Anda di halaman 1dari 10

SEJARAH PERJUANGAN NU

MAKALAH

TUGAS MATA KULIAH KE NU-AN


UNTUK MEMENUHI DAFTAR HADIR SEBELUM UTS

Dosen Pengampu : Dr. Hilman Umar Bashori M.Pd.

Disusun Oleh :

Muhammad Yasir Maulana

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI DAN BISNIS SYARI'AH

NAHDLATUL ULAMA (STIEBS NU) GARUT


A. Sejarah Perjuangan Nahdlatul Ulama (NU) 1945-1959
Nahdlatul Ulama adalah salah satu organisasi yang ada di Indonesia yang terdiri dari 2 kata
yaitu NAHDLAH yang artinya Kebangkitan Dan Al- 'Ulama yang artinya Ulama, jika disatukan
NU mepunyai arti yaitu Kebangkitan Ulama, yang jumlah anggotanya ribuan juta jiwa yang
tersebar luas di Nusantara bahkan sampai beberapa Negara. NU yang lahir pada tanggal 16
Rajab 1344 H atau 16 Januari 1926 M di Surabaya Jawa Timur, yang didirikan oleh beberapa
tokoh kiyai diantaranya :

• Hadrotusyaikh KH. Hasyim Asy'ari

• Syaikhona Kholil Bangkalan

• KH. Abdul Wahab chasbullah

• KH. Bishri Syansuri

Dan banyak Kiyai-kiyai lainnya.

Dan pada masa itu NU juga menuai sejarah dalam memperjuangkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai berikut :

1. Peran dan Perjuangan NU dalam kemerdekaan Republik Indonesia


Peran dan perjuangan NU dalam setiap periodisasi sejarah Indonesia memang sudah tidak
dapat diragukan lagi. NU menjadi salah satu garda terdepan dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Tidak hanya berhenti sampai di situ, NU juga terlibat aktif dalam
mengisi kemerdekaan Indonesia dan berlanjut hingga saat ini. Besarnya pengaruh NU ini
membuat pembahasan tentang peran dan perjuangan NU sangat menarik untuk diperdalam.

Dalam perjalanannya, NU memainkan peranan yang cukup besar bagi bangsa Indonesia. Pada
masa-masa awal setelah didirikan saja, NU sudah melakukan berbagai upaya untuk memajukan
masyarakat Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memajukan bidang pendidikan
dengan mendirikan banyak madrasah dan pesantren.

Metode pengajaran dan kurikulum yang digunakan sebagian besar merupakan perpaduan dari
pengetahuan agama dan pengetahuan umum. NU juga mendirikan Lembaga Ma’arif pada
tahun 1938 guna mengkoordinasi kerjasama dalam kegiatan pendidikan.

NU juga mulai mengembangkan perekonomian masyarakat dengan mendirikan koperasi pada


tahun 1929 di Surabaya. Koperasi ini sangat berperan dalam penjualan barang dan
mengorganisis barter dalam masyarakat. Koperasi yang didirikan NU ini semakin berkembang
hingga akhirnya pada tahun 1937 jangkauannya semakin luas dan dibentuklah Syirkah
Mu’awanah.

2. Peran NU Masa Pemerintahan Jepang


Peran NU tidak berhenti sampai di situ, sejak kedatangan jepang, peran NU semakin
diperhitungkan. Jepang yang kala itu sedang membutuhkan basis massa untuk membantu
Jepang dalam Perang Pasifik, akhirnya Jepang melakukan mobilisasi terhadap rakyat pedesaan
di Indonesia. Sementara kaum ulama dan kiai diberikan jabatan resmi agar mau membantu
Jepang. Misalnya saja dengan menjadikan Hasyim Asy’ari sebagai ketua Shumubu (Kepala
Kantor Urusan Agama).

NU juga memainkan perannya dalam organisasi Masyumi bentukan Jepang. Sebagian besar
tokoh NU dijadikan pengurus, seperti Hasyim Asy’ari yang diangkat sebagai ketua pertama
Masyumi, dan juga Wahab Chasbullah yang diangkat sebagai Penasehat Dewan Pelaksana.
Selain itu puluhan ribu anggota NU juga dilatih secara militer dalam PETA (Pembela Tanah Air).

Tokoh NU juga terlibat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehingga terlibat
langsung dalam perumusan pernyataan kemerdekaan. Kebijakan Jepang tersebut mau tak mau
menarik sejumlah anggota NU ke ranah politik.

3. Mengeluarkan Resolusi Jihad


Kegiatan politik NU semakin kental pada masa kemerdekaan. Hal ini ditunjukkan pada
Muktamar NU di Surabaya tanggal 22 Oktober 1945. Dalam muktamar tersebut, NU
mengeluarkan “Resolusi Jihad” yang menyatakan bahwa perjuangan untuk merdeka adalah
Perang Suci (jihad).

Resolusi ini berarti bahwa penolakan terhadap kembalinya kekuatan kolonial yang mengakui
kekuasaan suatu pemerintah republik baru sesuai dengan Islam. Resolusi jihad ini juga terbukti
dengan penentangan NU terhadap beberapa perjanjian dan konsesi diplomatic yang diadakan
pemerintah seperti Perjanjian Renville (1946), Perjanjian Linggarjati (1948) dan juga Konferensi
Meja Bundar atau KMB (1949).

4. NU dalam Tubuh Masyumi


Pada tanggal 3 November 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat No. X
yang berisi anjuran tentang berdirinya partai-partai politik. Umat Islam dengan
segera menyambut bahagia adanya keputusan tersebut, sehingga tanggal 7
November dibentuklah Masyumi. Sementara NU yang telah berdiri sebelumnya
sebagai jam’iyah kemudian bergabung dengan Masyumi pasca mengadakan
Muktamar NU XVI di Purwokerto tahun 1946.

Bergabungnya NU dalam Masyumi menjadi pengalaman berharga bagi NU. Ia


mulai mengalami liku-liku politik, sesuatu yang baru bagi NU. Menurut NU, politik
dapat dijadikan media untuk memperluas peran ulama.

Tokoh NU, Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Ketua Umum Majelis Syuro (Dewan
Penasehat Keagamaan). Sementara tiga tokoh NU lainnya menduduki jabatan
menteri sebagai wakil Masyumi, yakni Wahid Hasjim, Masjkur, dan K. H.
Fathurrahman Kafrawi. Tokoh lainnya yang juga berkiprah di pemerintahan
adalah Wahab Chasbullah sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung.

Majelis Syuro ini memiliki peran yang sangat penting dalam tubuh Masyumi,
antara lain yang tercantum dalam anggaran rumah tangga di bawah ini:

• Majelis Syuro berhak mengusulkan hal-hal yang bersangkut paut dengan politik
kepada pimpinan partai.

• Dalam soal politik yang bersangkut paut dengan masalah hukum agama, maka
pimpinan partai meminta fatwa dari majelis Syuro.

• Keputusan Majelis Syuro mengenai hukum agama bersifat mengikat pimpinan


partai .

• Jika muktamar/ dewan partai berpendapat lain daripada keputusan Majelis


Syuro, maka pimpinan partai dapat mengirimkan utusan untuk berunding dengan
Majelis Syuro dan hasil perundingan itu merupakan keputusan tertinggi.

5. NU sebagai Partai Politik

Hubungan antara Masyumi dengan NU berubah pada 1952, yang mana NU


memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri.
Keputusan untuk keluar dari Masyumi yang diambil oleh NU ini dibarengi dengan
penyampaian beberapa amanat kepada pengurus, yakni:

• Pelaksanaan keputusan tersebut agar jangan sampai menimbulkan


kegoncangan di kalangan umat Islam,

• Pelaksanaan keputusan tersebut dilakukan dengan perundingan terlebih


dahulu dengan Masyumi, dan

• Keputusan ini dijalankan dalam gubungan yang lebih luas yang berkenan
adanya keinginana untuk membentuk dewan pimpinan umat Islam yang nilainya
lebih tinggi, dimana partai-partai dan organisasi-organisasi Islam baik yang sudah
maupun belum tergabung dalam Masyumi dapat berkumpul dan berjuang
bersama-sama.

Pasca meninggalkan Masyumi dan menjadi sebuah partai politik, NU dihadapkan


pada kekurangan tenaga terampil. Untuk mengatasi hal ini, maka direktrutlah
beberapa tokoh yang dianggap mumpuni seperti H. Jamaluddin Malik, K.H. Idham
Chalid, dan beberapa tokoh lainnya.

Selain itu NU juga mengambil langkah untuk membentuk sebuah fraksi tersendiri
di parlemen. Parlemen tersebut beranggotakan 8 orang anggota NU, yakni: K.H.A.
Wahab Hasbullah, K.H.M. Ilyas, M. Sholeh Suryaningprojo, M. Ali
Prataningkusumo, A.A. Achsin, K.H. Idham Chalid, As. Bamid, Zainul Arifin (yang
kemudian digantikan oleh Saefud din Zuhri).

Selanjutnya NU memainkan peranannya dalam membentuk kabinet. Sebagai


partai politik yang terbilang baru, NU berusaha memperkuat posisi umat Islam di
parlemen dan kabinet.

6. NU Membentuk Liga Muslimin Indonesia

NU menjalin persatuan yang bersifat federatif dengan PSII, Perti dan juga
Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI) dalam wadah yang disebut Liga Muslimin
Indonesia. Liga ini dibentuk tanggal 30 Agustus 1952 dengan tujuan “untuk
mencapai masyarakat islamiyahyang sesuai dengan hukum Allah Swt dan sunnah
Rasul”.

Untuk mencapai tujuan tersebut, ditetapkan pula usaha yang akan dilakukan Liga
Muslimin Indonesia yakni rencana bersama dan menghimpun organisasi Islam
yang ada, memajukan dan mengadakan aksi bersama serta akan mengadakan
kongres Islam Indonesia. namun demikian federasi ini tidak terlalu berpengaruh
sebab, antara partai yang tergabung di dalamnya seringkali berbeda pendapat
dan menjalankan kepentingannya masing-masing.

7. NU dalam Pemilu 1955

Dalam rangka mempersiapkan pemilu tahun 1955, NU mengadakan Muktamar


Alim Ulama se Indonesia pada tanggal 11-15 April 1953 di Medan. Dalam
muktamar tersebut diputuskan wajib hukumnya bagi umat Islam untuk
mengambil bagian dalam pemilu, baik untuk anggota DPR maupun Konstituante.
Pada pemilu 1955, partai NU mendapatkan 6.955.141 suara dan mendapat bagian
45 kursi di parlemen.

Suara besar yang diperoleh NU dalam pemilu ini tidak lain karena basis
pendukung NU yang sangat kuat, terutama di pedesaaan. Selain itu NU juga
mengubah strategi kampanyenya yang awalnya memiliki slogan yang senada
dengan Masyumi, namun pada perkembangannya agak diubah dengan juga
menggandeng PNI. Pasca pemilu, terbentuklah Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Ali –
Roem – Idham), yang mana merupakan gabungan dari ketiga partai yakni
Masyumi (Muhammad Roem), PNI (Ali sastroamidjojo), dan NU (Idham Chalid).

Melalui pemilu 1955, NU berhasil mencapai sasaran yang ditetapkan pada 1952
yakni menggerakkan masyarakat tradisional untuk menyatakan aspirasi sosial dan
keagamaannya sehingga Islam tradisional mampu mendapat tempat di tengah-
tengah kehidupan berbangsa. Partai ini juga berhasil melembagakan peran ulama
dalam sebuah negara melalui keberadaannya dalam parlemen dan
keberhasilannya menguasai Departemen Agama.

8. Menumpas Gerakan PRRI

NU juga mengungkapkan bahwa gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik


Indonesia (PPRI) yang didukung oleh tokoh senior Masyumi harus segera
ditumpas. Menurut NU, gerakan PPRI dianggap telah menyalahi perintah Alquran
untuk mematuhi perintah Allah Swt, Nabi Muhammad saw, dan pemimpin
mereka (Q.S. An-Nisaa’: 59).

9. Menerima UUD 1945 sebagai konstitusi

Majelis konstituante yang berhasil dibentuk dari pemilu tahun 1955 nyatanya
belum mampu menghasilkan konstitusi baru untuk Indonesia. Oleh sebab itu
terjadilah ketegangan antar fraksi di pemerintah. Melihat kondisi demikian, NU
kemudian mengadakan sidang Dewan Partai di Cipanas, Bogor tanggal 26-28
Maret 1958. Pada pertemuan tersebut NU bersepakat untuk menerima UUD 1945
RI sebagai konstitusi dengan pengertian bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD
tersebut.

Keputusan NU ini disampaikan kepada pemerintah, kemudian pemerintah


menyampaikannya kepada Majelis Konstituante pada tanggal 22 April 1959.
Namun sayangnya sebagian besar anggota konstituante tidak hadir dalam sidang
sehingga tidak bisa menghasilkan keputusan.

Akhirnya dalam situasi yang dianggap gawat inilah lahir Dekrit 5 Juli 1959 yang
mana salah satu isinya berbunyi, “Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta 22
Juni 1945 menjiwai UUD 1945 adalah merupakan suatu rangkaian dengan
konstitusi tersebut”.
10. NU menerima Konsep Demokrasi Terpimpin

NU menerima konsep Demokrasi Terpimpin yang diusung oleh Soekarno tidak


lain didasarkan pada pertimbangan fiqhiyah yang artinya “Jika terjadi benturan
antara dua hal yang sama buruk dipertimbangkan yang lebih besar bahayanya dan
melaksanakan yang paling kecil akibat buruknya” selain itu NU juga berpegang
pada dalil yang menyebutkan bahwa jika kemampuan hanya dapat menghasilkan
sebagian, maka yang sebagian itu tidak boleh ditinggalkan, harus tetap
dilaksanakan.

11. NU menuntut pembubaran PKI

Pada tanggal 30 September 1965, keadaan Jakarta sedang genting dengan


adanya gerakan atau pemberontakan terhadap pemerintah RI oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI). Di tengah situasi yang genting ini, NU pada tanggal 2
Oktober 1965 menyatakan kontra terhadap gerakan revolusi yang dilakukan oleh
PKI. Tanggal 5 Oktober, NU beserta ormas-ormas lainnya menuntut adanya
pembubaran PKI dan menyerukan agar umat Islam membantu ABRI dalam
menumpas Gerakan 30 September 1965. Hingga akhirnya pemerintah menyetujui
pelarangan terhadap keberadaan partai komunis di Indonesia.

Kesimpulan

Nahdlatul Ulama mengalami berbagai liku-liku dalam perjalanan panjang


sejarahnya. Peran dan perjuangan NU sebagai organisasi keagamaan dan partai
politik memang sangat signifikan. Sejak masa pendiriannya, NU telah
menunjukkan kiprahnya agar terwujud masyarakat Indonesia yang lebih
berkembang.
NU selalu mengambil peran dalam setiap periode sejarah di Indonesia mulai dari
masa perjuangan menuju kemerdekaan, pada masa kemerdekaan, orde lama,
orde baru, dan bahkan hingga saat ini. Pengaruhnya pun sangat luas dan berhasil
menciptakan gagasan-gagasan yang kelak menjadi dasar bagi perjalanan NU di
masa yang akan datang.

Daftar Pustaka

Amin, M. Masyhur. 1996. NU & Ijtihad Politik Kenegaraannya. Yogyakarta: Al-


Amin Press.

Fealy, Greg. 1998 Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKiS.

Haidar, M. Ali. 1998. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih
dalam Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sitompul, Einar M. 1989. Nahdlatul Ulama dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Thanks to Surti Nurpitasari

Anda mungkin juga menyukai