Anda di halaman 1dari 8

h

TUGAS KESEHATAN LINGKUNGAN DAN KESELAMATAN KERJA ( KLKK )

From Farm To Fork, Pengaruh Pandemi Terhadap Ketahanan dan


Keamanan Pangan

Kelompok A2

Andre Galih Pratama Putra ( 2109047045 )

Erni Maulidah ( 2109047068 )

Jaminah ( 2109047061 )

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PROF. DR. HAMKA
2022
BAB I
Pendahuluan

SARS-Cov-2 adalah virus baru penyebab penyakit saluran pernafasan dan


termasuk dalam famili coronavirus. Virus yang menyebabkan Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS) dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS) juga
termasuk dalam famili ini. Efek yang ditimbulkan virus SARS-Cov-2 ini dapat berupa
penyakit ringan sampai berat. Penyakit karena infeksi virus ini disebut COVID-19.
Untuk memudahkan penyebutan SARS-Cov-2, maka dalam pedoman ini digunakan
istilah virus COVID-19. Virus COVID-19 bisa menyebabkan gangguan pada sistem
pernapasan, pneumonia akut, sampai kematian. Pada tanggal 30 Januari 2020
WHO telah menetapkan kasus COVID-19 ini sebagai Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat Yang Meresahkan Dunia / Public Health Emergency of International
Concern (KKMMD/PHEIC). Karena penambahan jumlah kasus COVID-19
berlangsung sangat cepat dan telah terjadi penyebaran antar negara, maka pada
tanggal 11 Maret 2020, WHO menetapkan COVID-19 sebagai pandemi. Sampai
saat ini belum terdapat bukti yang menunjukkan bahwa virus COVID-19 dapat
ditularkan melalui pangan.
Risiko penularan COVID-19 melalui pangan dan kemasan pangan sangat
rendah sepanjang Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB) dipraktikkan
oleh semua sektor industri di setiap mata rantai pasok pangan. Sejalan dengan
ketetapan WHO, Presiden telah menetapkan COVID-19 sebagai jenis penyakit yang
menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020. Dengan adanya ketetapan ini diperlukan
upaya penanggulangan, yang dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 21
tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan
Penanganan COVID-19 di mana pemerintah menekankan bahwa Pembatasan
Sosial Berskala Besar dilakukan dengan tetap memperhatikan pemenuhan
kebutuhan dasar penduduk. Kita pahami bahwa pangan merupakan salah satu
kebutuhan dasar penduduk. Oleh karena itu untuk memastikan rantai produksi dan
distribusi pangan olahan berkualitas secara konsisten termasuk pada masa status
keadaan tertentu darurat bencana wabah COVID-19 di Indonesia
BAB II
Pembahasan

1. From farm to fork selama pandemi


Sistem pangan yang tidak dapat tahan terhadap krisis seperti pandemi
COVID-19 jika berkelanjutan. Kita perlu mendesain ulang sistem pangan kita yang
saat ini menyumbang hampir sepertiga dari emisi GHG global, mengkonsumsi
sejumlah besar sumber daya alam, mengakibatkan hilangnya keanekaragaman
hayati dan dampak kesehatan yang negatif (karena kekurangan dan kelebihan
gizi) dan tidak memungkinkan pengembalian ekonomi dan mata pencaharian
yang adil bagi semua pelaku, khususnya bagi produsen primer. Menempatkan
sistem pangan kita pada jalur yang berkelanjutan juga membawa peluang baru
bagi operator dalam rantai nilai pangan. Teknologi baru dan penemuan ilmiah,
dikombinasikan dengan peningkatan kesadaran dan permintaan publik akan
pangan berkelanjutan, akan bermanfaat bagi semua stakeholders.
Strategi Farm to Fork bertujuan untuk mempercepat transisi kita menuju
sistem pangan berkelanjutan yang seharusnya:
a. memiliki dampak lingkungan yang netral atau positif
b. membantu mengurangi perubahan iklim dan beradaptasi dengan dampaknya
c. membalikkan hilangnya keanekaragaman hayati
d. memastikan ketahanan pangan, gizi dan kesehatan masyarakat, memastikan
bahwa setiap orang memiliki akses ke pangan yang cukup, aman, bergizi,
berkelanjutan
e. menjaga keterjangkauan makanan sambil menghasilkan pengembalian
ekonomi yang lebih adil, mendorong daya saing sektor pasokan dan
mempromosikan perdagangan yang adil
Untuk menjaga keamanan pangan selama pandemi, terdapat beberapa
langkah yang dapat kita lakukan, seperti menjaga kebersihan dengan melakukan
cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan proses pengolahan bahan pangan.
Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi kontaminasi fisik maupun biologi.
Selanjutnya, kita dapat memisahkan pangan mentah dari pangan matang.
Pemisahan tersebut penting untuk dilakukan karena bahan pangan matang yang
siap untuk disantap tentu sudah bersih dari bakteri berbahaya, sehingga perlu
dipisahkan dengan bahan pangan mentah yang dapat mengontaminasi pangan
matang tersebut. Selain itu, kita juga dapat memasak bahan pangan dengan
benar dan menyimpannya pada tempat dan suhu yang sesuai dengan jenis
pangan agar tetap aman ketika dikonsumsi.
Hal yang dapat kita lakukan untuk menjaga keamanan pangan selama
pandemi adalah memastikan sistem keamanan pangan berupa Hazard Analysis
and Critical Control Points (HACCP) dan Good Manufacturing Practices (GMP)
diterapkan, termasuk di dalamnya pembersihan, sanitasi, praktik higienis yang
baik, dan active packaging juga diperlukan mulai dari proses awal rantai makanan
yaitu ketika produksi di pertanian hingga dikonsumsi oleh konsumen.
Telah disebutkan bahwa GMP dan HACCP merupakan suatu hal yang dapat
dilakukan untuk menjaga keamanan pangan selama pandemi. Namun, apakah
GMP dan HACCP itu? Good Manufacturing Practices (GMP) merupakan suatu
sistem untuk memastikan bahwa produk memenuhi persyaratan keamanan,
kualitas, dan hukum pangan. Penting bagi seorang produsen makanan untuk
memiliki GMP. Sedangkan Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP)
dapat menjadi bagian dari GMP dan merupakan program sistematis untuk
menjamin keamanan pangan. Selain pada industri pangan, HACCP semakin
banyak diterapkan pada industri non pangan, seperti kosmetik dan farmasi.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa GMP dan HACCP merupakan sistem yang
dimaksudkan untuk memastikan keamanan makanan, bahan kimia, dan juga
obat-obatan.
Penerapan praktik kebersihan makanan from farm to fork ini tidak hanya
menjadi kewajiban di food manufacturing, namun juga food service, home
kitchen hingga food delivery. Semua permukaan peralatan yang berkaitan dengan
makanan yang mungkin terdapat kontak manusia harus menjadi fokus perhatian,
dimana penjamah makanan dapat bertindak untuk menghambat penyebaran
COVID- 19. Oleh karena itu, penggunaan alat pelindung diri yang tepat dan
kepatuhan terhadap pedoman yang dikeluarkan oleh otoritas kesehatan
masyarakat yang mencakup mencuci tangan secara teratur saat bertukar barang,
penggunaan pembersih tangan, memakai masker dan sarung tangan, dan
menjaga jarak setidaknya 2 meter antara personel merupakan hal yang paling
penting.
Sejak pandemi berlangsung, sadar atau tidak, terjadi banyak
pengembangan dalam berbagai benda-benda yang biasanya digunakan oleh
manusia, mulai dari cat dinding, hingga kemasan makanan dengan sifat antivirus.
Kekhawatiran konsumen tentang kemampuan SARS-CoV-2 untuk bertahan hidup
di permukaan kemasan telah menyebabkan meningkatnya minat dalam
pengembangan polimer dan biopolimer dengan sifat antivirus ini. Pengembangan
biopolimer dengan sifat antivirus dan aplikasinya di bidang makanan masih
menjadi bidang penelitian yang terbuka, beberapa penelitian yang tengah
dilakukan diantaranya adalah penggunaan pelapis atau film nanomaterial yang
mengandung nanopartikel tembaga, perak, dan seng. Terkait potensi penularan
COVID-19 dari kemasan pangan, WHO menyatakan bahwa kemungkinannya
rendah bagi orang yang terinfeksi mengkontaminasi barang komersial. Risiko
tertular virus penyebab COVID-19 dari paket kemasan yang dipindahkan, dikirim,
dan telah terpapar berbagai kondisi dan suhu juga sangat rendah. Meskipun
demikian, upaya harus dilakukan untuk memastikan bahwa kemasan pangan
dibersihkan dan ditangani sesuai dengan praktik keamanan pangan yang sesuai.
Pembersihan harus sejalan dengan praktik sanitasi pangan dan kontrol
lingkungan yang ditetapkan pelaku usaha pangan. Karyawan harus terus
mengikuti penilaian risiko yang ada dan sistem kerja yang aman. Dalam kondisi
pandemi COVID-19 ini, tidak ada tindakan pencegahan tambahan yang perlu
diambil pada praktik pengemasan pangan.
Untuk mewujudkan ketahanan pangan dengan mengurangi kehilangan
pangan (food loss) dan makanan tak terkonsumsi (food waste) . Food loss
merupakan hilangnya produk pangan antara rantai pasok produsen dan pasar
sehingga dapat mengakibatkan tingkat penurunan bahan pangan untuk
dikonsumsi manusia. Food loss dapat terjadi karena tahap produksi, pascapanen
dan pemerosesan rantai pasokan makanan . Food waste adalah makanan sisa
dimana produk makanan tersebut masih aman dan bergizi untuk dikonsumsi. Di
Indonesia, masih banyak masyarakat yang menyisakan makanannya di piring.
Sekitar 10-15% food waste disebabkan oleh konsumen. Jika masyarakat masih
banyak yang melakukan penumpukan food waste maka akan menimbulkan
dampak yang besar bagi dunia diantaranya terhadap lingkungan, food waste
dapat menghasilkan gas metana sehingga dapat berpotensi sebagai gas rumah
kaca, meningkatkan pemanasan global dan permintaan tinggi pada lahan
pertanian. Selain itu, food waste juga dapat menyebabkan terjadinya harga
pangan meningkat sehingga akan berdampak gizi buruk pada kaum miskin. Pada
aspek gizi food waste akan menyebabkan kurangnya jumlah zat gizi yang
tersedia. Ada beberapa kelompok makanan yang banyak menghasilkan food
waste antara lain makanan yang mengandung susu dan lemak. Rata-rata jumlah
zat gizi yang terbuang berkisar 102 kkal, 7 gr protein, 1,9 gr serat, 75,7 mg
kalsium.

2. Ketahanan dan keamanan pangan saat pandemi

a. Ketahanan pangan
Ketahanan pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2012 adalah terpenuhinya pangan bagi tiapnegara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan
budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan. Sedangkan keamanan pangan adalah kondisi dan upaya
yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan tiga cemaran,
yaitu cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat
sehingga aman untuk dikonsumsi
Tentunya pada masa pandemi yang sulit seperti sekarang ini ketahanan
pangan menjadi sesuatu yang harus diupayakan untuk menghindar dari krisis
pangan. Setidaknya, ada tiga pilar dalam ketahanan pangan, yaitu
ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas. Sebagai pilar pertama,
ketersediaan pangan menggambarkan bagaimana suatu sistem pertanian
dapat menyediakan kebutuhan pangan masyarakat. Ketersediaan bahan
pangan sendiri dipengaruhi ketersediaan bahan baku, yang berarti
bergantung pada produksi dari kegiatan pertanian.Di masa pandemi ini,
petani tetap terus bekerja di lahan menyesuaikan protokol produksi untuk
menjamin kualitas dan kuantitas serta keamanan pangan di tengah pandemi.
Strategi Kementerian Pertanian (Kementan) dalam meningkatkan produksi
pangan dan menjaga agar petani tetap berproduksi selama pandemi, di
antaranya relaksasi kredit usaha rakyat (KUR) sektor pertanian dan
mempercepat bantuan sarana dan prasarana pertanian. Dalam hal relaksasi
KUR, pemerintah memberikan pembebasan pembayaran bunga dan
penundaan pembayaran pokok KUR dan akan diikuti dengan memberikan
perpanjangan jangka waktu dan tambahan plafon.Hal tersebut membantu
petani menjalankan kegiatan pertanian. Sebab, mulai dari penanaman hingga
panen, petani membutuhkan modal.
Dari aspek sarana dan prasarana pertanian, Kementan fokus pada
akselerasi perbaikan sarana irigasi, penyediaan alsintan, benih, bibit, pupuk,
pakan ternak, obat hewan, vaksin, serta bantuan sarana produksi lain.
Ketersediaan sarana dan prasarana memegang peran penting dalam
percepatan pemenuhan ketersediaan bahan pangan di masyarakat. Alat
mesin pertanian seperti traktor akan membantu mempercepat proses
produksi dibandingkan hanya dengan penggunaan kerbau atau tenaga
manusia. Sistem pertanian modern terbukti lebih cepat meningkatkan nilai
produksi dibanding dengan sistem konvensional.
Selain kedua strategi itu, warga juga diimbau untuk dapat melakukan
kegiatan pertanian sendiri di pekarangan rumah ataupun melakukan sistem
pertanian vertikal bagi yang tidak mempunyai lahan kosong di rumah. Hal
tersebut akan membantu petani dalam menjaga ketersediaan pangan di
tengah pandemi ini. Sementara itu, dari aspek ketersediaan bahan pangan di
konsumen, terjadi banyak perubahan pola karena kebijakan physical
distancing. Pola jalur pasokan lebih banyak menuju pasar-pasar modern dan
pasar yang berbasis daring. Dari sisi transaksi yang dilakukan konsumen,
pandemi membuat perubahan pola transaksi ke arah ke platform digital
atau online. Platform-platform pemasaran komoditas pertanian online dapat
dimanfaatkan untuk membantu petani dalam memasarkan hasil panennya,
Kemudahan akses petani terhadap faktor produksi seperti pupuk, benih dan
saluran irigasi harus tetap terjamin, Manajemen cadangan pangan darurat. Di
tengah darurat Covid-19, sesungguhnya bahan makanan harus tersedia
dengan jumlah dan mutu yang baik serta harga terjangkau.
Setelah memastikan ketersediaan bahan pangan aman di masa
pandemi ini, tugas selanjutnya dalam menjaga ketahanan pangan adalah
memastikan bahan tersebut terjangkau bagi warga. Komponen penting
lainnya dalam menjaga ketahanan pangan adalah stabilitas pangan. 

b. Keamanan pangan
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan tiga cemaran, yaitu cemaran biologis,
kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan
membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
Pangan olahan yang diproduksi harus sesuai dengan Cara Pembuatan
Pangan Olahan yang Baik untuk menjamin mutu dan keamanannya. Selain itu
pangan harus layak dikonsumsi yaitu tidak busuk, tidak menjijikkan, dan
bermutu baik, serta bebas dari Cemaran Biologi, Kimia dan Cemaran Fisik.
Pandemi COVID-19 menyebabkan rantai pasokan pangan terganggu
karena beberapa produk, bahan, atau bahan mentah tidak tersedia atau sulit
didapatkan. Program inspeksi keamanan pangan nasional harus
diselenggarakan berdasarkan risiko, di mana usaha pangan diberi peringkat
guna menentukan frekuensi inspeksi. Profil risiko masing-masing usaha
pangan dalam kaitannya dengan inspeksi harus didasarkan pada sifat dan
tingkat usaha pangan, dengan mempertimbangkan jenis pangan yang diolah,
diproses dan didistribusikan; metode pengolahan (makanan yang dimasak,
produk yang siap makan); skala operasi, dan kemungkinan kelompok berisiko
di antara konsumennya. Masalah yang harus dipertimbangkan dalam
memutuskan pengelompokan risiko usaha pangan mencakup riwayat
kepatuhan atau ketidakpatuhan terhadap peraturan, kepercayaan dalam
implementasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan, dan catatan verifikasi.
Pendekatan inspeksi keamanan pangan berbasis risiko ini dapat
mengidentifikasi usaha pangan yang berisiko tinggi yang memerlukan
inspeksi. Inspeksi tempat pengolahan pangan berisiko rendah hingga sedang
mungkin perlu ditangguhkan sementara selama pandemi ini. Salah satu area
kritis di mana inspeksi pangan perlu dilanjutkan adalah di rumah potong
hewan termasuk pengawasan ante- dan post-mortem. Inspektur pangan di
tempat tersebut akan membutuhkan alat pelindung diri (APD) dan perlu
menyadari pentingnya menjaga jarak, mencuci tangan, sanitasi, dan disinfeksi
terutama jika kondisi produksi berubah misalnya karena meningkatnya
kecepatan produksi. Kelompok usaha kritis lain di mana inspeksi mungkin
perlu diperkuat adalah usaha yang sangat bergantung pada bahan impor.
Dengan berkurangnya transportasi internasional secara drastis, rantai
pasokan usaha-usaha ini dapat terhambat atau terganggu. Hal ini akan
menimbulkan masalah keamanan pangan dan perlu inspeksi dan kontrol
lebih.
Selain itu, usaha pangan yang bergantung pada bahan impor akan
mencari alternatif lain dengan mencari pemasok baru tanpa melalui program
perizinan pemasok, yang dapat membahayakan integritas produk. Usaha
pangan diwajibkan secara hukum untuk memproduksi dan memasarkan
pangan yang aman dan sesuai. Selain Sistem Manajemen Keamanan
Pangan, pengusaha pangan harus mempertimbangkan sistem penilaian
kerentanan berbasis risiko untuk mengurangi risiko penipuan pangan. Otoritas
yang berwenang perlu menyoroti meningkatnya risiko penipuan pangan.
Ketika warga diharuskan tetap tinggal di rumah, semakin banyak konsumen
yang beralih ke e-commerce dan berbelanja ritel makanan secara daring.
Banyak orang membeli makanan secara daring dari banyak situs ecommerce
yang bermunculan sejak awal pandemi ini. Penting bagi otoritas yang
berwenang untuk menegaskan kembali kepada masyarakat bahwa sementara
tidak ada kasus COVID-19 yang dilaporkan yang ditularkan melalui konsumsi
makanan dan bahwa COVID-19 sangat tidak mungkin ditularkan melalui
makanan. Rekomendasi kebersihan yang disediakan oleh otoritas kesehatan
berwenang untuk menghindari transmisi SARS-CoV-2 juga harus diterapkan
oleh konsumen saat berbelanja atau mengolah makanan. Rekomendasi dan
pesan yang diterbitkan oleh WHO dapat diadaptasi dan disebarluaskan untuk
konteks nasional.

Anda mungkin juga menyukai