Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Muhammadiyah dikenal sebagai sebuah organisasi Islam pembaharuan yang


bercorak modern. Dalam pengamalannya, Muhammadiyah meyakini Alquran dan Sunnah
al maqbullah sebagai sumbernya. Tafsir atas Alquran diturunkan pada tataran praksis dan
diterjemahkan menjadi gerakan nyata. Berdirinya Gerakan Dakwah Muhammadiyah
dilatar-belakangi oleh pemikiran pembaruan yang salah satunya merujuk pada pemikiran
Muhammad bin Abdul Wahhab yang berorientasi kepada pemurnian ajaran-ajaran Islam
dari pengaruh-pengaruh budaya lokal, yang melahirkan TBC (takhayul, bid’ah, dan
khurafat).

Penjelasan tersebut diperkuat oleh M. Din Syamsuddin (Pimpinan Pusat


Muhammadiyah) dengan pernyataannya sebagai berikut: Secara teologis, Muhammadiyah
kadang-kadang menyebut diri sebagai gerakan yang secara teologis berada pada kategori
salafiyah atau salafisme. Hal itu juga yang menjadi landasan KH.Ahmad Dahlan dalam
pendirian Muhammadiyah, salah satu referensinya adalah Tafsir al-Manar dari Rasyid
Ridla, tokoh salafiyah abad 20. Itupun juga ada referensi lain, dan pada bidang-bidang
tertentu bersatu dengan gerakan Salafiyah. Tapi ketika muncul gerakan salafi sekarang ini,
yaitu gerakan yang cara berpakaiannya harus memakai jubah, di atas matanya memakai
celak, celananya di atas tumit, tata cara shalatnya berbeda, dan jumlah variannya juga
banyak.

Pada saat Muhammadiyah muncul di panggung sejarah, memang kondisi


masyarakat mengalami empat penyakit, yaitu; Kerusakan dalam bidang kepercayaan;
Kebekuan dalam bidang hukum fiqih; Kemunduran dalam bidang pendidikan, dan
Kemiskinan rakyat dan hilangnya rasa gotong royong. Pada hakikatnya, salah satu yang
menjadi landasan pokok pergerakan Muhammadiyah adanya kekuatan teologis surat al-
Ma’un yang diajarkan oleh KH. Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah. Beliau
mengajarkan kepada murid-muridnya pada dekade awal abad ke-20 tentang pemahaman
Surat al-Ma‘un, yang inti surat ini mengajarkan bahwa ibadah ritual tidak ada artinya jika
pelakunya tidak melakukan amal sosial. Surat ini bahkan menyebut mereka yang
mengabaikan anak yatim dan tak berusaha mengentaskan masyarakat dari kemiskinan
sebagai ‘pendusta agama’.

Teologi ini didasarkan pada Al-Qur’an yang diterjemahkan dalam tiga pilar kerja,
yaitu: healing (pelayanan kesehatan), schooling (pendidikan), dan feeding (pelayanan
sosial). Teologi ini pulalah yang diklaim mampu membuat organisasi ini bertahan hingga
100 tahun lebih dengan memiliki ribuan sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan layanan
kesejahteraan sosial yang lain. Ahmad Dahlan dengan menafsirkan Al-Ma’un kedalam tiga
kegiatan utama: pendidikan, kesehatan dan penyantunan orang miskin juga melakukan
transformasi pemahaman keagamaan dari sekadar doktrin-doktrin sakral dan “kurang
berbunyi” secara sosial menjadi kerjasama atau koperasi untuk pembebasan manusia.

Dalam konteks inilah teologi kerja Islam doktrin suci yang melampaui absolutisme
teologis yang lebih bercorak standar ganda dan kurang respek dengan masalah kemiskinan
menjadi teologi kerjasama atau (ta`awun `ala al-birri wa at-taqwa). Pedoman utamanya
adalah konsep tauhid yang menuntut ditegakkannya keadilan sosial, karena dilihat dari
kacamata tauhid, setiap gejala eksploitasi manusia atas manusia merupakan pengingkaran
terhadap persamaan derajat manusia di depan Allah. Dengan demikian, jurang yang
menganga lebar antara lapisan kaya dan lapisan miskin yang selalu disertai kehidupan yang
eksploitatif merupakan fenomena yang tidak tauhid, bahkan anti-tauhid.5 Untuk mengatasi
ketidakadilan sosial yang terjadi saat ini, maka Muhammadiyah sebagai persyarikatan perlu
menghidupkan lagi spirit al-Ma’un, guna kemajuan hidup berbangsa dan bernegara,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Kyai Dahlan di awal-awal pendirian
Muhammadiyah.
Setidaknya ada beberapa pesan yang dapat ditangkap dari surat al-Ma’un,
diantaranya adalah; pertama, orang yang menelantarkan kaum dhu’afa (mustadh’afiin)
tergolong kedalam orang yang mendustakan agama. Kedua, ibadah shalat memiliki dimensi
sosial, dalam arti tidak ada faedah shalat seseorang jika tidak dikerjakan dimensi sosialnya.
Ketiga, mengerjakan amal saleh tidak boleh diiringi dengan sikap riya. Keempat, orang
yang tidak mau memberikan pertolongan kepada orang lain, bersikap egois dan egosentris
termasuk kedalam orang yang mendustakan agama.

Bila ingin dipadatkan lagi, empat buah pesan yang terkandung dalam surat al-
Ma’un inilah yang menjadi cita-cita sosial Muhammadiyah, yaitu ukhuwah (persaudaraan),
hurriyah (kemerdekaan), musawah (persamaan), dan ‘adaalah (keadilan).8 Spirit inilah
yang ditangkap oleh Kyai Dahlan dan diimplementasikannya dalam kehidupan sosial
melalui persyarikatan Muhammadiyah. Nilai-nilai ini sejalan dengan misi Islam di muka
bumi sebagai agama yang rahmatan lil’alamiin. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan tentang
Tauhid Al-Ma’un bagi Muhammadiyah ibarat senjata untuk mengabdikan diri kepada
bangsa Indonesia. Karena Tauhid Al-Ma’un merupakan gerakan sosial kemasyarakatan
yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan. Muhammadiyah berpandangan bahwa
gerakan kemanusiaan merupakan kiprah dalam kehidupan bangsa dan negara dan salah satu
perwujudan dari misi dan fungsi melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar
sebagaimana telah menjadi panggilan sejarahnya sejak zaman pergerakan hingga masa
awal dan setelah kemerdekaan Indonesia. Peran dalam kehidupan bangsa dan negara
tersebut diwujudkan dalam langkah-langkah strategis dan taktis sesuai kepribadian,
keyakinan dan cita-cita hidup, serta khittah perjuangannya sebagai acuan gerakan sebagai
wujud komitmen dan tanggungjawab dalam mewujudkan masyarakat utama "Baldatun
Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur".

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penulisan yang dilakukan berfokus pada aktualisasi teologi Al
ma’un adalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan teologi al-Ma’un?
2. Bagaimana problematika sosial Indonesia?
3. Bagaimana Ideologi Muhammadiyah di bidang pelayanan sosial?
4. Bagaimana Perjuangan Muhammadiyah di bidang pelayanan sosial?
5. Bagaimana Amal Usaha Muhammadiyah di bidang pelayanan sosial?
6. Bagaimana Pemberdayaan Umat dengan filantropi?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
 

A. Teologi Al-Maun

Landasan pokok pergerakan Muhammadiyah salah satunya adalah kekuatan


teologis surat Al-Ma’un yang diajarkan oleh Ahmad Dahlan Pendiri
Muhammadiyah. Ahmad Dahlan menafsirkan Al-Ma’un kedalam tiga kegiatan utama,
yaitu: 

a. Pendidikan
b. Kesehatan
c. Penyantunan orang miskin juga melakukan transformasi pemahaman keagamaan
dari sekadar doktrin-doktrin sakral dan “kurang berbunyi” secara sosial menjadi
kerjasama atau koperasi untuk pembebasan manusia. Di era modern saat ini perlu
kembali dihidupkan spirit al-ma'un ini, apalagi dalam kondisi kehidupan yang
penuh dengan ketidakadilan sosial.

Surat al-Ma‘un, yang inti surat ini mengajarkan bahwa ibadah ritual tidak ada
artinya jika. pelakunya tidak melakukan amal sosial. Surat ini bahkan menyebut mereka
yang mengabaikan anak yatim dan tak berusaha mengentaskan masyarakat dari
kemiskinan sebagai ‘pendusta agama’. Teologi ini didasarkan pada Al-Qur’an yang
diterjemahkan dalam tiga pilar kerja, yaitu: healing (pelayanan kesehatan), schooling
(pendidikan), dan feeding (pelayanan sosial).

Pedoman utamanya adalah konsep tauhid yang menuntut ditegakkannya keadilan


sosial, karena dilihat dari kacamata tauhid, setiap gejala eksploitasi manusia atas manusia
merupakan pengingkaran terhadap persamaan derajat manusia di depan Allah. Dengan
demikian, jurang yang menganga lebar antara lapisan kaya dan lapisan miskin yang
selalu disertai kehidupan yang eksploitatif merupakan fenomena yang tidak tauhid,
bahkan anti-tauhid. Untuk mengatasi ketidakadilan sosial yang terjadi saat ini, maka
Muhammadiyah sebagai persyarikatan perlu menghidupkan lagi spirit al-Ma’un, guna
kemajuan hidup berbangsa dan bernegara, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Kyai
Dahlan di awal-awal pendirian Muhammadiyah.

Ada beberapa pesan yang dapat ditangkap dari surat al-Ma’un, diantaranya
adalah; pertama, orang yang menelantarkan kaum dhu’afa (mustadh’afiin ) tergolong
kedalam orang yang mendustakan agama. Kedua, ibadah shalat memiliki dimensi sosial,
dalam arti tidak ada faedah shalat seseorang jika tidak dikerjakan dimensi sosialnya.
Ketiga, mengerjakan amal saleh tidak boleh diiringi dengan sikap riya. Keempat, orang
yang tidak mau memberikan pertolongan kepada orang lain, bersikap egois dan
egosentris termasuk kedalam orang yang mendustakan agama. Bila ingin dipadatkan lagi,
empat buah pesan yang terkandung dalam surat al-Ma’un inilah yang menjadi cita-cita
sosial Muhammadiyah, yaitu ukhuwah (persaudaraan), hurriyah (kemerdekaan),
musawah (persamaan), dan ‘adaalah (keadilan).8 Spirit inilah yang ditangkap oleh Kyai
Dahlan dan diimplementasikannya dalam kehidupan sosial melalui persyarikatan
Muhammadiyah. Nilai-nilai ini sejalan dengan misi Islam di muka bumi sebagai agama
yang rahmatan lil’alamiin.

Secara umum Munas Tarjih ke-27 menyepakati bahwa sistematika Fikih al Maun
ada dalam “Kerangka Amal al-Ma’un” yang berupa penguatan dan pemberdayaan
kekayaan fisik, moral, spiritual, ekonomi, sosial dan lingkungan. Kemudian “Pilar Amal
al-Ma’un” terdiri dari rangkaian berkhidmat kepada yang yatim, berkhitmat kepada yang
miskin, mewujudkan nilai-nilai shalat, memurnikan niat, menjauhi riya’, dan membangun
kemitraan yang berdayaguna. Sementara “Bangunan Amal al-Ma’un” yang disepakati
adalah untuk kesejahteraan individu yang bermartabat, kesejahteraan keluarga Keluarga
Sakinah), kesejahteraan masyarakat yang berjiwa besar, kesejahteraan bangsa dan negara.

1. Tafsir Surat Al Ma’un

Zَ ِ‫) بِال ِّد ْينِ ٰذل‬1( ُ‫اَ َر َءيْتَ الَّ ِذيْ يُ َك ِّذب‬
)2(‫ك الَّ ِذيْ يَ ُد ُّع ْاليَتِ ْي َم‬
)4( َ‫صلِّ ْين‬ َ ‫)فَ َو ْي ٌل لِّ ْل ُم‬3(‫َواَل يَحُضُّ ع َٰلي طَ َع ِام ْال ِم ْس ِك ْي‬
)7( َ‫) َويَ ْمنَعُوْ نَ ْال َما ُعوْ ن‬6( َ‫)الَّ ِذ ْينَ هُ ْم يُ َر ۤاءُوْ ن‬5( َ‫صاَل تِ ِه ْم َساهُوْ ن‬ َ ‫الَّ ِذ ْينَ هُ ْم ع َْن‬

Artinya: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? (1) Maka itulah orang yang
menghardik anak yatim,(2) dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.(3) Maka
celakalah orang yang shalat,(4) (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya,(5) .
yang berbuat ria (6)  dan enggan (memberikan) bantuan.(7)”

a. Menghardik anak yatim

Menurut Muhammad Abduh, bahwa “yadu‟u al-yatîm”, menghardik anak yatim


yakni mengusir anak yatim, atau mengeluarkan ucapan-ucapan keras ketika ia datang
kepadanya meminta sesuatu yang diperlukan semata-mata karena meremehkan
kondisinya yang lemah dan tiadanya orang tua yang mampu membelanya dan
memenuhi keperluannya. Juga terdorong oleh kesombongannya karena menganggap
dirinya lebih kuat dan lebih mulia. Sedangkan menurut kebiasaan, kondisi seorang
anak yatim merupakan gambaran tentang kelemahan dan keperluan kepada
pertolongan. Maka siapa saja yang menghinanya, maka ia telah menghina setiap
manusia yang lemah, dan meremehkan setiap yang memerlukan pertolongan.

 
b. Tidak menganjurkan memberi makan orang miskin

Orang yang tidak mau mengajak orang supaya memberi makan orang miskin adalah
orang yang termasuk mendustakan agama. Karena dia mengaku menyembah Tuhan,
padahal hamba Tuhan tidak diberinya pertolongan dan tidak diperdulikannya.
Dengan ayat ini jelaslah bahwa sesama manusia harus saling ajak- mengajak supaya
menolong anak yatim dan fakir miskin itu menjadi perasaan bersama, menjadi
budipekerti yang umum.

c. Kecelakaan bagi orang-orang yang lalai dengan shalat


Orang-orang yang shalat, yang secara lahiriah melaksanakan gerakan dan ucapan
yang mereka namakan “shalat”. Sementara mereka tetap lalai akan shalat mereka.
Yakni, hati mereka lalai akan apa yang mereka baca dan mereka kerjakan.
Orang yang melalaikan shalat adalah orang yang mengerjakan jikshalat, akan tetapi
hatinya menuju kepada sesuatu yang lain, sehingga pada akhirnya ia melalaikan
tujuan pokoknya.

d. Riya
Orang yang bersifat riya kadang-kadang dia bermuka manis kepada anak yatim.
Kadang-kadang dia menganjurkan memberi makan fakir miskin, kadang-kadang
kelihatan dia khusyu sembahyang tetapi semuanya itu dikerjakannya karen riya.
Yaitu karena ingin dilihat, dijadikan reklame. Karena ingin dipuji orang. Hidupnya
penuh dengan kebohongan dan kepalsuan.

e. Enggan memberikan bantuan


Melarang orang berbuat kebajikan karena tidak tergerak sedikitpun hatinya untuk
membantu orang lain, untuk meringankan kesulitan orang lain. Dia menghalang-
halangi kalau ada orang yang akan melakukan pertolongan tersebut. Dengan
berbagai cara dan dalih dia berusaha agar pertolongan dan bantuan tidak terjadi.
Dalam hatinya hanya ada kebencian terhadap orang-orang yang lemah dan melarat.

f. Terma Yatim
Kata yatîm jamaknya aitâm atau yatâmâ dalam al-Qur‟ân disebut sebanyak 23 kali.
Dalam bentuk mufrad sebanyak 8 kali, musannâ 2 kali, dan bentuk jamak sebanyak
14 kali. Anak yatim adalah anak yang tidak mempunyai ayah. Anak yang tidak
mempunyai ayah adalah symbol dari kelemahan, karena tidak ada lagi yang
memberinya nafkah, tidak ada lagi yang mendidiknya dan tidak ada tempat hidupnya
bergantung. Inilah bentuk pertama dari orang-orang yang lemah.
Ada dua persoalan penting yang dihadapi oleh anak-anak yatim yakni dimensi
psikologis dan dimensi ekonomis. Secara psikologis, anak-anak yatim adalah anak-
anak yang kehilangan orang tua, bapak dan ibu, yang memberikan perlindungan,
rasa aman, cinta dan kasih sayang. Sementara secara ekonomis, anak-anak yatim
adalah anak-anak yang kehilangan orang tua yang memberikan nafkah untuk
kelangsungan hidup, kesehatan dan pendidikan. Anak-anak yatim dari kalangan
kaum dhu‟afâ kehilangan dua- duanya sekaligus, kehilangan dimensi psikologis
maupun dimensi ekonomis.

Sementara anak-anak yatim dari kalangan aghniyâ, yakni orang-orang berkecukupan


secara materi, hanya kehilangan dimensi psikologis saja sedangkan dari segi
ekonomis, mereka memiliki kekayaan peninggalan orang tua yang dapat menopang
kehidupan selanjutnya. bagaimana al-Qur’an menegaskan keharusan orang beriman
untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak yatim berkenaan dengan diri,
kehormatan, harta dan hak- hak mereka, kelangsungan pendidikan mereka, serta
masalah-masalah sosial yang muncul karena mereka kehilangan orang tua, sebelum
mereka mencapai usia dewasa.

Dalam permasalahan anak yatim. al-Qur‟ân mempunyai perhatian khusus terhadap


anak yatim, karena kecilnya dan ketidakmampuannya untuk menjalankan
kemaslahatan yang menjamin kebaikan hidupnya di masa depan. Dengan perhatian
ini, umat dapat menghindarkan kejahatan bahaya yang mengepung mereka, yaitu
mereka tidak mengecap pendidikan karena kehilangan orang tua yang mengasuh,
mendidik dan memeliharanya.
 
B. Problematika sosial di Indonesia
1. Kesenjangan sosial
Kesenjangan sosial adalah suatu kondisi dimana tidak adanya
keseimbangan antara masyarakat. Kesenjangan sosial sering sekali dikaitkan
dengan adanya perbedaan yang sangat jelas terlihat di antara masyarakat. Ada
banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial. Faktor-faktor
tersebut meliputi kebijakan pemerintah, pengaruh dari adanya globalisasi,
perbedaan dari sumber daya alam yang ada di daerah-daerah tersebut, letak dan
kondisi geografis, dan karena faktor demografis.

2. Kemiskinan
Kemiskinan adalah masalah sosial yang sudah ada sejak lama di
Indonesia. Bukan hal yang bisa ditutupi, bahwa angka kemiskinan masih besar
di Indonesia. Memang tidak ada tindakan yang langsung bisa menghapus
kemiskinan di Indonesia. Terlebih masalah sosial kemiskinan ini seperti
mendarah daging. Seseorang yang masuk dalam kategori miskin bisa karena
dua faktor. Faktor internal, karena orang yang masuk dalam kategori miskin ini
tidak berusaha. Ia tidak berusaha untuk mengubah hidupnya dan keluar dari
lingkaran kemiskinan. Faktor kedua yaitu faktor eksternal, kemiskinan yang
disebabkan oleh faktor internal biasakan karena adanya masalah. Contohnya
seperti adanya perubahan iklim, perubahan struktur sosial, kebijakan dari
program pemerintah, kerusakan alam dan bisa terjadi karena hal-hal lainya.

3. Pengangguran
Pengangguran juga termasuk ke dalam masalah sosial yang sangat besar di
Indonesia. Pengangguran terjadi karena berbagai faktor. Salah satunya adalah
karena persaingan dari sumber daya manusia. Persaingan ini terjadi dalam hal
mencari lapangan pekerjaan. Biasanya orang yang tidak memiliki pendidikan
yang cukup akan kalah dengan orang yang memiliki pendidikan tinggi. Banyak
para pencari kerja menjadikan Pendidikan sebagai syarat utama dalam
membuka lowongan pekerjaan. Hal tersebutlah yang menjadi faktor
pengangguran jadi masalah sosial. Sama dengan kemiskinan, pengangguran
selalu meningkat dari tahun ke tahun. Faktor lainnya yang menyebabkan
pengangguran adalah karena masyarakat tidak produktif
C. Filantropi dan Praksis Sosial
1. Filantropi
Filantropi (kedermawanan) adalah kesadaran untuk memberi dalam
rangka mengatasi kesulitan dan meningkatkan kesejahteraan hidup
masyarakat secara luas dalam berbagai bidang kehidupannya, bidang
pendidikan, ekonomi, kesehatan, tempat tinggal dan lain sebagainya. Dalam
pandangan ajaran Islam, filantropi adalah perbuatan yang sangat mulia, bagian
utama dari ketakwaan seorang muslim, perbuatan yang akan mengundang
keberkahan, rahmat dan pertolongan Allah, perbuatan yang akan
menyelamatkan kehidupan secara luas.

Potensi filantropi umat Islam terwujud dalam bentuk zakat yang


hukumnya wajib, infak, shadaqah, wakaf, hibah dan derma-derma lainnya.
Dalam surat At-Taubah [9] ayat 60 dan 103, surat Al-Baqarah [2] ayat 177
dan 261, Surat Ali Imran [3] ayat 92, ayat 133 dan 134, surat Faathir [35] ayat
29 dan 30 dan sejumlah ayat lain dalam Al Quran dijelaskan kedudukan dan
peran filantropi khususnya zakat, infak dan shadaqah sebagai bukti keimanan
dan kecintaan seseorang muslim terhadap perbuatan baik yang membawa
keberuntungan dunia dan akhirat.

Filantropi sesungguhnya adalah ibadah bagian dari ibadah maaliyyah


ijtimaiyyah, yaitu ibadah di bidang harta yang memiliki posisi sosial yang
sangat penting dan menentukan. Filantropi dalam Islam seyogyanya dijadikan
sebagai kebutuhan dan life style (gaya hidup) seorang Muslim. Kekuatan dan
kelemahan keimanan dan keislaman seseorang antara lain ditentukan oleh
sikap kedermawanan dan kepedulian sosialnya. Oleh karena itu diperlukan
langkah-langkah yang strategis dan kontinyu untuk menguatkan sikap ini,
antara lain melalui upaya:
a. Pertama, terus menerus dilakukan edukasi dan sosialisasi kepada
masyarakat tentang urgensi sikap filantropi dalam meraih kebahagiaan
hidup dunia akhirat. Sarana filantropi dalam Islam, seperti kesadaran
berzakat, berinfaq, bershadaqah, dan berwakaf memerlukan penguatan
dan penaatan dalam pengelolaannya agar mencapai hasil yang
diharapkan, yaitu berdampak terhadap kehidupan masyarakat luas.
b. Kedua, menguatkan peran dan manfaat badan atau lembaga yang
bergerak di bidang filantropi, seperti Baznas, LAZ, dan yang lainnya agar
semakin dipercaya oleh masyarakat dan mudah dijangkau oleh kalangan
dhuafa.  Ketika lembaga-lembaga tersebut (Baznas dan LAZ) dikelola
dengan standar profesionalitas yang tinggi bukan berarti berubah menjadi
“lembaga elite” yang serba birokratis dan memiliki jarak dengan kaum
mustad’afin.  Kualitas SDM, sistem IT yang canggih adalah justru untuk
memudahkan pelayanan, baik bagi masyarakat pemberi maupun
masyarakat penerima dana Ziswaf.
c. Ketiga, memperluas pemanfaatan dana filantropi di samping untuk hal-
hal yang bersifat konsumtif dan sesaat, juga hal-hal yang bersifat jangka
panjang dalam rangka memotong mata rantai kemiskinan, seperti biaya
untuk pendidikan, kesehatan, perbaikan ekonomi, penyediaan tempat
tinggal yang layak, dan lain-lain.
d. Keempat, kerjasama dengan berbagai pihak agar gerakan filantropi ini
menjadi gerakan bersama yang bersifat masif. Dalam Alquran ditegaskan.
”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 71).

Pilar filantropi atau bisa disingkat ZISWAF yang apabila dikelola dan
didukung sepenuhnya melalui politik ekonomi negara, merupakan modal dan
kekuatan umat dan masyarakat dalam mengantisipasi berbagai gejolak dan
tekanan perekonomian yang tidak stabil. Sumber pendanaan yang berasal dari
Ziswaf selama ini telah banyak memberi kontribusi terhadap pembangunan
kesejahteraan rakyat. Mestinya hal itu terakomodir dalam Sasaran dan
Kebijakan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang disusun pemerintah.
Umat Islam selama ini secara proaktif telah berbuat sesuatu dalam
merespon kebutuhan penguatan peran filantropi Islam dalam bingkai dan
koridor hukum-hukum syariat dan kemaslahatan umat sesuai maqashid
syariah. Islam seperti diketahui mengajarkan dasar-dasar keadilan sosial dan
kesejahteraan yang paripurna. Islam mengajarkan umatnya agar
memperhatikan nasib fakir miskin dan kaum dhuafa yang terpinggirkan dalam
sistem ekonomi liberal dan kapitalis. Islam tidak sebatas menganjurkan
menolong yang kaum lemah,  bahkan mewajibkan orang-orang yang memiliki
harta untuk mengeluarkan zakat karena dalam harta itu terdapat hak kaum
miskin. Khusus mengenai “zakat”, perlu dipahami bahwa kedudukannya
bukanlah filantropi biasa. Selain sebagai rukun Islam, zakat adalah bagian
yang intrinsik dari sistem keuangan Islam. Zakat memiliki kekhususan dan
tempat tersendiri dalam ajaran Islam maupun dalam kehidupan bernegara. 

Dalam buku Dasar-Dasar Ekonomi Islam (1979) Prof H Zainal Abidin


Ahmad memaparkan peran zakat yang menjadi dasar kewajiban negara untuk 
mencampuri pendistribusian harta. “Negara dapat menggunakan
kekuasaannya untuk memaksa golongan yang mampu supaya  memberikan
iuran kemanusiaan yang dinamakan zakat  untuk meringankan penderitaan
hidup golongan yang tidak berkecukupan serta membantu kepentingan
masyarakat dan negara.  Di samping zakat yang wajib, Islam memberi pula
kekuasaan kepada negara untuk meletakkan kewajiban keuangan lainnya atas
nama negara terhadap orang-orang yang mampu. Pedoman yang harus
dipegang teguh oleh negara, ialah kemakmuran seluruh rakyat,
menghilangkan batas-batas antara kaya dan miskin, proletar dan borjuis,
buruh dan majikan.”

Kenyataan sosiologis di Indonesia dan di negara-negara serumpun


kawasan ASEAN, menunjukkan peran filantropi Islam, khususnya zakat,
infak, sedekah dan wakaf (Ziswah) merupakan “instrumen terdepan” kalau 
belum dikatakan instrumen utama dalam upaya mengatasi masalah
kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan umat dan bangsa. Pemerintah
terus mendorong dan memfasilitasi tumbuh-berkembangnya lembaga
filantropi, termasuk lembaga keuangan  syariah dalam skala kecil, mikro dan
menengah dengan merangkul dan mensinergikan semua komponen dan
organisasi umat dalam semangat amal jama’i. Pranata sosial dan infrastruktur
perekonomian umat, seperti perbankan syariah, lembaga keuangan mikro
syariah (Baitulmal Wat Tamwil, Baitul Qiradh, Koperasi Syariah) serta
lembaga pengelola zakat dan wakaf, yakni Badan Amil Zakat Nasional,
lembaga-lembaba amil zakat yang dibentuk atas swadaya masyarakat, Badan
Wakaf Indonesia dan lainnya harus menjadi simpul kekuatan ekonomi umat
yang efektif.  

2. Praksis Sosial
Praksis merupakan gerakan aksi berbasis refleksi  yaitu tindakan
tindakan sosial yang memiliki dasar dan perwujudan dari hasil perenungan
pemikiran yang mendasar dalam aspek tertentu.. Aksi Praksis bersifat
emansipatoris, yakni berorientasi pada pembebasan dan pemberdayaan
menuju kemajuan.
a. Praksis Sosial Pendidikan
Dalam mengelola pendidikan, Muhammadiyah memiliki lembaga
tersendiri dalam menjaga marwah dan nilai-nilai perjuangan agar tetap
ada dan terus meregenerasi, adapaun lembaga pendidikan di
Muhammadiyah yaitu:
1) Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah
2) Majelis Pendidikan Tinggi Majelis sebagai penyelenggara amala
usaha, program, dan kegiatan bidang pendidikan tinggi sesuai
kebijakan Perserikatan

Berikut beberapa program pendidikan yang didirikan oleh


muhammadiyah :
1) Taman Kanak-kanak (Frobel) di dirikan tahun 1919  
2) Pendidikan Formal formal PAUD, SD, Madrasah sd SMU > 13.000
tersebar dipelosok Indonesia  Sejak Tahun 1923, Aisyiyah mengadakan
pemberantasan buta huruf, baik Arab maupun Latin 
3) Perguruan Tinggi Aisyiyah yaitu Program kesehatan untuk Perempuan 
Kesehatan Reproduksi, Penurunan AKI, P4K (Perencanaan Persalinan
dan Pencegahan Komplikasi) menuju keluarga Sakinah.  Pelayan
kesehatan ibu dan Anak, terpadu di RS,RSIA,BKIA, dan Balkesmas,
dll >187  Posyandu Sakinah Lansia, Dll
4) Pendidikan Luar Sekolah (PLS) (Keaksaraan Fungsional , Taman Baca
Masyarakat , Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat , Kesetaraan , Life
Skill) 
5) Melek Huruf Warga Belajar KF Jatim Tahun 2004/ 2005 sebanyak
3076 orang 

b. Praksis Ekonomi
Pemberdayan Ekonomi masyaraka meliputit: 
1) BUEKA dan UMKM > 1500 kelompok
BUEKA (Bina Usaha Ekonomi Aisyiyah)  Program pemberdayaan
ekonomi bagi perempuan, anggota ’Aisyiyah maupun simpatisan
’Aisyiyah dan masyarakat luas yang berminat dengan
orientasiKpeningkatan kualitas Sumber Daya Insani agar tangguh dan
bertanggung jawab untuk mengentaskan diri dari keterpurukan ekonomi
menuju kesejahteraan ekonomi keluarga.
2) KOPERASI dan BMT > 578
3) SWA (Sekolah Wirausaha Aisyiyah)
4) Ketahanan Pangan Pemberdayaan Petani KTA (Kelompok tani
Aisyiyah)

 
 
 
c. Praksis di Bidang Kesehatan
Praksis Aisyiyah di bidang kesehatan meliputi :
1) Program Kesehatan untuk Perempuan  
2) Kesehatan Reproduksi
3) Penurunan AKI, P4K (Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi) menuju keluarga Sakinah
4) Pelayan kesehatan ibu dan Anak, terpadu di RS,RSIA,BKIA, dan
Balkesmas, dll >187  Posyandu Sakinah Lansia, Dll
d. Praksis Kesejahteraan Sosial
Praksis Kesejahteraan sosial meliputi :
1) Pemberdayaan dan Pelayanan kelompok masyarakat dhuafa’ dan
Mustadhafin, (anakanak, perempuan, lansia dan kel marjinal lainnya)
2) Pengembangan panti dan Asuhan keluarga
3) Pendampingan dan advokasi korban kekerasan serta trafficking
4) Program Asuhan keluarga melalui santunan untuk anak yatim, anak
keluarga miskin dan lansia ada di cabang dan ranting Aisyiyah 
5) Rumah Aman untuk korban trafficking. 
6) Layanan Akesos dan Jamkesmas/Jamkesda, BPJS

D. Amal Usaha Muhammadiyah


Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) adalah salah satu usaha yang
dibangun oleh Muhammadiyah untuk mencapai maksud dan tujuannya, yakni
menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam. Semua bentuk kegiatannya
harus mengarah kepada terlaksananya maksud dan tujuan Muahammadiyah
(Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2018).
Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan Gerakan Islam.
Maksud gerakannya ialah Dakwah Islam dan Amar Ma'ruf nahi Munkar yang
ditujukan kepada dua bidang: perseorangan dan masyarakat . Dakwah dan Amar
Ma'ruf nahi Munkar pada bidang pertama terbagi kepada dua golongan: Kepada
yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada
ajaran Islam yang asli dan murni; dan yang kedua kepada yang belum Islam,
bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk agama Islam (PP Muhammadiyah,
2005).
Adapun da'wah Islam dan Amar Ma'ruf nahi Munkar bidang kedua, ialah
kepada masyarakat, bersifat kebaikan dan bimbingan serta peringatan.
Kesemuanya itu dilaksanakan dengan dasar taqwa dan mengharap keridlaan
Allah semata-mata. Dengan melaksanakan dakwah Islam dan amar ma'ruf nahi
munkar dengan caranya masingmasing yang sesuai, Muhammadiyah
menggerakkan masyarakat menuju tujuannya, ialah “Terwujudnya masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya” (PP Muhammadiyah, 2005).

BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dengan demikian, jurang yang menganga lebar antara lapisan kaya dan lapisan miskin
yang selalu disertai kehidupan yang eksploitatif merupakan fenomena yang tidak tauhid,
bahkan anti-tauhid.

Keempat, orang yang tidak mau memberikan pertolongan kepada orang lain, bersikap
egois dan egosentris termasuk kedalam orang yang mendustakan agama.
Bila ingin dipadatkan lagi, empat buah pesan yang terkandung dalam surat al-Ma’un
inilah yang menjadi cita-cita sosial Muhammadiyah, yaitu ukhuwah (persaudaraan),
hurriyah (kemerdekaan), musawah (persamaan), dan ‘adaalah (keadilan).8 Spirit inilah
yang ditangkap oleh Kyai Dahlan dan diimplementasikannya dalam kehidupan sosial
melalui persyarikatan Muhammadiyah.

Kemudian “Pilar Amal al-Ma’un” terdiri dari rangkaian berkhidmat kepada yang yatim,
berkhitmat kepada yang miskin, mewujudkan nilai-nilai shalat, memurnikan niat,
menjauhi riya’, dan membangun kemitraan yang berdayaguna.

Sementara “Bangunan Amal al-Ma’un” yang disepakati adalah untuk kesejahteraan


individu yang bermartabat, kesejahteraan keluarga Keluarga Sakinah), kesejahteraan
masyarakat yang berjiwa besar, kesejahteraan bangsa dan negara.

Pilar filantropi atau bisa disingkat ZISWAF yang apabila dikelola dan didukung
sepenuhnya melalui politik ekonomi negara, merupakan modal dan kekuatan umat dan
masyarakat dalam mengantisipasi berbagai gejolak dan tekanan perekonomian yang tidak
stabil.

“Negara dapat menggunakan kekuasaannya untuk memaksa golongan yang mampu


supaya memberikan iuran kemanusiaan yang dinamakan zakat untuk meringankan
penderitaan hidup golongan yang tidak berkecukupan serta membantu kepentingan
masyarakat dan negara.

Kenyataan sosiologis di Indonesia dan di negara-negara serumpun kawasan ASEAN,


menunjukkan peran filantropi Islam, khususnya zakat, infak, sedekah dan wakaf (Ziswah)
merupakan “instrumen terdepan” kalau belum dikatakan instrumen utama dalam upaya
mengatasi masalah kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan umat dan bangsa.

Pemerintah terus mendorong dan memfasilitasi tumbuh-berkembangnya lembaga


filantropi, termasuk lembaga keuangan syariah dalam skala kecil, mikro dan menengah
dengan merangkul dan mensinergikan semua komponen dan organisasi umat dalam
semangat amal jama’i.

DAFTAR PUSTAKA
Djohantini, Siti Noordjannah. (2015). https://tarjih.or.id/wp-content/uploads/2020/08/PRAKSIS-
SOSIAL-AISYYAH-2015_Noordjannah.pdf
Gunawan, Andri. (2018). https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam/article/view/9414. Jurnal
Sosial dan Budaya Syar'i
Nasution, Hasyimsyah, dkk. (2019).
Samosirhttps://www.researchgate.net/publication/PEMBERDAYAAN-FILANTROPI-DALAM-
MENINGKATKAN-KESEJAHTERAAN-WARGA-MUHAMMADIYAH-DI-INDONESIA.pdf. MIQOT Vol.
43 No. 2 Juli-Desember 2019

Anda mungkin juga menyukai