MAKALAH
Disusun Oleh :
Dan pada masa itu NU juga menuai sejarah dalam memperjuangkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai berikut :
Dalam perjalanannya, NU memainkan peranan yang cukup besar bagi bangsa Indonesia. Pada
masa-masa awal setelah didirikan saja, NU sudah melakukan berbagai upaya untuk memajukan
masyarakat Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memajukan bidang pendidikan
dengan mendirikan banyak madrasah dan pesantren.
Metode pengajaran dan kurikulum yang digunakan sebagian besar merupakan perpaduan dari
pengetahuan agama dan pengetahuan umum. NU juga mendirikan Lembaga Ma’arif pada
tahun 1938 guna mengkoordinasi kerjasama dalam kegiatan pendidikan.
NU juga memainkan perannya dalam organisasi Masyumi bentukan Jepang. Sebagian besar
tokoh NU dijadikan pengurus, seperti Hasyim Asy’ari yang diangkat sebagai ketua pertama
Masyumi, dan juga Wahab Chasbullah yang diangkat sebagai Penasehat Dewan Pelaksana.
Selain itu puluhan ribu anggota NU juga dilatih secara militer dalam PETA (Pembela Tanah Air).
Tokoh NU juga terlibat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehingga terlibat
langsung dalam perumusan pernyataan kemerdekaan. Kebijakan Jepang tersebut mau tak mau
menarik sejumlah anggota NU ke ranah politik.
Resolusi ini berarti bahwa penolakan terhadap kembalinya kekuatan kolonial yang mengakui
kekuasaan suatu pemerintah republik baru sesuai dengan Islam. Resolusi jihad ini juga terbukti
dengan penentangan NU terhadap beberapa perjanjian dan konsesi diplomatic yang diadakan
pemerintah seperti Perjanjian Renville (1946), Perjanjian Linggarjati (1948) dan juga Konferensi
Meja Bundar atau KMB (1949).
Tokoh NU, Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Ketua Umum Majelis Syuro (Dewan
Penasehat Keagamaan). Sementara tiga tokoh NU lainnya menduduki jabatan
menteri sebagai wakil Masyumi, yakni Wahid Hasjim, Masjkur, dan K. H.
Fathurrahman Kafrawi. Tokoh lainnya yang juga berkiprah di pemerintahan
adalah Wahab Chasbullah sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Majelis Syuro ini memiliki peran yang sangat penting dalam tubuh Masyumi,
antara lain yang tercantum dalam anggaran rumah tangga di bawah ini:
• Majelis Syuro berhak mengusulkan hal-hal yang bersangkut paut dengan politik
kepada pimpinan partai.
• Dalam soal politik yang bersangkut paut dengan masalah hukum agama, maka
pimpinan partai meminta fatwa dari majelis Syuro.
• Keputusan ini dijalankan dalam gubungan yang lebih luas yang berkenan
adanya keinginana untuk membentuk dewan pimpinan umat Islam yang nilainya
lebih tinggi, dimana partai-partai dan organisasi-organisasi Islam baik yang sudah
maupun belum tergabung dalam Masyumi dapat berkumpul dan berjuang
bersama-sama.
Selain itu NU juga mengambil langkah untuk membentuk sebuah fraksi tersendiri
di parlemen. Parlemen tersebut beranggotakan 8 orang anggota NU, yakni: K.H.A.
Wahab Hasbullah, K.H.M. Ilyas, M. Sholeh Suryaningprojo, M. Ali
Prataningkusumo, A.A. Achsin, K.H. Idham Chalid, As. Bamid, Zainul Arifin (yang
kemudian digantikan oleh Saefud din Zuhri).
NU menjalin persatuan yang bersifat federatif dengan PSII, Perti dan juga
Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI) dalam wadah yang disebut Liga Muslimin
Indonesia. Liga ini dibentuk tanggal 30 Agustus 1952 dengan tujuan “untuk
mencapai masyarakat islamiyahyang sesuai dengan hukum Allah Swt dan sunnah
Rasul”.
Untuk mencapai tujuan tersebut, ditetapkan pula usaha yang akan dilakukan Liga
Muslimin Indonesia yakni rencana bersama dan menghimpun organisasi Islam
yang ada, memajukan dan mengadakan aksi bersama serta akan mengadakan
kongres Islam Indonesia. namun demikian federasi ini tidak terlalu berpengaruh
sebab, antara partai yang tergabung di dalamnya seringkali berbeda pendapat
dan menjalankan kepentingannya masing-masing.
Suara besar yang diperoleh NU dalam pemilu ini tidak lain karena basis
pendukung NU yang sangat kuat, terutama di pedesaaan. Selain itu NU juga
mengubah strategi kampanyenya yang awalnya memiliki slogan yang senada
dengan Masyumi, namun pada perkembangannya agak diubah dengan juga
menggandeng PNI. Pasca pemilu, terbentuklah Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Ali –
Roem – Idham), yang mana merupakan gabungan dari ketiga partai yakni
Masyumi (Muhammad Roem), PNI (Ali sastroamidjojo), dan NU (Idham Chalid).
Melalui pemilu 1955, NU berhasil mencapai sasaran yang ditetapkan pada 1952
yakni menggerakkan masyarakat tradisional untuk menyatakan aspirasi sosial dan
keagamaannya sehingga Islam tradisional mampu mendapat tempat di tengah-
tengah kehidupan berbangsa. Partai ini juga berhasil melembagakan peran ulama
dalam sebuah negara melalui keberadaannya dalam parlemen dan
keberhasilannya menguasai Departemen Agama.
Majelis konstituante yang berhasil dibentuk dari pemilu tahun 1955 nyatanya
belum mampu menghasilkan konstitusi baru untuk Indonesia. Oleh sebab itu
terjadilah ketegangan antar fraksi di pemerintah. Melihat kondisi demikian, NU
kemudian mengadakan sidang Dewan Partai di Cipanas, Bogor tanggal 26-28
Maret 1958. Pada pertemuan tersebut NU bersepakat untuk menerima UUD 1945
RI sebagai konstitusi dengan pengertian bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD
tersebut.
Akhirnya dalam situasi yang dianggap gawat inilah lahir Dekrit 5 Juli 1959 yang
mana salah satu isinya berbunyi, “Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta 22
Juni 1945 menjiwai UUD 1945 adalah merupakan suatu rangkaian dengan
konstitusi tersebut”.
10. NU menerima Konsep Demokrasi Terpimpin
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Fealy, Greg. 1998 Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LKiS.
Haidar, M. Ali. 1998. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih
dalam Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sitompul, Einar M. 1989. Nahdlatul Ulama dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.