Anda di halaman 1dari 5

PERAN MUHAMMADIYAH DALAM MEMBANGUN PANCASILA

Oleh : AFRIZA AFKAR


2000028014

Muhammadiyah merupakan sebuah ormas besar kedua setelah Nahdhatul


Ulama. Ormas ini mempunyai pengaruh besar dalam perumusan pancasila banyak
tokoh yang lahir dari Muhammadiyah yang ikut serta dalam perumusan dasar
negara yaitu Pancasila seperti Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo, dan
KH. Kahar Muzakir. Lebih lanjut dipaparkan, bangsa Indonesia dari 22 Juni 1945
hingga 17 Agustus 1945 memiliki ideologi Pancasila seperti yang tertuang dalam
Piagam Jakarta.
Muhammadiyah dan Pancasila tidak bisa dipisahkan. Masing-masing
dihubungkan oleh berbagai peristiwa penting hingga menjelang detik-detik sidang
terakhir PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18
Agustus 1945. Momen bersejarah bagi Indonesia, sebab berkaitan langsung
dengan perumusan UUD 1945, struktur pemerintahan dan konsolidasi nasional
pertama. Peran Muhammadiyah selama era ini tidak pelak lagi diperantarai oleh
Ketua Umum PB Muhammadiyah, yakni Ki Bagus Hadikusuma dan seorang
kader Muhammadiyah bernama Kasman Singodimejo. Selain itu, Bung Karno
atau Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, dan Prof. Abdul Kahar
Muzakkir, serta Sukiman Wiryosanjoyo merupakan anggota Muhammadiyah.
Peran Ki Bagus Hadikusuma selama masa penyesuaian ulang Piagam Jakarta
menjadi Pancasila sangat besar.
Pada 18 Agustus 1945, ada tokoh dari Indonesia timur yang keberatan
dengan tujuh kata dalam Sila I Pancasila. Mereka lewat Wakil Presiden
Mohammad Hatta melobby agar tujuh kata dalam Sila I dihilangkan. Keberatan
itu akhirnya diterima oleh Panitia 9 dari kalangan ummat Islam. sebagian dari
tokoh-tokoh Muhammadiyah ikut menyelesaikan masalah dari sesuatu yang sudah
disepakati. Dari sejarah yang ada, mendahulukan kepentingan bangsa yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah.
Muhammadiyah itu merupakan organisasi keagamaan, memilki
pengalaman dan kontribusi dalam dinamika penerimaan Pancasila sebagai
ideologi bangsa Indonesia. Muhammadiyah telah mengalami masa-masa
“ketegangan”, di mana muncul perdebatan yang sangat sengit di internal
organisasi tentang penerimaan Pancasila, maupun secara eksternal dalam
hubungannya dengan negara.
Jika dilacak ke belakang, maka dapat diamati peran dan kontribusi
Muhammadiyah dalam proses perumusan awal Pancasila. Ternyata peran penting
itu dilakukan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah dalam BPUPKI: Ki Bagus
Hadikusumo (Ketua PP Muhammadiyah 1942-1953), KH. Abdul Kahar
Muzakkir, Dr. Sukirman Wirosandjojo, Mr. Kasman Singodimedjo. Bahkan
menurut beberapa sumber sejarah, meskipun Ki Bagus Hadikusumo pada mulanya
menolak penghapusan 7 (tujuh) kata sila I, pada akhirnya ia setuju dengan sila
“Ketuhan Yang Maha Esa”, setelah dilobi oleh beberapa tokoh, seperti Teuku
Muhammad Hassan, KH Wahid Hasyim, dan Kasman Singodimedjo.
Itulah sebabnya, hingga sekarang, Muhammadiyah tidak lagi
mempermasalahkan hubungan Pancasila sebagai dasar negara dengan agama
(Islam). Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah bahkan baru-baru ini
mengemukakan bahwa “NKRI itu kan sudah lama bersyariah”, sebagaimana
dikutip banyak media, baik online maupun cetak. Pernyataan Haedar Nashir
selaku ketua Umum PP Muhammadiyah ini sebagai respons terhadap wacana
hasil kelompok yang menamakan diri Ijtimak Ulama IV yang merekomendasikan
NKRI bersyariah, menempatkan ayat suci di atas ayat konstitusi.
Ketika pemerintah orde baru memaksakan asas tunggal Pancasila ke
organisasi massa dan organisasi politik, Muhammadiyah perlu waktu agak lama
untuk menerimanya. Tanda-tanda menerima asas tunggal ini, secara terbuka mulai
tampak pada hari kedua Muktamar, 8 Desember 1985.
Di pendapa Mangkunegaran Solo waktu itu, dengan gaya kocak dan
disambut penuh gelak tawa, Haji AR Fajhruddin, Ketua PP Muhammadiyah
waktu itu, menyebutkan asas Pancasila itu diterima “dengan ikhtiar”. Mengapa
demikian? ”Supaya yang dimaksudkan pemerintah itu berhasil, tapi tidak
melanggar agama. Kami para pemimpin, tetap bertekad menegakkan kalimah
Allah di Indonesia ini. Tidak merusak peraturan-peraturan di Indonesia, tapi tidak
menjual iman, tidak menjual agama”, kata AR Fajhruddin.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara resmi mulai membahas asas
Pancasila ini dalam sidang Tanwir akhir Mei 1983. Kesimpulannya,
Muhammadiyah lahir karena Islam, tanpa asas Islam tentu bukan Muhammadiyah
lagi. Pancasila, bagi Muhammadiyah, bukan persoalan.
Pada 2012 Tanwir diselenggarakan di Bandung dan 2014 di Samarinda,
memilih tema materi ”Negara Pancasila sebagai Darul ‘Ahdi wa Syahaadah” yang
artinya negara Pancasila sebagai konsensus nasional (dar al -ahdi), dan tempat
kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-
salam) menuju kehidupan yang maju berdaulat dalam naungan Ridha Allah SWT.
Pemikiran tentang negara Pancasila itu dimaksudkan untuk menjadi
rujukan dan orientasi pemikiran serta tindakan bagi seluruh anggota
Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara kontekstual
berdasarkan pandangan Islam berkemajuan yang selama ini menjadi perspektif
Muhammadiyah. Disimpulkan, bahwa “Pancasila merupakan rahmat Allah untuk
bangsa Indonesia sebagai dasar untuk memajukan dan membangun Indonesia
yang merdeka dan berkemajuan. Pancasila bukan agama, tetapi substansinya
mengandung dan sejalan dengan nilai-nilai Islam”.
”Pancasila itu ibarat helm, agar selamat maka dipakai ketika berkendara,”
ujar pak AR Fakhruddin, ketika menerima sebagai asas ormas waktu itu. Umat
Islam termasuk di dalamnya Muhammadiyah berkomitmen menjadikan Negara
Pancasila sebagai dar al-syahadah atau negara tempat bersaksi dan membuktikan
diri dalam mengisi dan membangun kehidupan kebangasaan di segala bidang
kehidupan, siap bersaing (fastabiq al khairaat) memajukan kehidupan bangsa yang
kreatif dan inovatif.
Bahwa jargon Pancasila sebagai daar al ‘ahdi wal syahadah bukan lagi
mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara atau mempersandingkannya
dengan dokumen Madinah, tetapi bagaimana Muhammadiyah berkomitmen
membangun negara Pancasila dengan pandangan Islam yang berkemajuan. Inilah
pengalaman inspiratif Muhammadiyah yang mestinya menjadi perhatian dan
internalisasi terhadap diri setiap insan di masa sekarang dan yang akan datang.
Setelah membaca pernyataan pers PP Muhammadiyah tentang RUU
Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), saya kembali membuka buku karangan
Haedar Nashir: Memahami Ideologi Muhammadiyah . Saya mencoba untuk
mencari keselarasan antara pernyataan pers PP Muhammadiyah dengan ideologi
persyarikatan. Adakah yang saling tumpang tindih atau justru saling menguatkan?
Dalam bukunya tersebut terutama pada Bab I, Haedar menyadari bahwa
Muhammadiyah saat ini berada dalam pusaran berbagai ideologi dan proses
perubahan demografi besar-besaran. Dalam konteks Indonesia, terutama sejak
terbukanya pintu reformasi, berbagai ideologi bermunculan. Artinya,
Muhammadiyah tidak mengabaikan fakta bahwa begitu banyak arus ideologi yang
masuk ke Indonesia. Bagaimana sikap Muhammadiyah terhadap kemunculan
berbagai ideologi tersebut?
Menurut Haedar, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam mengemban misi
dakwah dengan bi al-hikmah (bijaksana), wa al-mauidhat al-hanasah (pendidikan
yang baik), wa jadilhum bi-llati hiya ahsan (dialog terbaik). Pikiran yang lahir
dengan mengutip QS. Al-Nahl ayat 25 tersebut merupakan berbagai cara
Muhammadiyah dalam merespon kemunculan ideologi.
Kalau kita membaca secara saksama poin-poin pernyataan pers PP
Muhammadiyah tentang RUU HIP, kebijaksaan begitu tergambar jelas.
Muhammadiyah memandang bahwa RUU HIP alih-alih sesuai dengan semangat
kebangsaan justru menurunkan derajat Pancasila itu sendiri. Selain itu,
Muhammadiyah berusaha membendung konflik horizontal di tengah masyarakat
yang akan berakibat pada kontra produktif kalau seandainya RUU HIP tetap
dipaksa untuk disahkan menjadi UU.
Protes yang ditunjukkan Muhammadiyah pada RUU HIP bukan sikap
sebagai pembangkangan terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara. Kalau
sekiranya ada netizen yang meragukan kecintaan Muhammadiyah pada NKRI
berarti orang tersebut merupakan contoh paling aktual manusia yang benar-benar
kurang piknik. Kepedulian Muhammadiyah pada bangsa dan negara tidak hanya
pada kerja-kerja sosial tetapi juga pada kritik yang membangun.
Munir Mulkhan dalam bukunya menyebutkan bahwa Muhammadiyah
memiliki konsistensi yang sangat tinggi dalam penerimaan dan pengakuan
Pancasila. Ditunjukkan dengan sikap dan pandangan para tokoh Muhammadiyah
sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia yang terlibat langsung dalam
perumusan Pancasila (UUD 1945), di antaranya: Ki Bagus Hadikusumo, Kasman
Singadimedja, dan Kahar Muzakkir.
Komitmen Muhammadiyah terhadap Pancasila secara disusun dan dibahas
dalam Muktamar Muhammadiyah 47 di Makasar 2015 yang lalu. Keputusan
Muktamar yang tertuang dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah
ke-47 tersebut menyebutkan secara jelas bahwa Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa
Syahadah . Konsep Darul Ahdi Wa Syahadah ini benar-benar komitmen
keislaman dan keindonesiaan yang diimplementasikan Muhammadiyah.
Pancasila sebagai Darul Ahdi berarti negeri yang bersepakat pada
kemasalahatan. Artinya Darul Ahdi juga dapat dimaknai sebagai Darussalam yang
berarti negeri yang penuh dengan kedamaian. Sedangkan Pancasila sebagai Wa
Syahadah berarti negeri yang memberikan kesaksian dan pembuktian bahwa umat
harus berperan aktif dalam pemahaman, penghayatan, dan laku hidup sehari-hari.
Dalam arti luas, Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah bahwa setiap
kelompok harus berlomba-lomba meraih kemajuan dan keunggulan berdasarkan
etika sportifitas.
Menurut Hasnan Bachtiar, pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah
memiliki tujuan untuk memberikan baru bagi para aktivis, kader, dan simpatisan
Muhammadiyah mengenai hubungan negara dan persyarikatan. Selain itu, kata
Hasnan, sebagai fondasi pertahanan ideologis, alat harmonisasi politik, dan
manifestasi intelektual dan politik yang menekankan pentingnya kebangsaan
nasionalisme.
Sedangkan Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyatakan bahwa
Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah, berangkat dari tiga latar belakang
utama:
1. Adanya golongan terutama masyarakat muslim yang masih mempersoalkan
relasi antara Islam dengan negara yang berdasarkan Pancasila.
2. kenyataan kenyataan bahwa sebagai bangsa ini secara ideologis belum
merumuskan dengan sangat eksplisit dan membuat satu penjelasan mengenai
negara Pancasila itu.
3. ancaman dari kelompok Islam yang ditempatkan sebagai ancaman terhadap
negara Pancasila.
Dengan adanya konsep Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah,
Muhammadiyah telah berhasil menemukan titik temu antara keislaman dan
kehidupan berbangsa. Muhammadiyah sadar, jika agama Islam harus menjadi
ruh spiritual dalam kehidupan bernegara. Namun juga tidak menafikkan jika
dalam berbangsa Indonesia juga mendapatkan sebuah fakta "Bhineka Tunggal
Ika". Sekali lagi, dengan memahami pemahaman Pancasila sebagai Darul Ahdi
Wa Syahadah , Muhammadiyah telah berhasil membangun watak anak bangsa
sebagai seorang muslim sekaligus sebagai penduduk tanah air.
Dengan demikian, salah satu poin dalam pernyataan pers PP
Muhammadiyah tentang RUU HIP menyebutkan bahwa kemungkinan dan
polemik ideologis dalam sejarah perumusan Pancasila harus diakhiri karena
telah mencapai kesepakatan luhur, arif dan bijaksana dari para pendiri bangsa.
Ketika para founder bangsa telah “Darul Ahdi”, telah bersepakat, kita sebagai
penerus perjuangan mereka jangan sampai menjadikan Indonesia sebagai “Darul
Harb”, negeri yang penuh dengan konflik.
Dari kesemua yang telah saya paparkan diatas, menunjukkan bahwa
Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang selalu menjunjung tinggi nilai nilai
pancasila senantiasa menjaga dan mempertahankan ideologi pancasila dari rong-
rongan pihak-pihak yang mau merubah, mengganti bahkan menghapus
pancasila. Rekam jejak sejarah menjadi bukti nyata kesetiaan muhammadiyah
menjaga kedaulatan NKRI dan Garuda Pancasila, baik secara diplomasi,
pemikiran atau bahkan tetesan darah.

Senin,11 januari 2021

AFRIZA AFKAR

Anda mungkin juga menyukai