Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH KEMUHAMMADIYAHAN II

“MUHAMMADIYAH DAN POLITIK”

DISUSUN OLEH:

SITI KHADIJAH ILMIYANTI 17.72.018067


NINDYA ILONNA WANDA RISQA 17.72.018075

PROGRAM STUDI D3 ANALIS KESEHATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKA RAYA
2017
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum .Wr.Wb.

Puji syukur kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami panjatkan puji
dan sukur kehdirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-
nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyesaikan makalah kami.

Makalah ini telah kami susun secara maksimal atas bantuan dari berbagai pihak sehingga laporan
makalah ini bisa selesai dengan lancar. Untuk itu, kami selaku penyusun, banyak berterimakasih
kepada semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu atas segala bantuannya.

Kami menyadari, makalah yang kami buat jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan.
Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca, guna
menghasilkan makalah yang lebih baik.

Kami berharap, makalah yang kami susun bisa memberikan manfaat dan inspirasi bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum .Wr.Wb.

Palangka Raya, 7 Maret 2018


BAB I
PENDAHULUAN

1. TUJUAN
Mengetahui perkembangan politik di dalam Organisasi Islam Muhammadiyah dan
pengaruh politik di dalam Organisasi Islam Muhammadiyah serta peran yang diberikan

2. LATAR BELAKANG
Berbicara tentang Muhammadiyah dan Politik, tidaklah dimaksudkan untuk membawa
pemikiran kepada perwujudan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi politik, apalagi
menjadi partai politik. Namun, sejauh yang bisa kita amati sepanjang sejarah peran serta
Muhammadiyah dalam dinamika Bangsa Indonesia, adalah wajar apabila kita merenungkan
kembali peran amar makruf nahi munkar yang selama ini menjadi trade mark Muhammadiyah,
bukan hanya dalam dataran sosial kemasyarakatan, tetapi juga dalam dataran sosial politik.
Akhir-akhir ini banyak komentar yang menyatakan bahwa dengan masuknya Muhammadiyah
dalam diskursus politik praktis, berarti telah meninggalkan khittahnya sebagai gerakan amar
makruf nahi munkar. Betulkah demikian ? tulisan berikut ini mencoba melihat realitas hubungan
Muhammadiyah dan politik, serta dampak logisnya dalam konteks amar makruf nahi munkar.
Pembicaraan mengenai relasi dakwah dan politik bukanlah hal baru di Muhammadiyah.
Bahkan dapat dikatakan “perdebatan” ini telah muncul di awal-awal kelahiran Muhammadiyah
itu sendiri. Pembuktiannya secara otentik dapat ditelusuri dalam penuturan KRH Hadjid
yang sanad-nya muttashil kepada KH Ahmad Dahlan. KRH Hadjid adalah seorang aumnus
Pondok Pesntren Termas sekaligus murid termuda KH ahmad Dahlan, menulis 7 (tujuh) falsafah
ajaran dan 17 kelompok ayat Al-Qur’an yang menjadi pokok wejangan dan pelajaran dari pendiri
persyarikatan Muhammadiyah. KRH hadjid berkeyakinan bahwa berbgai kesulitan yang timbul
dalam masyarakat dapat diatasi dengan ketujuh falsafah tersebut sebagaimana ketujuh belas
kelompok ayat Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai pegangan pokok oleh para pewaris
Muhammadiyah yang tidak sedikit diantara mereka telah meninggalkan jiwa/ruhiyah
Muhammadiyah itu sendiri.
Ketika KHA Dahlan menerangkan kelompok ayat ke-12 wa ana minal muslimin(al-
an’am/6;162-163) yang artinya : katakanlah “ Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan
matiku hanyalah kepada Allah,Tuhan semesta aslam,tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah
yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah)”.
Pada tahun 1918, menurut KRH. Hadjid (ketika itu berusia 23 tahun),diadakan rapat tahunan
anggota Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta. Pada rapat tersebut dibicarakan tentang
AD/ART Muhammadiyah. KH. Suprapto Ibnu Juraimi, yang berguru langsung kepada KHR.
Hadjid menjelaskan bahwa, ketika itu terdapat dua pendapat dalam siding. Pertama,KHA Dahlan
yang menghendaki agar Muhammadiyah ini tetap sebagai gerakan dakwah . kedua,KH. Agus
Salim mengusulkan agar Muhammadiyah menjadi organisasi politik.
Pembicaraan tersebut kemudian dihentikan oleh KHA. Dahlan dengan mengetuuk palu
pimpinan sambil berdiri. Krtika suasana tenang, KHA.Dahlan menggugah para peserta siding
dengan dua pertanyaan yang menggelorakan jiwa :” apakah sudara-saudara sudahmengerti
benar tentang Islamdan apakah arti Islam yang sebenar-benarnya?”;”apakah saudara-saudara
ini senang dan berani menjalankan Islam dengan sesungguhnya?”
Riwayat terbaca di atas secara eksplisit meneguhkan keyakinan Pendiri Muhammadiyah agar
Persyarikatan ini berkiprah di ranah dakwah, keagamaan dan kemasyarakatan serta tidak
bergerak pada ranah gerakan polotik praktis.
DR. Haear Nashir,M.Si., ketua PP muhammadiyah, dalam makalahnya yang bertajuk “
Tantangan Dakwah Muhammadiyah Dimensi Pendidikan dan Politik” pada Rapat Kerja
Nasional MTDK di Semarang, 20-22 Pebruari 2009 menegaskan, bahwa dengan karakter dan
misi sebagai gerkan dakwah dan tajdiditu, maka Muhammadiyah sejak awal kelahirannya tidak
memilih jalur perjuangan politik dan tidak menjadikan dirinya sebagai gerakan atau partai
politik. Dalam bahasa sehari-hari sering dinyatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan
dakwah dan bukan gerakan politik. Deklarasi dan sekaligus pemagaran diri Muhammadiyah dari
polotik,khususnya politik-praktis(politik yang berorientasi pada perjuangan meraih kekuasaan di
ranah Negara sebagaimana partai politik,perjuangan di kancah real politics), secara organisatoris
dan kelembagaan kemudian dikukuhkan melalui Khitthah Muhammadiyah, yang disertai dengan
kebijakan-kebijakan Pimpinan Puat Muhammadiyah maupun produk-produk Permusyawaratan
dalam Muhammadiyah dalam melaksanakannya.
Kristalisasi paham Muhammadiyah yang menyangkut relasi dakwah dan politik dapat dilacak
melalui rumusan-rumusan Khitthah-Khitthah perjuangan yang telah digariskan dalam
permusyawaratan persyarikatan.
BAB II
PEMBAHASAN

Perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya dinamik dari dalam
ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar, telah menyebabkan perubahan
tertentu. Perubahan itu menyangkut seluruh segi kehidupan masyarakat, diantaranya bidang
sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, yang menyangkut perubahan strukturil dan perubahan
pada sikap serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia.
Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan perubahan itu,
senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi-mungkar, serta
menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang dipilihnya ialah
masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: "menegakkan dan
menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang
diridlai Allah SWT.
Dalam melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah berjalan diatas prinsip gerakannya,
seperti yang dimaksud di dalam Matan Keyakinan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah itu senantiasa menjadi landasan gerakan
Muhammadiyah, juga bagi gerakan dan amal usaha dan hubungannya dengan kehidupan
masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam bekerjasama dengan golongan Islam lainnya.

Muhammadiyah Dan Politik


Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya: dengan dakwah
amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah
harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara operasionil dan secara kongkrit riil,
bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang
berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur
serta sejahtera, bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan
usaha itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada kepribadiannya
Pada masa Demokrasi Liberal yang berlangsung antara tahun 1945 hingga 1959, hubungan
Muhammadiyah dengan Partai Politik serasa amat dekat. Ketika pemerintah mengumumkan
berdirinya partai-partai politik pada 3 Nopember 1945, Muhammadiyah ikut mendirikan
Masyumi melalui Muktamar Islam Indonesia, 7-8 Nopember 1945, di mana Muhammadiyah
menjadi anggota istimewa partai politik ummat Islam pertama tersebut. Selama waktu tahun
1945 hingga 1959, kita melihat 50 % keanggotaan Masyumi adalah kader-kader
Muhammadiyah. Dan selama waktu itu pula, kader-kader Muhammadiyah banyak ditempatkan
di kabinet Hatta, Sahrir, Wilopo, Sukiman, Amir Syarifuddin, Burhanuddin Harahap, Ali I,
Juanda, hingga Ali II. Tarik ulur kepentingan Muhammadiyah dalam Masyumi memang sedikit
mengalami dinamika, misalnya dengan persoalan posisi status keanggotaan Muhammadiyah di
Masyumi. Hal ini sempat dibicarakan pada sidang Tanwir Muhammadiyah 1956 di Yogyakarta
yang merekomendasikan peninjauan ulang status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi. Hal
serupa terulang pada Sidang Tanwir Muhammadiyah 1957, dengan rekomendasi yang lebih
jelas, agar Muhammadiyah keluar dari anggota istimewa Masyumi. Namun melaksanakan
keputusan ini tidaklah mudah di lapangan. Pada sidang Tanwir tahun 1958, persoalan ini
mengambang kembali, dan justru Sidang menyerahkan kepada PP Muhammadiyah. Sekali lagi,
Pada Sidang Tanwir tahun 1959 di Jakarta, persoalan ini muncul lagi dan sempat diadakan
voting. Hasilnya 13 orang menyatakan Muhammadiyah harus keluar dari keanggotaan Masyumi,
18 menolak, dan 3 orang abstain. Persoalan ini baru tuntas ketika PP Muhammadiyah
menyelenggarakan Pleno tahun 1959, yang memutuskan Muhammadiyah keluar dari
keanggotaan Masyumi.
Pada masa Demokrasi Terpimpin 1959 hingga 1966, tidak banyak peristiwa yang bisa kita
telaah. Hal ini terjadi karena iklim demokrasi yang kurang kondusif. Kepemimpinan nasional
terpusat pada presiden. Jika ada MPRS, DPRS, dan DPAS, hanya merupakan boneka yang
dibuat sedemikian rupa hingga amat tergantung dari presiden. Dari sisi politik, Muhammadiyah,
sebagaimana para politisi muslim idealis tidak banyak diuntungkan dalam kondisi seperti ini.
Pada paruh pertama masa Demokrasi terpimpin ini, arus besar pandangan masyarakat
(dimobilisasi untuk) mendukung kepemimpinan nasional, dengan munculnya berbagai gelar
untuk Soekarno, seperti Pemimpin Besar Revolusi, yang diikuti oleh faham Soekarnoisme.
Hingga kini, sisa-sisa kultur politik ini masih nampak dalam berbagai atribut partai Politik
beserta jargon-jargonnya. Namun alhamdulillah, Muhammadiyah tidak sampai turut dalam aksi
dukung-mendukung terhadap kepemimpinan nasional waktu itu, yang ternyata banyak
melakukan penyimpangan dan terkoreksi pada masa sesudahnya. Pada paruh kedua masa
Demokrasi Terpimpin, arus balik terjadi, di mana hujatan pada sistem dan kepemimpinan
nasional semakin seru, yang berujung pada lengsernya Bung Karno tahun 1965 setelah peristiwa
G.30/S/PKI.
Pada masa Orde Baru, terjadi perubahan mengerucut. Paradigma Pembangunan yang
mengedepankan pembangunan ekonomi daripada politik, berdampak pada penyederhanaan
organisasi sosial politik (lebih tegasnya Partai Politik). Sayangnya, langkah ini banyak
berimplikasi pada peminggiran peran partai politik dalam proses pembangunan. Sementara di sisi
lain, menguatnya institusi pemerintah yang diperkuat dengan (Partai) Golkar. Secara
kelembagaan, Muhammadiyah tidak memiliki hubungan apapun dengan partai politik pada masa
ini. Namun dampak dari situasi politik ini bagi Muhammadiyah (dan juga terhadap ummat Islam
umumnya) adalah tiadanya ikatan emosional yang kuat dengan partai politik manapun. Dan
inilah yang melahirkan pemikiran high politik, dalam mana Muhammadiyah lebih menekankan
partisipasinya pada konsep-konsep pembangunan dan wacana intelektual, misalnya tentang
konsep kenegaraan, konsep pembangunan politik, pembangunan ekonomi dan seterusnya melalui
berbagai aktivitas akademik maupun penelitian dan penulisan baik yang diselenggarakan oleh
PTM maupun Persyarikatan. Sementara itu beberapa kader Muhammadiyah yang memiliki bakat
dan kesempatan untuk berpolitik praktis, dipersilahkan untuk bergabung ke PPP, Golkar,
maupun PDI. Situasi inilah yang kemudian melahirkan komitemen Muhammadiyah
sebagai tenda besar kulturalyang diharapkan tetap menjaga jarak dengan semua partai politik
sekaligus melindungi para politisinya yang ada di mana-mana. Memang situasi keterkungkungan
politik ini ada juga dampaknya secara organisatoris terhadap Muhammadiyah (dan juga terhadap
ormas lainnya), ketika diterapkan UU Keormasan nomor 8 tahun 1985, terutama masalah asas
tunggal Pancasila. Pada Anggaran Dasar (kesebelas) tahun 1985 melalui Muktamar ke 41 di
Surakarta. Pada Bab I Pasal 1 tentang Nama, Identitas dan Kedudukan, dinyatakan bahwa
Persyarikatan ini (Muhammadiyah) beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Sementara itu pada Bab II Pasal 2 tentang Asas, dinyatakan bahwa “Persyarikatan ini berasas
Pancasila”. Kultur politik Orba Baru ini rupanya sebagian masih tersisa sekarang. Arus besar
Reformasi yang terjadi sejak 1997, sebenarnya tidak lepas dari peran Muhammadiyah.
Pada era Reformasi, Peran politik penting Muhammadiyah menunjukkan keberanian yang
signifikan seiring dengan arus besar keinginan masyarakat untuk mengembalikan potensi politik
bangsa Indonesia. Di sinilah terjadi pematangan dan implementasi gerakanamar makruf nahi
munkar dalam aspek politik yang sudah digodok cukup lama pada masa Orde Baru. Pada Sidang
Tanwir 1998 di Semarang (setahun setelah jatuhnya rezim Orde Baru), peluang Muhammadiyah
untuk menjadi Parpol amat besar. Namun rupanya keputusan Sidang Tanwir tersebut amat
dewasa, dengan menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak akan menjadi partai politik. Warga
Muhammadiyah dipersilahkan mendirikan partai politik atau bergabung dengan partai yang ada,
dan secara institusional tidak ada hubungan antara parpol manapun dengan Muhammadiyah.
Dalam konteks ini, yang kita lihat adalah formulasi peran politik Muhammadiyah melalui kader-
kadernya dalam apa yang disebut-sebut sebagai high politik tadi. Beberapa isyu politik penting
berhasil diangkat, seperti demokratisasi, pemberantasan KKN, dan Keadilan. Seluruh isyu
tersebut memang merupakan mainstream Reformasi dan sekaligus sejalan dengan watak
Muhammadiyah sebagai gerakan reformis. Implikasi praktis dari arus besar ini antara lain dapat
kita lihat betapa perwujudan kepemimpinan nasional dengan lahirnya poros tengah dan
mengusung Gus Dur ke Istana (melalui Pemilu 1999), meskipun pada akhirnya langkah ini harus
segera dikoreksi pada pertengahan tahun 2002. Pada perjalanan pemerintahan Megawati,
akumulasi ketidakpuasan terhadap perjalanan reformasi ini semakin menguat. Krena itu wajar
bila pada momentum Pemilu 2004, Muhammadiyah (dan seluruh komponen reformasi) berharap
terjadi perubahan yang signifikan.

Kontekstualisasi amar makruf nahi munkar


Banyak orang berbicara bahwa dakwah amar makruf nahi mungkar yang telah menjadi
“khittah” Muhammadiyah sejak awal, dimaksudkan untuk membatasi gerakan Muhammadiyah
sebagai organisasi dakwah dan sosial semata. Padahal, apabila kita mau merenungkan,
Rasulullah pernah menyatakan bahwa apabila engkau melihat suatu kemungkaran, maka
hadapilah dengan tanganmu, dan apabila engkau tidak bisa, maka hadapilah dengan lidahmu,
dan apabila tidak bisa, maka hadapilah dengan nuranimu, akan tetapi menghadapi
kemungkaran dengan nurani adalah selemah-lemahnya Iman. Sepanjang masa orde baru, jargon
amar makruf nahi munkar tersebut oleh para petinggi Muhammadiyah sering hanya dibatasi pada
level dakwah dan pendidikan. Untuk ini terdapat beberapa alasan. Pertama, Muhammadiyah
sebagai gerakan Dakwah dan Pendidikan masih pada tahapan ekspansi secara kuantitas, sehingga
belum menyentuh aspek politik. Kedua, Iklim politik masa orba yang kurang kondusif untuk
mengemukakan gagasan-gagasan langsung yang berkaitan dengan keputusan-keputusan politik
apalagi misalnya tentang isu suksesi. Ketiga, terkait dengan yang kedua, partai politik tidak
sepenuhnya dapat merepresentasikan gagasan rakyat. Pada masa pascareformasi sekarang ini,
tidak ada salahnya, bahkan harus, bagi muhammadiyah untuk melakukan ijtihad politik, dengan
mempertegas komitmen amar makruf nahi munkar pada level yang lebih tinggi, yakni
kepemimpinan nasional. Mengapa ?
Terdapat beberapa argumen yang patut kita perhatikan. Pertama, menyimak hadits Nabi
di atas, jelas menunjukkan suatu keharusan untuk menempatkan amar makruf dengan tangan
(kekuasaan) menjadi prioritas utama. Sekarang ini reformasi telah digulirkan, di antara jargonnya
adalah pemberantasan KKN. Dalam model kultur masyarakat Indonesia yang paternalistik,
hanya tauladan pucuk pimpinan nasional yang bisa berpengaruh. Ibaratnya, bila sapu yang
digunakan untuk membersihkan KKN itu bersih, baru KKN bisa dihilangkan, akan tetapi jika
sapunya kotor, mana mungkin bisa membersihkan. Bagi Muhammadiyah, maka tidak ada jalan
lain kecuali merebut kepemimpinan nasional, bila ingin menyelamatkan reformasi. Kedua,
Melihat perkembangan hasil reformasi selama lima tahun terakhir, menunjukkan hal yang belum
menggembirakan. Dalam aspek ekonomi, tidak suatu perbaikan yang signifikan. Hal ini tentunya
erta terkait dengan visi dan komitmen presiden sebagai panutan rakyat. Dengan demikian misi
amak makruf nahi munkar tidaklah menjadi hilang, malah diberi pemaknaan sesuai konteksnya.

Dakwah Kultural Vs Politik Praktis ?


Beberapa kalangan, seperti JIL (Jaringan Islam Liberal) dan JIMM (Jaringan Intelektual
Muda Muhammadiyah) beberapa waktu ini sibuk melakukan kritik terrhadap keputusan PP
Muhammadiyah yang mendukung pencapresan Amien Rais. Di antaranya adalah,
mempertanyakan misi dakwah kultural yang sudah diputuskan dalam sidang Tanwir di Bali
beberapa tahun lalu, mengapa harus diganti dengan orientasi politik praktis sesaat ? Juga ada
yang mempermasalahkan hubungan Muhammadiyah-PAN, dengan menyatakan bahwa yang
memiliki kewenangan mengajukan capres dan cawapres adalah partai politik, bukan ormas
seperti Muhammadiyah. Mengenai pertentangan atau dikotomi dakwah kultural Vs Politik
praktis, dapat dijelaskan sebagai berikut. Ide dakwah kultural sesungguhnya adalah suatu model
dkwah yang dikembangkan Muhammadiyah melalui aspek budaya, seperti budaya bersih,
budaya disiplin, budaya keadilan, budaya hemat, budaya jujur, budaya rasional, budaya
profesional, dan seterusnya. Dalam konteks pembenahan Indonesia era reformasi ini, maka tentu
saja pemberantasan budaya KKN menjadi agenda penting bagi bangsa Indonesia, juga
Muhammadiyah. Inilah dakwah kultural, yang dalam aspek politiknya mengandung implikasi
ketauladanan, pergerakan, dan mobililasi yang berujung pada kepemimpinan bangsa. Dalam
konteks ini, maka sesungguhnya tidak ada dikotomi dakwah kultural Vs politik praktis, namun
yang ada adalah strategi dakwah kultural dengan pilihan pada sosok kepemimpinan yang bakal
memberikan tauladan.
Muktamar Satu Abad Muhammadiyah yang digelar di Yogyakarta 3-8 Juli 2010 ini,
menyisakan pertanyaan mendasar menyangkut bagaimana hubungannya dengan politik kekinian.
Terkait dengan hal itu, beberapa otokritik telah dilancarkan oleh tokoh-tokoh Muhammdiyah.
Abdul Munir Mulkhan, misalnya melihat akhir-akhir ini Muhammadiyah mulai terperangkap
pada isu kekuasaan yang membuatnya kurang peduli pada nasib mereka yang terpinggirkan, baik
karena persoalan ekonomi maupun budaya. (Kompas, 30/6/2010).
Otokritik tersebut mewakili suatu arus utama yang menolak Muhammadiyah terlibat
terlalu jauh dalam politik-praktis. Penilain demikian tampaknya lebih dialamatkan pada elite
Muhammadiyah yang secara langsung atau tidak suka bermanuver politik. Muhammadiyah
sendiri tidak mengharamkan politik, bahkan menganjurkan para kedernya untuk paham politik.
Juga, tidak melarang kadernya berkiprah di partai-partai politik.
Yang lebih banyak disorot adalah sikap politik Muhammadiyah dalam merespons soal-
soal politik-praktis. Berbagai pihak akan melihat, merasakan, dan memberi penilaian atas ke
manakah kecenderungan politik Muhammadiyah dari sikap politik elite-elite utamanya.
Organisasinya boleh jadi selalu berlabel independen, tetapi subyektivitas politik elitenya, sering
terasa menonjol. Arus pendapat lain, sebagaimana terekam dari diskusi hubungan
Muhammadiyah dan politik di Universitas Muhammadiyah Jakarta belum lama ini adalah, agar
justru sebaliknya, Muhammadiyah memfasilitasi kader-kader strategisnya yang terjun dalam
politik praktis. Konsekuensinya, tidak menjadi soal manakala pengurus teras partai politik
merangkap pengurus penting Muhammadiyah, asal aturannya jelas. Dengan begitu,
Muhammadiyah menjadi terminal pengelolaan sumberdaya politiknya secara berkualitas.
Yang penting, sikap-sikap Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan, tidak
membelok ke arah politik praktis. “Checks and balances” akan dapat terjadi, ketika kader-kader
politik Muhammadiyah akan saling mengimbangi satu sama lain, sehingga tidak lahir suatu
keputusan politik praktis yang konfliktual.
Adalah wajar, manakala segenap elemen bangsa membahas politik, yang berarti juga
pengaruh kekuasaan. Muhammadiyah tumbuh dalam suasana sosial politik yang terus berjalan
secara dinamis. Pada masa organisasi ini didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, 1912, gelora politik
anti-kolonial sangat terasa. Bersama yang lain Muhammadiyah turut merespons semangat
perlawanan anti-kolonial itu, tetapi tidak dengan pendekatan politik-praktis, melainkan politik-
kultural.

Politik nilai
Sejak dulu, Muhammadiyah lebih dikenal organisasi Islam yang melakukan gerakan
transformasi kultural, dengan berbagai jenis unit aktivitas amal usaha. Muhammadiyah adalah
gerakan dakwah yang bercorak pembaharu, memiliki keprihatinan yang tinggi terhadap
permasalahan sosial-masyarakat atau umat yang masih banyak berposisi terpinggir (kaum
mustadh’afin).
Politik Muhammadiyah adalah politik nilai, khususnya nilai membela kepentingan kaum
terpinggir, nilai kesejahteraan, dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Tentu menjadi
beban berat para kadernya untuk mengemban dan mengaktualisasikan nilai-nilai itu.
Arus politik memang kuat sekali pada era reformasi ini. Para tokoh Muhammadiyah
sendiri, selama ini telah melakukan beberapa eksperimentasi (ijtihad) politik dengan mendirikan
dan mengembangkan partai politik. Yang menonjol adalah berdiri dan eksisnya Partai Amanat
Nasional (PAN) yang dimotori oleh M Amien Rais.
PAN termasuk salah satu partai yang lolos ketentuan parliamentary threshold di DPR.
Berbeda dengan PAN, eksperimentasi Partai Matahari Bangsa (PMB) yang dibidani oleh
kalangan muda Muhammadiyah, masih belum berhasil dalam kontestasi demokrasi elektoral.
Corak pilihan politik kader Muhammadiyah memang plural. Pilihan mereka tidak hanya
tertuju ke partai Islam, baik yang bersimbol atau berbasis massa Muslim, tetapi juga pada partai-
partai tengah yang bercorak catch-all. Pluralitas pilihan politik kader Muhammadiyah tersebut
sangat terkait dengan corak Muhammadiyah sendiri yang rasional-moderat. Soliditas politiknya,
tampak tak serekat jamaah NU yang bernaung di bawah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
walaupun partai tersebut elitenya terpecah-pecah.
Modernitas gerakan Muhammadiyah, lebih mengemuka pada wilayah state of mind,
bukan pada tradisionalitas patronase kultural atau politik. Inilah yang menyebabkan “fatwa
politik” petinggi Muhammadiyah, tidak mudah untuk begitu saja ditaati.
BAB III
KESIMPULAN

Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya: dengan


dakwah amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya,
Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara operasionil dan
secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik
Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang
adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai Allah SWT. Dalam
melaksanakan usaha itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada kepribadiannya.
Banyak orang berbicara bahwa dakwah amar makruf nahi mungkar yang telah menjadi
“khittah” Muhammadiyah sejak awal, dimaksudkan untuk membatasi gerakan Muhammadiyah
sebagai organisasi dakwah dan sosial semata. Modernitas gerakan Muhammadiyah, lebih
mengemuka pada wilayah state of mind, bukan pada tradisionalitas patronase kultural atau
politik. Inilah yang menyebabkan “fatwa politik” petinggi Muhammadiyah, tidak mudah untuk
begitu saja ditaati.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat,Syamsul,M.Ag,2011,Studi kemuhammadiyahan,LPID,Surakarta
http://muadz-akademia.blogspot.com/2012/04/muhammadiyah-dan-politik-reorientasi.html
http://politik.kompasiana.com/2010/07/03/muhammadiyah-dan-arus-politik/
http://www.pdmbontang.com

Anda mungkin juga menyukai