Anda di halaman 1dari 12

UNIVERSITAS NURUL JADID

PAITON – PROBOLINGGO
TAHUN 2020

DINAMIKA PERKEMBANGAN DAN


PERAN NU DALAM BERBANGSA
DAN BERNEGARA
Oleh : ADY ASHARI, M.Pd.
Peranan NU dalam Partai Politik

Keinginan menjadi partai politik pertama kali muncul pada Muktamar


Menes 1938 ketika membahas perlunya NU menempatkan wakil dalam Dewan
Rakyat (Volksraad) atas usul cabang Indramayu. Usul itu ditolak dalam sidang
dengan perbandingan suara, 39 menolak, 11 mendukung dan 3 abstain. Dengan
ditolaknya usul ini, sampai awal masa kemerdekaan secara formal NU tetap
menjadi organisasi keagamaan. Tetapi tidak berarti NU tidak pernah
bersinggungan dengan hal-hal yang bersifat politis. Tercatat pada tahun 1935 tiga
tahun menjelang Muktamar Menes, NU mengeluarkan keputusan dalam kaitan
pembelaan negara dari ancaman musuh bahwa Indonesia adala negeri muslim.
Dan pada masa pemerintahan Jepang NU menyatakan bahwa membantu Jepang
dalam perang pasifik tidak wajib.
Kembalinya NU ke Khittah

Organisasi NU awalnya memang hanya sebuah kepanitiaan kecil


beranggotakan para kiai yang dinamakan “Komite Hijaz”. Komite ini
bertugas menyampaikan aspirasi kepada penguasa tanah Hijaz atau
Saudi Arabia yang baru, Raja Ibnu Saud, agar umat Islam tetap diberikan
kebebasan untuk bermadzab, dan agar makam dan tempat-tempat
bersejarah di tanah suci tidak diratakan dengan tanah. Dan aspirasi para
kiai akhirnya dikabulkan oleh Raja Wahabi itu.
Khittah NU atau Khitah Nahdliyyah sudah ada jauh-jauh hari, bahkan
sebelum organisasi ini berdiri. Khittah itu semacam kepribadian khas yang
dimiliki oleh umat Islam di Nusantara.
Khitah NU baru didefinisikan secara rinci pada Muktamar ke-27 NU di
Situbondo, sekitar 58 tahun kemudian. Khittah NU ialah landasan berfikir,
bersikap dan bertindak warga NU. Landasan itu ialah paham Ahlussunah
Waljama’ah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di
Indonesia.
Kembalinya NU ke Khittah

Sikap Kemasyarakatan NU terdiri dari empat hal yang utama:

Pertama, sikap tawassuth dan i’tidal atau sikap berada di tengah-


tengah, menjadi kelompok panutan, bertindak lurus, bersifat membangun,
dan tidak ekstrim.

Kedua, sikap tasamuh atau toleran di dalam perbedaan pendapat


keagamaan serta toleran di dalam urusan kemasyarakatan dan
kebudayaan.

Ketiga, sikap tawazun atau keseimbangan dalam berkhidmah kepada


Allah SWT, kepada sesama manusia dan kepada lingkungan hidup, serta
keselarasan antara masa lalu, masa kini dan masa depan.

Keempat, amar ma’ruf nahi mungkar atau kepekaan untuk


mendorong perbuatan baik dan mencegah hal yang dapat merendahkan
nilai-nilai kehidupan.
Peran dan Perjuangan Nahdlatul Ulama (NU) Masa
Kemerdekaan (1945-1959)

Kegiatan politik NU semakin kental pada masa kemerdekaan. Hal ini


ditunjukkan pada Muktamar NU di Surabaya tanggal 22 Oktober 1945.
Dalam muktamar tersebut, NU mengeluarkan “Resolusi Jihad” yang
menyatakan bahwa perjuangan untuk merdeka adalah Perang Suci (jihad).

Resolusi ini berarti bahwa penolakan terhadap kembalinya kekuatan


kolonial yang mengakui kekuasaan suatu pemerintah republik baru sesuai
dengan Islam.

Resolusi jihad ini juga terbukti dengan penentangan NU terhadap


beberapa perjanjian dan konsesi diplomatic yang diadakan pemerintah
seperti Perjanjian Renville (1946), Perjanjian Linggarjati (1948) dan juga
Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949).
NU dalam Tubuh Masyumi

Pada tanggal 3 November 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat


No. X yang berisi anjuran tentang berdirinya partai-partai politik. Umat Islam
dengan segera menyambut bahagia adanya keputusan tersebut, sehingga
tanggal 7 November dibentuklah Masyumi. Sementara NU yang telah berdiri
sebelumnya sebagai jam’iyah kemudian bergabung dengan Masyumi pasca
mengadakan Muktamar NU XVI di Purwokerto tahun 1946.
Bergabungnya NU dalam Masyumi menjadi pengalaman berharga bagi
NU. Ia mulai mengalami liku-liku politik, sesuatu yang baru bagi NU. Menurut
NU, politik dapat dijadikan media untuk memperluas peran ulama.
Tokoh NU, Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Ketua Umum
Majelis Syuro (Dewan Penasehat Keagamaan). Sementara tiga tokoh NU
lainnya menduduki jabatan menteri sebagai wakil Masyumi, yakni Wahid
Hasjim, Masjkur, dan K. H. Fathurrahman Kafrawi. Tokoh lainnya yang juga
berkiprah di pemerintahan adalah Wahab Chasbullah sebagai anggota
Dewan Pertimbangan Agung.
NU dalam Tubuh Masyumi

Majelis Syuro ini memiliki peran yang sangat penting dalam tubuh


Masyumi, antara lain yang tercantum dalam anggaran rumah tangga di
bawah ini:

 Majelis Syuro berhak mengusulkan hal-hal yang bersangkut paut dengan


politik kepada pimpinan partai.
 Dalam soal politik yang bersangkut paut dengan masalah hukum agama,
maka pimpinan partai meminta fatwa dari majelis Syuro.
 Keputusan Majelis Syuro mengenai hukum agama bersifat mengikat
pimpinan partai .
 Jika muktamar/ dewan partai berpendapat lain daripada keputusan
Majelis Syuro, maka pimpinan partai dapat mengirimkan utusan untuk
berunding dengan Majelis Syuro dan hasil perundingan itu merupakan
keputusan tertinggi.
NU sebagai Partai Politik

Hubungan antara Masyumi dengan NU berubah pada 1952, yang


mana NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan mendirikan partai
politik sendiri. Keputusan untuk keluar dari Masyumi yang diambil oleh NU ini
dibarengi dengan penyampaian beberapa amanat kepada pengurus, yakni:
 Pelaksanaan keputusan tersebut agar jangan sampai menimbulkan
kegoncangan di kalangan umat Islam,
 Pelaksanaan keputusan tersebut dilakukan dengan perundingan terlebih
dahulu dengan Masyumi, dan
 Keputusan ini dijalankan dalam gubungan yang lebih luas yang berkenan
adanya keinginana untuk membentuk dewan pimpinan umat Islam yang
nilainya lebih tinggi, dimana partai-partai dan organisasi-organisasi Islam
baik yang sudah maupun belum tergabung dalam Masyumi dapat
berkumpul dan berjuang bersama-sama.
Pasca meninggalkan Masyumi dan menjadi sebuah partai politik,
NU dihadapkan pada kekurangan tenaga terampil. Untuk mengatasi hal ini,
maka direktrutlah beberapa tokoh yang dianggap mumpuni seperti H.
Jamaluddin Malik, K.H. Idham Chalid, dan beberapa tokoh lainnya.
NU Membentuk Liga Muslimin Indonesia

NU menjalin persatuan yang bersifat federatif dengan PSII, Perti


dan juga Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI) dalam wadah yang disebut Liga
Muslimin Indonesia. Liga ini dibentuk tanggal 30 Agustus 1952 dengan
tujuan “untuk mencapai masyarakat islamiyahyang sesuai dengan hukum
Allah Swt dan sunnah Rasul”.

Untuk mencapai tujuan tersebut, ditetapkan pula usaha yang akan


dilakukan Liga Muslimin Indonesia yakni  rencana bersama dan
menghimpun organisasi Islam yang ada, memajukan dan mengadakan aksi
bersama serta akan mengadakan kongres Islam Indonesia. namun demikian
federasi ini tidak terlalu berpengaruh sebab, antara partai yang tergabung di
dalamnya seringkali berbeda pendapat dan menjalankan kepentingannya
masing-masing.
NU dalam Pemilu 1955

Dalam rangka mempersiapkan pemilu tahun 1955, NU mengadakan


Muktamar Alim Ulama se Indonesia pada tanggal 11-15 April 1953 di Medan.
Dalam muktamar tersebut diputuskan wajib hukumnya bagi umat Islam untuk
mengambil bagian dalam pemilu, baik untuk anggota DPR maupun Konstituante.
Pada pemilu 1955, partai NU mendapatkan 6.955.141 suara dan mendapat
bagian 45 kursi di parlemen.
Suara besar yang diperoleh NU dalam pemilu ini tidak lain karena basis
pendukung NU yang sangat kuat, terutama di pedesaaan. Selain itu NU juga
mengubah strategi kampanyenya yang awalnya memiliki slogan yang senada
dengan Masyumi, namun pada perkembangannya agak diubah dengan juga
menggandeng PNI. Pasca pemilu, terbentuklah Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Ali
– Roem – Idham), yang mana merupakan gabungan dari ketiga partai yakni
Masyumi (Muhammad Roem), PNI (Ali sastroamidjojo), dan NU (Idham Chalid).
Melalui pemilu 1955, NU berhasil mencapai sasaran yang ditetapkan
pada 1952 yakni menggerakkan masyarakat tradisional untuk menyatakan
aspirasi sosial dan keagamaannya sehingga Islam tradisional mampu mendapat
tempat di tengah-tengah kehidupan berbangsa. Partai ini juga berhasil
melembagakan peran ulama dalam sebuah negara melalui keberadaannya
dalam parlemen dan keberhasilannya menguasai Departemen Agama.
Menumpas Gerakan PRRI

NU juga mengungkapkan bahwa gerakan Pemerintahan


Revolusioner Republik Indonesia (PPRI) yang didukung oleh tokoh
senior Masyumi harus segera ditumpas.

Menurut NU, gerakan PPRI dianggap telah menyalahi


perintah Alquran untuk mematuhi perintah Allah Swt, Nabi
Muhammad saw, dan pemimpin mereka (Q.S. An-Nisaa’: 59).
Menerima UUD 1945 sebagai konstitusi

Majelis konstituante yang berhasil dibentuk dari pemilu tahun 1955


nyatanya belum mampu menghasilkan konstitusi baru untuk Indonesia. Oleh
sebab itu terjadilah ketegangan antar fraksi di pemerintah. Melihat kondisi
demikian, NU kemudian mengadakan sidang Dewan Partai di Cipanas,
Bogor tanggal 26-28 Maret 1958. Pada pertemuan tersebut NU bersepakat
untuk menerima UUD 1945 RI sebagai konstitusi dengan pengertian bahwa
Piagam Jakarta menjiwai UUD tersebut.
Keputusan NU ini disampaikan kepada pemerintah, kemudian
pemerintah menyampaikannya kepada Majelis Konstituante pada tanggal 22
April 1959. Namun sayangnya sebagian besar anggota konstituante tidak
hadir dalam sidang sehingga tidak bisa menghasilkan keputusan.
Akhirnya dalam situasi yang dianggap gawat inilah lahir Dekrit 5 Juli
1959 yang mana salah satu isinya berbunyi, “Kami berkeyakinan bahwa
Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 adalah merupakan suatu
rangkaian dengan konstitusi tersebut”.

Anda mungkin juga menyukai