Anda di halaman 1dari 4

Nahdhatul Ulama merupakan salah satu organisasi Islam yang terbesar di Indonesia.

Nahdhatul Ulama merupakan organisasi Islam yang berdiri sebagai reaksi terhadap gerakan
Islam reformis di Indonesia. Nahdhatul Ulama berdiri pada bulan Rajab 1344 bertepatan
dengan tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya, Jawa Timur atas prakarsa KH. Hasyim Asy’ari
dan KH. Wahab Hasbullah. Nahdhatul Ulama terus terlibat pada pemerintahan Indonesia
khususnya dalam bidang perpolitikan. Cukup banyak hal-hal yang dialami oleh Nahdhatul
Ulama sejak awal pendiriannya tahun 1926. Dalam Mukaddimah Khittah Nahdhatul Ulama,
tujuan didirikannya Nahdhatul Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyah (organisasi keagamaan)
merupakan wadah para Ulama beserta pengikutnya dengan tujuan memelihara, melestarikan,
dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Di samping itu,
Nahdhatul Ulama juga bertujuan menciptakan kemaslahatan masyarakat, memajukan bangsa,
serta mempertinggi harkat dan martabat manusia.1

Pemilihan umum pada masa Orde baru yang pertama, dilaksanakan pada tahun 1971.
Di antara partai-partai yang diakui, Nahdhatul Ulama memperlihatkan dirinya sebagai partai
yang bersikap paling kritis, Nahdhatul Ulama dengan tegas menyatakan sikap untuk tetap
bersaing dengan Golkar sebagai salah satu partai yang terkuat pada masa Orde Baru. Tahun
1973 yang diamanatkan dalam UU No. 3 tahun 1973, Presiden Soeharto melakukan
pengelompokan partai-partai politik dan berusaha menghindarkan multi partai dengan tiga
jenis pengelompokan, yaitu nasional, spiritual, dan karya. Kelompok karya adalah mereka
yang ada di Golkar. Kelompok nasional menghimpun PDI, Murba, IPKI, PNI (termasuk
Parkindo dan Partai Katolik), sementara kelompok spiritual menghimpun partai Nahdhatul
Ulama, Parmusi, PSII, dan Perti, yang selanjutnya berfusi dalam satu partai yaitu PPP (Partai
Persatuan Pembangunan).2

Perundingan ke empat partai Islam, yaitu Nahdhatul Ulama, Parmusi, PSII, dan Perti
mencapai sepakat untuk melakukan fusi ke-empat partai tersebut dalam suatu deklarasi
tanggal 5 Januari 1973. Deklarasi itu ditandatangani lima orang, yaitu Dr. Idham Khalid
(Nahdhatul Ulama), H. Muhammad Syafaat Mintarejda, SH (Parmusi), H. Anwar
Tjokroaminoto (PSII), Rusli Halil (Perti), KH. Masykur (Nahdhatul Ulama). Dinyatakan
dalam deklarasi tersebut bahwa ke-empat partai Islam ini sudah bergabung dalam satu
konfederasi kelompok Persatuan Pembangunan. Dengan berkomitmen memfusikan
politiknya dalam satu partai yang bernama Partai Persatuan Pembangunan. Segala kegiatan
1
Ahmad Shiddiq,Khittah Nahdhiyyah, (Surabaya: Khalista, 2005).p. 3-4
2
Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa 1914-2010; Pergulatan Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Ar-Ruz Media,
2010), cet-1, p. 221.
nonpolitik dikerjakan oleh organisasi masing-masing. Menurut Nahdhatul Ulama, peleburan
diri dalam Partai Persatuan Pembangunan itu seperti kembali pada saat Nahdhatul Ulama
menjadi bagian dari Masyumi. Dapat diperkirakan bahwa sebagian problem dan konflik lama
muncul kembali ke permukaan, kecuali seandainya ketimpangan antara kekuatan massa
pendukung yang besar dan jumlah politisi yang berkeahlian dapat diatasi dengan baik. Posisi
Nahdhatul Ulama pada saat awal berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan lebih baik,
karena Nahdhatul Ulama merupakan kelompok yang dominan di dalam Partai Persatuan
Pembangunan. Sehingga kebijakan-kebijakan di Partai Persatuan Pembangunan banyak
dipengaruhi oleh Nahdhatul Ulama.3

PERAN

KH. Muhammad Shiddiq dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan


Republik Indonesia tahun 1945 juga tak bisa dinafikan, KH. Muhammad Shiddiq awal
mendapatkan jabatannya sebagai Badan Eksekutif Pemerintah Jember, bersama A. Latif Pane
(PNI), P. Siahan (PBI), dan Nazaruddin Lathif (Masyumi), pada saat itu, Bupati dijabat oleh
Soedarman, patihnya R. Soenarto, dan Noto Hadinegoro sebagai sekertaris Bupati. KH.
Muhammad Shiddiq juga berjuang bersama Laskar Mujahidin/PPPR (Pusat Pimpinan
Perjuangan Rakyat) pada tahun 1947. Pada saat itu Belanda melakukan agresi militer yang
pertama. Belanda merasa kesulitan dalam menangani Laskar Mujahidin/ PPPR (Pusat
Pimpinan Perjuangan Rakyat) karena banyak anggotanya dari kalangan Kiyai (ulama). Agresi
tersebut kemudian menimbulkan kecaman Internasional terhadap Belanda sehingga
muncullah Perundingan Renville. Para pejuang dari daerah Jember harus hijrah ke Tulung
Agung. Di Tulung Agung, KH. Shiddiq turut memfasilitasi keperluan para pejuang yang
mengungsi tersebut.4

Pengabdian KH. Muhammad Shiddiq di Pemerintahan berawal dari posisi sebagai


Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Situbondo, Jawa Timur pada tahun 1955. Pada tahun
1955, Departemen Agama dipegang oleh tokoh-tokoh Nahdhatul Ulama yaitu Menteri Agama
KH. Ahmad Wahid Hasyim (Nahdhatul Ulama). Kemudian dalam waktu yang cukup singkat
meningkat menjadi Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Jawa Timur sampai tahun
1971. Pada tahun 1955-1957 dan 1971 KH. Muhammad Shiddiq menjadi anggota DPR RI.
Karir KH. Muhammad Shiddiq pada lingkungan Nahdhatul Ulama, dimulai dari Jember.
3
M. Ali Haidar, Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam Politik, (Jakarta:PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1998), cet-2, p. 201.
4
Ensiklopedia Pemuka Agama Nusantara, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khasanah Keagamaan badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama, 2016), p. 737.
Tidak lama setelah itu, KH. Muhammad Shiddiq aktif di Nahdhatul Ulama tingkat wilayah
Jawa Timur, hingga terpilih ketua umum tingkat wilayah Pada tahun 1945. Karirnya terus
berkembang hingga pada Muktamar Nahdhatul Ulama ke-27 tahun 1984 di Situbondo Jawa
Timur yang mengantarkannya ke kursi Ra’is ‘Am PBNU periode 1984-1989. Terangkatnya
KH. Muhammad Shiddiq sebagai Ra’is ‘Am PBNU waktu itu bukan tanpa alasan. KH
Muhammad Shiddiq sudah lama dilirik oleh para tokoh Nahdhatul Ulama, dikarenakan
kepiawaian, kepandaian, dan kecerdasannya.5

KH. Muhammad Shiddiq sering melontarkan kritikan terhadap politik Nahdhatul Ulama.
Menurut KH. Muhammad Shiddiq mulai ditinggalkannya peran Kiyai/Ulama dalam kiprah
politik Nahdhatul Ulama. Dikarenakan banyaknya pemimpin Nahdhatul Ulama menyebar
diberbagai partai politik, sehingga sering terjadi gesekangesekan kepentingan. Padahal posisi
Kiyai/Ulama dalam Nahdhatul Ulama sangat sentral. Secara lebih sistematis KH. Muhammad
Shiddiq melihat masalah yang dihadapi Nahdhatul Ulama saat itu adalah sebagai berikut:

1. Semakin jauhnya jarak waktu antara generasi pendiri dengan generasi penerus.
2. Semakin luasnya medan perjuangan dan banyaknya jumlah dan macam bidang yang
ditangani.
3. Semakin banyaknya jumlah dan macam ragam mereka yang menggabungkan diri dengan
Nahdhatul Ulama, dengan latar belakang pendidikan dan subkultural yang berbeda.
4. Semakin berkurangnya peranan dan jumlah ulama generasi pendiri dan pimpinan
Nahdhatul Ulama.6

Kelompok Situbondo yang diketuai oleh Kiyai senior KH. As’ad Syamsul Arifin setelah
mendapatkan keabsahan dari pemerintah, melalui izin dari Presiden Soeharto, akhirnya
berhasil mengadakan Musyawarah Alim Ulama pada tahun 1983. Kelompok Situbondo
menguasai secara efektif Syuriyah, institusi yang menunjuk Abdurrahman Wahid sebagai
ketua panitia persiapan Musyawarah Nasional. Musyawarah Nasional ini dihadiri oleh
berbagai ulama yang sebagian besar adalah pengasuh pondok pesantren. Forum ini
merupakan wadah musyawarah antar ulama yang dimaksudkan untuk menghimpun
rekomendasi yang akan diajukan ke Muktamar. Musyawarah Nasional Alim Ulama sendiri
kedudukannya tidak mempunyai otoritas untuk mengubah anggaran dasar, mengubah

5
Syamsun Ni’am, The Wisdom Of KH. Muhammad Shiddiq, (Jakarta: Erlangga, 2008), p. 23.
6
Muhammad Shiddiq, Khittah Nahdhiyyah, (Surabaya: Khalista, 2006), p. 7.
Nahdhatul Ulama, keputusan-keputusan muktamar, ataupun komposisi kepengurusan pusat.
Meski begitu munas sendiri mempunyai kekuatan moral tersendiri.7

Musyawarah Nasional Alim Ulama tahun 1983 diadakan di Pondok Pesantren


Salifiyah Syafiiyah, Asembagus Situbondo, Jawa Timur (Pesantren yang diasuh oleh KH.
As'ad Syamsul Arifin) mulai 18 sampai 21 Desember 1983/13-16 Rabi'ul Awwal 1404 H. Di
antara beberapa keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdhatul Ulama, ada tiga
keputusan penting, yaitu: Pemulihan Khittah Nahdhatul Ulama 1926, deklarasi hubungan
Pancasila dan Islam serta rekomendasi larangan perangkapan jabatan pengurus Nahdhatul
Ulama dengan jabatan pengurus organisasi politik. Keputusan ini tidak saja menegaskan
kembali kekuasaan ulama dalam organisasi tersebut, tetapi juga memperlancar jalan menuju
penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi, sehingga dua hal tersebut merupakan jalinan
yang tidak terpisahkan dan mempercepat proses transformasi yang dimulai sejak
Musyawarah Nasional Alim Ulama tahun 1983.

Musyawarah Nasional Alim Ulama Situbondo ini menandai munculnya duet


kepemimpinan KH. Muhammad Shiddiq dan KH. Abdurrahman Wahid. Dengan dukungan
yang kuat dari para ulama senior Nahdhatul Ulama (KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Machrus
Ali, KH. Ali Ma’shum, dan KH. Masykur) KH. Muhammad Shiddiq yang fasih berbicara
merupakan sosok yang bisa menyakinkan para peserta Musyawarah Nasional Alim Ulama
untuk menerima secara formal keputusankeputusan dalam Musyawarah Nasioanal tersebut.
Sementara itu Abdurrahman Wahid sebagai ketua panitia persiapan sangat aktif mengajak
(melalui serangkaian konsultasi yang hati-hati dengan pejabat pemerintah senior) untuk
memformulasi kerangka kerja yang bisa disetujui dan saling menguntungkan. KH.
Abdurrahman Wahid juga berperan cukup besar dalam pengarahan diskusi dalam sidang-
sidang Musyawarah Nasional untuk menerima resolusi yang dirumuskan oleh KH.
Muhammad Shiddiq. Melalui Musyawarah Nasional ini kiprah duet Muhammad Shiddiq dan
Abdurrahman Wahid diakui secara luas dan semakin memantapkan posisi kepemimpinan
mereka dalam Muktamar Nahdhatul Ulama tahun 1984.8

7
Greg fealy dan Greg Barton, Tardisionalisme Radikal; Persinggungan Nahdhatul Ulama dan Negara,
(Yogyakarta: LkiS, 2010), p. 126.
8
Syarif Hidayatullah, Ahlussunnah Wal Jamaah dan Ke-NU-an, (Serang: LP Maarif NU Banten, 2011), p. 38.

Anda mungkin juga menyukai