Anda di halaman 1dari 4

GENERASI POST-PURITANISME MUHAMMADIYAH OLEH : SAUD EL HUJJAJ Perjalanan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial dan gerakan Islam dakwah

amar maruf nahi munkar tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan transformasi masyarakat Indonesia. Pada masa kolonialisme, Muhammadiyah hadir menjadi kekuatan politik kooperatif yang secara kultural memberikan pencerahan dan kesadaran anak-anak muda melalui pendidikan, membela kelompok fakir-miskin, menyantuni anak yatim, mendirikan rumah sakit dan lain sebagainya. Ketika terbentuknya negara Indonesia, Muhammadiyah juga memiliki andil yang besar dalam merancang dan mempersatukan wilayah teritorial, membangun cita-cita dan paham nasionalisme bersama. Dan pascakemerdekaan (Orde Lama) Muhammadiyah juga ikut terlibat dalam membangun kehidupan kenegaraan demokratis, dengan masuknya ia menjadi anggota istimewa Masyumi -partai Islam terbesar waktu itu- meskipun akhirnya keluar. Di zaman Orde Baru, Muhammadiyah telah melewati fase-fase kritis political test pemerintah dengan menerima asas tunggal Pancasila. Sekarang, Muhammadiyah akan menghadapi masalah yang lebih rumit : di tingkat grassroot telah muncul konflik sosial-etnik-agama, budaya kekerasan, teorisme; ditingkat struktural muncul masalah etika pejabat yang rendah, korupsi tidak berhenti-henti dan lain sebagainya. Pertanyaan serius bagai Muhammadiyah sekarang adalah apa yang menjadi agenda penting bagi proses transisi masyarakat yang multi-kompleks tersebut? Gerakan Puritan Jika kita petakan secara sederhana dari rentetan perjalanan Muhammadiyah, maka akan kita temukan empat proses yang sangat menentukan bagi wacana kemuhammadiyahan. Pertama, kita sebut saja Muhammadiyah awal. Pada masa ini kemunculan Muhammadiyah memiliki peran penting dalam merevitalisasi Islam sebagai gerakan kultural terorganisir yang mampu membangun counter culture kolonialisme dan kristenisasi. Untuk melawan kolonialisme, Muhammadiyah menyiapkan generasi-generasi terdidik yang tidak membedakan status sosial dan budaya dengan mendirikan sekolah-sekolah modern yang berkurikulum Islam dan Belanda. Untuk melawan arus Kristenisasi, Muhammadiyah mendirikan basis-basis gerakan sosial melalui pendirian good public (fasilitas umum yang semestinya diperankan oleh negara) seperti rumah sakit, panti sosial, yang juga telah menjadi basis gerakan Kristenisasi di Indonesia. Dua peran penting dimainkan Muhammadiyah awal dengan sangat cerdas, tanpa konfrontasi, dan menghasilkan konsolidasi umat Islam yang bukan hanya diikat oleh tradisi tetapi pengorganisasian dan profesionalitas yang sangat rapi. Lahirnya gagasangagasan tersebut tidak dapat dilepaskan dari prinsip dasar pemikiran Muhammadiyah yang dirancang oleh KH. Ahmad Dahlan bahwa pengetahuan tersebut dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuk dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran ahli dengan dasar hati yang suci. Sikap kritis dan keterbukaan menjadi dasar bagi akselerasi penyebaran gerakan liberal Muhammadiyah awal. Pada waktu itu tidak ada pertentangan-pertentangan ideologis karena perbedaan tradisi atau visi politik. Suatu yang berkembang berdasarkan tradisi memiliki kemungkinan untuk berubah ataupun dirubah. Sebagaimana Leonard Binder (1988) menyatakan bahwa sebuah pendapat ataupun tradisi, dalam perspektif liberal, meski telah diyakini secara

turun-temurun, selalu memiliki kemungkinan untuk berubah. Hal ini, setidaknya yang menjadi dasar bagi Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan dan perubahan gerakan Islam di Indonesia dengan mengembalikan dasar pada al-ruju ila al-Quran wa al-sunnah. Kedua, masa kodifikasi tarjih Muhammadiyah. Tentunya kita masih ingat jargon gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan non-mazhab. Jargon tersebut sangat populer dikalangan Islam Indonesia. Sebenarnya ada hal yang lebih penting dari pada jargon tersebut. Yaitu membongkar fanatisme keberagaman masyarakat yang hanya memegang satu mazhab dan membuka ruang yang lebih luas akan aktivitas keberagaman melalui ijtihad. Akan tetapi warga Muhammadiyah tidak semuanya bisa menghadapi masalah di bawah tanpa ada rujukan dalil yang pasti. Sehingga dibentuklah kodifikasi putusanputusan tarjih (buku HPT) yang menyangkut masalah-masalah fiqh di masyarakat. Namun, dalam perkembangannya HPT (Himpunan Putusan Tarjih) tersebut menjadi mazhab baru di tengah masyarakat meskipun ia telah menegaskan sebagai gerakan nonmazhab. Nalar kritisnya lambat laun mulai menghilang dan Muhammaidyah telah menjadi mazhab yang puritan, menolak secara kau takhayyul, bidah dan khurafat, dan kering dari sentuhan budaya. Ketiga, masa puritanisme Muhammadiyah. Adagium al-ruju ila al-Quran wa alsunnah benar-benar telah menjadi spiritualitas gerakan Muhammadiyah par exellent. Islam puritan atau Islam murni memiliki pijakan dasar untuk membersihkan praktekpraktek agama yang terkotori oleh takhayyul, bidah dan khurafat. Asumsinya adalah bahwa praktek agama yang tidak murni berdasarkan al-Quran dan Sunnah merupakan bidah dan bidah sendiri dalam doktrin Islam murni adalah sesat. Lebih dari itu, pemperantasan TBC bagi Muhammadiyah sebenarnya merupakan rasionalisasi wacana agama yang bertujuan menyelaraskan antara amalan dan norma wahyu, sejarah, nalar, atau penafsiran dan pembebasan tradisi masyarakat yang membelenggu kemajuan Islam. Dengan doktrin ini, agama bagi Muhammadiyah menjadi urusan yang mudah, tidak bercampur dengan tradisi yang mempersempit pemahaman tentang amalan agama hanya sebatas ritual, tahlilan, berjanji, yasinan dan lain-lainnya. Islam murni ala Muhammadiyah lebih memperluas amalan agama dari pada praktek ritual agama. Dengan demikian, Islam murni memiliki dua sisi yang sebenarnya kontradiktif : yaitu puritan dalam masalah tuntunan agama berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah dan liberal dalam masalah amal sosial. Tipikal gerakan Islam puritan ala Muhammadiyah ini lambat laun mengalami fragmentasi kultural. Di antaranya terdapat yang mendirikan organisasi-organisasi baru sedangkan yang bertahan dalam gerakan Muhammadiyah terbagi ke dalam beberapa model. Menurut Munir Mulkhan, ada empat model elaborasi Islam murni dalam Muhammadiyah. Pertama, adalah model al-Ikhlas yang mengamalkan persis hasil fatwa dalam Himpunan Putusan Tarjih, dan mewarisi watak asli Islam puritan yang anti-TBC. Kelompok ini kurang menyukai sekolah modern dan lebih mendukung partai politik berlabel Islam. Kedua, model Kyai Dahlan. Kelompok ini tergolong juga puritan namun lebih toleran terhadap orang yang mempraktekkan TBC kendati tidak melakukannya sendiri. Mereka berpartisipasi aktif dalam sekolah modern, terbuka dalam masalah politik dan lebih menyukai bekerja sebagai pegawai dari pada petani. Kelompok kedua lebih mencerminkan kelas priyayi di dalam Muhammadiyah. Pandangan kelompok ini terhadap TBC lebih merupakan cara membuka peluang dakwah. Ketiga, kelompok Munu (Muhammadiyah-NU). Secara ringkas kelompok ini melakukan praktek agama

sebagaimana dilakukan pengikut NU pada umumnya. Mereka bisa melakukan slametan kematian, tahlilan atau TBC lainnya. Pada umumnya mereka adalah berprofesi sebagai petani. Kelompok keempat disebut sebagai Marmud (Marhaenis-Muhammadiyah) karena simpati mereka pada PDI-P dan perilaku keagamaan yang lebih mendekati abangan daripada kultur santri. Karena sifat pragmatisnya, kelompok ini juga disebut Munas (Muhammadiyah-Nasionalis). Model interaksi kelompok ini dengan TBC lebih merupakan pola ritual yang memiliki tujuan spesifik yang bersifat magis. Ada beberapa alasan terjadinya fragmentasi gerakan puritanisme Muhammadiyah. Pertama, di tingkat massa pedesaan telah terjadi pergeseran elite pemimpin Muhammadiyah yang berlatar belakang pendidikan agama yang ahli syariahisme menjadi elite baru yang kurang memiliki latar belakang pendidikan agama yang ahli syariah atau pendidikan umum (Munir Mulkhan, 2000). Kedua, adanya spektrum baru dalam ranah kajian ke-Islaman yang berlatar belakang mazhab Timur Tengah yang skripturalis berubah menjadi mazhab Barat yang penuh dengan nalar filosofis. Lebih dari itu, menyeberkan paham Islam puritan ala Muhammadiyah di daerah pedesaan yang cepat sesungguhnya kerena sifatnya yang mampu menciptakan sistem baru semacam teologi pertani (Kuntowijoyo, 1997) atau neo-sufisme (Amin Abdullah, 1996) yang menggantikan pola lama dalam doktrin Islam puritan ala Muhammadiyah. Dengan demikian, gerakan Muhammadiyah yang puritan telah mengalami pergeseran dan mencari makna baru dalam wacana post-puritanisme Muhammadiyah yang sekaligus menjadi proses keempat. Kader-kader Muhammadiyah yang tergabung dalam gerakan AMM (Angkatan Muda Muhammadiyah) sepertinya juga telah mulai kehilangan akar puritanismenya. Oleh karena itu, akan berjalan ke arah manakah wacana keagamaan gererasi post-puritanisme Muhammadiyah tersebut? Tanwir Muhammadiyah di Bali mencoba mencari model dan mengembangkan dakwah kultural yang akomodatif terhadap kultur lokal. Apakah sistem baru yang dirancang tersebut akan mampu membangun harmoni gerakan Muhammaidyah dengan kultur lokal dan memiliki makna signifikan bagi perubahan masyarakat demokratis? Post-Puritanisme Kemana? Generasi muda Muhammadiyah saat ini adalah merka yang telah keluar dari masa puritanisme yang dibawa Muhammadiyah pertengahan. Doktrin puritanisme yang menjadi jargon utama pada masa lalu sudah tidak begitu membekas. Mereka lebih suka bersentuhan dengan nalar kritis sosial, kritik nilai surplus produksi, filsafat, spiritualitas, dari pada melakukan praktek doktrin Islam murni yang memberantas TBC. Mereka lebih suka berbicara teologi pembebasan atau pun tauhid sosial dari pada aqidah akhlaq seperti dalam kurikulum, lebih suka berbicara demokrasi dan civil society dari pada negara Islam atau partai Islam. Ini semua adalah gejala generasi muda post-puritanisme di dalam tubuh Muhammadiyah. Tidak ada alasan yang kuat bagi Muhammadiyah kelompok puritan untuk melawan arus post-puritanisme sementara ini selain membangun arus lain yang dominan dikalangan angkatan muda. Itupun tidak dapat dilakukan selain melalui pembangunan diskursus intelektual yang dialogis. Hanya saja, satu kelemahan generasi post-puritanisme Muhammadiyah adalah kurang kuatnya basis epistemologis keIslaman dan wacana metodologi gerakan. Wacana yang dibangun oleh generasi post-puritanisme Muhammadiyah ini masih berserak dan belum ditemukan agenda perubahan dan menterjemahkan cita-cita sosial

Islam yang adil, toleran dan emansipatoris. Dalam bahasa Thomas S. Kuhn, wacana post-puritanisme Muhammadiyah sebenarnya tidak lebih dari anomali gerakan puritan Muhammadiyah di tengah arus gelombangan perubahan menuju demokratisasi yang akan diuji oleh sejarah sehingga menjadi sebuah paradigma. Ala kulli hal, kita semua memiliki kepentingan yang sama untuk membangun arus perubahan dalam wacana post-puritanisme Muhammadiyah guna merspon transisi masyarakat dan menyiapkannya menuju Indonesia yang adil, demokratis, dan sejahtera. Ke manakah post-puritanisme Muhammadiyah bergerak?

Sumber: Suara Muhammadiyah Edisi 07-2002

Anda mungkin juga menyukai