Anda di halaman 1dari 7

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN KEAGAMAAN

Secara harfiah ada perbedaan antara kata “gerak, “gerakan”, maupu


“pergerakan”. Gerak adalah perubahan sesuatu materi dari tempat yang satu ke tempat
lainnya, gerakan adalah perbuatan atau keadaan bergerak, sedangkan pergerakan adalah
usaha atau kegiatan. Pergerakan identik dengan kegiatan dalam ranah sosial. Dengan
demikian, kata gerakan atau pergerakan mengandung arti, unsur, dan esensi yang
dinamis tidak statis. Muhammadiyah merupakan organisasi pergerakan. Kader
muhammadiyah di tuntut untuk selalu bergerak dalam menyebar syariat islam yang
terinspirasi dari surat Al-Imran ayat 104. Apabila kader Muhammadiyah bergerak tidak
dinamis dan cenderung statis maka yang terjadi adalah kader tersebut belum khattam
secara ideologis dan belum menjiwai nilai-nilai dalam Muhammadiyah. Sesuai dengan
Pokok Pikiran Keenam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, ada tiga pokok
hal yang membedakan gerakan sosial Muhammadiyah dengan yang lainnya, dimana
secara garis besar tersirat bahwa Muhammadiyah adalah gerakan dakwah islam, amar
ma’rut nahi munkar dan tadjid yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Disinilah
pentingnya dalam memahami kembali hakikat/identitas Muhammadiyah agar tidak
salah kaprah dalam membawa gerakan Islam yang didirikan oleh Kyai Ahmad Dahlan
tersebut.

Makna kehadiran muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan

K.H. Ahmad Dahlan mempunyai pendapat, Islam yang masuk di Indonesia


sangat berbeda bahkan dianggap bertentangan dengan Islam yang dipahaminya .Agama
islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah melalui para Nabi utusann-Nya. Jadi
semua agama yang dibawa oleh Nabi Utusan Allah itulah disebut Agama Islam. Adapun
agama Islam yang berlaku sekarang ini adalah agama yang dibawa oleh utusan terakhir
yang menyempurnakan agama Islam yang dibawa oleh Nabi dan Utusan Allah yang
dahulu. Nabi Muhammad merupakan Nabi yang terakhir. Wujud agama Islam
seluruhnya adalah berupa wahyu syari’at Allah. Dalam teori perubahan sosial (sosial
movement theory) sebuah pergerakan atau gerakan selalu lahir memiliki makna
“perubahan/change”, yakni kehadirannya untuk melakukan perubahan tertentu baik
yang evolusiner maupun revolusioner. Gerakan sosial kemasyarakatan adalah suatu
bentuk kolektif berkelanjutan yang mendorong atau menghambat perubahan dalam
masyarakat atau organisasi yang merupakan bagian dari masyarakat tersebut (Turner
dan Killian, 2000). Menurut David A. Locher (2000) terdapat tiga hal yang
membedakan gerakan sosial (sosial movement) dari bentuk perilaku kolektif lainnya,
yaitu: (1) Organized, bahwa gerakan sosial itu terorganisasi, sedangkan kebanyakan
perilaku kolektif tidak terorganisasi baik pemimpin, pengikut, maupun proses
pergerakannya; (2) Delibrate, gerakan sosial itu direncanakan dengan penuh
pertimbangan dan perencanaan; (3) Enduring, gerakan sosial itu keberadaanya untuk
jangka waktu yang panjang hingga beberapa decade. Artinya sebuah gerakan sosial,
terlebih gerakan keagamaan memiliki karakter yang kuat untuk bergerak secara
terorganisir, terencana dan berkelanjutan sehingga tidak mudah tertelan zaman maupun
badai tantangan zaman berikutnya.

Dalam bangsa Indonesia terdapat berbagai gerakan keagamaan (Islam) seperti


yang di lakukan oleh petani Banten tahun 1988 yang sempat menimbulkan kecemasan
pemerintah Kolonial Belanda sebagaimana di teliti oleh Sartono Kartodirjo, merupakan
contoh dari gerakan militan walaupun berumur singkat. Di abad ke-20 muncullah
Muhammadiyah. Kebangkitan atau lahirnya Muhammadiyah merupakan bentuk dari
revitalisasi Islam Indonesia untuk perubahan yang bercorak pembaharuan yang disebut
“revitalisme, “moderenisme” dan “reformisme”. Semangat dasarnya adalah pergerakan
untuk perubahan.

Muhammadiyah bukanlah gerakan sosial-keagamaan yang biasa, tetapi


sebagai gerakan islam. Selain terkena hukum pergerakan, Muhammadiyah dalam
gerakannya terkait dengan islam. Bergerak bukan asal bergerak, harus dilandasi,
dibingkai, dan di arahkan dengan Islam. Islam bukan sebagai asas formal (teks), tetapi
menjiwai, melandasi, mendasari, mengkerangkai, memengaruhi, menggerakan dan
menjadi pusat orientasi dan tujuan. Bukan sekadar islam KTP, slogan dan simbolik
belaka. Itulah Islam yang berkemajuan sebagaimana yang menjadi semangat dasar
gerakan Muhammadiyah dalam mengarungi perjalanan zaman. Segolongan pelaku
gerakan dakwah wajib untuk berorganisasi dan terorganisir agar memiliki power yang
lebih dalam menyebar nilai-nilai ke islaman yang bersumber dari Al- Qur’an dan Al-
Hadist.
Para pendahulu Muhammadiyah memaknainya dengan kaidah fiqhiyah “ma
layatim al-wajib Illa bihi da huma wajib”. Artinya organisasi itu menjadi wajib adanya
karena keniscayaan dakwah memerlukan alat organisasi tersebut. Sisi lain, tujuan
Muhammadiyah adalah untuk mencetak ummat terbaik atau ummat yang unggul.
Sebagaimana pokok pikiran keenam Anggaran Dasar Muhammadiyah disebutkan,
bahwa “organisasi adalah satu-satunya alat atau cara perjuangan yang sebaik-baiknya”.
dapat disimpulkan bahwa makna atau urgensi kehadiran Muhammadiyah sebagai
gerakan keagamaan adalah sebagai berikut :

1) Muhammadiyah hadir membawa semangat pemurnian agama (purifikasi) dari


unsur-unsur sinkritis, membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan
yang bukan Islam. Semangat untuk kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan
mengejawantahkan peran khairu ummah (orang-orang terpilih) untuk ta’muruna bi-al-
ma’ruf wa tanhauna an al-munkar. Istilah khairu ummah, yang dalam tafsir al-Maraghi
dimaknai sebagai para mujahid pilihan. Seperti diketahui bahwa, model keislaman di
Indonesia, tidak lepas dari kuatnya pengaruh tradisi, budaya maupun kepercayaan
terdahulu yang dianut masyarakat, lebih khusus lagi di Jawa, ritual-ritual seperti,
nyadran, larung, selamatan kematian, sekatenan, ruwat, berkah bumi dan lain-lain,
begitu kuat mentradisi, hampir di setiap kampung dan desa. Ritual-ritual yang berbau
animisme, dinamisme atau keyakinan hinduistik, boleh jadi sebelumnya sekedar
dijadikan instrument dakwah oleh penebar Islam awal, namun karena begitu kuatnya
tarikan tradisi tersebut ditopang pula dengan pola kehidupan masyarakat yang agraris,
ritual-ritual tersebut kemudian menjadi bagian dari tradisi masyarakat Islam. Kehadiran
Muhammadiyah ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam
bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah,
membersihkan kepercayaan dari khurafat. Dalam hal ini, gerakan Muhammadiyah
merupakan satu sikap yang berani dan penuh militansi dalam mewujudkan ide-ide
perubahan dan melawan arus keumuman ketika itu.

2) Muhammadiyah hadir membawa semangat pembaharuan dan terbukanya pintu


ijtihad (bidang pemahaman ajaran Islam), serta membangkitkan semangat izzul Islam
wa al-muslimin., Ahmad Dahlan melihat adanya kelesuan dan realitas keagamaan yang
mandul pada masanya, Islam sebagai agama terkesan tidak fungsional, hakikat Islam
yang “shalih li kulli zaman wa makan” (memberi efek kemulyaan di setiap waktu dan
tempat) seolah-olah paradok dengan realitas kehidupan ummat. Kemiskinan, kebodohan
dan keterbelakangan, adalah gambaran nyata mayoritas ummat ketika itu, keterpurukan
ini adalah dampak dari lamanya penjajahan. Selain itu dalam menjalankan perintah-
perintah agama, ummat Islam terjebak dalam taqlid buta dan pemujaan yang berlebihan
terhadap kyai dan tokoh agama. K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923), sekalipun lahir di
lingkungan kultur Jawa Kraton yang kental, berkat pergaulannya dengan berbagai
kalangan dan pergulatan batinnya yang sangat intens dengan situasi Islam yang sedang
jatuh. Ahmad Dahlan dengan membuat organisasi Muhammadiyah berupaya
membangunkan ummat dengan memberikan pencerahan, semangat pembaharuan,
dengan jargon tajdid, dalam arti membuka pintu ijtihad, pada waktu yang sama juga
mengibarkan panji-panji non madzhab dalam paham agama, pada saat orang bersikukuh
dengan madzhab. Gebrakan semacam ini sudah tentu mengundang reaksi keras dari
berbagai pihak, tapi Muhammadiyah tidak pernah goyah, meski dilawan atau dicaci,
namun anehnya secara diam-diam diikuti. Pada akhir abad ke-20, tampaknya apa yang
dirintis Muhammadiyah sudah menjadi milik umum diakui atau tidak.

3) kehadiran Muhammadiyah mendorong ummat menuju gerakan amal nyata,


Ahmad Dahlan memahami bahwa konsep-konsep ideal al-Qur’an tidak akan berarti dan
bermakna, jika konsep-konsep tersebut tidak dimanifestasikan dalam realitas kehidupan,
seperti konsep peduli kemiskinan, perlindungan anak yatim, dan keperpihakan pada
kaum mustadh’afin. Pola kajian surat al-Ma’un yang diajarkan memberikan gambaran
bagaimana espektasi beliau kepada murid-muridnya agar pemahaman mereka terhadap
al-Qur’an berimplikasi kepada sikap nyata. Dengan konsep teologi al-Ma’un,
Muhammadiyah hadir mempelopori semangat dakwah bilhal, yang kemudian,
diwujudkan dengan membuat lembaga-lembaga sosial, seperti membuat panti asuhan,
rumah sakit, juga menata pola baru pengelolaan zakat dan lain-lain. Sikap dan pola
dakwah bil hal, dari intepretasi menuju aksi, adalah ruh gerakan Muhammadiyah yang
sesungguhnya.

4) reformulasi pola pendidikan Islam yang tradisional dan agama ansich, menuju
pendidikan yang seiring dengan misi khalifah. Ketika terjadi dikhotomi pendidikan, satu
sisi model pendidikan umum yang hanya berorientasi duniawi, yang dimotori oleh
lembaga pendidikan kolonial Belanda dan beberapa golongan ningrat, dengan sistem
dan sarana prasarana modern, sementara di sisi lain model pendidikan Islam
(pesantren) dengan materi ajarnya hanya berkutat pada masalah-masalah agama dalam
arti sempit (terbatas pada bidang fiqih agama: bahasa Arab, terjemah dan tafsir, hadis,
tasawuf /akhlak, aqaid, ilmu mantiq dan ilmu falaq), dengan sistem dan prasarana
tradisional. Muhammadiyah lahir menjembatani dikhotomi tersebut, upaya yang
dilakukan Ahmad Dahlan dengan bergabung menjadi guru agama di Kweek school (
yang dulu disebut Sekolah Raja) di Jetis Yogyakarta, adalah bukti bahwa beliau ingin
memasukkan materi keagamaan pada sekolah umum. Di samping itu, beliau juga
membuat sekolah Ibtidaiyah Dienul Islam di rumah beliau. Ibtidaiyah Dienul Islam
adalah sekolah yang berbasis agama tetapi muatan ajarnya tidak hanya terbatas masalah
agama, akan tetapi ditambah dengan materi-materi umum, model pendidikan dan
sarana-prasarana meniru kweek school. Apa yang dilakukan Ahmad Dahlan dengan
terobosan-terobosannya tersebut mengundang banyak dikritik dan cemoohan dari ulama
dan kyai ketika itu, sehingga sebagai akibat dari tindakan-tindakannya beliau kemudian
dituduh kyai kafir.

5) kehadiran Muhammadiyah juga peduli dalam memblok umat Islam agar tidak
menjadi korban misi Zending Kristen. Kyai Dahlan dengan cara yang cerdas dan elegan
mengajak diskusi dan debat secara langsung dan terbuka dengan sejumlah pendeta di
sekitar Yogyakarta. Dengan pemahaman adanya kemiripan selain perbedaan antara Al-
Quran sebagai Kitab Suci umat Islam dengan kitab-kitab suci sebelumnya, Kyai Dahlan
menganjurkan atau mendorong ”umat Islam untuk mengkaji semua agama secara
rasional untuk menemukan kebenaran yang inheren dalam ajaran-ajarannya”, sehingga
Kyai pendiri Muhammadiyah ini misalnya beranggapan bahwa diskusi-diskusi tentang
Kristen boleh dilakukan di masjid. Dari jalinan persahabatan Ahmad Dahlan dengan
para pendeta menunjukkan sikap toleran beliau terhadap agama Kristen. Hal ini
dilakukan Ahmad Dahlan dengan tujuan selain mengkondusifkan suasana eksternal
Muhammadiyah, beliau juga tidak segan-segan belajar dan meniru sistem sekolah dan
kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh misionaris Kristen.
Modal Gerakan Keagamaan Muhammadiyah

Muhamadiyah sebenarnya telah menggagas tentang penguatan basis gerakan


sejak awal berdirinya, bahkan dalam Muktamar tahun 1970-an telah diputuskan untuk
menggalang jama’ah dan dakwah jamaah (GJDJ). Hanya saja gagasan tersebut belum
maksimal diimplemetasikan dalam aktivisme organisasi. Dalam konstitusi
Muhammadiyah terdapat tiga model gerakan Muhammadiyah ; pertama,
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, kedua, sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf
nahi munkar, dan ketiga, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Fokus kajian dalam
makalah ini pada kajian yang pertama yaitu Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.

Kesadaran yang sama muncul pada Muktamar ke 46 Yogyakarta dengan


adanya program revitalisasi cabang dan ranting serta pembentukan Lembaga
Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) sebagai respons atas kondisi global dan
tantangan yang dihadapi. Kesadaran untuk memperhatikan masyarakat di akar rumput
merupakan kelanjutan dari spirit perubahan formasi sosial dengan terlibat dalam
penguatan kesadaran sosial, politik, ekoomi dan ideology yang kini terkooptasi oleh
kecenderungan kapitalistik, birokratisasi, politisasi yang berlangsung secara massif
pasca Orde Baru. Beberapa dekade yang lalu, telah di rumuskan pembinaan Jamaah,
keluarga sakinah, dan qaryah thoyyibah untuk memperkuat basis.

1. Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah (GDJD)

Esensi GDJD adalah penguatan kesadaran jamaah dan kepedulian mereka


terhadap lingkungan sosialnya. Definisi sederhana tentang jamaah adalah kumpulan
keluarga muslim yang berada dalam suatu lingkungan tempat tinggal. Ajakan warga
aktif merupakan landasan gerakan Muhammadiyah yang menuntut adanya komunitas
yang solid dan terorganisir untuk memperjuangkan tegaknya kebaikan menentang
segala macam keburukan. Orientasi dari gerakan ini adalah membangun basis
kehidupan dakwah bil halal di bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan kesehatan. KH.
Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dan beberapa sahabatnya sangat peduli
terhadap pembinaan jamaah. Beliau melakukan perjalanan keliling Jawa untuk
melakukan pembinaan hingga ke Banyuwangi, Jakarta dan Jawa Tengah. Itu artinya,
penguatan jamaah sudah menjadi platform dari berdiri dan pengembangan gerakan
Muhamaadiyah.

2. Langkah Penguatan Jama’ah

Langkah pemberdayaan melalui penguatan institusi cabang dan ranting akan


memberi kontribusi bagi penguatan kohesi sosial/solidaritas antar warga di tengah
meluasnya faham-faham radikal yang cenderung anarkis belakangan ini. Ledakan bom
di Pesantren Umar Bin Khattab Bima NTB bisa menjadi bukti betapa rapuhnya kohesi
sosial warga, suatu komunitas kecil dan pinggiran semacam Bima itu, bisa lahir suatu
tindakan kekerasan. Memperkuat kembali identitas lokal melalui gerakan jamaah dapat
dipandang dalam kerangka penguatan potensi dan basis gerakan untuk digerakkan
kepada hal-hal yang produktif.

Langkah yang dapat dilakukan untuk menggiatkan cabang dan ranting


Muhammadiyah melalui gerakan jamaah dan dakwah jamaah; 1). Melakukan assesment
awal mengenai kehidupan keagamaan di desa atau komunitas atau ranting; 2).
Memantapkan konsep dakwah jamaah yang akan dipergunakan agar sesuai dengan
kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat basis; 3). Melakukan sosialisasi dan
pelatihan bagi para fasilitator yang akan menggerakkan cabang dan ranting; 5).
Melakukan pendampingan dakwah jamaah; 6). Memantapkan organisasi gerakan di akar
rumput (pimpinan ranting) sebagai ujung tombak gerakan dakwah jamaah. Untuk
mensinergikan langkah-langkah diatas, diperlukan adanya keterlibatan berbagai
lembaga amal Muhammadiyah seperti sekolah, rumah sakit ataupun masjid yang
tumbuh begitu cepat di berbagai daerah di Indonesia. Pelibatan lembaga amal itu dalam
mempercepat proses pengembangan cabang dan ranting sebagai sentral untuk
mengembangkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang bercorak community based¸
tidak hanya memperkuat infrastruktur Muhammadiyah, tetapi juga memperkuat
infrastruktur masyarakat sehingga terbentuk masyarakat khairah ummah sebagaimana
cita-cita Muhammadiyah.

Anda mungkin juga menyukai