU dihadapkan pada kekurangan tenaga terampil. Untuk mengatasi hal ini, maka direktrutlah beberapa tokoh yang dianggap mumpuni seperti H. Jamaluddin Malik, K.H. Idham Chalid, dan beberapa tokoh lainnya. NU Membentuk Liga Muslimin Indonesia
NU menjalin persatuan yang bersifat federatif dengan PSII, Perti
dan juga Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI) dalam wadah yang disebut Liga Muslimin Indonesia. Liga ini dibentuk tanggal 30 Agustus 1952 dengan tujuan “untuk mencapai masyarakat islamiyahyang sesuai dengan hukum Allah Swt dan sunnah Rasul”.
Untuk mencapai tujuan tersebut, ditetapkan pula usaha yang akan
dilakukan Liga Muslimin Indonesia yakni rencana bersama dan menghimpun organisasi Islam yang ada, memajukan dan mengadakan aksi bersama serta akan mengadakan kongres Islam Indonesia. namun demikian federasi ini tidak terlalu berpengaruh sebab, antara partai yang tergabung di dalamnya seringkali berbeda pendapat dan menjalankan kepentingannya masing-masing. NU dalam Pemilu 1955
Dalam rangka mempersiapkan pemilu tahun 1955, NU mengadakan
Muktamar Alim Ulama se Indonesia pada tanggal 11-15 April 1953 di Medan. Dalam muktamar tersebut diputuskan wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mengambil bagian dalam pemilu, baik untuk anggota DPR maupun Konstituante. Pada pemilu 1955, partai NU mendapatkan 6.955.141 suara dan mendapat bagian 45 kursi di parlemen. Suara besar yang diperoleh NU dalam pemilu ini tidak lain karena basis pendukung NU yang sangat kuat, terutama di pedesaaan. Selain itu NU juga mengubah strategi kampanyenya yang awalnya memiliki slogan yang senada dengan Masyumi, namun pada perkembangannya agak diubah dengan juga menggandeng PNI. Pasca pemilu, terbentuklah Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Ali – Roem – Idham), yang mana merupakan gabungan dari ketiga partai yakni Masyumi (Muhammad Roem), PNI (Ali sastroamidjojo), dan NU (Idham Chalid). Melalui pemilu 1955, NU berhasil mencapai sasaran yang ditetapkan pada 1952 yakni menggerakkan masyarakat tradisional untuk menyatakan aspirasi sosial dan keagamaannya sehingga Islam tradisional mampu mendapat tempat di tengah-tengah kehidupan berbangsa. Partai ini juga berhasil melembagakan peran ulama dalam sebuah negara melalui keberadaannya dalam parlemen dan keberhasilannya menguasai Departemen Agama. Menumpas Gerakan PRRI
NU juga mengungkapkan bahwa gerakan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PPRI) yang didukung oleh tokoh senior Masyumi harus segera ditumpas.
Menurut NU, gerakan PPRI dianggap telah menyalahi
perintah Alquran untuk mematuhi perintah Allah Swt, Nabi Muhammad saw, dan pemimpin mereka (Q.S. An-Nisaa’: 59). Menerima UUD 1945 sebagai konstitusi
Majelis konstituante yang berhasil dibentuk dari pemilu tahun 1955
nyatanya belum mampu menghasilkan konstitusi baru untuk Indonesia. Oleh sebab itu terjadilah ketegangan antar fraksi di pemerintah. Melihat kondisi demikian, NU kemudian mengadakan sidang Dewan Partai di Cipanas, Bogor tanggal 26-28 Maret 1958. Pada pertemuan tersebut NU bersepakat untuk menerima UUD 1945 RI sebagai konstitusi dengan pengertian bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD tersebut. Keputusan NU ini disampaikan kepada pemerintah, kemudian pemerintah menyampaikannya kepada Majelis Konstituante pada tanggal 22 April 1959. Namun sayangnya sebagian besar anggota konstituante tidak hadir dalam sidang sehingga tidak bisa menghasilkan keputusan. Akhirnya dalam situasi yang dianggap gawat inilah lahir Dekrit 5 Juli 1959 yang mana salah satu isinya berbunyi, “Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 adalah merupakan suatu rangkaian dengan konstitusi tersebut”.