Muhammadiyah merupakan sebuah ormas besar kedua setelah Nahdhatul
Ulama. Ormas ini mempunyai pengaruh besar dalam perumusan pancasila banyak tokoh yang lahir dari Muhammadiyah yang ikut serta dalam perumusan dasar negara yaitu Pancasila seperti Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH. Kahar Muzakir. Lebih lanjut dipaparkan, bangsa Indonesia dari 22 Juni 1945 hingga 17 Agustus 1945 memiliki ideologi Pancasila seperti yang tertuang dalam Piagam Jakarta. Muhammadiyah dan Pancasila tidak bisa dipisahkan. Masing-masing dihubungkan oleh berbagai peristiwa penting hingga menjelang detik-detik sidang terakhir PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945. Momen bersejarah bagi Indonesia, sebab berkaitan langsung dengan perumusan UUD 1945, struktur pemerintahan dan konsolidasi nasional pertama. Peran Muhammadiyah selama era ini tidak pelak lagi diperantarai oleh Ketua Umum PB Muhammadiyah, yakni Ki Bagus Hadikusuma dan seorang kader Muhammadiyah bernama Kasman Singodimejo. Selain itu, Bung Karno atau Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, dan Prof. Abdul Kahar Muzakkir, serta Sukiman Wiryosanjoyo merupakan anggota Muhammadiyah. Peran Ki Bagus Hadikusuma selama masa penyesuaian ulang Piagam Jakarta menjadi Pancasila sangat besar. Pada 18 Agustus 1945, ada tokoh dari Indonesia timur yang keberatan dengan tujuh kata dalam Sila I Pancasila. Mereka lewat Wakil Presiden Mohammad Hatta melobby agar tujuh kata dalam Sila I dihilangkan. Keberatan itu akhirnya diterima oleh Panitia 9 dari kalangan ummat Islam. sebagian dari tokoh-tokoh Muhammadiyah ikut menyelesaikan masalah dari sesuatu yang sudah disepakati. Dari sejarah yang ada, mendahulukan kepentingan bangsa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah. Muhammadiyah itu merupakan organisasi keagamaan, memilki pengalaman dan kontribusi dalam dinamika penerimaan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Muhammadiyah telah mengalami masa-masa “ketegangan”, di mana muncul perdebatan yang sangat sengit di internal organisasi tentang penerimaan Pancasila, maupun secara eksternal dalam hubungannya dengan negara. Jika dilacak ke belakang, maka dapat diamati peran dan kontribusi Muhammadiyah dalam proses perumusan awal Pancasila. Ternyata peran penting itu dilakukan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah dalam BPUPKI: Ki Bagus Hadikusumo (Ketua PP Muhammadiyah 1942-1953), KH. Abdul Kahar Muzakkir, Dr. Sukirman Wirosandjojo, Mr. Kasman Singodimedjo. Bahkan menurut beberapa sumber sejarah, meskipun Ki Bagus Hadikusumo pada mulanya menolak penghapusan 7 (tujuh) kata sila I, pada akhirnya ia setuju dengan sila “Ketuhan Yang Maha Esa”, setelah dilobi oleh beberapa tokoh, seperti Teuku Muhammad Hassan, KH Wahid Hasyim, dan Kasman Singodimedjo. Itulah sebabnya, hingga sekarang, Muhammadiyah tidak lagi mempermasalahkan hubungan Pancasila sebagai dasar negara dengan agama (Islam). Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah bahkan baru-baru ini mengemukakan bahwa “NKRI itu kan sudah lama bersyariah”, sebagaimana dikutip banyak media, baik online maupun cetak. Pernyataan Haedar Nashir selaku ketua Umum PP Muhammadiyah ini sebagai respons terhadap wacana hasil kelompok yang menamakan diri Ijtimak Ulama IV yang merekomendasikan NKRI bersyariah, menempatkan ayat suci di atas ayat konstitusi. Ketika pemerintah orde baru memaksakan asas tunggal Pancasila ke organisasi massa dan organisasi politik, Muhammadiyah perlu waktu agak lama untuk menerimanya. Tanda-tanda menerima asas tunggal ini, secara terbuka mulai tampak pada hari kedua Muktamar, 8 Desember 1985. Di pendapa Mangkunegaran Solo waktu itu, dengan gaya kocak dan disambut penuh gelak tawa, Haji AR Fajhruddin, Ketua PP Muhammadiyah waktu itu, menyebutkan asas Pancasila itu diterima “dengan ikhtiar”. Mengapa demikian? ”Supaya yang dimaksudkan pemerintah itu berhasil, tapi tidak melanggar agama. Kami para pemimpin, tetap bertekad menegakkan kalimah Allah di Indonesia ini. Tidak merusak peraturan-peraturan di Indonesia, tapi tidak menjual iman, tidak menjual agama”, kata AR Fajhruddin. Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara resmi mulai membahas asas Pancasila ini dalam sidang Tanwir akhir Mei 1983. Kesimpulannya, Muhammadiyah lahir karena Islam, tanpa asas Islam tentu bukan Muhammadiyah lagi. Pancasila, bagi Muhammadiyah, bukan persoalan. Pada 2012 Tanwir diselenggarakan di Bandung dan 2014 di Samarinda, memilih tema materi ”Negara Pancasila sebagai Darul ‘Ahdi wa Syahaadah” yang artinya negara Pancasila sebagai konsensus nasional (dar al -ahdi), dan tempat kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al- salam) menuju kehidupan yang maju berdaulat dalam naungan Ridha Allah SWT. Pemikiran tentang negara Pancasila itu dimaksudkan untuk menjadi rujukan dan orientasi pemikiran serta tindakan bagi seluruh anggota Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara kontekstual berdasarkan pandangan Islam berkemajuan yang selama ini menjadi perspektif Muhammadiyah. Disimpulkan, bahwa “Pancasila merupakan rahmat Allah untuk bangsa Indonesia sebagai dasar untuk memajukan dan membangun Indonesia yang merdeka dan berkemajuan. Pancasila bukan agama, tetapi substansinya mengandung dan sejalan dengan nilai-nilai Islam”. ”Pancasila itu ibarat helm, agar selamat maka dipakai ketika berkendara,” ujar pak AR Fakhruddin, ketika menerima sebagai asas ormas waktu itu. Umat Islam termasuk di dalamnya Muhammadiyah berkomitmen menjadikan Negara Pancasila sebagai dar al-syahadah atau negara tempat bersaksi dan membuktikan diri dalam mengisi dan membangun kehidupan kebangasaan di segala bidang kehidupan, siap bersaing (fastabiq al khairaat) memajukan kehidupan bangsa yang kreatif dan inovatif. Bahwa jargon Pancasila sebagai daar al ‘ahdi wal syahadah bukan lagi mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara atau mempersandingkannya dengan dokumen Madinah, tetapi bagaimana Muhammadiyah berkomitmen membangun negara Pancasila dengan pandangan Islam yang berkemajuan. Inilah pengalaman inspiratif Muhammadiyah yang mestinya menjadi perhatian dan internalisasi terhadap diri setiap insan di masa sekarang dan yang akan datang. Setelah membaca pernyataan pers PP Muhammadiyah tentang RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), saya kembali membuka buku karangan Haedar Nashir: Memahami Ideologi Muhammadiyah . Saya mencoba untuk mencari keselarasan antara pernyataan pers PP Muhammadiyah dengan ideologi persyarikatan. Adakah yang saling tumpang tindih atau justru saling menguatkan? Dalam bukunya tersebut terutama pada Bab I, Haedar menyadari bahwa Muhammadiyah saat ini berada dalam pusaran berbagai ideologi dan proses perubahan demografi besar-besaran. Dalam konteks Indonesia, terutama sejak terbukanya pintu reformasi, berbagai ideologi bermunculan. Artinya, Muhammadiyah tidak mengabaikan fakta bahwa begitu banyak arus ideologi yang masuk ke Indonesia. Bagaimana sikap Muhammadiyah terhadap kemunculan berbagai ideologi tersebut? Menurut Haedar, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam mengemban misi dakwah dengan bi al-hikmah (bijaksana), wa al-mauidhat al-hanasah (pendidikan yang baik), wa jadilhum bi-llati hiya ahsan (dialog terbaik). Pikiran yang lahir dengan mengutip QS. Al-Nahl ayat 25 tersebut merupakan berbagai cara Muhammadiyah dalam merespon kemunculan ideologi. Kalau kita membaca secara saksama poin-poin pernyataan pers PP Muhammadiyah tentang RUU HIP, kebijaksaan begitu tergambar jelas. Muhammadiyah memandang bahwa RUU HIP alih-alih sesuai dengan semangat kebangsaan justru menurunkan derajat Pancasila itu sendiri. Selain itu, Muhammadiyah berusaha membendung konflik horizontal di tengah masyarakat yang akan berakibat pada kontra produktif kalau seandainya RUU HIP tetap dipaksa untuk disahkan menjadi UU. Protes yang ditunjukkan Muhammadiyah pada RUU HIP bukan sikap sebagai pembangkangan terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara. Kalau sekiranya ada netizen yang meragukan kecintaan Muhammadiyah pada NKRI berarti orang tersebut merupakan contoh paling aktual manusia yang benar-benar kurang piknik. Kepedulian Muhammadiyah pada bangsa dan negara tidak hanya pada kerja-kerja sosial tetapi juga pada kritik yang membangun. Munir Mulkhan dalam bukunya menyebutkan bahwa Muhammadiyah memiliki konsistensi yang sangat tinggi dalam penerimaan dan pengakuan Pancasila. Ditunjukkan dengan sikap dan pandangan para tokoh Muhammadiyah sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia yang terlibat langsung dalam perumusan Pancasila (UUD 1945), di antaranya: Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singadimedja, dan Kahar Muzakkir. Komitmen Muhammadiyah terhadap Pancasila secara disusun dan dibahas dalam Muktamar Muhammadiyah 47 di Makasar 2015 yang lalu. Keputusan Muktamar yang tertuang dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 tersebut menyebutkan secara jelas bahwa Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah . Konsep Darul Ahdi Wa Syahadah ini benar-benar komitmen keislaman dan keindonesiaan yang diimplementasikan Muhammadiyah. Pancasila sebagai Darul Ahdi berarti negeri yang bersepakat pada kemasalahatan. Artinya Darul Ahdi juga dapat dimaknai sebagai Darussalam yang berarti negeri yang penuh dengan kedamaian. Sedangkan Pancasila sebagai Wa Syahadah berarti negeri yang memberikan kesaksian dan pembuktian bahwa umat harus berperan aktif dalam pemahaman, penghayatan, dan laku hidup sehari-hari. Dalam arti luas, Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah bahwa setiap kelompok harus berlomba-lomba meraih kemajuan dan keunggulan berdasarkan etika sportifitas. Menurut Hasnan Bachtiar, pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah memiliki tujuan untuk memberikan baru bagi para aktivis, kader, dan simpatisan Muhammadiyah mengenai hubungan negara dan persyarikatan. Selain itu, kata Hasnan, sebagai fondasi pertahanan ideologis, alat harmonisasi politik, dan manifestasi intelektual dan politik yang menekankan pentingnya kebangsaan nasionalisme. Sedangkan Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyatakan bahwa Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah, berangkat dari tiga latar belakang utama: 1. Adanya golongan terutama masyarakat muslim yang masih mempersoalkan relasi antara Islam dengan negara yang berdasarkan Pancasila. 2. kenyataan kenyataan bahwa sebagai bangsa ini secara ideologis belum merumuskan dengan sangat eksplisit dan membuat satu penjelasan mengenai negara Pancasila itu. 3. ancaman dari kelompok Islam yang ditempatkan sebagai ancaman terhadap negara Pancasila. Dengan adanya konsep Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah, Muhammadiyah telah berhasil menemukan titik temu antara keislaman dan kehidupan berbangsa. Muhammadiyah sadar, jika agama Islam harus menjadi ruh spiritual dalam kehidupan bernegara. Namun juga tidak menafikkan jika dalam berbangsa Indonesia juga mendapatkan sebuah fakta "Bhineka Tunggal Ika". Sekali lagi, dengan memahami pemahaman Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah , Muhammadiyah telah berhasil membangun watak anak bangsa sebagai seorang muslim sekaligus sebagai penduduk tanah air. Dengan demikian, salah satu poin dalam pernyataan pers PP Muhammadiyah tentang RUU HIP menyebutkan bahwa kemungkinan dan polemik ideologis dalam sejarah perumusan Pancasila harus diakhiri karena telah mencapai kesepakatan luhur, arif dan bijaksana dari para pendiri bangsa. Ketika para founder bangsa telah “Darul Ahdi”, telah bersepakat, kita sebagai penerus perjuangan mereka jangan sampai menjadikan Indonesia sebagai “Darul Harb”, negeri yang penuh dengan konflik. Dari kesemua yang telah saya paparkan diatas, menunjukkan bahwa Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang selalu menjunjung tinggi nilai nilai pancasila senantiasa menjaga dan mempertahankan ideologi pancasila dari rong- rongan pihak-pihak yang mau merubah, mengganti bahkan menghapus pancasila. Rekam jejak sejarah menjadi bukti nyata kesetiaan muhammadiyah menjaga kedaulatan NKRI dan Garuda Pancasila, baik secara diplomasi, pemikiran atau bahkan tetesan darah.