Anda di halaman 1dari 6

RESUME REGULASI KEAMANAN PANGAN DAN STUDI KASUS

KERUGIAN INDUSTRI AKIBAT FOODBORNE OUTBREAKS

Tugas Manajemen Keamanan Pangan

Oleh: Emerald Falah Brayoga (236100100111012)


15 Februari 2024

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2024
Oleh: Emerald Falah Brayoga (236100100111012)

RESUME PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NO. 86 TAHUN 2019


TENTANG KEAMANAN PANGAN
Keamanan Pangan merupakan kondisi dan upaya untuk mencegah cemaran biologis, kimia,
dan benda lain pada pangan, yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Keamanan pangan tidak
boleh bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, sehingga aman dikonsumsi.
Penyelenggaraan keamanan pangan meliputi pengaturan terhadap:
1. Sanitasi Pangan: Wajib bagi yang menyelenggarakan proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan atau peredaran pangan untuk memastikan pangan aman untuk dikonsumsi
2. Bahan Tambahan Pangan (BTP): Wajib memiliki izin edar dari Kepala Badan, memenuhi
standar yang ditambahkan, tidak boleh melebihi ambang batas yang ditentukan dan menggunakan
bahan yang dilarang, serta mempertimbangkan persyaratan kesehatan dan kajian paparan BTP.
3. Produk Rekayasa Genetik: Kegiatan produksi dan pengedaran produk rekayasa genetik harus
mendapatkan persetujuan keamanan pangan dari Kepala Badan setelah mendapat rekomendasi dari
komisi yang melakukan kajian keamanan pangan produk rekayasa genetik.
4. Iradiasi Pangan: Proses iradiasi pangan dapat dilakukan setelah memenuhi persyaratan dan
mendapat izin pemanfaatan sumber radiasi pengion dari BATAN.
5. Standar Kemasan Pangan: Harus aman, memenuhi batas migrasi, dan tidak membahayakan
kesehatan manusia. Cara pengemasan harus melindungi dan mempertahankan mutu pangan
dengan pelabelan yang baik. Bahan kemasan pangan harus disimpan dan pada kondisi higienis.
6. Pemberian Jaminan Keamanan Pangan: Wajib memiliki izin edar, meliputi: izin produksi
pangan olahan dari bupati/walikota (industri rumah tangga), sertifikat produksi dari
bupati/walikota (pangan olahan siap saji), nomor registrasi (pangan segar asal hewan), nomor
pendaftaran (pangan segar asal tumbuhan), serta sertifikat kelayakan, sertifikat penerapan program
manajemen mutu terpadu, dan sertifikat produk pengolahan ikan untuk pangan segar asal ikan.
7. Jaminan Produk Halal Bagi yang Dipersyaratkan: Pengawasan dilakukan oleh pemerintah
pusat dan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kegiatan menjaga keamanan pangan dilakukan melalui:
1. Pengawasan: Oleh Kementerian Pertanian, Perikanan, dan kepala daerah (pangan segar); Kepala
Badan dan Kementerian Perindustrian (pangan olahan); Kepala Badan dan bupati/walikota
(pangan olahan industri rumah tangga); Kementerian Kesehatan, Kepala Badan, bupati/walikota
(pangan olahan siap saji). Hasil pengawasan diumumkan melalui media massa.
2. Sanksi Administratif: Jika terjadi pelanggaran, sanksi administratif akan diberikan secara
bertahap, tidak bertahap dan kumulatif dengan kriteria pelanggaran ringan, sedang dan berat.
3. Penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan Kedaruratan Keamanan Pangan: Wajib
dilaporkan ke fasilitas pelayanan kesehatan agar diambil contoh pangan yang diduga sebagai
penyebab, dilaporkan ke bupati/walikota, ditujukan ke Menteri Kesehatan dan Kepala Badan. Jika
terjadi bahaya darurat keamanan pangan di masyarakat, ditangani oleh kementerian terkait, Kepala
Badan, dan kepala daerah.
4. Peran Serta Masyarakat: Melalui kampanye keamanan pangan dan masukan secara lisan/tertulis.
Harus bertanggung jawab terhadap kebenaran informasi yang disampaikan ke instansi berwenang.
Oleh: Emerald Falah Brayoga (236100100111012)

RESUME PERATURAN KEPALA BPOM NO. 22 TAHUN 2017 TENTANG


PENARIKAN PANGAN DARI PEREDARAN
Definisi Penarikan Pangan: Penarikan pangan dari peredaran merupakan tindakan menarik
pangan yang berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan atau tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dari setiap tahapan pada rantai pangan, termasuk pangan yang telah dimiliki oleh
konsumen dalam upaya untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen.
Kriteria Pangan yang Layak Ditarik: Pangan tersebut beresiko menyebabkan penyakit atau
cedera, tidak memenuhi persyaratan keamanan pangan, serta adanya keperluan tindakan untuk
melindungi kesehatan masyarakat.
Mekanisme Penarikan Pangan dari Peredaran: BPOM akan menerima informasi atau
laporan kajian mengenai pangan yang memenuhi kriteria penarikan dari peredaran. Informasi tersebut
diperoleh dari BPOM di seluruh Indonesia, lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian/
perguruan tinggi, media massa, pengaduan konsumen, pelaku usaha pangan, dan lembaga otoritas
keamanan pangan di luar negeri. BPOM kemudian melakukan konfirmasi kebenaran dari informasi
yang diperoleh dengan melakukan analisa kembali informasi dari sumbernya, penelusuran ke tempat
kejadian, mengambil contoh dan melakukan pengujian apabila diperlukan, sehingga didapatkan hasil
keputusan penarikan berdasarkan tingkat resikonya, sebagai berikut:
1. Penarikan Kelas I : Pangan diduga dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius bahkan
kematian. Contoh: pangan mengandung bahan berbahaya, bakteri patogen, atau ditemukan
adanya kontaminasi benda asing dalam pangan.
2. Penarikan Kelas II : Pangan diduga dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang bersifat
sementara, tidak sesuai dengan SNI, tanpa izin edar dan positif mengandung babi pada pangan
yang tidak mencantumkan peringatan ‘mengandung babi’ pada label. Contoh: pangan dengan
bahan tambahan pangan yang tidak sesuai dengan peraturan dan melebihi batas maksimum,
cemaran kimia, toksik alami, atau berat bersih tidak sesuai dengan yang dicantumkan.
3. Penarikan Kelas III : Pangan tidak menyebabkan reaksi yang merugikan kesehatan, namun ada
pelanggaran terhadap peraturan perundangan selain yang sudah disebutkan pada Kelas I dan
Kelas II. Contoh: label tidak sesuai dengan yang disetujui pada saat pendaftaran pangan,
pencantuman tanggal produksi atau kode produksi, atau tanggal kadaluarsa tidak lengkap
Tidak Lanjut dan Sanksi: Pelaku usaha yang mengetahui atau memiliki informasi mengenai
pangan yang tidak memenuhi persyaratan keamanan pangan wajib melakukan penarikan produk atas
perintah Kepala Badan atau secara sukarela. Kemudian, produk akan ditindaklanjuti, dapat berupa:
pemusnahan, penggunaan selain untuk konsumsi manusia, proses ulang, pelabelan ulang, dan
pengembalian produk impor ke pemasok. Sanksi yang diberikan dapat berupa: peringatan tertulis,
penghentian sementara kegiatan, pencabutan izin edar, dan penghentian layanan registrasi atau
sertifikasi hingga 6 bulan.
Proses penarikan pangan wajib dilaporkan kepada Kepala Badan. Pelaku usaha harus memiliki
prosedur penarikan yang efektif secara tertulis dan memiliki sistem ketelusuran pangan sebagai dasar
penarikan yang efektif. Penarikan pangan akan dihentikan apabila BPOM telah menentukan bahwa
tindakan yang dilakukan untuk penarikan pangan telah sesuai dengan strategi penarikan pangan dan
tingkat risiko bahaya pangan, penghitungan jumlah pangan yang ditarik sudah sesuai.
Oleh: Emerald Falah Brayoga (236100100111012)

RESUME SEPUTAR INDONESIA RAPID ALERT SYSTEM FOR FOOD AND FEED
Latar Belakang dan Tujuan: Indonesia Rapid Alert System for Food and Feed (INRASFF)
merupakan salah satu alat dalam pengawasan pangan setelah dipasarkan. Terbentuk oleh inisiasi
BPOM pada tahun 2010, INRASFF merupakan bentuk komitmen Indonesia untuk memastikan pangan
yang bermutu dan aman bagi masyarakat. Akhirnya, INRASFF terbentuk berdasarkan Keputusan
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat No. 23 Tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Jejaring
Keamanan Pangan Nasional dan Keputusan Deputi Bidang Keamanan Pangan dan Berbahaya No.
HK.04.5.11.10.1106 tentang Sekretariat National Contact Point dalam rangka penerapan INRASFF.
INRASFF dibentuk untuk menciptakan sistem komunikasi cepat yang melibatkan instansi
terkait keamanan pangan di Indonesia. Penerapan INRASFF sebagai sistem early warning dapat
meningkatkan kewaspadaan terhadap kasus khusus keamanan pangan dan pakan. Selain itu, INRASFF
dapat memberikan penanggulangan terkait kasus tersebut.
Cara Kerja: INRASFF akan melakukan pengumpulan dan analisis data kasus keamanan
pangan melalui Competent Contact Point (CCP) INRASFF di dalam negeri dan internasional. Kasus
ini bisa merupakan temuan hasil pengawasan pangan rutin atau hasil kajian ilmiah di dalam dan diluar
negeri. CCP adalah sebuah unit yang merepresentasikan instansi terkait, yaitu Kementerian Pertanian,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, dan BPOM. Sedangkan CCP internasional
meliputi European Union RASFF, ASEAN RASFF, dan International Food Safety Authority Network
(INFOSAN).
Penerapan RASFF di Indonesia saat ini menggunakan sistem email based (inrasff@pom.go.id)
dan web based (inrasff.pom.go.id) untuk informasi dan notifikasi kepada CCP di instansi terkait.
Notifikasi diterbitkan jika terdapat kasus keamanan pangan baik di wilayah perbatasan antar negara,
maupun di market. Klasifikasi notifikasi yang ada pada INRASFF meliputi: penolakan di perbatasan
(border rejection), waspada (alert), informasi (information) dan berita (news). Pertukaran informasi
dalam INRASFF dilakukan melalui penerbitan, penyampaian, serta tindak lanjut terhadap notifikasi
keamanan pangan.
Program Kerja: Program kerja INRASFF adalah meningkatkan sistem alat penelusuran
kasus, manajemen penanggulangan kewaspadaan pangan, dan kemampuan laboratorium pengujian
keamanan pangan di Indonesia. INRASFF membuat laporan monitoring kegiatan, laporan hasil
pengujian laboratorium, laporan rencana monitoring, laporan keamanan pangan di Indonesia, laporan
INRASF Contact Point, database dari INRASF, dan laporan pelaksanaan pelatihan untuk
memverifikasi keberhasilan program-program kerja tersebut.
Peningkatan kapasitas dan integritas sumber daya manusia untuk mendukung penerapan
INRASFF terus dilakukan dan menjadi prioritas dengan memberi pelatihan penggunaan aplikasi
INRASFF dan sistem informasi INRASFF kepada operator CCP di instansi terkait. Dalam rangka
penguatan jejaring INRASFF, dilakukan INRASFF Working Group, pertemuan tingkat ASEAN terkait
penyusunan ASEAN Guidelines on Food and Feed Traceability dan ASEAN Capacity Building on
Rapid Response in Food Safety Issues and Crisis, serta pertemuan lintas sektor tingkat nasional untuk
membahas rencana nasional tanggap darurat keamanan pangan. (Sumber: https://inrasff.pom.go.id/)
Oleh: Emerald Falah Brayoga (236100100111012)

RESUME JURNAL TENTANG KERUGIAN INDUSTRI JIKA TERJADI


FOODBORNE OUTBREAKS
Pendahuluan: Kasus wabah penyakit akibat makanan (foodborne outbreaks) didefinisikan
sebagai kejadian di mana dua orang atau lebih mengalami penyakit serupa setelah gangguan
pencernaan terhadap makanan atau makanan yang sama(1). Foodborne outbreaks menjadi perhatian
serius dan harus dicegah karena dapat membahayakan keamanan konsumen, hingga menyebabkan
kematian. Berbagai negara di dunia memiliki regulasi yang mengatur tentang keamanan pangan untuk
mencegah foodborne outbreaks dan wajib dipatuhi oleh industri pangan, seperti restoran dan
manufaktur. Namun, tidak semua industri patuh terhadap regulasi keamanan pangan, sehingga
berpotensi terjadi foodborne outbreaks.
Beberapa kasus pelanggaran regulasi pangan membuat banyak industri harus membayar denda
dan menghentikan produksi, sehingga menyebabkan kerugian besar dalam perekonomian. Di Amerika
Serikat, data menunjukkan bahwa kerugian akibat insiden keamanan pangan bagi perekonomian
adalah sekitar $7 miliar per tahun (109 triliun rupiah) yang berasal dari laporan konsumen, penarikan
produk di market, dan pembayaran ganti rugi akibat tuntutan hukum(2). Pada resume ini, akan
dijelaskan contoh kasus pelanggaran dari industri pangan penyebab potensi foodborne outbreaks dan
kerugian yang ditimbulkan terhadap produsen dan konsumen.
Contoh Kasus: Restoran menjadi industri yang rentan mengalami kerugian ketika terjadi
foodborne outbreaks. Data The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan terjadi
sekitar 48 juta orang sakit karena foodborne outbreaks di Amerika Serikat setiap tahunnya(3). Contoh
kasus terjadi pada Restoran Milk and Honey di Nashville(4) yang harus membayar ganti rugi lebih dari
$6 juta (93 milyar rupiah) akibat foodborne outbreaks. Setidaknya 20 pelanggan telah jatuh sakit
karena gnocchi iga pendek yang disajikan di restoran tersebut pada tanggal 3 dan 4 Agustus 2018.
Gnocchi tersebut mengandung telur yang menurut USDA terkontaminasi Salmonella dari pemasok
Gravel Ridge Farms yang berbasis di Alabama. Selain itu, staf dapur di restoran tersebut mendapat
tuntutan karena memasak gnocchi yang kurang matang setidaknya 10 derajat.
Contoh kerugian industri akibat foodborne outbreaks di sebuah restoran milik perusahaan asal
California, Amerika Serikat, Chipotle Mexican Grill Inc.(5), membuat perusahaan tersebut membayar
$25 juta (237 milyar rupiah). Denda tersebut adalah untuk tuntutan pidana karena membuat lebih dari
1.100 orang sakit antara tahun 2015 dan 2018. Insiden yang menyebabkan foodborne outbreaks ini
berasal dari karyawan yang tidak mengikuti protokol keamanan pangan perusahaan di restoran milik
perusahaan tersebut, termasuk kebijakan Chipotle yang mewajibkan pengecualian karyawan yang
sakit atau baru saja sakit.
Selain itu, industri besar juga dapat mengalami kerugian jika produk yang dikeluarkan tidak
sesuai standar dan berpotensi membuat foodborne outbreaks. Contoh potensi foodborne outbreaks
akibat kontaminasi bakteri patogen pada bahan baku juga bisa menjadi penyebab kerugian industri. Di
tahun 2013, Fonterra mengumumkan bahwa terjadi kontaminasi Clostridium botulinum pada 3 batch
produksi whey protein concentrate (WPC) di line produksi di New Zealand(6). Clostridium botulinum
berpotensi membahayakan kesehatan karena menyebabkan botulism(7). Fonterra mengkonfirmasi
bahwa 38 ton produk WPC terkontaminasi. WPC tersebut digunakan sebagai bahan baku produksi
Oleh: Emerald Falah Brayoga (236100100111012)

susu bayi dan sports drink oleh sejumlah perusahaan besar, seperti Danone (Paris, Perancis).
Meskipun Fonterra segera menghubungi para customernya dan tidak ada korban jiwa, perusahaan
memperkirakan telah mengalami kerugian lebih dari $60 juta (570 milyar rupiah) dalam beberapa jam
setelah pengumuman potensi kontaminasi pada produknya(7).
Contoh kasus kerugian industri besar seperti Westland/Hallmark Meat Packing Company
(Chino, California) pada tahun 2008 telah menjadi insiden penarikan daging sapi terbesar di Amerika
Serikat(7). Hal tersebut dikarenakan munculnya video para pekerja menendang sapi yang sakit dan
menggunakan forklift untuk memaksa mereka berjalan. Video tersebut menimbulkan pertanyaan
mengenai keamanan dagingnya, karena sapi yang tidak bisa berjalan, yang disebut sapi downer,
mempunyai risiko tambahan terkena penyakit sapi gila. Selain itu, pemerintah telah melarang sapi
dengan sindrom downer dari pasokan makanan. Atas permintaan FDA, Westland/Hallmark harus
menarik kembali lebih dari 143 juta pon daging sapi. Biaya penarikan kembali yang ditanggung
perusahaan adalah lebih dari $117 juta (1,8 triliun rupiah). Pada November 2012, Westland/Hallmark
membayar $500 juta (7,8 triliun rupiah) kepada sejumlah pelanggan yang terkena dampak dan
pemerintah. Namun, sebelum membayar, perusahaan tersebut dinyatakan pailit(8). Tingginya kerugian
ekonomi akibat potensi wabah penyakit dari pangan menunjukkan perlunya upaya tambahan dan
serius untuk mengendalikan seluruh aspek keamanan pangan.
Kesimpulan: Foodborne outbreaks yang diakibatkan oleh industri pangan menyebabkan
kerugian bagi konsumen dan perusahan itu sendiri. Kerugian yang dialami industri pangan bisa
mencapai ratusan miliar rupiah, hingga menyebabkan pailit. Hal tersebut karena tuntutan hukum atas
ganti rugi pada konsumen yang terancam nyawanya dan regulasi badan pengawas nasional untuk
menarik produk di pasaran. Penerapan sistem produksi yang sesuai standar dan regulasi pemerintah
merupakan solusi untuk menjaga mutu dan keamanan pangan, sekaligus mempertahankan
kelangsungan perusahaan.
Referensi:
1. Zhang, Y., Simpson, R., Sallade, L., Sanchez, E., Monahan, K., & Naumova, E. (2022). Evaluating Completeness of Foodborne Outbreak
Reporting in the United States, 1998–2019. International Journal of Environmental Research and Public Health, 19(5), 2898.
https://doi.org/10.3390/ijerph19052898
2. Warmate, D., & Onarinde, B. A. (2023). Food safety incidents in the red meat industry: A review of foodborne disease outbreaks linked to
the consumption of red meat and its products, 1991 to 2021. International Journal of Food Microbiology, 398, 110240.
https://doi.org/10.1016/j.ijfoodmicro.2023.110240
3. Holland, D., Clifford, R., Mahmoudzadeh, N., O’Brien, S., Poppy, G., Meredith, Z., & Grantham-Hill, H. (2023). Can foodborne illness
estimates from different countries be legitimately compared?: case study of rates in the UK compared with Australia, Canada and USA.
BMJ Open Gastroenterology, 10(1), e001009. https://doi.org/10.1136/bmjgast-2022-001009
4. Forde, Michael. (2019). Food Poisoning Lawsuits Total $6 Million in Nashville Case. Burn & Wilcox.
https://www.burnsandwilcox.com/insights/food-poisoning-lawsuits-total-6-million-in-nashville-case/
5. Office of Public Affairs. (2020). Chipotle Mexican Grill Agrees to Pay $25 Million Fine and Enter a Deferred Prosecution Agreement to
Resolve Charges Related to Foodborne Illness Outbreaks. U.S Department of Justice.
https://www.justice.gov/opa/pr/chipotle-mexican-grill-agrees-pay-25-million-fine-and-enter-deferred-prosecution-agreement
6. Astley, Mark. (2013). Fonterra Issues Botulism Waring to When Protein Concentrate Customers. Dairy Reporter.
https://www.dairyreporter.com/Article/2013/08/02/Fonterra-issues-botulism-warning-to-whey-protein-concentrate-customers
7. Hussain, M., & Dawson, C. (2013). Economic Impact of Food Safety Outbreaks on Food Businesses. Foods, 2(4), 585–589.
https://doi.org/10.3390/foods2040585
8. Martin, Andrew. (2008). Largest Recall of Ground Beef Is Ordered. The New York Times.
https://www.nytimes.com/2008/02/18/business/18recall.html

Anda mungkin juga menyukai