Anda di halaman 1dari 5

IDENTITAS MUHAMMADIYAH

SEBAGAI PERGERAKAN DA’WAH UNTUK PENCERAHAN BANGSA

I. SEJARAH IDENTITAS MUHAMMADIYAH

Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan sejak tahun 1912 M kalau dihitung
sampai saat ini sudah menjelang satu abad yang sudah barang tentu sudah mempunyai jati
diri atau sering dikenal dengan identitas di dalam menggerakkan organisasinya untuk
mencapai visi misi yang sudah dirumuskan. Kerja keras KH. Ahmad Dahlan mendapat
pengakuan pemerintah RI sebagaimana tertera dalam Surat Keputusan Presiden No. 657
Tahun 1961 menetapkan KH. Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional, Dasar dan
penetapan ini adalah :

1. Dengan Organisasi Muhammadiyah yang didirikannya telah memberikan ajaran Islam


yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan dan beramal
bagi masyarakat dan umat dengan dasar iman dan islam.

2. Dengan Organisasi Muhammadiyah telah memelopori amal-amal sosial dan pendidikan


yang amat diperlukan bagi kebangunan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.

3. Dengan Organisasi Muhammadiyah bagian wanita telah memelopori kebangunan wanita


bangsa Indonesia untuk mengecap pendidikan dan sosial.

Dari dasar dan penetapan seperti tersebut diatas itu sudah menunjukkan suatu jati diri atau
identitas awal berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah sebagai tujuan atau visi misi
Muhammadiyah dalam melakukan pergerakan da’wah. Terus kemudian selesainya
Muktamar Muhammadiyah ke 44 di Jakarta yang antara lain telah menghasilkan keputusan
penting berupa Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah yang dijadikan identitas bagi
warga Muhammadiyah sebagai identitas kehidupan. Karena Pedoman Hidup Islami Warga
Muhammadiyah dapat dijadikan acuan atau pedoman bagi perilaku dan tindakan bagi warga
Muhammadiyah dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan nilai-nilai dan norma Islami jika
nilai-nilai dan norma-norma Islami itu telah difahani dan dihayati secara mendalam maka
dengan sendirinya akan berpengaruh pada pengamalan sehari-hari pada berbagai aspek dan
level kehidupan bagi warga Muhammadiyah yang muaranya dapat menuju pada
terbentuknya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagaimana tujuan dari
Persyarikatan Muhammadiyah yang sudah barang tentu akan dapat menjadikan Rahmatan
Lilalamin rahmat bagi semesta alam, sebagai pencerahan bangsa.

Muhammadiyah Perjuangkan Kontestasi Gender, Identitas Dan Eksistensinya

Siti Ruhaini Dzuhayatin (48 tahun) mengatakan, sebagai organisasi sosial politik yang
beridentitas Islam, Muhammadiyah dalam kiprahnya terus melakukan melakukan
pergerakan-pergerakan berkemajuan dan pembaharuan dengan metode yang kontekstual.
Hingga saat ini Muhammadiyah mengidentifikasi diri sebagai organisasi pergerakan Islam
modern. Identitas Muhammadiyah seperti ini, telah memberikan pengaruh terhadap
perjuangan kesetaraan gender.

Perjuangan kesetaraan gender menjadi bagian yang integral dari identitas Muhammadiyah.
Kelanggengan ideologi gender partnership dalam tubuh Organisasi Muhammadiyah telah
menjadi rejim selama seratus tahun perjuangan. Karena dipertahankan sebagai identitas
otentik, maka dinamika kontestasi ideologi gender dalam perjuangan Muhammadiyah juga
hanya bersifat perluasan peran tanpa menggeser status gender secara substantif.
Gelanggengan rezim gender dalam Muhammadiyah ditopang oleh relasi dialektis antara
nilai dasar pada ranah teologis dan perilaku kolektif pada ranah praktis.

Demikian hasil riset Dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, yang kemudian
dirangkumnya menjadi karya disertasi dengan mengangkat judul “Rezim Gender
Muhammadiyah-Kontestasi Gender, Identitas dan Eksistensi” Karya Doktoral Mantan Ketua
PSW UIN ini dipresentasikan di hadapan tim penguji antara lain: Prof. Dr. Munir Mulkhan,
Prof. Dr. Muhadjir Darwin, Dr. Partini, Dr. Sugeng Bayu Wahyono dan Dr. Suharko, serta
promotor antara lain : Prof. Dr. Heru Nugroho, Prof. Dr. Muhtar Mas’oed dan Dr. Siti
Syamsiatun. Sidang Promosi dipimpin Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi di Gedung Promosi
Doktor Fisipol Universitas Gajah Mada.

Hasil riset Doktoral ibu dengan dua orang putra ini lebih jauh mengungkap, meski nampak
permanen dalam keberadaan Muhammadiyah, ideologi gender Muhammadiyah ternyata
menyimpan fregmentasi dengan munculnya realitas ganda, yang menyebutkan bahwa laki-
laki sebagai kepala keluarga, perempuan/istri berperan sebagai suborninat komplementer
dan realitas praktis yang mesih mencerminkan senior-yunior partnership antara laki-laki dan
perempuan. Artinya, ada kesenjangan normatif–teologis dari yang sesungguhnya ingin
diperjuangkan oleh Muhammadiyah. Frakmentasi kesenjangan ini kemudian menguatkan
kelompok progresif dalam menguatkan ideologi gender sebagi kemitra-setaraan antara laki-
laki dan perempuan.

Hasilnya, Muktamar Muhammadiyah ke 46 tahun 2010 kemarin, dapat dimaknai sebagai


langkah Muhammadiyah melintas zaman, karena pergeseran isu gender yang telah
mendekati ideologi kemitra-setaraan yang terjadi pada ranah teologis dan praksis secara
bersamaan. Pada ranah teologis, pengakuan imam shalat perempuan (dengan catatan
terbatas pada konteks tertentu) telah mampu meruntuhkan superioritas laki-laki yang
absolut dan omnipresent. Pada ranah praksis, masuknya perempuan dalam pimpinan pusat
Muhammadiyah, artinya ideologi gender Muhammadiyah telah mampu mendobrak
eksklusifitas maskulin perserikatan yang sudah bertahan selama seratus tahun. Sejauh mana
pergeseran rezim gender dalam Muhammadiyah ini akan berlanjut, tergantung sejauh mana
kelompok progresif dalam Muhammadiyah ini (yang sesungguhnya hanya merupakan
kelompok periferi) mampu terus memperjuangan pengarusutamakan ide kesejahteraan
gender dalam perserikatan, jelas Ruhaini.

Hasil riset putri kelahiran Blora ini juga mengungkap bahwa ide gender Muhammadiyah juga
menjadi salah satu aspek fundamental relasi organisasi sosial dan Negara. Karena dari hasil
temuan-temuan risetnya menyimpulkan bahwa gender merupakan faktor penghubung yang
menjembatani hubungan Muhammadiyah dan kekuasaan politik, meski pada saat keduanya
berseberangan secara oposisi-adversial pada dataran ideologis formal. Kedekatan ideologi
gender Muhammadiyah dan budaya politik nasional, menurut promovendus, didukung fakta
bahwa sebagian besar anggota Muhammadiyah menjadi pegawai negeri pada masa orde
baru. Fakta ini membuka wacana peran ganda perempuan pada tahun 1980an. Fata ini juga
menghasilkan referensi karya buku yang mengangkat tetang perempuan beraktifitas,
produktif ekonomis pada komunitas Kauman, tertuang pada buku tuntutan Adabul Mar’ah
Fil Islam. Ketika rezim orde baru bergeser menjadi lebih konservatif, Muhammadiyah juga
menghasilkan Justifikasi karya buku tetang Toentoenan Manjadi Isteri Islam Yang Berarti.

Dari hasil riset tentang Perjuangan Kontestasi, Indentitas dan Eksistensi Gender Dalam
Muhammadiyah, menurut Dosen yang pernah mendapatkan penghargaan Menteri Agama
RI sebagai Dosen aktif produktif ini berkesimpulan bahwa kesetaraan gender antara laki-laki
dengan perempuan akan terwujud dengan perjuangan yang terus menerus di dukung
kesiapan modal sosio-kultural ekonomi perempuan. Artinya siapapun laki-laki atau
perempuan yang memiliki kesiapan sosio-kultural dan ekonomi akan memiliki peluang
memperoleh status yang lebih tinggi. Jika modalitas sosio-kultural ekonomi yang dimiliki
antara laki-laki dan perempuan berimbang maka relasi gender akan berimbang.

C. IDENTITAS PERJUANGAN MUHAMMADIYAH

Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah Pasal 1 ayat 1 tentang : Nama dan identitas,
tersebut bahwa : “Persyarikatan ini bernama Muhammadiyah dengan identitas sebagai
gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar, berakidah Islam dan bersumber pada
Al-qur’an dan Sunnah”. Muhammadiyah memiliki watak, perilaku dan pemikiran yang
memungkinkan menyandang 3 identitas yaitu :

1. Sebagai gerakan Islam

2. Sebagai gerakan Dakwah

3. Sebagai gerakan Tajdid


Dari 3 identitas tersebut diatas Muhammadiyah mendasarkan diri pada 5 prinsip dasar gerak
persyarikatan, yaitu :

Prinsip Tauhid

Prinsip Ibadah

Prinsip Jama’ah atau kemasyarakatan

Prinsip gerak dan kemandirian dakwah

Prinsip Gerak dan Tajdid

A. Muhammdiyah sebagai Gerakan Islam

Telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa Persyarikatan Muhammadiyah dibangun oleh
KH Ahmad Dahlan sebagi hasil kongkrit dari telaah dan pendalaman (tadabbur) terhadap
Alquranul Karim. Faktor inilah yang sebenarnya paling utama yang mendorong berdirinya
Muhammadiyah, sedang faktor-faktor lainnya dapat dikatakan sebagai faktor penunjang
atau faktor perangsang semata. Dengan ketelitiannya yang sangat memadai pada setiap
mengkaji ayat-ayat Alquran, khususnya ketika menelaah surat Ali Imran, ayat:104, maka
akhirnya dilahirkan amalan kongkret, yaitu lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah. Kajian
serupa ini telah dikembangkan sehingga dari hasil kajian ayat-ayat tersebut oleh KHR Hadjid
dinamakan “Ajaran KH Ahmad Dahlan dengan kelompok 17, kelompok ayat-ayat Alquran”,
yang didalammya tergambar secara jelas asal-usul ruh, jiwa, nafas, semangat
Muhammadiyah dalam pengabdiyannya kepada Allah SWT.

Dari latar belakang berdirinya Muhammadiyah seperti di atas jelaslah bahwa sesungguhnya
kelahiran Muhammadiyah itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi, dan disemangati oleh
ajaran-ajaran Al-Qur’an karena itupula seluruh gerakannya tidak ada motif lain kecuali
semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam. Segala yang dilakukan
Muhammadiyah, baik dalam bidang pendidikan dan pengajaran, kemasyarakatan,
kerumahtanggaan, perekonomian, dan sebagainya tidak dapat dilepaskan dari usaha untuk
mewujudkan dan melaksankan ajaran Islam. Tegasnya gerakan Muhammadiyah hendak
berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud yang riil, kongkret, dan nyata, yang
dapat dihayati, dirasakan, dan dinikmati oleh umat sebagai rahmatan lil’alamin.

B. Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam


Ciri kedua dari gerakan Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan dakwah Islamiyah. Ciri
yang kedua ini muncul sejak dari kelahirannya dan tetap melekat tidak terpisahkan dalam
jati diri Muahammadiyah. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab terdahulu bahwa faktor
utama yang mendorong berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah berasal dari pendalaman
KHA Dahlan terdapat ayat-ayat Alquran Alkarim, terutama sekali surat Ali Imran, Ayat:104.
Berdasarkan Surat Ali Imran, ayat : 104 inilah Muhammadiyah meletakkan khittah atau
strategi dasar perjuangannya, yaitu dakwah (menyeru, mengajak) Islam, amar ma’ruf nahi
munkar dengan masyarakat sebagai medan juangnya. Gerakan Muhammadiyah berkiprah di
tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun berbagai ragam amal
usaha yang benar-benar dapat menyentuh hajat orang banyak seperti berbagai ragam
lembaga pendidikan sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, membangun sekian
banyak rumah sakit, panti-panti asuhan dan sebagainya. Semua amal usaha Muhammadiyah
seperti itu tidak lain merupakan suatu manifestasi dakwah islamiyah. Semua amal usaha
diadakan dengan niat dan tujuan tunggal, yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah
Islamiyah.1

1
http://www.muhammadiyah.or.id/content-176-det-ciri-perjuangan.html

Anda mungkin juga menyukai