RESUME SEPUTAR INDONESIA RAPID ALERT SYSTEM FOR FOOD AND FEED
Latar Belakang dan Tujuan: Indonesia Rapid Alert System for Food and Feed (INRASFF)
merupakan salah satu alat dalam pengawasan pangan setelah dipasarkan. Terbentuk oleh inisiasi
BPOM pada tahun 2010, INRASFF merupakan bentuk komitmen Indonesia untuk memastikan pangan
yang bermutu dan aman bagi masyarakat. Akhirnya, INRASFF terbentuk berdasarkan Keputusan
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat No. 23 Tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Jejaring
Keamanan Pangan Nasional dan Keputusan Deputi Bidang Keamanan Pangan dan Berbahaya No.
HK.04.5.11.10.1106 tentang Sekretariat National Contact Point dalam rangka penerapan INRASFF.
INRASFF dibentuk untuk menciptakan sistem komunikasi cepat yang melibatkan instansi
terkait keamanan pangan di Indonesia. Penerapan INRASFF sebagai sistem early warning dapat
meningkatkan kewaspadaan terhadap kasus khusus keamanan pangan dan pakan. Selain itu, INRASFF
dapat memberikan penanggulangan terkait kasus tersebut.
Cara Kerja: INRASFF akan melakukan pengumpulan dan analisis data kasus keamanan
pangan melalui Competent Contact Point (CCP) INRASFF di dalam negeri dan internasional. Kasus
ini bisa merupakan temuan hasil pengawasan pangan rutin atau hasil kajian ilmiah di dalam dan diluar
negeri. CCP adalah sebuah unit yang merepresentasikan instansi terkait, yaitu Kementerian Pertanian,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, dan BPOM. Sedangkan CCP internasional
meliputi European Union RASFF, ASEAN RASFF, dan International Food Safety Authority Network
(INFOSAN).
Penerapan RASFF di Indonesia saat ini menggunakan sistem email based (inrasff@pom.go.id)
dan web based (inrasff.pom.go.id) untuk informasi dan notifikasi kepada CCP di instansi terkait.
Notifikasi diterbitkan jika terdapat kasus keamanan pangan baik di wilayah perbatasan antar negara,
maupun di market. Klasifikasi notifikasi yang ada pada INRASFF meliputi: penolakan di perbatasan
(border rejection), waspada (alert), informasi (information) dan berita (news). Pertukaran informasi
dalam INRASFF dilakukan melalui penerbitan, penyampaian, serta tindak lanjut terhadap notifikasi
keamanan pangan.
Program Kerja: Program kerja INRASFF adalah meningkatkan sistem alat penelusuran
kasus, manajemen penanggulangan kewaspadaan pangan, dan kemampuan laboratorium pengujian
keamanan pangan di Indonesia. INRASFF membuat laporan monitoring kegiatan, laporan hasil
pengujian laboratorium, laporan rencana monitoring, laporan keamanan pangan di Indonesia, laporan
INRASF Contact Point, database dari INRASF, dan laporan pelaksanaan pelatihan untuk
memverifikasi keberhasilan program-program kerja tersebut.
Peningkatan kapasitas dan integritas sumber daya manusia untuk mendukung penerapan
INRASFF terus dilakukan dan menjadi prioritas dengan memberi pelatihan penggunaan aplikasi
INRASFF dan sistem informasi INRASFF kepada operator CCP di instansi terkait. Dalam rangka
penguatan jejaring INRASFF, dilakukan INRASFF Working Group, pertemuan tingkat ASEAN terkait
penyusunan ASEAN Guidelines on Food and Feed Traceability dan ASEAN Capacity Building on
Rapid Response in Food Safety Issues and Crisis, serta pertemuan lintas sektor tingkat nasional untuk
membahas rencana nasional tanggap darurat keamanan pangan. (Sumber: https://inrasff.pom.go.id/)
Oleh: Emerald Falah Brayoga (236100100111012)
susu bayi dan sports drink oleh sejumlah perusahaan besar, seperti Danone (Paris, Perancis).
Meskipun Fonterra segera menghubungi para customernya dan tidak ada korban jiwa, perusahaan
memperkirakan telah mengalami kerugian lebih dari $60 juta (570 milyar rupiah) dalam beberapa jam
setelah pengumuman potensi kontaminasi pada produknya(7).
Contoh kasus kerugian industri besar seperti Westland/Hallmark Meat Packing Company
(Chino, California) pada tahun 2008 telah menjadi insiden penarikan daging sapi terbesar di Amerika
Serikat(7). Hal tersebut dikarenakan munculnya video para pekerja menendang sapi yang sakit dan
menggunakan forklift untuk memaksa mereka berjalan. Video tersebut menimbulkan pertanyaan
mengenai keamanan dagingnya, karena sapi yang tidak bisa berjalan, yang disebut sapi downer,
mempunyai risiko tambahan terkena penyakit sapi gila. Selain itu, pemerintah telah melarang sapi
dengan sindrom downer dari pasokan makanan. Atas permintaan FDA, Westland/Hallmark harus
menarik kembali lebih dari 143 juta pon daging sapi. Biaya penarikan kembali yang ditanggung
perusahaan adalah lebih dari $117 juta (1,8 triliun rupiah). Pada November 2012, Westland/Hallmark
membayar $500 juta (7,8 triliun rupiah) kepada sejumlah pelanggan yang terkena dampak dan
pemerintah. Namun, sebelum membayar, perusahaan tersebut dinyatakan pailit(8). Tingginya kerugian
ekonomi akibat potensi wabah penyakit dari pangan menunjukkan perlunya upaya tambahan dan
serius untuk mengendalikan seluruh aspek keamanan pangan.
Kesimpulan: Foodborne outbreaks yang diakibatkan oleh industri pangan menyebabkan
kerugian bagi konsumen dan perusahan itu sendiri. Kerugian yang dialami industri pangan bisa
mencapai ratusan miliar rupiah, hingga menyebabkan pailit. Hal tersebut karena tuntutan hukum atas
ganti rugi pada konsumen yang terancam nyawanya dan regulasi badan pengawas nasional untuk
menarik produk di pasaran. Penerapan sistem produksi yang sesuai standar dan regulasi pemerintah
merupakan solusi untuk menjaga mutu dan keamanan pangan, sekaligus mempertahankan
kelangsungan perusahaan.
Referensi:
1. Zhang, Y., Simpson, R., Sallade, L., Sanchez, E., Monahan, K., & Naumova, E. (2022). Evaluating Completeness of Foodborne Outbreak
Reporting in the United States, 1998–2019. International Journal of Environmental Research and Public Health, 19(5), 2898.
https://doi.org/10.3390/ijerph19052898
2. Warmate, D., & Onarinde, B. A. (2023). Food safety incidents in the red meat industry: A review of foodborne disease outbreaks linked to
the consumption of red meat and its products, 1991 to 2021. International Journal of Food Microbiology, 398, 110240.
https://doi.org/10.1016/j.ijfoodmicro.2023.110240
3. Holland, D., Clifford, R., Mahmoudzadeh, N., O’Brien, S., Poppy, G., Meredith, Z., & Grantham-Hill, H. (2023). Can foodborne illness
estimates from different countries be legitimately compared?: case study of rates in the UK compared with Australia, Canada and USA.
BMJ Open Gastroenterology, 10(1), e001009. https://doi.org/10.1136/bmjgast-2022-001009
4. Forde, Michael. (2019). Food Poisoning Lawsuits Total $6 Million in Nashville Case. Burn & Wilcox.
https://www.burnsandwilcox.com/insights/food-poisoning-lawsuits-total-6-million-in-nashville-case/
5. Office of Public Affairs. (2020). Chipotle Mexican Grill Agrees to Pay $25 Million Fine and Enter a Deferred Prosecution Agreement to
Resolve Charges Related to Foodborne Illness Outbreaks. U.S Department of Justice.
https://www.justice.gov/opa/pr/chipotle-mexican-grill-agrees-pay-25-million-fine-and-enter-deferred-prosecution-agreement
6. Astley, Mark. (2013). Fonterra Issues Botulism Waring to When Protein Concentrate Customers. Dairy Reporter.
https://www.dairyreporter.com/Article/2013/08/02/Fonterra-issues-botulism-warning-to-whey-protein-concentrate-customers
7. Hussain, M., & Dawson, C. (2013). Economic Impact of Food Safety Outbreaks on Food Businesses. Foods, 2(4), 585–589.
https://doi.org/10.3390/foods2040585
8. Martin, Andrew. (2008). Largest Recall of Ground Beef Is Ordered. The New York Times.
https://www.nytimes.com/2008/02/18/business/18recall.html