Anda di halaman 1dari 55

Moral Politik Muhammadiyah Kamis, 26/04/2007 Pada 2629 April 2007, Muhammadiyah menyelenggarakan tanwir di Yogyakarta.

Tanwir yang mengusung tema,Peneguhan dan Pencerahan Gerakan untuk Kemajuan Bangsa di antaranya akan membahas materi peran kebangsaan dengan penekanan pada Aktualisasi Khitah Ujung Pandang 1971 dan Khitah Denpasar 2002. Pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah) dari diusungnya materi di atas dengan penekanan pada dua khitah meskipun sebenarnya masih ada Khitah Surabaya 1978 yang juga perlu diusungseakan ingin mengamini bahwa selama ini Muhammadiyah memang belum atau tidak secara serius berjalan di atas rel khitahnya, yaitu sebagai ormas keagamaan. Selama ini, Muhammadiyah kerap membuat putusan yang secara sadar atau tidak telah menyeret Muhammadiyah pada kubangan politik praktis. Karena itu, tidak heran bila selama perjalanan sejarahnya Muhammadiyah lebih banyak bersinggungan dengan politik praktis. Dua Khitah Khitah Ujung Pandang dan Khitah Denpasar sama-sama menegaskan netralitas Muhammadiyah terhadap kekuatan politik mana pun. Hanya yang membedakan, sebagai khitah transisi, Khitah Ujung Pandang masih belum bisa membebaskan diri dari kungkungan Khitah Ponorogo 1969 yang nuansa politiknya begitu kuat,sehingga masih menyebut kata Parmusi: Untuk lebih memantapkan Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam setelah Pemilu 1971, Muhammadiyah melakukan amar makruf nahi munkar secara konstruktif dan positif terhadap Parmusi seperti halnya terhadap partai-partai politik dan organisasi-organisasi lainnya (poin 3). Bila dikaji dalam konteks zamannya, keluarnya rumusan khitah tersebut menarik untuk dikritik. Khitah Ujung Pandang misalnya, dikeluarkan selepas munculnya kebijakan politik berupa Khitah Ponorogo yang begitu partisan. Setelah menyadari bahwa selain Khitah Ponorogo tidak membawa maslahahdan bertentangan dengan jati diri Muhammadiyah, juga realitas politik saat itu yang mulai tidak kondusif lantaran negara (militer) mulai tampil serbadominan melalui Golkar dan juga pelaksanaan Pemilu 1971 yang sarat dengan kecurangan, keluarlah Khitah Ujung Pandang yang menegaskan netralitas politik Muhammadiyah. Begitu juga Khitah Denpasar diputuskan selepas Muhammadiyah melalui Tanwir Semarang 1998, memberikan rekomendasi dukungan atas berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN). Ketika PAN dinilai juga tidak membawa maslahahbahkan cenderung membebani, karena Muhammadiyah selalu saja diidentikkan dan dikaitkan dengan PANMuhammadiyah pun mengeluarkan rumusan Khitah Denpasar. Varian Politik Keluarnya rumusan Khitah Ponorogo, Khitah Ujung Pandang,Khitah Surabaya, Tanwir Semarang, Khitah Denpasar, dan Tanwir Mataram 2004, selain menunjukkan sikap politik

Muhammadiyah yang ambigu, juga menegaskan adanya tarik menarik dan terfragmentasinya sikap politik warga Muhammadiyah. Dan bila berkaca pada doktrin mainstreamdi kalangan umat Islam bahwa Islam adalah agama dan negara (Islam al-dien wa al-dawlah), terfragmentasinya sikap politik warga Muhammadiyah cukup bisa dipahami.Apalagi, sejarah Muhammadiyah juga menunjukkan dominasi dalam relasinya dengan politik. Dominasi relasi ini setidaknya tergambar dari kedekatan KH Ahmad Dahlan dengan Budi Utomo dan PSII. Relasi ini boleh dikatakan sebagai titik awal Muhammadiyah bersinggungan dengan politik. Ketika dikomandoi KH Mas Mansyur,wajah politik Muhammadiyah bahkan begitu dominan. KH Mas Mansyur misalnya, menjadi penggagas berdirinya Partai Islam Indonesia (PII), penggagas lahirnya MIAI dan Masyumi. Pasca-Orde Lama, ketika upaya rehabilitasi Masyumi gagal, Muhammadiyah juga menjadi penggagas lahirnya Parmusi. Sewaktu rezim Orde Baru menerapkan kebijakan depolitisasi partai politik, Muhammadiyah yang terepresentasikan lewat Parmusi (MI) memfusi ke dalam PPP.Melalui rekomendasi Tanwir Semarang 1998, Muhammadiyah juga ikut membidani lahirnya PAN. Tahun 2004 melalui Tanwir Mataram, Muhammadiyah mengeluarkan rumusan politik yang cenderung vis a vis Khitah Denpasar yang memberikan lampu hijau kepada AMM untuk mengkaji kemungkinan berdirinya partai baru. Keputusan Tanwir ini kemudian disikapi dan ditafsiri secara kritis oleh eksponen AMM dengan mendirikan Partai Matahari Bangsa (PMB). Peneguhan Moral Politik Paparan di atas menggambarkan bahwa kebijakan politik Muhammadiyah tampak sangat dipengaruhi situasi praksis-politik (low politics) yang melingkupinya ketimbang idealitas politik Muhammadiyah (high politics). Dengan begitu, mengesankan tidak konsistennya sikap dan posisi politik Muhammadiyah. Sebagai ormas keagamaan, Muhammadiyah tidak seharusnya terlibat pada wilayah politik praktis. Meski begitu, sebagai organisasi dakwah amar makruf nahi munkar, Muhammadiyah juga tidak semestinya emoh pada politik. Hanya, politik yang dimaksud adalah sebagaimana diamanatkan Khitah Denpasar poin 5 yang berwajah high politics. Atau bila berangkat dari keempat varian di atas, semestinya Muhammadiyah memosisikan diri pada varian politis-organisatoris. Dengan mengambil posisi politisorganisatoris, ke depan sudah semestinya Muhammadiyah tidak lagi membuat putusan sejenis Khitah Ponorogo, Tanwir Semarang, dan Tanwir Makasar 2003 yang begitu partisan, termasuk Sidang Pleno 2004 yang mendukung kader terbaik (Amien Rais) sebagai calon presiden atau juga surat keputusan seperti SK 149 tentang Kebijakan Mengenai Konsolidasi Organisasi dan Amal Usaha Muhammadiyah, yang beberapa poinnya cenderung tidak proporsional. Dalam SK tersebut misalnya, sampai menyebut nama Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meski penulis cukup bisa memahami konteks keluarnya SK tersebut, penyebutan nama PKS cenderung bertentangan dengan semangat Khitah Ujung Pandang dan Khitah Denpasar. Dalam SK tersebut juga ditegaskan kembali Keputusan Muktamar Muhammadiyah Malang 2005 yang menolak upaya-upaya untuk mendirikan partai yang memakai atau menggunakan nama atau simbolsimbol Persyarikatan Muhammadiyah, yang juga tidak semestinya dikeluarkan menjadi ketetapan

forum seperti Muktamar. Andaikan SK tersebut dibuat sebelum berdirinya PAN pada 1998 atau tidak di saat teman-teman PMB sedang menyosialisasikan partai barunyadua partai ini sama-sama menggunakan simbol mataharitentu tidak terlalu menjadi persoalan.Alih-alih mencoba mengambil posisi netral politik, dengan keluarnya SK tersebut, justru menunjukkan sikap keberpihakan Muhammadiyah dan cenderung tidak proporsional. Bila Muhammadiyah secara serius ingin melakukan pertaubatan politik dengan tidak lagi menyeret Muhammadiyah pada wilayah politik praktis, segala sikap dan posisi politik Muhammadiyah harus sejalan dengan semangat Khitah Ujung Pandang dan Khitah Denpasar. Muhammadiyah tidak boleh berafiliasi atau mendukung kekuatan politik tertentu.Sebaliknya,Muhammadiyah harus menjaga kedekatan yang sama kekuatan politik yang ada. Dua tahun ke depan merupakan tantangan tersendiri bagi upaya aktualisasi Khitah Ujung Pandang dan Khitah Denpasar. Andaikan menjelang Pilpres 2009 Muhammadiyah kembali mengeluarkan rumusan politik yang berbau praktis-politis, tidaklah salah untuk mengatakan bahwa Muhammadiyah memang tidak secara serius untuk berjalan di atas rel Khitah 1912. Atau hal itu memang telah menjadi karakter asli Muhammadiyah yang merupakan bagian dari mainstream Islam di dunia yang berwajah politis? Wallahu Alam. (*) MAMUN MUROD AL-BARBASY Direktur Laboratorium Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta Ketua PP Pemuda Muhammadiyah

Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, atau yang akrab disingkat MKCH. Berikut ini naskahnya.

MATAN KEYAKINAN DAN CITA-CITA HIDUP MUHAMMADIYAH 1. Muhammadiyah adalah Gerakan Islam danDakwah Amar Maruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Quran dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. 2. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yagn diwahyukan kepada Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi. 3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: a. Al-Quran: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW; b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. 4. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidangbidang: a. Aqidah b. Akhlak c. Ibadah d. Muamalah Duniawiyah 4.1. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bidah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam. 4.2. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia. 4.3. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia. 4.4. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya muamalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pem-binaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT. 5. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT: BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR (Keputusan Tanwir Tahun 1969 di Ponorogo)

Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah

1. Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Maruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Quran dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. 2. Muhammdiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi. 3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: a. Al-Quran: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW; b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. 3. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidangbidang: a. Aqidah Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bidah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam. b. Akhlak Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia

c. Ibadah Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia. d. Muamalah Duniawiyah Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya muamalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT. 5. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT: BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR (Keputusan Tanwir Tahun 1969 di Ponorogo) Catatan: Rumusan Matan tersebut telah mendapat perubahan dan perbaikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah: 1. Atas kuasa Tanwir tahun 1970 di Yogyakarta; 2. Disesuaikan dengan Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Surakarta.

Catatan: Rumusan Matan tersebut telah mendapat perubahan dan perbaikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah: a. Atas kuasa Tanwir tahun 1970 di Yogyakarta; b. Disesuaikan dengan Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Surakarta.

SISTEMATIKA DAN PEDOMAN UNTUK MEMAHAMI RUMUSAN MATAN KEYAKINAN DAN CITA-CITA HIDUP MUHAMMADIYAH

SISTEMATIKA 1. Rumusan matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhammadiyah terdiri dari 5 (lima) angka. 2. Lima angka tersebut dapat dibagi menjadi kelompok. KELOMPOK KESATU: Mengandung pokok-pokok persoalan yang bersifat ideologis, ialah angka 1 dan 2, yang berbunyi: 1. Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Maruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Quran dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT, untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. 2. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yagn diwahyukan kepada para Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan sprituil, duniawi dan ukhrawi. KELOMPOK KEDUA: Mengandung persoalan mengenai faham Agama menurut Muhammadiyah, ialah: angka 3 dan 4, yang berbunyi: 3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: a. Al-Quran: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW; b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan pelak-sanaan ajaran-ajaran Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. 4. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidangbidang: a. Aqidah b. Akhlak c. Ibadah d. Muamalah Duniawiyah 4.1. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya Aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bidah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip toleransi menurut ajaran Islam. 4.2. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia. 4.3. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.

4.4. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya Mumalah duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT. KELOMPOK KETIGA: Mengandung persoalan mengenai fungsi dan misi Muhammadiyah dalam masyarakat Negara Republik Indonesia, ialah angka 5 yang berbunyi: 5. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhai Allah SWT: BALDATUN THAYYIBATUN WA ROBBUN GHAFUR

PEDOMAN UNTUK MEMAHAMI Uraian singkat mengenai Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah. 3. Pokok-pokok persoalan yang bersifat ideologis, yang terkandung dalam angka 1 dan 2 dari Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhammadiyah, ialah: a. Aqidah: Muhammadiyah adalah beraqidah Islam. b. Cita-cita/Tujuan: Bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT. c. Ajaran yang digunakan untuk melaksanakan aqidah dalam mencapai cita-cita /tujuan tersebut: Agama Islam adalah agama Allah sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada ummat manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan sprituil, duniawi dan ukhrawi. 4. Fungsi aqidah dalam persoalan Keyakinan dan Cita-cita hidup adalah sebagai sumber yang menentukan bentuk keyakinan dan cita-cita hidup itu sendiri. Berdasarkan Islam, artinya ialah: Islam sebagai sumber ajaran yang menentukan keyakinan dan cita-cita hidupnya. Ajaran Islam, yang inti ajarannya berupa keper-cayaan: tauhid membentuk keyakinan dan cita-cita hidup; bahwa hidup manusia di dunia ini semata-mata hanyalah untuk beribadah kepada Allah SWT, demi untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Hidup beribadah menurut ajaran Islam, ialah hidup bertaqarrub kepada Allah SWT, dengan menu-naikan amanah-Nya serta mematuhi ketentuanketentuan yang menjadi peraturan-Nya guna mendapatkan keridhaan-Nya. Amanah Allah yang menentukan fungsi dan misi manusia dalam hidupnya di dunia, ialah manusia sebagai hamba Allah dan khalifah (pengganti)Nya yang bertugas mengatur dan membangun dunia serta menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertibannya untuk memakmurkannya. 5. Fungsi cita-cita/tujuan dalam persoalan Keyakinan dan cita-cita hidup ialah sebagai kelanjutan/konsek-wensi dari Aqidah. Hidup yang beraqidah Islam, seperti yang disimpulkan pada angka 4 diatas, tidak bisa lain kecuali menimbulkan kesadaran pendirian, bahwa citacita/tujuan yang akan dicapai dalam hidupnya di dunia, ialah terwujudnya tata-kehidupan masyarakat yang baik, guna mewujudkan kemak-muran dunia dalam rangka ibadahnya kepada Allah SWT. Dalam hubungan ini, Muhammadiyah telah mene-gaskan cita-cita/tujuan perjuangannya dengan: ...sehingga terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur, yang diridhai Allah SWT. (AD PS.3) Bagaimana bentuk/wujud masyarakat uatama yang adil dan

makmur, yang diridhai Allah SWT yang dimaksud itu, harus dirumuskan dalam satu konsepsi yang jelas, gamblang dan menyeluruh. 6. Berdasarkan keyakinan dan cita-cita hidup yang beraqidah Islam dan dikuatkan oleh hasil penyelidikan secara ilmiah, historis dan sosiologis, Muhammadiyah berkeyakinan, bahwa ajaran yang dapat untuk melaksanakan hidup yang sesuai dengan Aqidahnya dalam mencapai citacita/tujuan hidup dan perjuangannya sebagaimana dimaksud, hanyalah ajaran Islam. Untuk itu sangat diperlukan adanya rumusan secara kongkrit, sistematis dan menyeluruh tentang konsepsi ajaran Islam yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia/masyarakat, sebagai isi dari pada masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. 7. Keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah yang persoalan-persoalan pokoknya telah diuraikan dengan singkat di atas, adalah dibentuk/ditentukan oleh pengertian dan fahamnya mengenai agama Islam. Agama Islam adalah sumber keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah, Maka dari itu, faham agama bagi Muhammadiyah dalah merupakan persoalan yang essensial bagi adanya keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah. 8. Faham Agama 8.1. Agama Islam ialah agama Allah yang diturunkan kepada para Rasul-Nya, sejak Nabi Adam sampai Nabi terakhir, ialah Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW sebagi Nabi yang terakhir, diutus dengan membawa syariat agama yang sempurna, untuk seluruh umat manusia sepanjang masa. Maka dari itu agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW itulah yang tetap berlaku sampai sekarang dan untuk masa-masa selanjutnya.

(teks arab) Artinya: Agama (yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW) ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Al-Quran dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan umat manusia di dunia dan akhirat.

(teks arab) Artinya: Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan Nabi-Nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat. (Putusan Majelis Tarjih) 8.2. Dasar Agama Islam

a. Al-Quran: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan pelaksanaan ajaran Al-Quran yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, dengan mengunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam (nukilan dari matan). 8.3. Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai penjelasannya adalah pokok dasar hukum/ajaran Islam yang mengandung ajaran yang benar. Akal pikiran/Ar-Rayu adalah alat untuk : a. mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul. b. mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian Al-Quran dan Sunnah Rasul. Sedang untuk mencari cara dan dalam melaksanakan ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasul dalam mengatur dunia guna memakmurkannya, akal pikiran yang dinamis dan progresif mempunyai peranan yang yang penting dan luas. Begitu pula akal pikiran bisa untuk mempertimbangkan seberapa jauh pengaruh keadaan dan waktu terhadap penerapan suatu ketentuan hukum daalm batas maksud-maksud pokok ajaran agama. 8.4. Muhammadiyah berpendirian bahwa pintu ijtihad senantiasa terbuka. 8.5. Muhammadiyah berpendirian bahwa orang dalam beragama hendaklah berdasarkan pengertian yang benar, dengan ijtihad atau ittiba. 8.6. Muhammadiyah dalam menetapkan tuntunan yang berhubungan dengan masalah agama, baik bagi kehidupan perseorangan ataupun bagi kehidupan gerakan, adalah dengan dasar-dasar seperti tersebut di atas; dilakukan dalam musyawarah oleh para ahlinya, dengan cara yang sudah lazim disebut tarjih, ialah membanding-banding pendapat-pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat. 8.7. Dengan dasar dan cara memahami agama seperti di atas, Muhammadiyah berpendirian bahwa ajaran Islam merupakan kesatuan ajaran yang tidak boleh dipisah-pisah dan meliputi : a. Aqidah: ajaran yang berhubungan dengan kepercayaan. b. Akhlaq: ajaran yang berhubungan dengan pemberntukan mental. c. Ibadah (mahdloh): ajaran yang berhubungan dengan peraturan dan tata cara hubungan manusia dengan Tuhan. d. Muamalat Duniawiyat: ajaran yagn berhubungan dengan pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat. Dimana semuanya itu bertumpu dan untuk mencerminkan kepercayaan Tauhid dalam hidup dan kehidupan manusia, dalam wujud dan bentuk hidup dan kehidupan yang semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT dalam arti ibadah yang dirumuskan oleh Majelis Tarjih:

(teks arab) Artinya: Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan mentaati segala perintah-perintahNya, menjauhi segala larangan-laranganNya, dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus. a. Yang umum, ialah segala amalan yang diizinkan Allah; b. Yang khusus, ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincianperinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu.

9. Fungsi dan Misi Muhammadiyah 9.1. Berdasarkan keyakinan dan cita-cita hidup yagn bersumberkan ajaran Islam yang murni seperti tersebut diatas, Muhammadiyah menyadari kewajibannya: berjuang dan mengajak segenap golongan dan lapisan bangsa Indonesia, untuk mengatur dan membangun tanah air dan negara Republik Indonesia, sehingga merupakan masyarakat dan negara yang adil dan makmur, sejahtera bahagia, materil dan sprituil yang diridhai Allah SWT. 9.2. Mengingat perkembangan sejarah dan kenyataan bangsa Indonesia sampai dewasa ini, semua yang ingin dilaksanakan dan dicapai oleh Muham-madiyah dari pada keyakinan dan citacita hidup-nya, bukanlah hal yang baru, dan hakekatnya adalah sesuatu yang wajar. 9.3. Sedang pola perjuangan Muhammadiyah dalam melaksanakan dan mencapai keyakinan dan cita-cita hidupnya dalam masyarakat Negara Republik Indonesia, Muhammadiyah menggunakan dakwah Islam dan Amar Maruf nahi Munkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya, sebagai jalan satu-satunya. Lebih lanjut mengenai soal ini dapat diketahui dan difahami dalam Khittah Perjuangan Muhammadiyah.

Muhammadiyah

Muhammadiyah merupakan salah satu orgnisasi Islam pembaharu di Indonesia. Gerakan Muhammadiyah yang dibangun oleh K.H. Ahmad Dahlan sesungguhnya merupakan salah satu mata rantai yang panjang dari gerakan pembaharuan Islam yang dimulai sejak tokoh pertamanya, yaitu Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Sayyid Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan sebagainya. Pengaruh gerakan pembaharuan tersebut terutama berasal dari Muhammad Abduh melalui tafsirnya, al-Manar, suntingan dari Rasyid Ridha serta majalah al-Urwatul Wustqa. Tokoh Pendirinya Pendiri Muhammadiyah adalah K.H. Ahmad Dahlan. Ia lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, tahun 1868 M dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya adalah K.H. Abubakar, seorang Khotib masjid Besar Kesultanan Yogyakarta, yang apabila dilacak silsilahnya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim. Ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim, Penghulu kesultanan Yogyakarta. Jadi, kedua orang tua K.H. Ahmad Dahlan juga merupakan keturunan ulama. Meskipun Muhammad Darwis berasal dari kalangan keluarga yang cukup terkemuka, tetapi ia tidak sekolah di Gubernemen (waktu itu), melainkan diasuh dan dididik mengaji Alquran dan dasar-dasar ilmu agama Islam oleh ayahnya sendiri di rumah. Hal itu karena pada waktu itu ada suatu pendapat umum bahwa barangsiapa memasuki sekolah Gubernemen, maka dianggap kafir atau Kristen. Pada usia delapan tahun ia telah lancar membaca Alquran hingga khatam. Kemudian ia belajar fikih kepada K.H. Muhammad Shaleh, dan nahwu kepada K.H. Muhsin. Keduanya adalah kakak ipar Muhammad Darwis sendiri. Ia juga berguru kepada K.H. Muhammad Nur dan K.H. Abdul Hamid dalam berbagai ilmu. Pada tahun 1889 M ia dinikahkan dengan saudara sepupunya, Siti Walidah, putri K.H. Muhammad Fadil, Kepala Penghulu Kesultanan Yogyakarta. Beberapa bulan setelah pernikahannya, atas anjuran ayah bundanya, Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji. Ia tiba di Mekah pada bulan Rajab 1308 H (1890 M). Setelah menunaikan umrah, Ia bersilaturahmi dengan para ulama, baik dari Indonesia maupun Arab. Di antaranya, ia mendatangi ulama mazhab Syafi'i Bakri Syata' dan mendapat ijazah nama Haji Ahmad Dahlan. Ia telah berganti nama, dan juga bertamabah ilmunya. Sepulang dari ibadahnya itu, ia membantu ayahnya mengajar santri-santri remaja. Sehingga, ia mendapat sebutan K.H. Ahmad Dahlan. Pada tahun 1896 M ia diangkat menjadi khotib di masjid Besar oleh kesultanan Yogyakarta dengan gelar "khotib amin". Ia juga berdagang batik ke kota-kota di Jawa. Ia pernah diberi modal oleh orang tuanya sebanyak F. 500,- pada tahun 1892, tetapi sebagian besar digunakan untuk membeli kitab-kitab Islam. Dalam perjalanan dagang itu, ia selalu bersilaturahmi kepada para ulama setempat dan membicarakan perihal agama Islam dan masyarakatnya. Perjalanan demikian bertujuan untuk mempelajari sebab-sebab kemunduran kaum muslimin dan mencari jalan keluar untuk mengatasinya. Tahun 1909 K.H. Ahmad Dahlan bertemu dengan Dr. Wahidin Sudirohusodo di Ketandan, Yogyakarta. Ia menanyakan berbagai hal tentang perkumpulan Budi Utomo dan tujuannya. Setelah mendengarkan penjelasan darinya, ia ingin bergabung dengan organisasi tersebut. Ia

mulai belajar berorganisasi. Pada tahun 1910, ia pun menjadi anggota ke-770 perkumpulan Jami'at Khair Jakarta. Ia tertarik kepada organisasi ini karena organisasi ini telah lebih awal membangun sekolah-sekolah agama dan bahasa Arab, disamping bergerak dalam bidang sosial dan giat membina hubungan dengan pemimpin-pemimpin di negara-negara Islam yang telah maju. Dari pengalamannnya yang ia dapatkan, ia menyadari bahwa usaha perbaikan masyarakat itu tidak mudah jika dilaksanakan sendirian, melainkan dengan berorganisasi bekerja sama dengan banyak orang. Berdirinya Muhammadiyah Suatu ketia Ia menyampaikan usaha pendidikan setalah selesai menyampaikan santapan rohani pada rapat pengurus Budi Utomo cabang Yogyakarta. Ia menyampaikan keinginan mengajarkan agama Islam kepada para siswa Kweekschool Gubernamen Jetis yang dikepalai oleh R. Boedihardjo, yang juga pengurus Budi Utomo. Usul itu disetujui, dengan syarat di luar pelajaran resmi. Lama-lama peminatnya banyak, hingga kemudian mendirikan sekolah sendiri. Di antara para siswa Kweekschool Jetis ada yang memperhatikan susunan bangku, meja, dan papan tulis. Lalu, mereka menanyakan untuk apa, dijawab untuk sekolah anak-anak Kauman dengan pelajaran agama Islam dan pengetahuan sekolah biasa. Mereka tertarik sekali, dan akhirnya menyarankan agar penyelelenggaraan ditangani oleh suatu organisasi agar berkelanjutan sepeninggal K.H. Ahmad Dahlan kelak. Sebenarnya, mengenai pendirian sekolah itu telah dibicarakan dan dibantu oleh pengurus Budi Utomo. Setelah pelaksanaan penyelenggaraan sekolah itu sudah mulai teratur, kemudian dipikirkan tentang organisasi pendukung terselenggaranya kegiatan sekolah itu. Dipilihlah nama "Muhammadiyah" sebagai nama organisasi itu dengan harapan agar para anggotanya dapat hidup beragama dan bermasyarakat sesuai dengan pribadi Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Penyusunan anggaran dasar Muhamadiyah banyak mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru bahasa Melayu Kweekschool Jetis. Rumusannya dibuat dalam bahasa melayu dan Belanda. Kesepakatan bulat pendirian Muhamadiyah terjadi pada tanggal 18 November 1912M atau 8 Dzulhijjah 1330 H. Tgl 20 Desember 1912 diajukanlah surat permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, agar perserikatan ini diberi izin resmi dan diakui sebagai suatu badan hukum. Setelah memakan waktu sekitar 20 bulan, akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengakui Muhammadiyah sebagai badan hukum, tertung dalam Gouvernement Besluit tanggal 22Agustus 1914, No. 81, beserta alamporan statuennya. Arti Muhammadiyah Arti Bahasa (Etimologis) Muhamadiyah berasal dari kata bahasa Arab "Muhamadiyah", yaitu nama nabi dan rasul Allah yang terkhir. Kemudian mendapatkan "ya" nisbiyah, yang artinya menjeniskan. Jadi, Muhamadiyah berarti "umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam" atau "pengikut Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam", yaitu semua orang Islam yang mengakui dan meyakini bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir. Arti Istilah (Terminologi) Secara istilah, Muhamadiyah merupakan gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar, berakidah Islam dan bersumber pada Alquran dan as-Sunnah, didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8Dzulhijjah 1330 H, bertepatan 18November 1912 Miladiyah di kota Yogyakarta. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh pendirinya dengan maksud untuk berpengharapan

baik, dapat mencontoh dan meneladani jejak perjuangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, semata-mata demi terwujudnya 'Izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam sebagai realita dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realita. Maksud dan Tujuan Muhammadiyah Rumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah sejak berdiri hingga sekarang ini telah mengalami beberapa kali perubahan redaksional, perubahan susunan bahasa dan istilah. Tetapi, dari segi isi, maksud dan tujuan Muhammadiyah tidak berubah dari semula. Pada waktu pertama berdirinya Muhamadiyah memiliki maksud dan tujuan sebagi berikut: Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada penduduk bumi-putra, di dalam residensi Yogyakarta. Memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya. Hingga tahun 2000, terjadi tujuh kali perubahan redaksional maksud dan tujuan Muhamadiyah. Dalam muktamarnya yang ke-44 yang diselenggarakan di Jakarta bulan Juli 2000 telah ditetapkan maksud dan tujuan Muhamadiyah, yaitu Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Amal Usaha Muhammadiyah Usaha yang pertama melalui pendidikan, yaitu dengan mendirikan sekolah Muhammadiyah. Selain itu juga menekankan pentingnya pemurnian tauhid dan ibadah, seperti: Meniadakan kebiasaan menujuhbulani (Jawa: tingkeban), yaitu selamatan bagi orang yang hamil pertama kali memasuki bulan ke tujuh. Kebiasaan ini merupakan peninggalan dari adat-istiadat Jawa kuno, biasanya diadakan dengan membuat rujak dari kelapa muda yang belum berdaging yang dikenal dengan nama cengkir dicampur dengan berbagai bahan lain, seperti buah delima, buah jeruk, dan lain-lain. Masing-masing daerah berbeda-beda cara dan macam upacara tujuh bulanan ini, tetapi pada dasarnya berjiwa sama, yaitu dengan maksud mendoakan bagi keselamatan calon bayi yang masih berada dalam kandungan itu. Menghilangkan tradisi keagamaan yang tumbuh dari kepercayaan Islam sendiri, seperti selamatan untuk menghormati Syekh Abdul Qadir Jaelani, Syekh Saman, dll yang dikenal dengan manakiban. Selain itu, terdapat pula kebiasaan membaca barzanji, yaitu suatu karya puisi serta syair-syair yang mengandung banyak pujaan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang disalahartikan. Dalam acara-acara semacam ini, Muhammadiyah menilai, ada kecenderungan yang kuat untuk mengultusindividukan seornag wali atau nabi, sehingga hal itu dikhawatirkan dapat merusak kemurnian tauhid. Selain itu, ada juga acara yang disebut "khaul", atau yang lebih populer disebut khal, yaitu memperingati hari dan tanggal kematian seseorang setiap tahun sekali, dengan melakukan ziarah dan penghormatan secara besar-besaran terhadap arwah orang-orang alim dengan upacara yang berlebih-lebihan. Acara seperti ini oleh Muhammadiyah juga dipandang dapat mengeruhkan tauhid. Bacaan surat Yasin dan bermacam-macam zikir yang hanya khusus dibaca pada malam Jumat dan hari-hari tertentu adalah suatu bid'ah. Begia ziarah hanya pada waktu-waktu tertentu dan pada kuburan tertentu, ibadah yang tidak ada dasarnya dalam agama, juga harus ditinggalkan. Yang boleh adalah ziarah kubur dengan tujuan untuk mengingat adanya kematian pada setiap makhluk Allah. Mendoakan kepada orang yang masih hidup atau yang sudah mati dalam Islam sangat

dianjurkan. demikian juga berzikir dan membaca Alquran juga sangat dianjurkan dalam Islam. Akan tetapi, jika di dalam berzikir dan membaca Alquran itu diniatkan untuk mengirim pahala kepada orang yang sudah mati, hal itu tidak berdasa pada ajaran agama, oleh karena itu harus ditinggalkan. Demikian juga tahlilan dan selawatan pada hari kematian ke-3, ke-7, ke-40, ke100, dan ke-1000 hari, hal itu merupakan bid'ah yang mesti ditinggalkan dari perbuatan Islam. Selain itu, masih banyak lagi hal-hal yang ingin diusahakan oleh Muhammadiyah dalam memurnikan tauhid. Perkembangan Muhammadiyah 1. Perkembanngan secara Vertikal Dari segi perkembangan secara vertikal, Muhammadiyah telah berkembang ke seluruh penjuru tanah air. Akan tetapi, dibandingkan dengan perkembangan organisasi NU, Muhammadiyah sedikit ketinggalan. Hal ini terlihat bahwa jamaah NU lebih banyak dengan jamaah Muhammadiyah. Faktor utama dapat dilihat dari segi usaha Muhammadiyah dalam mengikis adat-istiadat yang mendarah daging di kalangan masyarakat, sehingga banyak menemui tantangan dari masyarakat. 2. Perkembangan secara Horizontal Dari segi perkembangan secara Horizontal, amal usaha Muhamadiyah telah banyak berkembang, yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Perkembangan Muhamadiyah dalam bidang keagamaan terlihat dalam upaya-upayanya, seperti terbentukanya Majlis Tarjih (1927), yaitu lembaga yang menghimpun ulama-ulama dalam Muhammadiyah yang secara tetap mengadakan permusyawaratan dan memberi fatwa-fatwa dalam bidang keagamaan, serta memberi tuntunan mengenai hukum. Majlis ini banyak telah bayak memberi manfaat bagi jamaah dengan usahausahanya yang telah dilakukan: Memberi tuntunan dan pedoman dalam bidang ubudiyah sesuai dengan contoh yang telah diberikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Memberi pedoman dalam penentuan ibadah puasa dan hari raya dengan jalan perhitungan "hisab" atau "astronomi" sesuai dengan jalan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Mendirikan mushalla khusus wanita, dan juga meluruskan arah kiblat yang ada pada amasjidmasjid dan mushalla-mushalla sesuai dengan arah yang benar menurut perhitungan garis lintang. Melaksanakan dan menyeponsori pengeluaran zakat pertanian, perikanan, peternakan, dan hasil perkebunan, serta amengatur pengumpulan dan pembagian zakat fitrah. Memberi fatwa dan tuntunan dalam bidang keluarga sejahtera dan keluarga berencana. Terbentuknya Departemen Agama Republik Indonesia juga termasuk peran dari kepeloporan pemimpin Muhammadiyah. Tersusunnya rumusan "Matan Keyakinan dan Cita-Cita hidup Muhammadiyah", yaitu suatu rumusan pokok-pokok agama Islam secara sederhana, tetapi menyeluruh. Dalam bidang pendidikan, usaha yang ditempuh Muhammadiyah meliputi: mendirikan sekolah-sekolah umum dengan memasukkan ke dalamnya ilmu-ilmu keagamaan, dan mendirikan madrasah-madrasah yang juga diberi pendidikan pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dengan usaha perpaduan tersebut, tidak ada lagi pembedaan mana ilmu agama dan ilmu umum. Semuanya adalah perintah dan dalam naungan agama. Dalam bidang kemasyarakatan, usaha-usaha yang telah dilakukan Muhammadiyah meliputi: Mendirikan rumah-rumah sakit modern, lengkap dengan segala peralatan, membangun balai-

balai pengobatan, rumah bersalin, apotek, dan sebagainya. Mendirikan panti-panti asuhan anak yatim, baik putra maupun putri untuk menyantuni mereka. Mendirikan perusahaan percetakan, penerbitan, dan toko buku yang banyak memublikasikan majalah-majalah, brosur dan buku-buku yang sangat membantu penyebarluasan paham-paham keagamaan, ilmu, dan kebudayaan Islam. Pengusahaan dana bantuan hari tua, yaitu dana yang diberikan pada saat seseorang tidak lagi bisa abekerja karena usia telah tua atau cacat jasmani. Memberikan bimbingan dan penyuluhan keluarga mengenai hidup sepanjang tuntunan Ilahi. Dalam bidang politik, usaha-usaha Muhammadiyah meliputi: Menentang pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan pajak atas ibadah kurban. Hal ini berhasil dibebaskan. Pengadilan agama di zaman kolonial berada dalam kekuasaan penjajah yang tentu saja beragama Kristen. Agar urusan agama di Indonesia, yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, juga dipegang oleh orang Islam, Muhammadiyah berjuang ke arah cita-cita itu. Ikut memelopori berdirinya Partai Islam Indonesia. Pada tahun 1945 termasuk menjadi pendukung utama berdirinya partai Islam Masyumi dengan gedung Madrasah Mu'alimin Muhammadiyah Yogyakarta sebagai tempat kelahirannya. Ikut menanamkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air Indonesia di kalangan umat Islam Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam tabligh-tablighnya, dalam khotbah ataupun tulisan-tulisannya. Pada waktu Jepang berkuasa di Indonesia, pernah seluruh bangsa Indonesia diperintahkan untuk menyembah dewa matahari, tuhan bangsa Jepang. Muhammadiyah pun diperintah untuk melakukan Sei-kerei, membungkuk sebagai tanda hormat kepada Tenno Heika, tiap-tiap pagi sesaat matahari sedang terbit. Muhammadiyah menolak perintah itu. Ikut aktif dalam keanggotaan MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) dan menyokong sepenuhnya tuntutan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) agar Indonesia mempunyai parlemen di zaman penjajahan. Begitu juga pada kegiatan-kegiatan Islam Internasional, seperti Konferensi Islam Asia Afrika, Muktamar Masjid se-Dunia, dan sebagainya, Muhammadiyah ikut aktif di dalamnya. Pada saat partai politik yang bisa amenyalurkan cita-cita perjuangan Muhammadiyah tidak ada, Muhammadiyah tampil sebagai gerakan dakwah Islam yang sekaligus mempunyai fungsi politik riil. Pada saat itu, tahun 1966/1967, Muhammadiyah dikenal sebagai ormaspol, yaitu organisasi kemasyarakatan yang juga berfungsi sebagai partai politik. Dengan semakin luasnya usaha-usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah, dibentuklah kesatuan-kesatuan kerja yang berkedudukan sebagai badan pembantu pemimpin persyarikatan. Kesatuan-kesatuan kerja tersebut berupa majelis-majelis dan badan-badan. Selain majelis dan lembaga, terdapat organisasi otonom, yaitu organisasi yang bernaung di bawah organisasi induk, dengan amasih tetap memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam persyarikatan Muhammadiyah, organisasi otonom (Ortom) ini ada beberapa buah, yaitu: 'Aisyiyah Nasyiatul 'Aisyiyah Pemuda Muhammadiyah Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) Ikatan Mahasiswa Muhamadiyyah (IMM) Tapak Suci Putra Muhamadiyah Gerakan Kepanduan Hizbul-Wathan

Organisasi-organisasi otonom tersebut termasuk kelompok Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM). Keenam organisasi otonom ini berkewajiban mengemban fungsi sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah. Periode Kepemimpinan Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan (1912 - 1923) K.H. Ibrahim (1923 - 1932) K.H. Hisyam (1932 - 1936) K.H. Mas Mansur (1936 - 1942) Ki Bagus Hadikusumo (1942 -1953) A.R. Sutan Mansyur (1952 -1959) H.M. Yunus Anis (1959 - 1968) K.H. Ahmad Badawi (1962 - 1968) K.H. Fakih Usman/H.A.R. Fakhrudin (1968 - 1971) K.H. Abdur Razak Fakhruddin (1971 - 1990) K.H. A. Azhar Basyir, M.A. (1990 -1995) Prof. Dr. H.M. Amien Rais/Prof. Dr. H.A. Syafi'i Maarif (1995 - 2000) Prof. Dr. H.A. Syafi'i Maarif (2000 - 2005) Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (Keputusan Tanwir tahun 1969 di Ponorogo) Muhammadiyah adalah gerakan berasas Islam, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada rasulNya, sejak Nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: Alquran: kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sunnah Rasul: penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Alquran yang diberikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliuti bidang-bidang: Akidah Akhlak Ibadah Muamalah Duniawiyah Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid'ah, dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu

'alaihi wa sallam tanpa tambahan dan perubahan dari manusia. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya muamalat duniawiyat (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berfilsafat Pancasila, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil, makmur dan diridhai Allah SWT. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. (Catatan: Rumusan keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah tersebut telah mendapat perubahan dan perbaikan oleh PP Muhammadiyah atas kuasa Tanwir tahun 1970 di Yogyakarta). Sumber: Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam dalam Perspektif Historis dan Idiologis, Drs. H. Musthafa Kamal Pasha, B.Ed dan Drs. H. Ahmad Adaby Darban, S.U. www.alislamu.com & www.pakdenono.com

ISLAM DALAM PANDANGAN MUHAMMADIYAH A. Pendahuluan Muhammadiyah, sebagai gerakan keagamaan yang berwatak sosio-kultural, dalam dinamika kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam (al-ruj il al-Qurn wa al-sunnah, menjadikan al-Quran dan asSunnah sebagi sumber rujukan). Di satu sisi sejarah selalu melahirkan berbagai persoalan, dan pada sisi yang lain Islam menyediakan referensi normatif atas berbagai persoalan tersebut. Orientasi pada dimensi ilahiah inilah yang membedakan Muhammadiyah dari gerakan sosiokultural lainnya, baik dalam merumuskan masalah, menjelaskannya maupun dalam menyusun kerangka operasional penyelesaiannya. Orientasi inilah yang mengharuskan Muhammadiyah memproduksi pemikiran, meninjau ulang dan merekonstruksi pemikiran keislamannnya. Pemikiran keislaman meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan tuntunan kehidupan keagamaan secara praktis, wacana moralitas publik dan discourse (wacana) keislaman dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia. Masalah yang selalu hadir dari kandungan sejarah tersebut mengharuskan adanya penyelesaian. Muhammadiyah berusaha menyelesaikannya melalui proses penafsiran dinamik antara normativitas ad-dn (agama), berupa al-ruj ila al-Qurn wa as-Sunnah (keharusan merujuk kepada al-Qurn dan as-Sunnah), historisitas (kenyataan sejarah tentang adanya) penafsiran atas ad-dn, realitas kekinian dan prediksi masa depan. Mengingat proses penafsiran dinamik ini sangat dipengaruhi oleh asumsi (pandangan dasar) tentang agama dan kehidupan, di samping pendekatan dan teknik pemahaman terhadap ketiga aspek tersebut, maka Muhammadiyah perlu merumuskannya secara spesifik. Dengan demikian diharapkan rhul ijtihd (semangat untuk menggali ajaran agama dari sumbersumbernya) dan tajdd (upaya pemurnian dan pembaharuan pemikiran keislaman) terus tumbuh dan berkembang. Dari wacana yang terus bergulir, orang pun selalu mempertanyakan: Bagaimana Muhammadiyah memahami Islam sebagai sebuah kebenaran mutlak untuk mendapatkan jawaban yang yang mendekati kebenaran Islam yang sejati? Apa rumusan kongkret pandangan Muhammadiyah tentang Islam? Dan, yang tidak kalah pentingnya, bagaimana melaksanakannya di dalam tindakan nyata? Dalam hal ini Muhammadiyah telah memiliki tiga rumusan penting, yang diasumsikan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Pertama: rumusan tentang Masilul Khamsah (Masalah Lima); kedua: rumusan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (yang dikenal di kalangan warga Muhammadiyah dengan singkatan MKCH), dan ketiga: rumusan tentang: Pedoman Kehidupan Islami Warga Muhammadiyah. B. Masalah Lima Rumusan awal mengenai Islam dalam pandangan Muhammadiyah tertuang dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah mengenai Masilul Khamsah (Masalah Lima) tanpa ada rujukan nashnya (baik berupa nash al-Quran maupun as-Sunnah).

Dari rumusan Masilul Khamsah terkandung rumusan fundamental (pandangan dasar) tentang Islam dalam pandangan Muhammadiyah, yang tertuang dalam penjelasan mengenai: agama, dunia, ibadah, sabilullah dan qiyas. Pertama, mengenai masalah agama, Muhammadiyah merumuskan: 1. Agama yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. ialah apa yang diturunkan Allah di dalam al-Quran dan yang terdapat dalam as-Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat. 2. Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Kedua, mengenai masalah dunia, Muhammadiyah merumuskan: Yang dimaksud urusan dunia dalam sabda Rasulullah s.a.w.: kamu lebih mengerti urusan duniamu ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi (yaitu perkaraperkara/ pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia). Ketiga, mengenai masalah ibadah, Muhammadiyah merumuskan: Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan jalan menaati segala perintahperintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus: a. Yang umum ialah segala amalan yang diizinkan Allah b. Yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu. Keempat, dalam masalah sabilullah, Muhammadiyah merumuskan: Sabilullah ialah jalan yang menyampaikan kepada keridhaan Allah, berupa segala amalan yang diizinkan oleh Allah untuk memuliakan kalimat (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukumNya. Kelima, dalam masalah qiyas , Muhammadiyah merumuskan: 1. Setelah persoalan qiyas dibicarakan dalam waktu tiga kali sidang, dengan mengadakan tiga kali pemandangan umum dan satu kali Tanya-jawab antara kedua belak pihak 2. Setelah mengikuti dengan teliti akan jalannya pembicaraan dan alasan-alasan yang dikemukakan oleh kedua belah pihak dan dengan menginsyafi bahwa tiap-tiap keputusan yang diambil olehnya itu hanya sekadar mentarjihkan di antara pendapat yang ada, tidak berati menyalahkan pendapat yang lain.

Memutuskan : a. Bahwa dasar muthlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-Quran dan al-Hadits b. Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tidak bersangkutan dengan ibadah mahdhah padahal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash sharih dan tegas) di dalam al-Quran atau as-Sunnah shahihah maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istinbath dari pada nash-nash yang ada melalui persamaan illat ; sebagaimana telah dilakukan oleh ulama-ulama salaf dan khalaf. C. Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah Matan Keyakinan Dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, yang kemudian disingkat menjadi MKCH, pada mulanya merupakan putusan dari Sidang Tanwir Muhammadiyah, tahun 1969, di Ponorogo, Jawa Timur dalam rangka melaksanakan amanat Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta. Kemudian dirumuskan kembali dan disempurnakan pada tahun 1970 dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta. MKCH hasil Sidang Tanwir Muhammadiyah, tahun 1969, di Ponorogo, Jawa Timur terdiri dari 9 (sembilan) ayat, yang kemudian di dirumuskan kembali dan disempurnakan pada tahun 1970 dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Yogyakarta menjadi 5 (lima) ayat. Pada tahun 1968, Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta dengan tema Tajdid menggagas pembaharuan dalam 5 (lima) bidang, yaitu: 1. Ideologi 2. Khittah Perjuangan 3. Gerak dan Amal Usaha 4. Organisasi 5. Sasaran Tajdid dalam bidang ideologi akhirnya menjadi menjadi salah satu keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta, yang terkenal dengan istilah: Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah. Pertanyaan-pertanyaan tentang siapa konseptor MKCH, sampai saat ini tidak pernah terjawab dengan pasti, tetapi beberapa nama tokoh Muhammmadiyah tercatat sebagai penggagas yang memiliki saham terbesar dalam perumusan MKCH tersebut. Tokoh-tokoh tersebut antara lain: 1. Buya KH. Malik Ahmad 2. Buya AR Sutan Mansur 3. Prof.Dr.H.M. Rasyidi 4. KHM. Djindar Tamimy 5. KH. Djarnawi Hadikusuma 6. KH. AR Fachruddin, di samping tokoh muda, pada waktu itu, Drs. Mohammad Djazman alKindi.

Diperoleh data, bahwa pada tahun 1968-1970, Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah merumuskan sebuah buku panduan yang bertajuk Pribadi Muslim dan Ibdur Rahmn untuk pimpinan-pimpinan Muhammadiyah. Rumusan inilah yang (diasumsikan) banyak memberi inspirasi kepada para tokoh Muhammadiyah untuk menggagas MKCH. Pada tahun 1970 Pimpinan Pusat Muhammadiyah membentuk Tim Ideologi yang dipimpin oleh KHM. Djindar Tamimy dan Drs. Mohammad Djazman al-Kindi, yang kemudian memberi saran, tanggapan, penyempurnaan terhadap (konsep) MKCH hasil Sidang Tanwir tahun 1969 di Ponorogo, Jawa Timur. Dan hasilnya menjadi rumusan baku MKCH yang terdiri dari 3 (tiga) kelompok rumusan dari 5 (lima) ayat, dari (semula) 9 ayat. Kelopok Pertama adalah kelompok Ideologi, yang mengandung pokok-pokok persoalan yang bersifat ideologis (terdiri atas ayat 1 dan 2), yang berisi: Ayat 1 : Muhammadiyah adalah adalah gerakan berasas Islam, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, untuk melaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Ayat 2 : Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada para rasul-Nya, sejak Nabi Adam a.s. sampai dengan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spiritual, duniawi dan ukhrawi. Kelompok kedua adalah kelompok faham agama dalam Muhammadiyah (terdiri atas ayat 3 dan 4), yang berisi: Ayat 3 : Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: a) al-Quran; b) al-Hadits, dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Ayat 4 : Muhaammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidangbidang: a) aqidah, yaitu ajaran yang berhubungan dengan kepercayaan; b) akhlaq, yaitu ajaran yang berhubungan dengan pembentukan sikap mental ; c) ibadah, yaitu ajaran yang berhubungan dengan peraturan dan tatacara hubungan manusia dengan Tuhan; d) muamalah duniawiyah, yaitu ajaran ayng berhubungan dengan pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat. Kelompok ketiga adalah kelompok fungsi dan misi Muhammadiyah (tersebut dalam ayat 5), yang berisi: Ayat 5 : Muhammadiyah mengajak segala lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunisa Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berfalsafah Pancasila untuk berusaha bersama-sama menjadikan negara Republik Indonesia tercinta ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafr (negara yang adil makmur dan diridhai Alah SWT). C. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah 1. Pendahuluan

a. Memahami Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah adalah seperangkat nilai dan norma Islami yang bersumber Al-Quran dan Sunnah menjadi pola bagi tingkah laku warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan sehari-hari sehingga tercermin kepribadian Islami menuju terwujudnya masyarakat utama yang diridloi Allah SWT. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah merupakan pedoman untuk menjalani kehidupan dalam lingkup pribadi, keluarga, bermasyarakat, berorganisasi, mengelola amal usaha, berbisnis, mengembangkan profesi, berbangsa dan bernegara, melestarikan lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mengembangkan seni dan budaya yang menunjukkan perilaku uswah hasanah (teladan yang baik). b.Landasan dan Sumber Landasan dan sumber Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah ialah Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan pengembangan dari pemikiran-pemikiran formal (baku) yang berlaku dalam Muhammadiyah, seperti; Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Matan Kepribadian muhammadiyah, Khittah Perjuangan Muhammadiyah serta hasil-hasil Keputusan Majelis Tarjih. c. Kepentingan Warga Muhammadiyah dewasa ini memerlukan pedoman kehidupan yang bersifat panduan dan pengkayaan dalam menjalani berbagai kegiatan sehari-hari, Tuntutan ini didasarkan atas perkembangan situasi dan kondisi antara lain: 1) Kepentingan akan adanya Pedoman yang dijadikan acuan bagi segenap anggota Muhammadiyah sebagai penjabaran dan bagian dari Keyakinan Hidup Islami Dalam Muhammadiyah yang menjadi amanat Tanwir Jakarta 1992 yang lebih merupakan konsep filosofis. 2) Perubahan-perubahan sosial-politik dalam kehidupan nasional di era reformasi yang menumbuhkan dinamika tinggi dalam kehidupan umat dan bangsa serta mempengaruhi kehidupan Muhammadiyah, yang memerlukan pedoman bagi warga dan Pimpinan Persyarikatan bagaimana menjalani kehidupan di tengah gelombang perubahan itu. 3) Perubahan-perubahan alam pikiran yang cenderung pragmatis (berorientasi pada nilai guna semata), materialistis (berorientasi pada kepentingan materi semata), dan hedonistis (berorientasi pada pemenuhan kesenangan duniawi) yang menumbuhkan budaya inderawi (kebudayaan duniawi yang sekular) dalam kehidupan modern abad ke-20 yang disertai dengan gaya hidup modern memasuki era baru abad ke-21. 4) Penetrasi budaya (masuknya budaya asing secara meluas) dan multikulturalisme (kebudayaan masyarakat dunia yang majemuk dan serba milintasi) yang dibawa oleh globalisasi (prosesproses hubungan-hubungan sosial-ekonomi-politik-budaya yang membentuk tatanan sosial yang mendunia) yang akan makin nyata dalam kehidupan bangsa. 5) Perubahan orientasi nilai dan sikap dalam bermuhammadiyah karena berbagai faktor (internal dan eksternal) yang memerlukan standar nilai dan norma yang jelas dari Muhammadiyah sendiri.

d. Sifat Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah Memiliki beberapa sifat/kriteria sebagai berikut: 1) Mengandung hal-hal pokok/prinsip dan penting dalam bentuk acuan nilai dan norma. 2) Bersifat pengkayaan dalam arti memberi banyak khazanah untuk membentuk keluhuran dan kemuliaan ruhani dan tindakan. 3) Aktual, yakni memiliki keterkaitan dengan runrutan dan kepentingan kehidupan sehari-hari. 4) Memberikan arah bagi tindakan individu maupun kolektif yang bersifat keteladanan. 5) Ideal, yakni dapat menjadi panduan untuk kehidupan sehari-hari yang bersifat pokok dan utama. 6) Rabbani, artinya mengandung ajaran-ajaran dan pesan-pesan yang bersifat akhlaqi yang membuahkan kesalihan. 7) Taisir, yakni panduan yang mudah dipahami dan diamalkan oleh setiap muslim khususnya warga Muhammadiyah. e. Tujuan Terbentuknya perilaku individu dan kolektif seluruh anggota Muhammadiyah yang menunjukkan keteladanan yang baik (uswah hasanah) menuju terbentuknya masyarakat utama yang diridlai Allah SWT. f. Kerangka Materi Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah dikembangkan dan dirumuskan dalam kerangka sistematika sebagai berikut: 1) Bagian Pertama: Pendahuluan 2) Bagian Kedua: Islam dan Kehidupan 3) Bagian Ketiga: Kehidupan Islami Warga Muhammadiyah a) Kehidupan Pribadi b) Kehidupan dalam Keluarga c) Kehidupan Bermasyarakat d) Kehidupan Berorganisasi e) Kehidupan dalam Mengelola Amal Usaha Muhammadiyah f) Kehidupan dalam Berbisnis g) Kehidupan dalam Mengembangkan Profesi h) Kehidupan dalam Berbangsa dan Bernegara i) Kehidupan dalam Melestarikan Lingkungan j) Kehidupan dalam Mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi k) Kehidupan dalam Seni dan Budaya 4) Bagian Keempat: Tuntunan Pelaksanaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memimpin pelaksanaan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah ini dengan mengerahkan segala

potensi, usaha, dan kewenangan yang dimilikinya sehingga program ini dapat berhasil mencapai tujuannya. Karenanya, berikut ini disusun langkah-langkah pokok sebagai Tuntunan Pelaksanaan dalam mewujudkan konsep Pedman Hidup Islami dalam Muhammadiyah. Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah mengikat seluruh warga, pimpinan, dan lembaga yang berada di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai program khusus yang harus dilaksanakan dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari untuk kebaikan hidup bersama dan tegaknya Masyarakat Utama yang menjadi rahmatan lilalamin a) Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Ranting di bawah kepemimpinan Pimpinan Pusat Muhammadiyah bertanggung jawab di setiap daerah masingmasing untuk melaksanakan, mengelola, dan mengevaluasi pelaksanaan program khusus Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. b) Pelaksanaan penerapan/operasionalisasi Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah di setiap tingkatan hendaknya melibatkan semua Majelis, Lembaga, Badan dan Organisasi Otonom dalam satu koordinasi pellaksanaan oleh Pimpinan Persyarikatan yang terpadu dan efektif serta efisien menuju keberhasilan mencapai tujuan. 5) Bagian Kelima: Penutup Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah akan terlaksana dan dapat mencapai keberhasilan jika benar-benar menjadi tekad dan kesungguhan sepenuh hati segenap warga dan pimpinan Muhammadiyah dengan menggunakan seluruh ikhtiar yang optimal yang didukung oleh berbagai faktor yang positif menuju tujuannya. Dengan senantiasa memohon pertolongan dan kekuatan dari Allah SWT. insya-Allah Muhammadiyah dapat melaksanakan program khusus yang mulia ini sebagai wujud ibadah kepada-Nya demi tegaknya Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafr (Negara Yang AdilMakmur dibawah Naungan Ampunan Allah). Nasrun min Allh wa Fathun Qarb. D. Memahami dan Mengamalkan Islam Islam secara normatif harus dipahami secara tepat, dan pada tahap implementasinya . memerlukan kecerdasan umatnya untuk menerjemahkan dalam konteks yang berbeda-beda. Itulah kurang lebih yang meresahkan KHA. Dahlan, setelah melalui pengembaraan intelektualnya dalam realitas kehidupan umat Islam yang ternyata menurut pengamatannya masih memahami dan mengamalkan Islam secara sinkretik. Ketika pengertian tentang (agama) Islam sudah dipahaminya, lalu muncul pemikiran pada dirinya bahwa untuk melaksanakan (agama) Islam sebagaimana yang dipahaminya itu umat Islam di Indonesia, bahkan di seluruh dunia, harus diberi pengertian yang tepat tentang (agama) Islam, lalu diarahkan untuk dapat melaksanakannya secara proporsional. Itulah gagasan KHA. Dahlan yang kemudian dikenal luas sebagai seorang Kyai yang sangat cemerlang pada masanya, di ketika hampir semua orang di sekelilingnya merasa puas dengan apa yang (sudah) ada, menikmati kejumudan dan menjadi muqallid am (loyalis a priori).

KHA. Dahlan memahami bahwa al-Quran adalah sumber utama yang menjadi rujukan baku untuk siapa pun, di mana pun dan kapan pun dalam ber-(agama)-Islam. Konsep normatif Islam sudah tersedia secara utuh di dalamnya (al-Quran) dan sebegitu rinci dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w. di dalam sunnahnya, baik yang bersifat qaul (tindakan), fil (ucapan) dan taqrr(sikap). Hanya saja apa yang dikerjakan oleh Rasulullah s.a.w. perlu diterjemahkan ke dalam konteks yang berbeda-beda, dan oleh karenanya memerlukan ijtihad. Ijtihad dalam ber-(agama)-Islam bagi KHA. Dahlan adalah harga mati. Yang perlu dicatat bahwa Dia menganjurkan umat Islam untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah secara kritis. Ia sangat menyayangkan adanya sikap taqlid umat Islam terhadap apa dan siapa pun yang pada akhirnya menghilangkan sikap kritis. Ia sangat menganjurkan umat Islam agar memiliki keberanian untuk berijtihad dengan segenap kemampuan dan kesungguhannya, dan dengan semangat untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah ia pun ingin merombak sikap taqlid menjadi minimal menjadi sikap ittiba . Sehingga muncullah kolaborasi antara para Mujtahid dan Muttabi yang secara sinergis membangun Islam Masa Depan, bukan Islam Masa Sekarang yang stagnant (jumud, berhenti pada kepuasaan terhadap apa yang sudah diperoleh), apalagi Islam Masa Lalu yang sudah lapuk dimakan zaman. Semangatnya mirip dengan Muhammad Abduh: al-Muhfazhah Al al-Qadm ash-Shlih wa al-Akhdzu bi al-Jadd alAshlah(melestarikan sesuatu yang baik dan mengambil sesuatu yang lebih baik). 1. Prinsip-prinsip Utama Pemahaman Agama Islam Muhammadiyah memperkenalkan dua prinsip utama pemahaman (agama) Islam: 1. Ajaran agama Islam yang otentik (sesungguhnya) adalah apa yang terkandung di dalam alQuran dan as-Sunnah dan bersifat absolut. Oleh karena itu, semua orang Islam harus memahaminya. 2. Hasil pemahaman terhadap al-Quran dan as-Sunnah yang kemudian disusun dan dirumuskan menjadi kitab ajaran-ajaran agama (Islam) bersifat relatif. Dari kedua prinsip utama tersebut, pendapat-pendapat Muhammadiyah tentang apa yang disebut doktrin agama yang dirujuk dari al-Quran dan as-Sunnah selalu (dapat) berubah-ubah selaras dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan zaman. Hal ini bukan berarti Muhammadiyah tidak bersikap istiqamah dalam beragama, tetapi justeru memahami arti pentingnya ijtihad dalam menyusun dan merumuskan kembali pemahaman agama (Islam) sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Quran dan as-Sunnah. Dipahami oleh Muhammadiyah bahwa al-Quran dan as-Sunnah bersifat tetap, sedang interpretasinya bisa berubah-ubah. Itulah konsekuensi keberagamaan umat Islam yang memahami arti universalitas kebenaran ajaran agama yang tidak akan pernah usang dimakan zaman dan selalu selaras untuk diterapkan di mana pun, kapan pun dan oleh siapa pun. 2. Mengamalkan al-Quran Untuk memahami al-Quran menurut Muhammadiyah diperlukan seperangkat instrumen yang menandai kesiapan orang untuk menafsirkannya dan mengamalkannya dalam kehidupan nyata. Semangatnya sama dengan ketika seseorang berkeinginan untuk memahami Islam, yaitu: ijtihad.

Kandungan al-Quran hanya akan dapat dipahami oleh orang yang memiliki kemauan dan kemampuan yang memadai untuk melakukan eksplorasi dan penyimpulan yang tepat terhadap al-Quran. Keikhlasan dan kerja keras seorang mufassir menjadi syarat utama bagi setiap orang yang ingin secara tepat memahami al-Quran. Meskipun semua orang harus sadar, bahwa sehebat apa pun seseorang, ia tidak akan dapat menemukan kebenaran sejati, kecuali sekadar menemukan kemungkinan-kemungkinan kebenaran absolut al-Quran yang pada akhirnya bernilai relatif. Akhirnya, kita pun dapat memahami dengan jelas sebenar apa pun hasil pemahaman orang terhadap al-Quran, tafsir atasnya (al-Quran) tidak akan menyamai kebenaran al-Quran itu sendiri. Karena al-Quran adalah kebenaran ilahiah, sedang tafsir atas al-Quran adalah kebenaran insaniah. Akankah kita menyatakan bahwa Manusia akan sebenar Tuhan? Jawaban tepatnya: mustahil. Oleh karena itu, yang dituntut oleh Allah kepada setiap muslim hanyalah berusaha sekuat kemampuannya untuk menemukan kebenaran absolut al-Quran, bukan harus menghasilkan kebenaran absolut, karena kenisbian akal manusia tidak akan pernah menggapai kemutlakan kebenaran sejati dari Allah. Akhirnya, kita pun harus sadar bahwa tidak akan ada pendapat (hasil pemahaman al-Quran) yang pasti benar. Tetapi sekadar mungkin benar. 3. Mengamalkan Ajaran Islam Berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah Ketika kita berkesimpulan bahwa hasil pemahaman siapa pun, kapan pun dan di mana pun terhadap al-Quran adalah relatif, maka alangkah bijaksananya bila kita rujuk as-Sunnah sebagai panduan dalam beragama. Karena, bagaimanapun relatifnya hasil pemahaman al-Quran, hasil interpretasi Rasulullah s.a.w. baik dalam bentuk perkataan, tindakan dan taqrr merupakan interpretasi atas al-Quran yang terjamin kebenarannya. Asumsi ini didasarkan pada paradigma ishmah ar-rasl. Ada jaminan dari Allah bahwa Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu benar dalam berijtihad, karena setiap langkahnya akan selalu diawasi oleh-Nya. Teguran atas kesalahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu dilakukan oleh Allah, dan hal itu tidak dijamin akan terjadi pada selain Rasulullah s.a.w. Persoalannya sekarang, seberapa mungkin kita kita (umat Islam) berkemampuan untuk menerjemahkan as-Sunnah dalam realitas kehidupan kita? Dan pola apakah yang paling tepat untuk kita pilih? Ternyata kita pun sering terjebak pada ketidaktepatan dalam menerjemahkannya (as-Sunnah), karena keterbatasan-keterbatasan yang kita miliki. Kita pun sering melakukan kesalahan dalam memilih pola yang tepat untuk memahami as-Sunnah. Mungkin terjebak pada kutub ekstrem tekstual, atau rasional yang mengarah pada kontekstualisasi yang eksesif (berlebihan). Untuk itu, yang kita perlukan sekarang adalah: membangun kearifan menuju pada pemahaman yang sinergis dan seimbang. 4. Berislam Secara Dewasa Muhammadiyah selama ini memperkenalkan Islam yang arif, yang dirujuk dari apa yang dikandung dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan memperkenalkan pola istinbath yang proporsional.

Muhammadiyah menyatakan diri tidak bermazhab, dalam arti tidak mengikatkan diri secara tegas dengan mazhab-mazhab tertentu baik secara qaul maupun manhaj. Tetapi Muhammadiyah bukan berarti antimazhab. Karena, ternyata dalam memahami Islam Muhammadiyah banyak merujuk pada pendapat orang dan utamanya juga Imam-imam mazhab dan para pengikutnya yang dianggap rjih (kokoh/kuat) dan meninggalkan yang marjh (rapuh/lemah). Pola pikir yang diperkenalkan Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam adalah berijtihad secara: bayn, qiys dan ishtishlh. Yang ketiganya dipakai oleh Muhammadiyah secara simultan untuk menghasilkan pemahaman Islam yang kontekstual dan bersifat (lebih) operasional. Ijtihd bayn dipahami sebagai bentuk pemikiran kritis terhadap nash (teks) al-Quran maupun as-Sunnah; ijtihd qiys dipahami sebagai penyeberangan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesamaan illt; dan ijtihd ishtishlh dipahami sebagai bentuk penemuan hukum dari realitas-empirik berdasarkan pada prinsip mashlahah (kebaikan), karena tidak adanya nash yang dapat dirujuk dan tidak adanya kemungkinan untuk melakukan qiys. Hasil pemahaman dari upaya optimal dalam berijtihad inilah yang kemudian ditransformasikan ke dalam pengembangan pemikiran yang mungkin saja linear atau berseberangan, berkaitan dengan tuntutan zaman. Demikian juga dalam wilayah praksis, tindakan keberagamaan yang ditunjukkan dalam sikap dan perilaku keagamaan umat Islam harus juga mengacu pada kemauan dan kesediaan untuk melakukan kontekstualisasi pemahaman keagamaan (Islam) yang bertanggung jawab. Tidak harus terjebak pada pada pengulangan dan juga pembaruan, yang secara ekstrem berpijak pada adagium purifikasi (pemurnian) dan reinterpretasi (penafsiran ulang) baik yang bersifat dekonstruktif (membuang, meniadakan dan menganggap tidak berlaku) maupun rekonstruktif (memperbaharui, menyelaraskan dan menjadikannya relevan). Sekali lagi, yang perlu dibangun adalah: kearifan dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Di mana pun, kapan pun dan oleh dan kepada siapa pun. Sebab, keislaman kita adalah keislaman: yang harus kita pertaruhkan secara horisontal (hablun minanns, hubungan antarmanusia) dan sekaligus vertikal (hablun minallh, hubungan antara manusia dengan Allah). E. Penutup Akhirul kalam, Muhammadiyah telah menyiapkan perangkat rumusan pemahaman keislamannya, baik yang bersifat konseptual maupun operasional. Pandangan Muhammadiyah tentang Islam sudah tertuang secara sistematik dalam tiga rumusan penting: secara konseptual tertuang dalam rumusan Masilul Khamsah (Masalah Lima) dan Matan Keyakinan dan Citacita Hidup Muhammadiyah, sedang secara operasional tertuang dalam Pedoman Kehidupan Islami Warga Muhammadiyah. Persoalannya kemudian adalah: bagaimana kita membangun kesadaran warga Muhammadiyah untuk memahami dan mengamalkannya? Langkah-langkah strategis dan kongkret seperti apa yang harus dilakukan untuk itu?

Tugas Mahasiswa : Menyelenggarakan diskusi kelompok dengan tema pokok: Mencari Jati Diri Islam dalam Pemahaman Muhammadiyah dan Strategi Pengamalannya. Hasil diskusi kelompok disusun kembali menjadi sub-tema diskusi paripurna untuk tugas mata kuliah Kemuhammadiyahan. Daftar Pustaka: Abdul Munir Mulkhan, Teologi dan Fiqh Dalam Tarjih Muhammadiyah, Cet. I, Yogyakarta: SIPress, 1994. Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi, Cetakan III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Margono Poespo Suwarno, M., Gerakan Islam Muhammadiyah, Cet. V, Yogyakarta: Penerbit Persatuan Baru, 2005. Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam Dalam Perspektif Historis dan Ideologis, Cet. III, Yogyakarta: LPPI-UMY, 2003. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Yogyakarta: Persatuan, 1974. , Kepribadian, Keyakinan dan Cita-cita Hidup, Khittah Perjoangan Muhammadiyah, Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 1989. , Kaji Ulang Masalah Lima dan MKCH Muhammadiyah, Yogyakarta: PPMBPK, 1990. , Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, Edisi Revisi, Cetakan Keenam, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003. Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Keputusan Munas Tarjih Muhammadiyah, Tahun 2000, di Jakarta, tidak diterbitkan.
Sedangkan syarat yang kedua, harus sesuai dengan syariat Islam. Syarat ini menyangkut segi lahiriah. Nabi saw. berkata, Man amala amalan laisa alaihi amrunaa fahuwa raddun, barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak pernah kami diperintahkan, maka perbuatan itu ditolak. (Muslim).

dakwatuna.com Amal yang kita lakukan akan diterima Allah jika memenuhi dua rukun. Pertama, amal itu harus didasari oleh keikhlasan dan niat yang murni: hanya mengharap keridhaan Allah swt. Kedua, amal perbuatan yang kita lakukan itu harus sesuai dengan sunnah Nabi saw. Syarat pertama menyangkut masalah batin. Niat ikhlas artinya saat melakukan amal perbuatan, batin kita harus benar-benar bersih. Rasulullah saw. bersabda, Innamal amaalu bin-niyyaat, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya. (Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits itu, maka diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan yang kita lakukan oleh Allah swt. sangat bergantung pada niat kita. Sedangkan syarat yang kedua, harus sesuai dengan syariat Islam. Syarat ini menyangkut segi lahiriah. Nabi saw. berkata, Man amala amalan laisa alaihi amrunaa fahuwa raddun, barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak pernah kami diperintahkan, maka perbuatan itu ditolak. (Muslim). Tentang dua syarat tersebut, Allah swt. menerangkannya di sejumlah ayat dalam Alquran. Di antaranya dua ayat ini. Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. (Luqman: 22). Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan. (An-Nisa: 125) Yang dimaksud dengan menyerahkan diri kepada Allah di dua ayat di atas adalah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan hanya karena Allah semata. Sedangkan yang yang dimaksud dengan mengerjakan kebaikan di dalam ayat itu ialah mengerjakan kebaikan dengan serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. Fudhail bin Iyadh pernah memberi komentar tentang ayat 2 surat Al-Mulk, Liyabluwakum ayyukum ahsanu amala, supaya Allah menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Menurutnya, maksud yang lebih baik amalnya adalah amal yang didasari keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Nabi saw. Seseorang bertanya kepadanya, Apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar itu? Fudhail menjawab, Sesungguhnya amal yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah swt. Sebaliknya, amal yang benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak diterima oleh Allah swt. Amal perbuatan itu baru bisa diterima Allah jika didasari keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud ikhlas adalah amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang dimaksud benar adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Setelah itu Fudhail bin Iyad membacakan surat Al-Kahfi ayat 110, Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya. Jadi, niat yang ikhlas saja belum menjamin amal kita diterima oleh Allah swt., jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat. Begitu juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan Allah swt.

Delapan Tanda Keikhlasan Ada delapan tanda-tanda keikhlasan yang bisa kita gunakan untuk mengecek apakah rasa ikhlas telah mengisi relung-relung hati kita. Kedelapan tanda itu adalah: 1. Keikhlasan hadir bila Anda takut akan popularitas Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan. Karena itu tak heran jika para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya. Fudhail bin Iyadh berkata, Jika Anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka laksanakanlah. Anda tidak merugi sekiranya Anda tidak terkenal. Anda juga tidak merugi sekiranya Anda tidak disanjung ornag lain. Demikian pula, janganlah gusar jika Anda menjadi orang yang tercela di mata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhormat di sisi Allah. Meski demikian, ucapan para ulama tersebut bukan menyeru agar kita mengasingkan diri dari khalayak ramai (uzlah). Ucapan itu adalah peringatan agar dalam mengarungi kehidupan kita tidak terjebak pada jerat hawa nafsu ingin mendapat pujian manusia. Apalagi, para nabi dan orang-orang saleh adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang adalah meminta nama kita dipopulerkan, meminta jabatan, dan sikap rakus pada kedudukan. Jika tanpa ambisi dan tanpa meminta kita menjadi dikenal orang, itu tidak mengapa. Meskipun itu bisa menjadi malapetaka bagi orang yang lemah dan tidak siap menghadapinya. 2. Ikhlah ada saat Anda mengakui bahwa diri Anda punya banyak kekurangan Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia merasa belum maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah swt. Karena itu ia tidak pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia cemasi apa-apa yang dilakukannya tidak diterima Allah swt. karena itu ia kerap menangis. Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah: Dan orangornag yang mengeluarkan rezeki yang dikaruniai kepada mereka, sedang hati mereka takut bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. Apakah mereka itu orang-orang yang mencuri, orang-orang yang berzina, dan para peminum minuman keras, sedang mereka takut akan siksa dan murka Allah Azza wa jalla? Rasulullah saw. menjawab, Bukan, wahai Putri Abu Bakar. Mereka itu adalah orang-orang yang rajin shalat, berpuasa, dan sering bersedekah, sementera mereka khawatir amal mereka tidak diterima. Mereka bergegas dalam menjalankan kebaikan dan mereka orang-orang yang berlomba. (Ahmad). 3. Keikhlasan hadir ketika Anda lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain. Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan

pohon. Ibarat rumah, mereka pondasi yang berkalang tanah namun menopang keseluruhan bangunan. Suatu hari Umar bin Khaththab pergi ke Masjid Nabawi. Ia mendapati Muadz sedang menangis di dekat makam Rasulullah saw. Umar menegurnya, Mengapa kau menangis? Muadz menjawab, Aku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, Riya sekalipun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barang siapa memusuhi kekasih-kekasih Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita. (Ibnu Majah dan Baihaqi) 4. Ikhlas ada saat Anda tak masalah ditempatkan sebagai pemimpin atau prajurit Rasulullah saw. melukiskan tipe orang seperti ini dengan berkataan, Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kendali kudanya di jalan Allah sementara kepala dan tumitnya berdebu. Apabila ia bertugas menjaga benteng pertahanan, ia benar-benar menjaganya. Dan jika ia bertugas sebagai pemberi minuman, ia benar-benar melaksanakannya. Itulah yang terjadi pada diri Khalid bin Walid saat Khalifah Umar bin Khaththab memberhentikannya dari jabatan panglima perang. Khalid tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebab, ia berjuang bukan untuk Umar, bukan pula untuk komandan barunya Abu Ubaidah. Khalid berjuang untuk mendapat ridha Allah swt. 5. Keikhalasan ada ketika Anda mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bila orang itu menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah swt. Di sinilah keikhlasan kita diuji. Memilih keridhaan Allah swt. atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita? Pilihan kita seharusnya seperti pilihan Masyithoh si tukang sisir anak Firaun. Ia lebih memilih keridhaan Allah daripada harus menyembah Firaun. 6. Ikhlas ada saat Anda cinta dan marah karena Allah Adalah ikhlas saat Anda menyatakan cinta dan benci, memberi atau menolak, ridha dan marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan Anda kepada Allah dan keinginan membela agamaNya, bukan untuk kepentingan pribadi Anda. Sebaliknya, Allah swt. mencela orang yang berbuat kebalikan dari itu. Dan di antara mereka ada orang yang mencela tentang (pembagian) zakat. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. (At-Taubah: 58) 7. Keikhalasan hadir saat Anda sabar terhadap panjangnya jalan Keikhlasan Anda akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup Anda adalah ujian. Ketegaran Anda untuk menegakkan kalimatNya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara

hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu. Seperti Nabi Nuh a.s. yang giat tanpa lelah selama 950 tahun berdakwah. Seperti Umar bin Khaththab yang berkata, Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada satu mujahid berjuang di medan juang, itulah aku! 8. Ikhlas ada saat Anda merasa gembira jika kawan Anda memiliki kelebihan Yang paling sulit adalah menerima orang lain memiliki kelebihan yang tidak kita miliki. Apalagi orang itu junior kita. Hasad. Itulah sifat yang menutup keikhlasan hadir di relung hati kita. Hanya orang yang ada sifat ikhlas dalam dirinya yang mau memberi kesempatan kepada orang yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengambil bagian dari tanggung jawab yang dipikulnya. Tanpa beban ia mempersilakan orang yang lebih baik dari dirinya untuk tampil menggantikan dirinya. Tak ada rasa iri. Tak ada rasa dendam. Jika seorang leader, orang seperti ini tidak segan-segan membagi tugas kepada siapapun yang dianggap punya kemampuan.
Diposkan oleh mudzakarah wargajenggot di 18:06 0 komentar Jerman Panik, Islam Berkembang Pesat

KEPANIKAN melanda para pemuka masyarakat Kristen Jerman karena Islam berkembang pesat di sana. Kepanikan itu antara lain tercermin dari ucapan Kardinal Jerman, Karl Lehman, yang melontarkan pernyataan provokatif soal toleransi beragama di negaranya. Ketua konferensi keuskupan Jerman ini menyatakan sangat khawatir melihat kebebasan beragama di negaranya yang ternyata membuka peluang bagi pesatnya perkembangan Islam. Toleransi tanpa disertai sikap kritis akan membuat warga Muslim menikmati perlakukan yang sama dengan umat Kristen, katanya. Padahal, warga Muslim adalah warga minoritas. Menurut Lehman, umat Kristiani lebih berperan besar dalam pembentukan sejarah Eropa dan budayanya. Pernyataan Lehman itu didukung oleh Sekretaris Jenderal Penasehat Partai konservatif Persatuan Demokratik Kristen, Ronald Pofalla. Ia menyatakan, Lehman berhak mengatakan bahwa Islam tidak boleh mendapat perlakuan sama dengan penganut Kristen. Islam tidak ada dalam akar budaya Eropa dan tidak merefleksikan pola hidup sehari-hari yang sama, kata Pofalla. Lehman mengeluarkan pernyataan itu di tengah perdebatan tentang rencana pembangunan masjid raya di kota Cologne. Kardinal Joachim Meisner dari Cologne juga menyiratkan ketidaksenangannya atas rencana tersebut. Saya tidak ingin mengatakan khawatir, tapi saya merasa tidak nyaman dengan hal ini, kata Meisner yang tahun lalu melarang anak-anak Katolik berdoa bersama teman-teman sekelasnya yang Muslim. Kegelisahan para kardinal itu cukup beralasan, apalagi diprediksi tahun 2046 warga Muslim akan menjadi mayoritas di negeri Hitler ini. Menurut hasil studi Islam-Archive Central Institute, Soest, Jerman yang dirilis pertengahan Januari lalu, kemungkinan itu bisa terjadi karena arus imigran Muslim ke Jerman dan jumlah warga Jerman yang masuk Islam terus meningkat tajam.

Data situs bbc.co.uk tahun 2005 menunjukkan, di Jerman terdapat sekitar 3 juta umat Islam atau 3.6% dari total populasi 84 juta jiwa. SECARA keseluruhan, diperkirakan saat ini jumlah umat Islam di Eropa mencapai angka 53 juta jiwa. Menurut hasil riset Islam-Archive Central Institute, jumlah mereka mencapai 53.713.953. Sebanyak 15.890.428 jiwa tersebar di negara-negara Uni Eropa. Islam merupakan agama kedua terbesar di Jerman setelah Kristen. Besarnya jumlah muslim di Jerman berakar sejak masa pemerintahan Khilafah Islam Turki Utsmani. Saat itu, banyak umat Islam yang bermigrasi ke Jerman. Namun, peningkatan pesat jumlah muslim di Jerman terjadi pasca Perang Dunia Kedua. Rekonstruksi Jerman selepas perang membutuhkan banyak tenaga kerja murah. Suplai tenaga kerja pada masa tersebut sebagian datang dari Turki. Umat Islam di Jerman merupakan kelompok populasi yang paling banyak meningkat sehingga 40 persen dari mereka berusia di bawah 18 tahun. Selain itu, warga Jerman asli yang memeluk agama Islam pun meningkat dengan amat pesat. Menurut suratkabar Perancis Figaro, baru-baru ini tercatat hampir 11 ribu rakyat Jerman telah memeluk agama Islam. Umat Islam Jerman mempunyai hampir 2.200 masjid dan pusat agama di seluruh negeri. Untuk mengembangkan pusat-pusat keislaman tersebut dan untuk meraih posisi yang kuat di tengah masyarakat Jerman, umat Muslim membentuk organisasi sejak akhir dekade 1960-an. Awalnya, organisasi-organisasi ini terbatas pada kelompok atau etnis tertentu. Namun pada akhir abad ke20, mulai diambil langkah-langkah pembentukan sebuah pusat atau Dewan Tinggi yang bisa menjadi penghubung dan pemersatu berbagai organisasi keislaman Jerman. Menurut sebuah penelitian, prosentase umat Islam Jerman yang secara kontinyu pergi ke masjid jumlahnya cukup tinggi. Selain itu, mereka juga menginginkan anak-anak mereka bersekolah agama agar mempelajari Al-Quran dan terjauhkan dari pengaruh budaya Barat yang merusak. Suratkabar Figaro mencatat, Kehadiran umat Islam Jerman ke masjid-masjid nampak sangat mencolok dan Paus agaknya memiliki impian kosong bila berharap umat Kristiani mendatangi gereja-gereja dengan antusiasme yang sama seperti umat Muslim di Jerman. Penelitian yang dilakukan oleh Institiut Orientalis Hamburg yang tergabung dengan Kementerian Dalam Negeri Federal Jerman melaporkan, ada peningkatan keterikatan anak-anak muda kepada organisasi-organisasi Islam. Universitas Bielefeld Jerman dalam penelitiannya juga menemukan, sama seperti yang terjadi di Prancis, pemuda Muslim Jerman cenderung untuk mengikatkan diri mereka dengan ajaran Islam. Sambutan anak-anak muda Muslim ini memberi kekuatan baru terhadap umat Islam Jerman karena anak-anak muda merupakan penerus masa depan setiap masyarakat. Meski jumlahnya cukup signifikan, namun umat Islam masih dianggap sebagai tamu asing dan warga kelas dua sebagaimana ungkapan Kardinal Lehman di atas. Umat Islam belum diakui secara resmi oleh pemerintah Jerman. Ironisnya, kaum Yahudi yang hanya berjumlah sekitar 400 ribu diakui sebagai kelompok resmi. (Mel. Sumber: Islamonline, Islamicity, news.bbc.co.uk, dan lain-lain).*

Diposkan oleh mudzakarah wargajenggot di 17:57 0 komentar Mengapa Pusat Dakwah Di India, Bukan Di Arab? Ini merupakan pertanyaan yang disampaikan, dan kami mencoba berbagi pandangan dengan sdr. sekalian.

Assalamu alaikum wr. wb. Mari kita ungkap lebih dalam perihal pertanyaan ini, dan kita jangan termasuk seperti bani Israil yang menanyakan kenapa Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi akhir zaman itu terlahir dari Arab tidak dari bani Israil. Pertanyaan ini terlontar sangat wajar karena banyak Nabi lahir di kalangan bani israil, dan memang dari turunan Nabi Ishak As ini sangat banyak Nabi. Sedangkan dari Nabi Ismail As hanya satu Nabi saja, yaitu Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi akhir zaman. Ummat Islam ini bukan hanya berada di arab, tetapi sudah sangat tersebar ke berbagai negara. Semua sejarah mencatat dengan baik perihal dawah Abi Waqash RA sampai ke negera Cina. Atau kisah-kisah lainnya. Kita bisa bayangkan dengan pikiran yang normal, tanpa ada pesawat atau kendaran yang sangat hebat saat itu, tetapi kaum muslimin telah menembus negara-negara untuk menyampaikan agama Islam yang mulia ini. Jika kita perhatikan daratan yang ditempuh, gunung yang tinggi dan suhu yang dingin, tetapi mereka terus bergerak ke negara-negara jauh. Kira-kira SEMANGAT APA yang menjadikan mereka berani meninggal tanah air dengan waktu yang sangat panjang itu. Hal ini bisa terjadi karena PIKIR yang menghujam ke dalam diri mereka seperti mana PIKIR NABI untuk menyebarkan Islam ke seluruh daerah dan tempat. Apa PIKIR NABI itu? Allah swt dengan jelas dan lugas menjelaskan pikir dan kerisauan beliau itu dalam ayat Al-quran sendiri. Perhatikan dengan ayat At-Taubah terakhir 128-129: sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), Maka Katakanlah: Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki Arsy yang agung. (At-Taubah: 128-129). Para Shahabat RA dan juga para Ulama dulu sangat memahami perihal risau ini, mereka ini menyelami kisah Nabi bagaimana ke thaif, mereka ini menyelami kisah Nabi ketika mengajak kaumnya sendiri di mekkah, mereka ini menyelami bagaimana hijrah Nabi ke Madinah, bagaimana keluarganya sendiri ada yang menghina dan mau merencanakan membunuhnya. PADAHAL apa yang diinginkan Nabi kita, Nabi Muhammad SAW, yang mulia ini. Sebuah keselamatan dan keimananan bagi ummat manusia. Nabi kita bukan mau harta yang dapat diwariskan kepada anak-anaknya. Jadi para Shahabat dan juga para Ulama berani untuk berpergian yang jauh untuk menyebarkan Islam ini dengan harta dan jiwa mereka sendiri. Silahkan pelajari kisah-kisah penyebaran Islam ke Indonesia, dan terutama dengan kehadirannya

orang-orang Arab di Indonesia. Kalangan Arab ini sangat berperan dalam penyebaran Islam, dan menurut sejarah banyak dari kalangan Hadramaut yang ke Indonesia. Kemajuan kaum muslimin di jaman Rasulullah SAW dan para Shahabat RA yang signifikan yaitu setelah ditetapkannya tempat berhimpun dan menjalankan aktifitas ijtimaiyyah kaum muslimin, Masjid. Masjid ini yang menjadi titik central Utama di jaman itu. Bahkan banyak penjelasan tolok-ukur kaum muslimin dapat dilihat dari kedatangannya ke masjid. Dan banyak ayat dan juga hadist yang menjelaskan keutamaan terhadap masjid ini. Jika Allah swt dan juga Nabi kita menekankan perkara masjid, maka tentunya masjid ini mempunyai peran sangat penting bagi kehidupan kaum muslimin dari masa ke masa. Kita dapat mempelajari perihal keutamaan masjid dalam kitab yang ditulis para Ulama. Sehingga siapapun di dunia ini yang dapat menjalankan aktifitas-aktifitas masjid itu dengan baik seperti mana yang terjadi di jaman Rasulullah SAW dan para Shahabat RA. Dan terutama dengan aktifitas dawah Islam, karena dawah Islam ini mempunyai dampak perubahan dari ketidaktaatan menjadi ketaatan itu sendiri. Kita kaum muslimin sangat dianjurkan untuk menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat yang mungkar. Dari jelas dawah itu merupakan aktifitas untuk melakukan perubahan dari yang tidak diridhoi menjadi yang diridhoi Allah swt. Sehingga jika dawah ini dijalankan di masjid, maka dengan sendirinya pesan dan kesan masjid itu akan masuk ke dalam rumah-rumah kaum muslimin. Dan dawah ini tidak mungkin dijalankan kecuali dengan ijtimaiyyah jika dilakukan di masjid kita. Ada satu ayat yang sebenarnya cukup penting dipelajari dengan baik, bagi kaum muslimin yang menjalankan aktifitas dawah ini, yaitu Ali-Imran:104. Dalam ayat ini terdapat kata waltakum minkum .., terdapat dua penjelasan terhadap ayat ini oleh kalangan Ulama yaitu Membentuk sebagian dari kaum muslimin . Dan Membentuk Ummat Islam sebagai Ummat Dawah ... Tetapi keduanya pada prinsipnya adalah sama untuk mendorong aktifitas dawah itu sendiri. Yang namanya membentuk .. tentunya mencetak atau menjadikan seseorang untuk terjun dalam dawah. Jika dilakukan di masjid, maka secara kemestian perlu dilakukan tertibnya atau metodanya dengan baik. Dalam hal ini kita sendiri dapat menyusun metodanya sesuai dengan kemampuan kita masing-masing, tetapi bukan berarti kita harus berpegang terus dengan prosedur kita jika ada yang membawa metoda yang lebih mudah dan menyeluruh. Masjid Nabawi di Arab belum menjadikan sebagai pusat dawah, tetapi masih dijadikan sebagai pusat pengajaran dan pendidikan (talim) Islam. Karena tentunya para Ulama sendiri sangat memahami apa pengaruh (efek) dari dawah itu sendiri. Dawah itu akan memberikan perubahan ke setiap lingkungan masyarakat, dan tentunya akan memberikan dampak orang-orang untuk berdatangan ke masjid itu sendiri dengan sukarela. Kaum muslimin sekarang juga datang ke masjid Nabawi, itupun sebenarnya karena pengaruh dawah (ajakan) meskipun caranya mungkin dari kata-kata ringan. Sehingga banyak juga kaum muslimin akhirnya untuk belajar di masjid Nabawi. Tetapi jika menjadikan pusat dawah, maka akhirnya akan disebarkan ke berbagai negeri untuk menyebarkan Islam. Dan nantinya secara automatis akan banyak orang datang ke masjid Nabawi ini, dan seterusnya kembali menyebarkan Islam. Dan akhirnya menggerakan semua aktifitas lainnya, seperti talim, ibadah dan juga khidmat atau muamalat.

Waktunya akan datang, para Ulama di arab sendiri terutama yang mendukung usaha dawah dan tabligh seperti Syeikh Abu Bakar Al-Jazairi juga sangat paham ini, tetapi perlu mempertimbangkan dengan hikmah dan dalam. Oleh karena itu beliau sendiri hanya menjelaskan ketika ditanya perihal usaha dawah di masjid itu, bahwa usaha dawah ini merupakan mutiara di akhir jaman. Jadi pengaruh dawah dan taim sangat berbeda hasilnya. Waktunya akan datang dengan sendirinya, ketika sudah siap semuanya. Jika tidak, maka akan sangat mudah dihancurkan dawah ini oleh musuh-musuh Islam itu sendiri. Kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa perihal perahu merupakan pelajaran terpenting bagi kalangan ahli dawah, agar semuanya berjalan dengan sederhana dan senyap, tetapi semuanya berjalan dengan jelas dan pasti. Pelajaran Dan Maulana Ilyas Rah memulai dari masjid yang sangat sederhana di daerah Nizamuddin, dan sekarang tersebar ke seluruh dunia bahkan tembus negara-negara Eropa, Amerika dsb. Bahkan beberapa tahun yang silam kaum muslimin Inggris sangat berkeinginan membangun masjid markaz ini menjadi masjid yang indah dan besar, dan hal ini disampaikan kepada maulana Inamul Hasan Rah, tidak dapat diiijinkan oleh beliau. Dan bahkan beliau mendorong untuk membangun masjid besar dan megah di Inggris sendiri, dan hari ini menjadi perbincangan di Inggris akan menjadi masjid terbesar di Eropa yang dibangun kalangan dawah dan tabligh. Dorongan Maulana Inamul Hasan Rah itu sekitar 15 tahun yang lalu. Kita boleh berkeinginan dan merencanakan. Tetapi juga kita harus menyaqini bahwa Allah swt sendiri mempunyai rencana. Maulana Ilyas Rah hanya sebagai asbab saja untuk kaum muslimin, tetapi sebenarnya semua tertib itu telah tertulis dengan baik oleh para ulama dulu. Dan beliau ini hanya perangkai dari sumber-sumber itu yang saling berkaitan untuk menjadi sebuah model metoda dawah dan tabligh, dan sekarang ijtihad itu telah banyak memberikan kesan dan pesan ke seluruh dunia, termasuk di kalangan arab sendiri termasuk para Ulama. Dan jika banyak mempelajari siapa Maulana Ilyas dan keluarganya. Kita akan mengetahui bahwa mereka juga merupakan turunan dari kalangan para Shahabat RA. Thanks,

Ibadah mahdah

MUHAMMAD ARIF FADHILLAH Kiai Haji Ahmad Dahlan, di hadapan para santrinya, pendiri Muhammadiyah pada tahun 1912 ini tidak pernah jemu mengajarkan sebuah surat pendek dalam Alquran yakni surat Al-Maun (107). Berulang kali dibahas beliau sampai-sampai muridnya hampir bosan. Para santri itu bertanya, Wahai kiai mengapa kita terus membahas surat al-Maun? demikian kurang lebih tanya para santrinya. Lalu KH. Ahmad Dahlan menjawab, Sudahkah kalian mengamalkannya? Demikianlah kisah Sang Kiai yang baru beralih dari membahas surat Al-Maun, setelah santri-santrinya mengamalkan surat tersebut. Oleh karenanya tidak sedikit lembaga pendidikan dan sosial kesehatan termasuk panti asuhan yang berdiri di bawah naungan Muhammadiyah di Yogyakarta sekarang ini, tempat organisasi ini berdiri sebagai ejawantah dari iman. Teladan KH. Ahmad Dahlan tersebut mengingatkan kita bahwa keimanan harus diikuti dengan amal saleh. Hal ini ditegaskan pula oleh Rasulullah SAW. Sebuah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Syahin dalam As-Sunnah yang bersumber dari Imam Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah SAW bersabda: Iman dan Amal merupakan dua saudara yang bersekutu (berhubungan) dalam satu ikatan. Allah Swt tidak menerima salah satunya kecuali bersama temannya. Hadis ini oleh Jalaluddin As-Suyuti dinilai hasan. Demikian dijelaskannya dalam Jamius Shaghir. Secara lebih tegas lagi, diriwayat yang berbeda Rasulullah SAW bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani. Hadis tersebut berbunyi, Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman. Dari hadis di atas tampak jelaslah bahwa keimanan kita harus diikuti dengan amal saleh. Keimanan tanpa amal secara jelas suatu kesia-siaan belaka, demikian sebaliknya. Dengan ungkapan lain, keimanan merupakan keniscayaan bagi amal saleh dan begitu juga sebaliknya, amal saleh merupakan keniscayaan bagi iman itu sendiri. Kemudian bagaimanakah kita mesti beramal? Rasulullah saw menegaskan sebagai berikut, Lakukan apa yang mampu kamu amalkan. Sesungguhnya Allah tidak jemu sehingga kamu sendiri jemu. Demikian redaksi sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Lebih jauh, dalam riwayat yang lain yang bersumber dari Abu Hurairah dan diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim, Rasulullah saw berpesan, Cepat-cepatlah beramal (sebelum datangnya) enam perkara, yakni matahari terbit dari Barat, Kabut (pertanda kiamat), pelata bumi, dajjal, urusan khusus seseorang kamu (kematiannya) dan urusan umum (hari kiamat). Hadis tersebut dinilai shahih oleh Jalaluddin AsSuyuti dalam Jamius Shaghir-nya. Keterangan Nabi Muhammad saw ini setidaknya seirama dengan penjelasan Allah SWT dalam Alquran yaitu surah Al-Baqarah (2) ayat ke- 254, yang berbicara terkait beramal saleh dengan harta (kedermawanan). Perintah berdermawan (amal saleh) disampaikan dalam

bentuk kalimat perintah (insya) yang tegas, bahkan diikuti dengan penekanan untuk bersegera melakukannya sebelum kesempatan itu hilang. Demikian bunyi ayat tersebut, Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa'at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim. Lebih dari itu, kata amal sendiri dalam Alquran terdapat sebanyak 620. Pengertian kata amal secara umum adalah sebuah perbuatan untuk mencapai sesuatu. Namun perbuatan atau amal terdiri dari amal baik (amal saleh) dan amal buruk. Amal saleh (baik) yakni yang sesuai dengan perintah agama, adapun amal buruk adalah perbuatan yang dilarang oleh agama. Perbuatan atau amal yang sesuai dengan perintah ajaran agama disebut atau dikenal juga dengan istilah ibadah. Dan ibadah terdiri dari ibadah mahdhah dan ghair mahdhah. Ibadah mahdah yaitu suatu bentuk amaliyah ubudiyah yang segala tata cara, perincian dan kadarnya telah ditentukan oleh Syari (pembuat syariat), yakni Allah SWT dan RasulNya. Contohnya adalah seperti shalat, zakat, puasa dan menunaikan ibadah haji. Dalam mengamalkan ibadah mahdah ini agar diterima, maka harus sesuai dengan ketentuan syariat agama. Sedangkan ibadah ghairul mahdah merupakan ibadah dalam bentuk kebajikan-kebajikan dalam kehidupan antar sesama manusia (ibadah sosial). Contoh ibadah ini adalah menolong manusia yang memerlukan pertolongan, memberi makan orang yang kelaparan dan sebagainya. Syariat memberikan keragaman cara dalam mengamalkan ibadah ghairul mahdah ini, sesuai dengan kemampuan manusia itu sendiri. Lebih lanjut, ibadah mahdah tersebut mempunyai keterkaitan dengan ibadah ghairul mahdah. Antara keduanya tidak terpisah antara satu dengan yang lainnya. Hal ini ditegaskan oleh mantan Menteri Agama RI, Prof. M. Quraish Shihab ketika menafsirkan surat Al-Maun (107), lebih-lebih ayat ke-4 surat Al-Maun (107). Tegas Prof. Quraish, yang perlu digaris bawahi, kita mengenal dalam ajaran agama ada namanya ibadah mahdah, salah satu contohnya adalah ibadah shalat. Lanjut beliau lagi, Ibadah itu harus membuahkan amal-amal sosial yang bermanfaat. Ketika menafsirkan ayat ke-4 surat Al-Maun yang redaksinya, Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, mufasir kenamaan Indonesia tersebut dalam tafsirnya Al-Misbah berpendapat bahwa hal ini menunjukkan sesuatu yang sangat menghawatirkan. Lanjut beliau, ada orang yang beranggapan kalau dia dikatakan kafir atau mendustakan agama jika ia tidak bersyahadat. Padahal kelanjutan ayat ini mengatakan kita tidak mau membantu saja, kita sudah dinilai atau dikatakan mendustakan agama. Pak Quraish menekankan lagi bahwa jangan menduga kita sudah shalat, maka ibadah shalat kita sudah selesai. Shalat itu harus mempunyai buah, buahnya shalat adalah perhormatan pada Allah dan membantu orang lain. Itulah substansi shalat. Kalau shalatnya khusyu namun tidak mau membantu orang, tidak dinilai menghayati substansi (inti) shalat itu. Shalat substansinya ikhlas. Keikhlasan mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan-kegiatan demi hanya karena Allah, satu diantaranya adalah mengajak untuk memberi pada yang tidak mampu. Dengan ungkapan lain, shalat yang ditegakkan adalah shalat yang membawa sifat-sifat shalat di luar shalat. Kesalahan yang sangat nyata jika orang yang shalat, hanya menyendiri seolah hidup dalam ruang hampa sosial, dan tidak bersosialisasi apalagi malah menafikan eksistensi manusia lainnya. Ini berarti, semakin baik shalat (ibadah mahdah) kita seyogyanya semakin baik pula ibadah sosialnya, semakin peduli terhadap

persoalan-persoalan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat dan tidak menimbulkan kerugian, kejelekan dan kerusakan bagi yang lainnya. Demikianlah contoh keterkaitan antara mengamalkan ibadah mahdah dengan ibadah ghair mahdah. Paparan di atas nyata menunjukkan perlunya amal saleh dalam keimanan. Malahan karena pentingnya amal saleh ini sebagai implementasi keimanan, maka dalam satu riwayat Rasulullah SAW menerangkan bahwa sebaik-baik manusia merupakan yang baik amalnya. Berikut redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Abu Na'im, Seorang sahabat bertanya, Ya Rasulullah, yang bagaimanakah orang yang baik itu? Nabi Saw menjawab, Yang panjang usianya dan baik amal perbuatannya. Dia bertanya lagi, Dan yang bagaimana orang yang paling buruk (jahat)? Nabi Saw menjawab, Adalah orang yang panjang usianya dan jelek amal perbuatannya." Sebagai penutup, diutarakan sebuah hadis terkait amal yang utama, sebagai upaya kita untuk beramal saleh yang merupakan implementasi keimanan kita dan juga sebaliknya. Hadis riwayat Muslim dari Abu Dzar RA, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw: Wahai Rasulullah, amal apa yang paling utama? Rasulullah saw bersabda: Iman kepada Allah dan berjuang di jalan-Nya. Aku bertanya: Budak manakah yang paling utama? Rasulullah bersabda: Yang paling baik menurut pemiliknya dan paling tinggi harganya. Aku tanya lagi: Bagaimana jika aku tidak bekerja? Rasulullah bersabda: Engkau dapat membantu orang yang bekerja atau bekerja untuk orang yang tidak memiliki pekerjaan. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku tidak mampu melakukan sebagian amal. Rasulullah saw bersabda: Engkau dapat mengekang kejahatanmu terhadap orang lain. Karena, hal itu merupakan sedekah darimu kepada dirimu. Dari hadis tersebut tergambar cara paling minimal dalam beramal saleh sebagai realisasi dari keimanan kita, yakni meninggalkan kejahatan. Karena dengan menghindari kejelekan, maka minimal manusia tersebut tidak memberikan kerugian bagi manusia lainnya, bahkan bagi makhluk lainnya seperti kepada alam semesta yang rusak karena ulah manusia. Dengan ungkapan lain, ia tidak merugikan seorang dan sesuatu pun. Oleh karena itu marilah beramal saleh! Setidaknya dengan menghindari berbuat kejahatan. Ingatlah bahwa antara iman dan amal saleh harus bersama, mereka tidak bisa berdiri sendiri, terpisah antara satu dengan lainnya. Semoga bermanfaat! Wallahu Al-Alim!

Ittiba

Ittiba kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah salah satu inti dan pondasi dasar agama islam. Juga merupakan syariat paling agung yang diterima dan diketahui dengan pasti. Dalil-dalil syari yang shahih, yang menjelaskan dan menegaskan hal ini sangat banyak. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa taala:

Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (Qs. Al-Hasyr: 7) Dan firman Allah subhanahu wa taala:

Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (Qs. An-Nisaa: 80) Akan tetapi ketika pemahaman telah kacau dan kaki telah tergelincir, hal itu tidak menghalangi adanya kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang menyimpang dari meniti dan menetapi jalan tengah yang lurus. Sehingga kebutuhan untuk menjelaskan dan menerangkan hal ini menjadi lebih besar dan lebih wajib. Oleh karena itu, di dalam pelajaran ini aku akan berusaha memberikan perhatian kepadanya untuk menampakkan hakikat dan hukum ittiba, menerangkan kedudukan dan tanda-tandanya serta menjelaskan jalan yang membantu untuk mewujudkannya dan sebagian penghalangpenghalangnya. Dengan berharap kepada Rabbku (Penguasaku) Yang maha pengampun agar memberikan petunjuk kepada kebaikan dan memperbaiki niat ini. Sesungguhnya Dia maha berkuasa atas segala sesuatu dan berhak menjawab doa. Ittiba Menurut Bahasa Ittiba adalah mashdar (kata bentukan) dari kata ittabaa (mengikuti). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh. Dikatakan ittiba kepada al-Quran, yaitu mengikutinya dan mengamalkan kandungannya. Dan ittiba kepada Rasul shallallahu alaihi wa sallam, yaitu meneladani, mencontoh dan mengikuti jejak beliau. (1)

Ittiba Menurut Istilah Syari Yaitu meneladani dan mencontoh Nabi shallallahu alaihi wa sallam di dalam keyakinan, perkataan, perbuatan dan di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan. Beramal seperti amalan beliau sesuai dengan ketentuan yang beliau amalkan, apakah wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Dan disertai dengan niat dan kehendak padanya. Ittiba kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam di dalam keyakinan akan terwujud dengan meyakini apa yang diyakini oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam sesuai dengan bagaimana beliau meyakininya apakah merupakan kewajiban, kebidahan ataukah merupakan pondasi dasar agama atau yang membatalkannya atau yang merusak kesempurnaannya dengan alasan karena beliau shallallahu alaihi wa sallam meyakininya. Ittiba kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam di dalam perkataan akan terwujud dengan melaksanakan kandungan dan makna-makna yang ada padanya. Bukan dengan mengulang-ulang lafadz dan nashnya saja. Sebagai contoh sabda Beliau shallallahu alaihi wa sallam:

Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (2) Ittiba kepadanya adalah dengan melaksanakan shalat seperti shalat beliau. Sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam:

Janganlah kalian saling hasad dan janganlah kalian berbuat najasy. (3) Ittiba kepadanya adalah dengan meninggalkan hasad dan najasy. Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu yang dia ketahui kemudian dia menyembunyikannya maka pada hari kiamat dia dikekang dengan tali kekang dari api. (4) Ittiba kepadanya adalah dengan menyebarkan ilmu yang shahih dan bermanfaat serta tidak menyembunyikannya. Sebagaimana ittiba kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam di dalam perbuatan adalah dengan melakukan amalan seperti yang beliau lakukan, sesuai ketentuan yang beliau lakukan dan dengan sebab karena beliau melakukannya.

Kami katakan seperti yang beliau lakukan karena meneladani sesuatu tidak akan terwujud jika terdapat perbedaan bentuk dalam tatacara perbuatan. Makna perkataan kami sesuai dengan ketentuan yang beliau lakukan adalah adanya kesamaan di dalam tujuan dan niat perbuatan itu berupa keikhlasan dan pembatasan terhadap perbuatan itu dari segi wajib atau sunnahnya karena tidak dapat dikatakan meneladani jika berbeda tujuan dan niatnya meskipun sama bentuk perbuatannya. Dan kami katakan dengan sebab karena beliau melakukannya karena meskipun sama bentuk dan niat perbuatannya, jika maksud melakukannya bukan untuk meneladani dan mencontoh maka tidak akan dikatakan sebagai ittiba. Sebagai contoh untuk menjelaskan ittiba di dalam perbuatan; Jika kita ingin meneladani Nabi shallallahu alaihi wa sallam di dalam puasa beliau maka kita harus berpuasa sebagaimana tatacara puasa Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Yaitu menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar shadiq sampai terbenamnya matahari, dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa taala. Maka jika salah seorang di antara kita menahan dirinya hanya dari sebagian perkara yang membatalkan puasa berarti dia belum ittiba. Sebagaimana jika dia menahan diri pada sebagian waktu saja. Dan kita juga harus berpuasa sesuai dengan ketentuan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam berpuasa dari segi niatnya. Yaitu dengan puasa ini kita mengharapkan wajah Allah dan untuk melaksanakan kewajiban atau sebagai qadha atau sebagai nadzar. Atau meniatkannya sebagai puasa sunnah sesuai dengan alasan Nabi shallallahu alaihi wa sallam berpuasa. (5) Sebagaimana juga kita melakukan puasa tersebut dengan alasan karena beliau shallallahu alaihi wa sallam melakukannya. Oleh karena itu seseorang yang melakukan amalan yang sama bentuk dan tujuannya dengan orang lain selain Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidaklah dianggap meneladani orang tersebut jika keduanya sama-sama melakukannya dengan niat melaksanakan perintah Allah dan ittiba kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Sedangkan ittiba kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam di dalam perkara-perkara yang ditinggalkan adalah dengan meninggalkan perkara-perkara yang beliau tinggalkan, yaitu perkaraperkara yang tidak disyariatkan. Sesuai dengan tatacara dan ketentuan Nabi shallallahu alaihi wa sallam di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena beliau shallallahu alaihi wa sallammeninggalkannya. Dan ini adalah batasan yang sama dengan batasan ittiba di dalam perbuatan. Sebagai contoh untuk menjelaskannya; Nabi shallallahu alaihi wa sallam meninggalkan (tidak melakukan) shalat ketika terbit matahari. Maka seorang yang meneladani beliau juga meninggalkan shalat pada waktu itu sesuai dengan ketentuan beliau shallallahu alaihi wa sallam di dalam meninggalkannya, dengan alasan karena beliau shallallahu alaihi wa sallam meninggalkannya. (6)

Footnote: Lihat Lisanul Arab (1/416-417), al-Mujamul Wasith (1/81) (2) Al-Bukhari no. 631 lihat Fath al-Bari (2/131-132) (3) Muslim (4/1986) no. 2564 (4) At-Tirmidzi (5/29) no. 2649 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi (2/336) no. 2135 (5) Jika ada tatacara dan tujuan yang khusus bagi Nabi shallallahu alaihi wa sallam seperti puasa wishol (puasa sejak terbit fajar sampai waktu sahur -pen) atau kewajiban shalat malam, maka tidak boleh menyamai beliau di dalam kekhususan tatacara dan tujuan ini. Akan tetapi perkara ittiba berkaitan dengan tujuan-tujuan dan tatacara yang beliau shallallahu alaihi wa sallam syariatkan kepada umatnya. (6) Lihat al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah (10/409) dan al-Ihkam karya al-Amidi (1/226, 227)
(1)

Ijtihad

BABI PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalildalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yng telah mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiran untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman Rosullulloh maupun yang baru terjadi.

2. RUMUSAN MASALAH Dari pokok-pokok permasalahan diatas penyusun merumuskan beberapa masalah yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. Pengertian Ijtihad Dasar ijtihad Ruang lingkup ijtihad Syarat mujtahid Tingkatan para mujtahid

BABII PEMBAHASAN IJTIHAD

3. Pengertian Ijtihad

Menurut bahasa berasal dari kata:

berarti sungguh-sungguh, rajin, giat, atau mencurahkan kemampuannya daya upaya atau usaha keras, berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu Menurut istilah ijtihad adalah suatu upaya pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan prasangka kuat atau Dhon yang didasarkan suatu petunjuk yang berlaku atau penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan suatu yang terdekat dengan kitabullah dan sunnah rosululloh SAW.

4. Dasar Ijtihad Ijtihad bisa sumber hukumnya dari al-qur'an dan alhadis yang menghendaki digunakannya ijtihad. 1. Firman Allah dalam Surat An-Nisa' Ayat 59 Artinya: Hai orang-orang yang beriman taatilah allah dan taatilah rosul dan orng-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu kemudian jika kamu berselisih pendapt tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada allah(alqur'an dan sunnah nabi) 2. Sabda Rosullullah Saw: 3. Artinya dari mu'adz bin jabal ketika nabi muhammad saw mengutusnya ke yaman untuk bertindak sebagai hakim beliau bertanya kepda mu'adz apa yang kamu lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus di putuskan? Mua'dz menjawab, "aku akan memutuskan berdasarkan ketentuan yang termaktuk dalam kitabullah" nabi bertanya lagi "bagaimana jika dalam kitab allah tidak terdapat ketentuan tersebut?" mu'adz menjawab, " dengan berdasarkan sunnah rosulullah". Nabi bertanya lagi, "bagaimana jika ketenyuan tersebut tidak terdapat pula dalam sunnah rosullullah?" mu'adz menjawab, "aku akan menjawab dengan fikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara tanpa putusan" , lalu mu'adz mengatakan, " rosullulah kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan, segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusanku untuk hal yang melegakan". 4. Sabda Rosulullah SAW yang artinya: "bila seorang hakim akan memutuskan masalah atau suatu perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian hasilnya benar, maka ia memperoleh pahala dua (pahala ijtihad dan pahala kebenaran hasilnya). Dan bila hasilnya salah maka ia memperoleh satu pahala (pahala melakukan ijtihad)

5. Ijtihad seorang sahabat Rosulullah SAW, Sa'adz bin Mu'adz ketika membuat keputusan hukum kepada bani khuroidhoh dan rosulullah membenarkan hasilnya, beliau bersabda "Sesungguhnya engkau telah memutuskan suatu terhadap mereka menurut hukum Allah dari atas tujuh langit". Artinya hadist ini menunjukkan bahwa ijtihad sahabat tersebut mempunyai manfaat dan dihargai oleh rosulullah 6. Firman Allah yang artinya : "Mereka menanyakan kepadamu tentang pembagian harta rampasan perang. Katakanlah, hanya rampasan perang itu keputusan Allah dan rosul sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan diantara sesamamu, dan taatilah kepada Allah dan Rosulnya jika kamu adalah orang-orang yang beriman". (Al-Anfal:1) 7. fiman Allah yang artinya : "Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampaan perang maka sesungguhnya setengah untuk Allah, Rosul, Kerabat rosul, anak-anak yatim, orang-oarang miskan dan ibnu sabil. Jika kamu beriamn kepada Allah dan kepada apa yang kami terunkan kepada hamba kami muhammad dari hari furqon yaitu bertemunya dua pasukan. Dan Allah maha kuasa ata segala sesuatu". (Al-Anfal:41) 5. Ruang Lingkup Ijtihad Ruang lingkup ijtihad ialah furu' dan dhoniah yaitu masalah-masalah yang tidak ditentukan secara pasti oleh nash Al-Qur'an dan Hadist. Hukum islam tentang sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil Dhoni atau ayat-ayat Al-qur'an dan hadis yang statusnya dhoni dan mengandung penafsiran serta hukum islam tentang sesuatu yang sama sekali belum ditegaskan atau disinggung oleh Al-qur'an, hadist, maupan ijma' para ulama' serta yang dikenal dengan masail fiqhiah dan waqhiyah berijtihad dalam bidang-bidang yang tak disebutkan dalam Al-qur'an dan hadist dapat ditempuh dengan berbagai cara : 1. Qiyas atau analogi adalah salah satu metode ijtihad, telah dilakukan sendiri oleh rosulullah SAW. Meskipun sabda nabi merupakan sunah yang dapat menentukan hukum sendiri 2. Memelihara kepentingan hidup manusia yaitu menarik manfaat dan menolak madlarat dalam kehidupan manusia. Menurut Dr. Yusuf qordhowi mencakup tiga tingkatan: 1. Dharuriyat yaitu hal-hal yang penting yang harus dipenuhi untuk kelangsung hidup manusia. 2. Hajjiyat yaitu hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia dalam hidupnya. 3. Tahsinat yaitu hal-hal pelengkap yang terdiri atas kebisaan dan akal yang baik

6. Syarat Mujtahid

Syarat-syarat umum yang disepakati oleh para ulama' menurut Dr. Yusuf Qordhowi sebagai berikut: 1. Harus mengetahui Al-Qur'an dan ulumul Qur'an: 1. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat 2. Mengetahui sepenuhnya sejarah pengumpulan atau penyusunan al-qur'an. 3. Mengetahui sepenuhnya ayat-ayat makiyah dan madaniyah, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, dan sebagainya 4. Menguasai ilmu tafsir, pengetahuan tentang pemahaman al-qur'an.

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Mengetahui Assunah dan ilmu Hadits Mengetahui bahasa arab Mengethui tema-tema yang sudah merupakan ijma' Mengetahui usul fiqih Mengetahui maksud-maksud sejarah Mengenal manusia dan alam sekitarnya Mempunyai sifat adil dan taqwa

syarat tambahan : 9. Mengetahui ilmu ushuluddin 10. Mengetahui ilmu mantiq 11. Mengetahui cabang-cabang fiqih

7. Tingkatan-Tingkatan Para Mujtahid Para mujtahid mempunyai tingkatan-tingkatan: 1. Mujtahid mutlaq atau mujtahid mustakhil yaitu mujtahid yang mempunyai pengetahuan lengkap untuk berisbad dengan Al-qur'an dan Al-haditsdengan menggunakan kaidah mereka sendiri dan diakui kekuatannya oleh tokoh agama yang lain. Para mujtahid ini yang paling terkenal adalah imam madzhab empat 2. Mujtahid muntasib yaitu mujtahid yang terkait oleh imamnya seperti keterkaitan murid dan guru mereka adalah imam Abu Yusuf, Zarf bin Huzail yang merupakan murid imam Abu Hanifah 3. Mujtahid fil madzhab yaitu para ahli yang mengikuti para imamnya baik dalam usul maupun dalam furu' misalnya imam Al-Muzani adalah mujtahid fil madzhab Syafi'i 4. Mujtahid tarjih yaitu mujtahid yang mampu menilai memilih pendapat sebagai imam untuk menentukan mana yang lebih kuat dalilnya atau mana yang sesuai dengan situasi kondisi yang ada tanpa menyimpang dari nash-nash khot'i dan tujuan syariat, misalnya Abu Ishaq al syirazi, imam Ghazali

BAB III PENUTUP

8. KESIMPULAN 1. Ijtihad adalah suatu upaya pemikiran atau penelitian untuk mendapatkan hukum dalam kitabullah dan sunah rosul 2. dasar ijtihad: 1. Firman Allah surat An nisa' :59 2. Firman Allah surat Al anfal: 1,41 3. Dan banyak juga hadits-hadits Rosulullah SAW yang menyebutkan tentang dasar-dasar ijtihad 4. Tingkatan mujtahid : 1. Mujtahid Mutlak 2. Mujtahid Muntasib 3. Mujtahid fil Madzhab 4. Mujtahid Tarjih

9. SARAN Para pembaca hendaknya memahami betul masalah-masalah mengenai ijtihad. Karena dengan ijtihad seseorang mampu menetapkan hukum syara' dengan jalan menentukan dari kitab dan sunnah.

MAJLIS TARJIH MUHAMMADIYAH ( PENGENALAN, PENYEMPURNAAN DAN PENGEMBANGAN ) Ahmad Zain An Najah, MA * Muqaddimah Tarjih berasal dari kata rojjaha yurajjihu- tarjihan , yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat. Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang saling bertentangan , karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya Tarjih dalam istilah persyarikatan ,sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat Pada tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks , dan tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep tarjih Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian mengalami perluasan menjadi : usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qoul ulama mengenainya . Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama Ijtihad . Oleh karenanya, idealnya nama Majlis yang mempunyai tugas seperti yang disebutkan di atas adalah Majlis Ijtihad, namun karena beberapa pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika Majlis ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada. Sejarah berdirinya Tarjih Pada waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini , tepatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Majlis Tarjih belum ada, mengingat belum banyaknya masalah yang di hadapi oleh Persyarikatan. Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya Persyarikatan ini, maka kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut berkembang juga, selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang berhubungan dengan fiqh. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan tersebut, serta menghindari adanya peperpecahan antar warga Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang

hukum. Maka pada tahun 1927 M , melalui keputusan konggres ke 16 di Pekalongan, berdirilah lembaga tersebut yang di sebut Majlis Tarjih Muhammdiyah. Tersebut di dalam majalah Suara Muhammadiyah no.6/1355( 1936 ) hal 145 : .bahwa perselisihan faham dalam masalah agama sudahlah timbul dari dahulu, dari sebelum lahirnja Muhammadijah : sebab-sebabnja banjak , diantaranja karena masingmasing memegang teguh pendapat seorang ulama atau jang tersebut di suatu kitab, dengan tidak suka menghabisi perselisihannja itu dengan musjawarah dan kembali kepada Al Quran , perintah Tuhan Allah dan kepada Hadits, sunnah Rosulullah. Oleh karena kita chawatir, adanja pernjeknjokan dan perselisihan dalam kalangan Muhammadijah tentang masalah agama itu, maka perlulah kita mendirikan Madjlis Tardjih untuk menimbang dan memilih dari segala masalah jang diperselisihkan itu jang masuk dalam kalangan Muhammadijah manakah jang kita anggap kuat dan berdalil benar dari Al quran dan hadits. Sejak berdirinya pada tahun 1927 M, Majlis Tarjih telah dipimpin oleh Muhammadiyah, yaitu : 1. KH. Mas Mansur 2. Ki Bagus Hadikusuma 3. KH. Ahmad Badawi 4. Krt. KH. Wardan Diponingrat 5. KH. Azhar Basyir 6. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman ( 1990-1995 ) 7. Prof. Dr. H. Amin Abdullah ( 1995-2000) 8. Dr. H. Syamsul Anwar , MA ( 2000-2005 ) Kedudukan dan Tugas Majlis Tarjih dalam Persyarikatan . Majlis Tarjih ini mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam Persyarikatan, karena selain berfungsi sebagai Pembantu Pimpinan Persyarikatan, mereka memiliki tugas untuk memberikan bimbingan keagamaan dan pemikiran di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya dan warga persyarikatan Muhammadiyah khususnya. Sehingga, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Majlis Tarjih ini merupakan Think Thank nya Muhammadiyah. Ia bagaikan sebuah processor pada sebuah komputer, yang bertugas mengolah data yang masuk sebelum dikeluarkan lagi pada monitor. Adapun tugas-tugas Majlis Tarjih, sebagaimana yang tertulis dalam Qaidah Majlis Tarjih 1961 dan diperbaharuhi lewat keputusan Pimpinan Pusat Muhammdiyah No. 08/SKPP/I.A/8.c/2000, Bab II pasal 4 , adalah sebagai berikut : 8 Tokoh

1. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam dalam rangka pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat. 2. Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan guna menentukan kebijaksanaan dalam menjalankan kepemimpinan serta membimbing umat , khususnya anggota dan keluarga Muhammadiyah. 3. Mendampingi dan membantu Pimpinan Persyarikatan dalam membimbing anggota melaksanakan ajaran Islam 4. Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas ulama. 5. Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat. Menurut Prof. DR. H. Amin Abdullah, salah satu tokoh Muhammadiyah yang pernah menjabat sebagai ketua Majlis Tarjih, bahwa Majis Tarjih sebenarnya memiliki dua dimensi wilayah keagamaan yang satu sama lainnya pelu memperoleh perhatian seimbang. Yang pertama adalah wilayah tuntunan keagamaan yang bersifat praktis, terutama ikhwal ibadah mahdhoh dan yang kedua adalah wilayah pemikiran keagamaan yang meliputi visi, gagasan, wawasan, nilai-nilai dan sekaligus analisis terhadap berbagai persoalaan ( ekonomi, politik, sosial-budaya , hukum, ilmu pengetahuan, lingkungan hidup dan lainlainnya ) Manhaj Tarjih Sejak tahun 1935 upaya perumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah telah dimulai, dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah. Langkah pertama kali yang ditempuh adalah dengan mengkaji Mabadi Khomsah ( Masalah Lima ) yang merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam persoalan agama secara umum. Karena adanya penjajahan Jepang dan perang kemerdekaan , perumusan Masalah Lima tersebut baru bisa diselengarakan pada akhir tahun 1954 atau awal 1955 dalam Muktamar Khusus Majlis Tarjih di Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai