DISUSUN OLEH:
Assalamu’alaikum .Wr.Wb.
Puji syukur kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami panjatkan puji
dan sukur kehdirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-
nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyesaikan makalah kami.
Makalah ini telah kami susun secara maksimal atas bantuan dari berbagai pihak sehingga laporan
makalah ini bisa selesai dengan lancar. Untuk itu, kami selaku penyusun, banyak berterimakasih
kepada semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu atas segala bantuannya.
Kami menyadari, makalah yang kami buat jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan.
Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca, guna
menghasilkan makalah yang lebih baik.
Kami berharap, makalah yang kami susun bisa memberikan manfaat dan inspirasi bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum .Wr.Wb.
1. TUJUAN
Mengetahui perkembangan politik di dalam Organisasi Islam Muhammadiyah dan
pengaruh politik di dalam Organisasi Islam Muhammadiyah serta peran yang diberikan
2. LATAR BELAKANG
Berbicara tentang Muhammadiyah dan Politik, tidaklah dimaksudkan untuk membawa
pemikiran kepada perwujudan Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi politik, apalagi
menjadi partai politik. Namun, sejauh yang bisa kita amati sepanjang sejarah peran serta
Muhammadiyah dalam dinamika Bangsa Indonesia, adalah wajar apabila kita merenungkan
kembali peran amar makruf nahi munkar yang selama ini menjadi trade mark Muhammadiyah,
bukan hanya dalam dataran sosial kemasyarakatan, tetapi juga dalam dataran sosial politik.
Akhir-akhir ini banyak komentar yang menyatakan bahwa dengan masuknya Muhammadiyah
dalam diskursus politik praktis, berarti telah meninggalkan khittahnya sebagai gerakan amar
makruf nahi munkar. Betulkah demikian ? tulisan berikut ini mencoba melihat realitas hubungan
Muhammadiyah dan politik, serta dampak logisnya dalam konteks amar makruf nahi munkar.
Pembicaraan mengenai relasi dakwah dan politik bukanlah hal baru di Muhammadiyah.
Bahkan dapat dikatakan “perdebatan” ini telah muncul di awal-awal kelahiran Muhammadiyah
itu sendiri. Pembuktiannya secara otentik dapat ditelusuri dalam penuturan KRH Hadjid
yang sanad-nya muttashil kepada KH Ahmad Dahlan. KRH Hadjid adalah seorang aumnus
Pondok Pesntren Termas sekaligus murid termuda KH ahmad Dahlan, menulis 7 (tujuh) falsafah
ajaran dan 17 kelompok ayat Al-Qur’an yang menjadi pokok wejangan dan pelajaran dari pendiri
persyarikatan Muhammadiyah. KRH hadjid berkeyakinan bahwa berbgai kesulitan yang timbul
dalam masyarakat dapat diatasi dengan ketujuh falsafah tersebut sebagaimana ketujuh belas
kelompok ayat Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai pegangan pokok oleh para pewaris
Muhammadiyah yang tidak sedikit diantara mereka telah meninggalkan jiwa/ruhiyah
Muhammadiyah itu sendiri.
Ketika KHA Dahlan menerangkan kelompok ayat ke-12 wa ana minal muslimin(al-
an’am/6;162-163) yang artinya : katakanlah “ Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan
matiku hanyalah kepada Allah,Tuhan semesta aslam,tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah
yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri
(kepada Allah)”.
Pada tahun 1918, menurut KRH. Hadjid (ketika itu berusia 23 tahun),diadakan rapat tahunan
anggota Muhammadiyah Suronatan Yogyakarta. Pada rapat tersebut dibicarakan tentang
AD/ART Muhammadiyah. KH. Suprapto Ibnu Juraimi, yang berguru langsung kepada KHR.
Hadjid menjelaskan bahwa, ketika itu terdapat dua pendapat dalam siding. Pertama,KHA Dahlan
yang menghendaki agar Muhammadiyah ini tetap sebagai gerakan dakwah . kedua,KH. Agus
Salim mengusulkan agar Muhammadiyah menjadi organisasi politik.
Pembicaraan tersebut kemudian dihentikan oleh KHA. Dahlan dengan mengetuuk palu
pimpinan sambil berdiri. Krtika suasana tenang, KHA.Dahlan menggugah para peserta siding
dengan dua pertanyaan yang menggelorakan jiwa :” apakah sudara-saudara sudahmengerti
benar tentang Islamdan apakah arti Islam yang sebenar-benarnya?”;”apakah saudara-saudara
ini senang dan berani menjalankan Islam dengan sesungguhnya?”
Riwayat terbaca di atas secara eksplisit meneguhkan keyakinan Pendiri Muhammadiyah agar
Persyarikatan ini berkiprah di ranah dakwah, keagamaan dan kemasyarakatan serta tidak
bergerak pada ranah gerakan polotik praktis.
DR. Haear Nashir,M.Si., ketua PP muhammadiyah, dalam makalahnya yang bertajuk “
Tantangan Dakwah Muhammadiyah Dimensi Pendidikan dan Politik” pada Rapat Kerja
Nasional MTDK di Semarang, 20-22 Pebruari 2009 menegaskan, bahwa dengan karakter dan
misi sebagai gerkan dakwah dan tajdiditu, maka Muhammadiyah sejak awal kelahirannya tidak
memilih jalur perjuangan politik dan tidak menjadikan dirinya sebagai gerakan atau partai
politik. Dalam bahasa sehari-hari sering dinyatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan
dakwah dan bukan gerakan politik. Deklarasi dan sekaligus pemagaran diri Muhammadiyah dari
polotik,khususnya politik-praktis(politik yang berorientasi pada perjuangan meraih kekuasaan di
ranah Negara sebagaimana partai politik,perjuangan di kancah real politics), secara organisatoris
dan kelembagaan kemudian dikukuhkan melalui Khitthah Muhammadiyah, yang disertai dengan
kebijakan-kebijakan Pimpinan Puat Muhammadiyah maupun produk-produk Permusyawaratan
dalam Muhammadiyah dalam melaksanakannya.
Kristalisasi paham Muhammadiyah yang menyangkut relasi dakwah dan politik dapat dilacak
melalui rumusan-rumusan Khitthah-Khitthah perjuangan yang telah digariskan dalam
permusyawaratan persyarikatan.
BAB II
PEMBAHASAN
Perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya dinamik dari dalam
ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar, telah menyebabkan perubahan
tertentu. Perubahan itu menyangkut seluruh segi kehidupan masyarakat, diantaranya bidang
sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, yang menyangkut perubahan strukturil dan perubahan
pada sikap serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia.
Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan perubahan itu,
senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi-mungkar, serta
menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang dipilihnya ialah
masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: "menegakkan dan
menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang
diridlai Allah SWT.
Dalam melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah berjalan diatas prinsip gerakannya,
seperti yang dimaksud di dalam Matan Keyakinan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah itu senantiasa menjadi landasan gerakan
Muhammadiyah, juga bagi gerakan dan amal usaha dan hubungannya dengan kehidupan
masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam bekerjasama dengan golongan Islam lainnya.
Politik nilai
Sejak dulu, Muhammadiyah lebih dikenal organisasi Islam yang melakukan gerakan
transformasi kultural, dengan berbagai jenis unit aktivitas amal usaha. Muhammadiyah adalah
gerakan dakwah yang bercorak pembaharu, memiliki keprihatinan yang tinggi terhadap
permasalahan sosial-masyarakat atau umat yang masih banyak berposisi terpinggir (kaum
mustadh’afin).
Politik Muhammadiyah adalah politik nilai, khususnya nilai membela kepentingan kaum
terpinggir, nilai kesejahteraan, dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Tentu menjadi
beban berat para kadernya untuk mengemban dan mengaktualisasikan nilai-nilai itu.
Arus politik memang kuat sekali pada era reformasi ini. Para tokoh Muhammadiyah
sendiri, selama ini telah melakukan beberapa eksperimentasi (ijtihad) politik dengan mendirikan
dan mengembangkan partai politik. Yang menonjol adalah berdiri dan eksisnya Partai Amanat
Nasional (PAN) yang dimotori oleh M Amien Rais.
PAN termasuk salah satu partai yang lolos ketentuan parliamentary threshold di DPR.
Berbeda dengan PAN, eksperimentasi Partai Matahari Bangsa (PMB) yang dibidani oleh
kalangan muda Muhammadiyah, masih belum berhasil dalam kontestasi demokrasi elektoral.
Corak pilihan politik kader Muhammadiyah memang plural. Pilihan mereka tidak hanya
tertuju ke partai Islam, baik yang bersimbol atau berbasis massa Muslim, tetapi juga pada partai-
partai tengah yang bercorak catch-all. Pluralitas pilihan politik kader Muhammadiyah tersebut
sangat terkait dengan corak Muhammadiyah sendiri yang rasional-moderat. Soliditas politiknya,
tampak tak serekat jamaah NU yang bernaung di bawah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
walaupun partai tersebut elitenya terpecah-pecah.
Modernitas gerakan Muhammadiyah, lebih mengemuka pada wilayah state of mind,
bukan pada tradisionalitas patronase kultural atau politik. Inilah yang menyebabkan “fatwa
politik” petinggi Muhammadiyah, tidak mudah untuk begitu saja ditaati.
BAB III
KESIMPULAN
Hidayat,Syamsul,M.Ag,2011,Studi kemuhammadiyahan,LPID,Surakarta
http://muadz-akademia.blogspot.com/2012/04/muhammadiyah-dan-politik-reorientasi.html
http://politik.kompasiana.com/2010/07/03/muhammadiyah-dan-arus-politik/
http://www.pdmbontang.com