Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

AL ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN

MUHAMMADIYAH DAN POLITIK INDONESIA

OLEH :
AGUS LAKSITO
NIM : 202020670111035

DOKTORAL SOSIOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang


telah memberikan rahmat serta karunia-Nya untuk menyelesaikan makalah Al
Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) yang berjudul, “Muhammadiyah dan
Politik Indonesia”. Makalah ini tidak terlepas dari berbagai rintangan dan
hambatan, dengan penuh ketekunan dan kesabaran sehingga makalah ini dapat
selesai tepat waktu.
Makalah ini memuat tentang sejarah politik Muhammadiyah dan Indonesia
sebelum kemerdekaan hingga setelah reformasi. Makalah ini diharapkan dapat
menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun sangat diharapkan.

Balikpapan, April 2021`

Penulis
Muhammadiyah dan Politik Indonesia

Pendahuluan
Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam yang besar di
Indonesia. Muhammadiyah didirikan pada 8 Dzulhijjah 1330 H (18 November
1912) di kampung Kauman Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan. Kemudian
pada 20 Desember 1912, organisasi Muhammadiyah mengajukan pengesahan
dengan mengirim Statuten Muhammadiyah (Anggaran Dasar Muhammadiyah
yang pertama) dan baru disahkan 2 tahun kemudian oleh Gubernur Jenderal
Belanda pada 22 Agustus 1914. Nama Muhammadiyah itu sendiri diambil dari
nama Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal
sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Salah satu faktor yang melatar belakangi berdirinya organisasi Islam
Muhammadiyah adalah terjadinya penyimpangan dalam proses dakwah dengan
berbagai macam pengaruh mistik yang merupakan dampak adaptasi masyarakat
dari beberapa tradisi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Serta
karena adanya pengaruh Negara penjajah yang datang ke Indonesia menyebarkan
paham moderenisasi Eropa mulai dari paham individualisme, liberalisme,
rasionalisme, hingga sekulerisme.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan
pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam
bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan
berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspek.
Dalam pembentukannya, landasan dan sumber pedoman hidup Islami
warga Muhammadiyah ialah Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi, diantaranya surah Ali
Imran ayat 104, yang berbunyi: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” Menurut
para tokoh Muhammadiyah, ayat tersebut mengandung isyarat untuk bergeraknya
umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak,
yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi.1

1
Suryana, C. (2009). Kiprah Politik Dan Sejarah Organisasi Muhammadiyah di Indonesia. Ilmu
Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies, 4(14), 625-638.
Politik Muhammadiyah Sebelum Kemerdekaan
Sejak tahun 1900, Pemerintahan Hindia Belanda mulai menjalankan
Politik Etis di tanah jajahannya sebagai politik balas budi sehingga orang
Indonesia dilibatkan dalam hal yang menjadi kepentingannya. Politik Etis resmi
menjadi kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam bentuk kolonialisme baru
yang bertujuan untuk menghasilkan elite baru yang bisa diajak kerjasama oleh
pemerintah kolonial Belanda, tetapi tidak sedikit kaum elite yang merasa tidak
puas. Ketidakpuasan itu menjadi pemicu kaum elite terpelajar berbalik
memimpin gerakan anti penjajahan.
Perubahan arah politik kolonial dan semakin buruknya kondisi politik,
ekonomi, sosial, dan budaya menyebabkan kebangkitan Islam Nusantara. Hal
ini mendorong penduduk pribumi untuk mengubah perjuangan melawan
Belanda dari strategi militer ke perlawanan yang damai dan terorganisir. Pada
awal abad ke-20 kesadaran rakyat Indonesia mengalami peningkatan dalam
berbagai hal. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai organisasi-organisasi
yang terorganisasi dan strategis yang dianggap mampu membawa arah
perubahan, diantaranya adalah Muhammadiyah.
Perjalanan kehidupan K.H. Ahmad Dahlan tidak lepas dari pergerakan
politik dan komunikasi politik demi tercapainya tujuan mendirikan
Muhammadiyah. Komunikasi politik intensif dilakukan oleh K.H. Ahmad
Dahlan dengan beberapa organisasi sosial. Hubungan dan komunikasi politik
tersebut ketika Budi Utomo mengambil peran dalam proses permohonan
pendirian Muhammadiyah kepada pemerintah. Pada ranah politik, ketika
berhadapan dengan pemerintah kolonial dalam taktik Muhammadiyah memilih
politik kooperatif, ketika kebanyakan perkumpulan dan pergerakan memilih
non-kooperatif.
Sebelum Muhammadiyah tersebar merata di seluruh Indonesia, K.H.
Ahmad Dahlan telah melakukan berbagai upaya legalisasi terhadap organisasi
yang baru didirikannya itu. Upaya untuk mengeksistensikan gerakan politiknya
K.H. Ahmad Dahlan pertama kali dapat ditelusuri ketika berusaha mencari
pengakuan badan hukum oleh pemerintahan Hindia Belanda, yang akhirnya
Muhammadiyah mendapat pengesahan dari pada 22 Agustus 1914 dan
ditetapkan melalui peraturan Besluit No.81. Meski statusnya sebagai organisasi
keagamaan, Muhammadiyah justru lebih banyak bersinggungan dengan politik
praktis.
Lewat berbagai gerakan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan,
sehingga secara tidak langsung Dia telah bersinggungan dengan politik.
Gerakan politik K.H. Ahmad Dahlan pada tahap awal berdirinya
Muhammadiyah adalah agar tercapainya cita-cita sosialnya, yang pada waktu itu
umat muslim yang mengalami kemerosotan, baik moral, maupun pendidikan
agama. K.H. Ahmad Dahlan lewat Muhammadiyah dengan gerakan politiknya
pada masa awal sebagai upaya perintisan pondasi awal Muhammadiyah dalam
berpolitik, meskipun tidak langsung menyatakan politik. Gerakan politik K.H.
Ahmad Dahlan dapat ditelusuri lewat berbagai gerakan-gerakan yang
bersinggungan dengan pemerintah Hindia Belanda.2

Politik Setelah Kemerdekaan


Menyadari kebutuhan dasar manusia untuk berkumpul/berorganisasi,
maka dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara selalu
terdapat jaminan konstitusional yang secara tersurat ada dalam konstitusi
berbagai negara. Negara Indonesia pun menjamin hak dan kebebasan untuk
berkumpul dan berserikat dalam rangka mengeluarkan pendapat baik lisan
maupun tulisan sebagai salah satu hak asasi warga negara. Pengakuan hak asasi
manusia dalam konstitusi tersebut menegaskan pula bahwa dalam kebebasan
berserikat dan berkumpul terdapat hubungan antara warga negara dan peran
negara, yang semestinya saling memperkuat dan membawa manfaaat bagi
peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
Dalam perspektif historis, sejak sebelum kemerdekaan negara Repubik
Indonesia, pelaksanaan hak kebebasan berserikat dan berkumpul serta

2
Febriyanto, N. (2017). Perjuangan Politik KH Ahmad Dahlan dalam Muhammadiyah di
Yogyakarta 1912-1923. Ilmu Sejarah-S1, 2(2).
membentuk berbagai organisasi telah menjadi sarana integrasi dan perjuangan
bangsa. Pembentukan organisasi Budi Utomo pada tahun 1905 menjadi tonggak
perjuangan bangsa dalam mengusir penjajah. Beberapa organisasi masyarakat
dalam bidang sosial keagamaan, seperti Persyarikatan Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis) juga dibentuk pada era sebelum
kemerdekaan dan menjadi instrumen perjuangan kemerdekaan dan
pemberdayaan masyarakat. Selain itu, bermunculan organisasi yang berbasis
profesi seperti Serikat Dagang Islam (SDI) yang membuktikan kepedulian kaum
usahawan dalam perjuangan bangsa. Pada era tersebut juga lahir dan
bermunculan organisasi masyarakat, khususnya dari kalangan pemuda, yang
pada awalnya berbasis kedaerahan seperti Jong Sumatranen Bond, Jong Java,
Jong Ambon, Jong Celebes dan lain-lain. Organisasi-organisasi masyarakat
tersebut tumbuh dan berkembang yang selanjutnya mengintegrasikan diri dan
melahirkan Sumpah Pemuda sebagai salah satu tonggak penting dan menjadi
dasar terbentuknya Negara Indonesia.
Kehadiran organisasi masyarakat dalam perjuangan kemerdekaan bangsa
jelas tidak terbantahkan, karena mampu membangun kesadaran kolektif
masyarakat hingga mampu mendorong kemerdekaan bangsa. Tidak dapat
dipungkiri dan masih dapat dilihat secara nyata bahwa organisasi masyarakat
yang tumbuh sejak zaman sebelum kemerdekaan tersebut masih terus tumbuh
seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis) yang
secara konsisten membaktikan diri dalam bidang sosial, pendidikan, kesehatan,
pemberdayaan ekonomi dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi
masyarakat dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi peningkatan
kualitas kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang.
Tumbuh dan berkembangnya organisasi masyarakat, sebagaimana
digambarkan di atas mencerminkan betapa penting dan strategis organisasi
masyarakat. Hal itu dapat merefleksikan: pertama, menumbuhkembangkan
kesadaran bersama berserikat dan berkumpul. Dengan demikian, pengakuan
dalam konstitusi menjadi sangat bermakna dan memiliki dasar historis, filosofis
dan sosiologis.3

3
Vlekke, B. H. M., & Formichi, C. Islam Dan Politik Di Indonesia Sebelum Kemerdekaan
Oleh: Hasib Rosyadi Sheebonds@ gmail. com.
Setelah kemerdekaan, organisasi masyarakat terus bermunculan dan
semakin beragam sejalan dengan dinamika perkembangan bangsa. Pada masa
kemerdekaan, organisasi-organisasi masyarakat memang belum sepenuhnya
berkembang karena situasi sosial dan politik masih tidak menentu. Memasuki
era Orde Baru, pelembagaan organisasi masyarakat diperkuat dengan
dikelurakannya peraturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Meskipun sistem politik saat itu tidak
sepenuhnya menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul, namun dengan
pengaturan pelembagaan organisasi masyarakat tetap dapat memunculkan
perkembangan dan pertumbuhan ormas.
Permasalahan yang menonjol dari UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang
Ormas, pengaturan tersebut dimaksudkan pula untuk memperkuat kontrol
negara terhadap organisas kemasyarakatan. Salah satu ketentuan mengenai
penguatan kontrol negara tersebut adalah pemberlakuan asas tunggal Pancasila
sebagai satu-satunya asas pembentukan organisasi kemasyarakatan. Pada era ini
pula ditandai dengan kuatnya peran negara dalam mendorong tumbuh dan
berkembangnya organisasi masyarakat pada sektor tertentu yang difasilitasi
negara, terutama ormas berbasis profesi seperti Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Komite Nasional Pemuda
Indonesia (KNPI), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang pada
umumnya mengarah pada organisasi tunggal. Di sisi lain, organisasi yang
berbasis masyarakat juga tetap berkembang meski berhadapan dengan
keterbatasan karena tidak berafiliasi dengan kekuasaan negara. Pada organisasi
kemahasiswaan, organisasi tersebut antara lain Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKR), Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI).
Politik Saat Orde Baru
Perubahan kondisi politik di Indonesia pasca peristiwa 1965 ditandai
munculnya sosok Soeharto. Kemunculan seorang Soeharto pada panggung
politik sebagai pemimpin Orde Baru mampu membuat perubahan yang sangat
besar bagi kondisi Indonesia pasca lengsernya Soekarno. Orde Baru mampu
mendominasi percaturan politik nasional, meski dengan berbagai cara dan
proses yang cukup panjang. Pada periode 1966 hingga 1980, merupakan tahap-
tahap bagi Orde Baru untuk membuat pemerintahannya. Orde Baru adalah
membuat rakyat patuh dan menerima segala hal yang sudah digariskan
pemerintah.
Pada dasarnya rakyat dibuat untuk mengerti dan berpartisipasi untuk
menjalankan program pembangunan yang sudah disusun pemerintah.
Sedangkan untuk masalah politik rakyat tidak perlu mengerti, dan biarkan
pemerintah yang mengurus masalah tersebut. Singkat kata wacana
pembangunan yang dibuat Orde Baru sebenarnya adalah bentuk isolasi politik
penguasa terhadap rakyat. Kondisi perpolitikan pada masa-masa awal Orde
Baru berkuasa bisa dikatakan masih belum stabil. Pada periode tersebut Orde
Baru disibukkan untuk menghilangkan citra Bung Karno dan Orde Lama.
Manuver politik yang dilakukan oleh Orde Baru lebih terkesan pada
politik pencitraan serta kontrol ketat pemerintah dengan menggunakan militer,
birokrasi, dan Golkar. Orde Baru juga tak segan melakukan tindakan represif
untuk menindak segala gerakan yang bersifat subversif dan berpotensi
mengancam kekuasaannya. Banyak lawan politik Orde Baru yang berakhir
sebagai tahanan politik karena dianggap tidak mau tunduk dan patuh. Lembaga
pers yang sebelumnya kritis berusaha dibungkam dan dijinakkan melalui
berbagai kebijakan yang tentu saja menguntungkan pihak penguasa. Semua
yang tindakan keras dan kontrol ketat tersebut dilakukan Orde Baru dengan
mengatasnamakan stabilitas nasional sebagai prioritas.4
Sejalan dengan arah perubahan pola kehidupan politik, perkembangan
pemikiran Islam cenderung bersifat rasional dan fungsional. Hal ini dapat dilihat
dalam tema umum pembaharuan pemikiran Islam diseputar reaktualisasi,
kontekstualisasi dan pembumian ajaran Islam. Kecenderungan perubahan di atas
4
Hadi, D. W., & Kasuma, G. (2012). Propaganda Orde Baru 1966-1980. Media Verleden, 1(1),
1-109.
memberikan gambaran proses integrasi-birokrasi santri pada masa Orde Baru.
Suatu proses yang meruntuhkan mitos politik santri sebagai oposan dan
pembangkang. Dengan hilangnya mitos tersebut, perilaku politik muslim
cenderung rasional dengan runtuhnya ideologi politik yang mendasarkan Islam
bersamaan dengan tergesemya konsep negara Islam. Perubahan perilaku politik
muslim erat juga hubungan dengan kerangka utama politik Orde Baru terhadap
pemeluk Islam yang secara nominal merupakan bagian terbesar warga negara
terletak kalam konsep deideologisasi Islam sebagai agama dan birokratisasi
kehidupan pemeluk Islam dalam mempraktekkan ajaran agama yang menjadi
keyakinannya.
Deideologisasi pada akhirnya melunturkan watak ideologi Islam,
setidaknya secara formal. Demikian pula birokratisasi kehidupan agama telah
menempatkan hampir seluruh aktifitas sosial muslim dalam kontrol dan
pelayanan pemerintah bersamaan dengan kooperatisasi yang menempatkan elite
santri dalam berbagai lembaga sosial yang dibentuk dan dikontrol oleh
pemerintah. Kemunculan pesantren-pesantren di banyak kota besar dan
banyaknya alumninya yang melanjutkan studinya di perguruan tinggi di dalam
dan luar negeri sangat berdampak pada citra pendidikan pesantren, pesantren
tidak lagi dilihat sebagai institusi yang melanggengkan kekolotan, kemunduran
serta label-label negatif lainnya. Bahkan banyak pengamat yang justru melihat
dari pesantrenlah akan muncul pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.
Berbagai pihak menyebutkan bahwa salah satu tradisi paling unik dan memiliki
kemandirian yang sangat tinggi serta mempunyai harapan di masa depan adalah
pendidikan pesantren. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam tradisionalisme
pesantren terdapat potensi modemitas yang tinggi yang mempunyai corak
pembinaan nilai yang berdasarkan Islam, sehingga terbentuk pribadi yang
utama.5

5
Putra, O. E. (2008). Hubungan Islam dan Politik Masa Orde Baru. Jurnal Dakwah, 9(2), 185-
201.
Politik Setelah Reformasi
Dinamika politik lokal di Indonesia selalu berubah sepanjang waktu.
Pada era sebelum kemerdekaan, politik lokal di Nusantara menunjukkan potret
buram karena penguasa memperoleh kekuasaan dalam kerangka hukum adat
yang totaliter. Akibatnya sebagian besar lapisan masyarakat hanya diakui
sebagai hamba (bukan warga) yang tidak pernah menjadi subjek pembangunan
semasa itu. Masyarakat dijadikan objek dari kehidupan politik yang tidak
berpihak kepada mereka. Pelbagai bentuk pajak dan upeti ditarik oleh penguasa
melalui aparatur represifnya yang menjadikan kondisi ekonomi masyarakat
semakin terpuruk.
Perlakuan penguasa yang tidak manusiawi itu kemudian mencetuskan
perlawanan rakyat. Cerita ataupun mitos tentang orang kuat lokal seperti Ken
Arok, Samin, Pitung dan lainnya, yang berupaya melawan pusat kuasa
memantulkan sedikit dari sekian banyak bentuk ataupun hasrat pembangkangan
sipil pada masa lalu. Mengikuti banyak kisah, pada masa lalu orang kuat lokal
memiliki citra positif dan peran signifikan di mata masyarakat. Citra dan peran
seperti itu terbangun karena pembelaan para local strongmen terhadap
kepentingan rakyat yang tertindas, walau dari cara pandang yang berbeda di
pihak penguasa,orang-orang kuat lokal ini melakukan tindak kejahatan dan
perampokan. Meski demikian, kehadiran dan kiprah para orang kuat lokal telah
menegaskan atas melembaganya local strongmen dan polisentrisme di masa
lalu.
Politik lokal di Indonesia semakin dinamik setelah proklamasi
kemerdekaan, ketika kekuatan masyarakat mulai merembes masuk ke lembaga-
lembaga formal. Keadaan ini lebih kurang merupakan legasi positif dari
rancangan kolonial Belanda untuk menyediakan kesempatan kepada masyarakat
awam terlibat dalam kepolitikan dalam konteks implementasi politik etis.
Alhasil, para elit tradisional (bangsawan daerah) harus bersaing dengan
masyarakat umum yang juga berusaha keras mendapatkan posisi dalam
lembaga-lembaga negara. Selain persaingan antara elit tradisional dan
masyarakat awam yang mengemuka pascaproklamasi, masalah etnisitas juga
menonjol dalam kerangka nation-building di Indonesia.
Selama 30 tahun lebih Indonesia di bawah kekuasaan rezim otokratik
(1966-1998), sistem politik di tingkat pusat maupun lokal sangat terkontrol oleh
pusat kuasa di Jakarta. Akibatnya, badan eksekutif dan legislatif di kabupaten,
kota, dan provinsi terkunci dalam hegemoni Jakarta. Ini karena posisi pejabat
tinggi di daerah pada dasarnya ditentukan oleh Departemen Dalam Negeri
(Depdagri) yang mempunyai kepentingan mengendalikan kekuasaan elit lokal.6
Ketika krisis moneter menghantam Indonesia pada tahun 1997, dalam
tempo yang tidak terlalu lama, ledakan politik yang didetonatori oleh gerakan
mahasiswa berhasil menghancurkan kuasa pusat di Jakarta. Ambruknya Orde
Baru sekaligus menandai polisentrime baru yang menolak kuasa pusat
(decentring). Dengan menggantungkan harapan yang sangat tinggi pada jiwa
zaman saat itu (reformasi politik), otonomi daerah yang diundangkan pada tahun
1999 dan dilaksanakan dua tahun kemudian membuka peluang bagi pembatalan
pelbagai mekanisme pungutan liar, pemberhentian penjarahan keuangan negara
oleh elit lokal, dan penolakan atas budaya bosisme dan local strongmen di
daerah. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh pusat di daerah terdekonstruksi
oleh politik reformasi sehingga individu-individu yang dianggap sebagai „orang
Jakarta‟ (yang berada di daerah) terdelegi timasi kedudukannya. Mereka tidak
lagi bisa menjadi broker bagi kepentingan pusat di daerah. Ataupun, mereka kini
tidak dapat lagi menjadi penguasa tunggal di daerah karena polisentrisme politik
telah mengalahkan logika sentralisme politik.
Perubahan haluan dari „politik lama‟ yang tersentralisasi dan terkontrol
kepada „politik baru‟ yang terdesentralisasi dan egaliter membawa angin segar
bagi politik lokal di Indonesia, setidaknya pada tahun-tahun pertama reformasi.
Namun setelah melewati „bulan madu‟ reformasi yang sebentar, beberapa
sarjana segera menangkap pertumbuhan pesat para broker politik dan local
strongmen di level lokal, yang mulai mengambil alih kekosongan maupun
memperkuat akses kontrolnya terhadap politik lokal. Para broker dan local
strongmen yang mengambil alih kekosongan pemain dalam arena politik lokal
pada Orde Reformasi biasanya adalah „broker lama‟ yang pada masa
sebelumnya tidak mampu atau tidak mendapatkan kesempatan untuk bersaing
dengan local strongmen pendukung rezim Orde Baru. Sedangkan, broker dan
6
Agustino, L., & Yusoff, M. A. (2010). Politik lokal di Indonesia: Dari otokratik ke reformasi
politik. Jurnal Ilmu Politik, Edisi, 21, 2010.
local strongmen yang berhasil menancapkan kukunya lebih dalam lagi pada era
reformasi adalah para pemain atau broker lama yang pada masa sebelumnya
telah menjadi proksi Orde Baru. Tetapi karena kemampuannya untuk
melakukan reorganisasi kekuatan selama masa transisi menuju demokrasi
mereka berhasil memanipulasi state of minds publik sehingga menempatkan
orang kuat lokal menjadi semakin berkuasa dan berpengaruh dibanding masa
sebelumnya.
Melalui proses demokratisasi dan desentralisasi, para local strongmen
dan bos ekonomi semakin memperoleh kesempatan untuk menjabat kursi sentral
di lembaga-lembaga pemerintahan daerah dibandingkan masamasa sebelumnya.
Kalaupun mereka tidak memangku jabatan-jabatan penting tersebut, para broker
ataupun orang kuat lokal ini selalu berupaya untuk memastikan bahwa para
politisi lokal bergantung pada bantuan dan sokongannya agar kebijakan resmi
menguntungkan bisnis dan posisinya. Imbal jasa para politisi kepada para broker
politik tidak jarang dilandaskan pada jasa investasi politik selama
berlangsungnya Pilkada atau Pemilukada. Atau juga, karena mereka mau
menjadi „tameng‟ penguasa apabila terjadi unjuk rasa kelompok oposisi,
mahasiswa, buruh dan lainnya. Meski demikian, tidak selamanya elit politik
formal berutang jasa pada para bos ekonomi. Kadang kejadian terjadi
sebaliknya. Jika hal ini yang berlaku, maka imbalan yang didapat oleh elit
politik formal atas jasa bantuannya terhadap bos ekonomi adalah mengalirnya
uang-uang dari para cukong ke kantong-kantong pejabat daerah.
Beberapa diantaranya bahkan memiliki hubungan yang rapat dengan
purnawirawan petinggi tentara dan polisi. Bahkan pada tahun-tahun pertama
setelah Reformasi, wali kota Medan, Abdillah, adalah bos ekonomi setempat
yang karismatik yang menduduki jabatan dan melalui cara pembelian suara dan
kekerasan. Selain orang kuat lokal, aktor lain yang memainkan peran politik
baru setelah Orde Baru di Medan adalah para pengusaha tingkat menengah yang
paling tidak sebagiannya sangat tergantung pada proyek dari pemerintah, dan
aktivis yang terkait dengan organisasi semacam Himpunan Mahasiswa
Indonesia (HMI), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia
(GMKI).
Kesimpulan
Dari paparan makalah di atas dapat di simpulkan bahwa:
1. Ada dua faktor yang melatar belakangi didirikannya organisasi
Muhammadiyah pertama, terjadinya penyimpangan dalam proses dakwah.
Kedua, adanya pengaruh penjajah yang menyebarkan paham moderenisasi
Eropa. Sebelum Muhammadiyah tersebar merata di seluruh Indonesia,
K.H. Ahmad Dahlan telah melakukan berbagai upaya legalisasi terhadap
organisasi yang baru didirikannya itu.
2. Lewat berbagai gerakan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, sehingga
secara tidak langsung telah bersinggungan dengan politik. Gerakan politik
K.H. Ahmad Dahlan pada tahap awal berdirinya Muhammadiyah adalah agar
tercapainya cita-cita sosialnya, yang pada waktu itu umat muslim yang
mengalami kemerosotan, baik moral, maupun pendidikan agama.
K.H. Ahmad Dahlan lewat Muhammadiyah dengan gerakan politiknya pada
masa awal sebagai upaya perintisan pondasi awal Muhammadiyah dalam
berpolitik, meskipun tidak langsung menyatakan politik. Dalam rana politik,
K.H. Ahmad Dahlan memilih politik kooperatif, ketika kebanyakan
perkumpulan dan pergerakan memilih politik non kooperatif. Gerakan politik
K.H. Ahmad Dahlan dapat ditelusuri lewat berbagai gerakan-gerakan yang
bersinggungan dengan pemerintah Hindia Belanda.
3. Keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan moral agama, mencerdaskan
kehidupan berbangsa dan bernegara, memberikan paham kenegaraan yang
moderat, tetapi yang agamis. Era reformasi, peranan Muhammadiyah sangat
besar terjadinya gerakan moral, gerakan reformasi di Indonesia.
4. Massa Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia, menjadi kekuatan
politik tersendiri dan patut diperhitungan, dan menghasilkan kebijakan-
kebijakan Negara versi dan cita-cita berdirinya Muhammadiyah.
DAFTAR PUSTAKA

Agustino, L., & Yusoff, M. A. (2010). Politik lokal di Indonesia: Dari otokratik ke
reformasi politik. Jurnal Ilmu Politik, Edisi, 21, 2010.

Febriyanto, N. (2017). Perjuangan Politik KH Ahmad Dahlan dalam


Muhammadiyah di Yogyakarta 1912-1923. Ilmu Sejarah-S1, 2(2).

Hadi, D. W., & Kasuma, G. (2012). Propaganda Orde Baru 1966-1980. Media
Verleden, 1(1), 1-109.

Hilmy, M. (2015). Radikalisme Agama dan Politik Demokrasi di Indonesia Pasca


Orde Baru. Jurnal MIQAT, 39(2), 407-425.

Putra, O. E. (2008). Hubungan Islam dan Politik Masa Orde Baru. Jurnal
Dakwah, 9(2), 185-201.

Suryana, C. (2009). Kiprah Politik Dan Sejarah Organisasi Muhammadiyah di


Indonesia. Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies, 4(14),
625-638.

Vlekke, B. H. M., & Formichi, C. Islam Dan Politik Di Indonesia Sebelum


Kemerdekaan Oleh: Hasib Rosyadi Sheebonds@ gmail. com.

Anda mungkin juga menyukai