Oleh
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
A. Dapat mengetahui Tajdid dalam Muhammadiyah.
B. Dapat mengetahui contoh Tajdid dalam Muhammadiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
MAKALAH AIK
Makalah kelompok ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah AIK 3
Dosen :
Di Susun oleh :
Ulfa Nurajizah
1431011004
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
2015-2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam yang
Berwatak Tajdid dan tarjih yang dibimbing oleh bapak H.Entis sutisna m.Ag
Makalah yang ditulis penulis ini berbicara mengenai Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam
yang Berwatak Tajdid dan tajdid, Penulis menuliskannya dengan mengambil dari beberapa sumber
baik dari buku maupun dari internet dan membuat gagasan dari beberapa sumber yang ada tersebut.
Penulis berterima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu penulis dalam
penyelesaian makalah ini. Hingga tersusun makalah yang sampai dihadapan pembaca pada saat ini.
Penulis juga menyadari bahwa makalah yang penulis tulis ini masih banyak kekurangan.
Karena itu sangat diharapkan bagi pembaca untuk menyampaikan saran atau kritik yang membangun
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………i
Daftar Isi………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………………………......1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………….........1
C. Tujuan……………………………………………………………………........1
D. Mamfaat.............................................................................................................1
BAB II ISI
A. Kesimpulan……………………………………………………………….13
B. Saran...........................................................................................................13
Daftar Pustaka……………………………………………………………………..14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Modernitas muhammadiyah lahir sebagai respon atas sejarah, pukan spontanitas. Ketika rakyat
tenggelam dalam kemiskinan dan kebodohan semasa rezim kolonial, muhammadiyah lahir dengan
banyak respon; pendidikan modern dan mengembangkan spirit PKO ( Pertolongan Kesengsaraan
Oemoem) ketika massyarakat teklena dalam tradisional dan pencampuradukan ajaran agama,
muhammadiyah memberikan wacana dan spirit baru, tajdid dan purifikasi.
Muhammadiyah sebagai gerakan islam merumuskan gerakan pembaharuannya dalam bentuk
purifikasi dan dinamisasi. Purifikasi didasarkan pada sumsi bahwa kemunduran umat islam terjadi
karena umat islam tidak mengembangkan aqidah islam yang benar, sehingga harus dilakukan
purifikasi dalam bidang aqidah-ibadah dengan teori “ segala sesuatu dalam ibadah madlah
dilaksanakan bila ada perintah dalam Al-Qur’an dan Hadist” sedangkan dinamisasi dilakukan dalam
bidang muamalah, dengan melakukan gerakan modernisasi sesuai dengan teori “ segala sesuatu
boleh dikerjakan selama tak ada larangan dala Al-qur’an dan Hadist”.
Muhammadiyah dalam gerakan pembaharuannya di lakukan bersamaan antara gerakan
purifikasi dengan gerakan muamalah. Purifikasi dalam bidang aqidah yang dilakukan oleh
muhammadiyah adalah aqidah yang memiliki keterkaitan dengan aspek sosial kemasyarakatan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian tajdid dan tajrid ?
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah
Mampu menjelaskan pengertian tajrid dan tajdid
D. Manfaat
Adapun yang manfaat dari makalah ini yaitu memberikan penjelasan kepada mahasiswa mengenai,
tajrid dan tajdid,model tajrid dan tajdid Muhammadiyha,model dan makna gerakan keagamaan
Muhammadiyah, Mampu menjelaskan gerakan tajdid pada 100 tahun kedua
BAB II
ISI
A. Pengertian Tajdid dan Trajih
1. Pengertian Tajdid
Istilah tajdid berasal dari bahasa Arab yaitu jaddada, yang berarti memperbaharui atau
menjadikan baru. Dalam kamus Bahasa Indonesia tajdid berarti pembaruan, modernisasi atau
restorasi.
Secara bahasa (etimologi) tajdid memiliki makna pembaharuan dan pelakunya disebut
mujaddid (pembaharu). Sedangkan dalam pengertian istilah (terminology), tajdid berarti
pembaharuan terhadap kehidupan keagamaan, baik dalam bentuk pemikiran ataupun gerakan,
sebagai respon atau reaksi atas tantangan baik internal maupun eksternal yang menyangkut
keyakinan dan sosial umat (Ibnu Salim dkk: 1998:1).
Dalam konteks Muhammadiyah, tajdid bertujuan untuk menghidupkan kembali ajaran al-
Qur'an dan Sunnah dan memerintahkan kaum muslimin untuk kembali kepadanya. Adapun yang
masih merupakan rumpun tajdid dalam perspektif Muhammadiyah adalah seperti diurakan oleh
beberapa tokoh Muhammadiyah sebagai berikut: Pertama, K.H. Azhar basyir menyebutkan bahwa
Muhammadiyah bertujuan memurnikan ajaran al-Qur'an dan Sunnah dari praktek-praktek takhayul,
bid’ah dan khurafat yang dianggap syirik.
Dengan kata lain, Muhammadiyah berkepentingan mengusung Islam murni (Lihat Azhar
Basyir: 1993: 255-257). Kedua Syafi’i Ma’arif menyebutkan bahwa Muhammadiyah mentahbihkan
dirinya sebagai gerakan non-mazhab, dinamisasi di tengah-tengah arus utama umat Islam yang
terkungkung dalam belenggu mazhab (Syafi’i Ma’arif 1997: 133). Dan Ketiga, K. H. Suja inti dari
pendirian Muhammadiyah sebagai jawaban terhadap surat al-Maun yang dikaitkan dengan
pembebasan kaum tertindas. (Q.S. Al-Anfal: 24) (Sukrianto AR 1990: 43)
Apa yang dimaksud dengan tajdîd dalam Muhammadiyah dan bagaimana perkembangannya
selama satu abad pertama? Kedua persoalan ini perlu dianalisis berdasarkan periodesasi dan kurun
waktu yang telah ada. Secara garis besar, perkembangan tajdid dalam Muhammadiyah dapat
dibedakan menjadi tiga pase, yakni pase aksi-reaksi, konsepsionalisasi dan pase rekonstruksi. Ketika
Muhammadiyah didirikan, para tokoh Muhammadiyah, termasuk K.H. Ahmad Dahlan, belum
memikirkan landasan konseosional dan teoritis tentang apa yang akan dilakukannya. Yang terjadi
adalah, upaya mereka untuk secara praktis dan pragmatis menyebarkan ajaran Islam yang baik dan
benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Konsentrasi mereka difokuskan pada bagaimana praktek
keagamaan yang dilakukan masyarakat waktu itu disesuaikan dengan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah di satu sisi, tapi juga memperhatikan tradisi agama lain, khususnya kristen, yang kebetulan
disebarkan oleh penjajah negeri iniAdapun rumusan tajdîd yang resmi dari Muhammadiyah itu
adalah sebagai berikut:
Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdîd memiliki dua arti,
yakni: a. pemurnian; b. peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang
berdasarkan dan bersumber kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shohihah. Dalam arti
“peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan
sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh
kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah.
Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi
akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Menurut
Persyarikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
Yang diperbaharui adalah hasil pemikiran atau pendapat, dan bukan memperbarui atau
mengubah apa yang terdapat dalam al-Qur”an maupun al-Hadis. Dengan kata lain, yang diubah atau
diperbarui adalah hasil pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Hadis tersebut.
2. Pengertian Tarjih
Tarjih berasal dari kata “ rojjaha – yurajjihu- tarjihan “, yang berarti mengambil sesuatu yang
lebih kuat. menurut istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk
mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang saling bertentangan , karena mempunyai
kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya “
Tarjih dalam istilah persyarikatan ,sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai “ Matan
Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah “ adalah membanding-banding pendapat dalam
musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat .
Tarjih secara etimologi berarti menguatkan. Konsep tarjih muncul ketika terjadinya
pertentangan secara lahir antara satu satu dalil dengan dalil lainnya yang sederajat dan tidak bisa
diselesaikan dengan cara al –jam’u wat taufiq. Dalil yang dikuatkan disebut rajih, sedangkan dalil
yang dilemahkan disebut dengan marjuh..
Dari pengertian di atas maka unsur-unsur yang ada dalam tarjih adalah :
b. Adanya sesuatu yang menjadikan salah satu itu lebih utama dari yang lain.
Tarjih bergerak dalam bidang pemurnian atau purifikasi. Sedangkan, tajdid adalah reform
atau pembaruan. Keduanya (tarjih dan tajdid), ibarat dua sisi mata uang yang saling membutuhkan
dan tak mungkin dipisahkan.Jika dilihat secara umum, tarjih lebih bersifat masa lampau, sedangkan
tajdid untuk masa depan.
Ketiga; tajdid Muhammadiyah sangat fungsional dan selaras dengan cita-cita Muhammadiyah
untuk menjadikan Islam itu, sebagai agama yang berkemajuan, juga Islam yang berkebajikan yang
senantiasa hadir sebagai pemecah masalah-masalah (problem solv), temasuk masalah
kesehatan,pendidikan, dan masalah sosial ekonomi.
1) Bidang keagamaan
Pembaharuan dalam bidang keagamaan adalah penemuan kembali ajaran atau prinsip dasar
yang berlaku abadi, yang karena waktu lingkungan situasi dan kondisi mungkin menyebabkan dasar-
dasar tersebut kurang jelas dan tertutup oleh kebiasan dan pemikiran tambahan lain.
Pembaharuan dalam bidang kaagamaan adalah memurnikan kembali atau mengembalikan kepada
aslinya, oleh karena itu dalam pelaksanaan agama baik yang menyangkut akidah atau pun ibadah
harus sesuai dengan aslinya, yang sebagai mana diperintahkan dalam Al-Qur’an dan as sunah.
Dalam masalah akidah muhammadiyah bekerja untuk tegaknya akidah islam yang murni,
bersih dari gejala kemusyrikan, bid’ah dan curafat tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut
islam. Sedangkan dalam ibadah, muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah tersebut
sebagaimana yang dituntunkan Rasullah tanpa perubahan dan tambahan dari manusia. Usaha
permurnian yang dilakukan muhamaadiyah terhadap keadaan keagamaan yang tampak dari serapan
berbagai unsur kebudayaan yang ada di indonesia yaitu
Penentuan arah kiblat dalam sholat, yang sebelumnya mengarah tepat ke arah barat.
2. Bidang pendidikan
a. Segi cita-cita
Dari segi ini ingin membentuk manusia muslim yang baik budi, alim dalam agama, luas dalam
pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, dan bersidia berjuang untuk kemajuan
masyarakatnya.
Dari segi ini lebih banyak berhubungan dengan cara penyelenggaraan pengajaran. Dengan
mengambil unsur-unsur yang baik dari sistem pendidikan barat dan sistem pendidikan tradisonal,
muhammadiyah berhasil membangun sistem pendidikan sendiri. Seperti sekolah model barat yang
dimasukkan pelajaran agama didalamnya, sekolah agama dengan menyertakan perlajaran umum.
Begitupula muhammadiyah telah mewujudkan bidang bimbingaan dan penyuluhan agama dalam
masalah-masalah yang diperlukan dan mungkin bersifat pribadi.
Yang artinya
“ Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama, itulah orang yang menghardik anak yatim dan
tidak menganjurkan memberi makanan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang
shalat,(yaitu) orang yang lalai dari sholatnya, orang-orang berbuat riya dan enggan(menolong
dengan) barang berguna.”.
Al-tarjih baina al-nusush, atau menguatkan salah satu nash (ayat atau hadith)yang saling
bertentangan. Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang saling bertentangan, ada beberapa
cara yang dikemukakan para ulama usul fiqh, yaitu
Teks yang mengandung larangan diutamakan daripada teks yang mengandung perintah, karena
menolak kemudharatan lebih utama daripada mengambil manfaat.
Teks yang mangandung perintah didahulukan daripada teks yang mengandung kebolehan karena
melaksanakan perintah berarti sekaligus kebolehan sudah tercakup di dalamnya.
Makna hakikat suatu lafaz lebih didahulukan darpada makna majaz.
Dalil Khusus lebih didahulukan dari dalil umum.
Teks umum yang belum ditakhsis lebih didahulukan daripada teks umum yang telah ditakhsis.
c) Dari Segi Hukum atau Kandungan Hukum
Cara pentarjihan melalui metode ini, Imam al-Amidi mengemukakan ada 11 cara, sedangkan
Muhammad ibn Ali al-Syawkani menyederhanakannya menjadi 9 cara, di antaranya sebagai berikut:
Teks yang mengandung bahaya Jumhur lebih didahulukan dari teks yang membolehkan. Alasannya
hadith Rasulullah SAW:
Artinya: "Tidaklah berkumpul antara yang halal dengan yang haram, kecuali yang haram
lebih dominan". (HR. Al-Baihaqy).
Suatu teks yang mengandung hukum menetapkan, sedangkan yang lain meniadakan, maka dalam
hal seperti ini terjadi perbedaan pendapat ulama. Misalnya Ibn `Abbas meriwayatkan sebuah hadith
bahwa Rasulullah SAW mengawini Maimunah dalam keadaan ihram sebagaimana hadith berikut ini:
Artinya: " Sesungguhnya Nabi SAW mengawini Maimunah binti al-Harith sewaktu beliau
sedang ihram". (HR.Bukhari dan Muslim).
d) Pentarjihan dengan Menggunakan Faktor (dalil) Lain di Luar Nash (amr al-Kharij).
Al-Amidi mengemukakan lima belas cara pentarjihan dengan menggunakan faktor di luar
nash. Dan Imam al-Syawkani meringkasnya menjadi sepuluh cara, di antaranya:
Mendahulukan salah satu dalil yang mendapatkan dukungan dari dalil lain, baik dalil itu al-Qur`an,
Sunnah, ijma`, maupun logika.
Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli Madinah, karena mereka lebih
mengetahui persoalan turunnya al-Qur`an dan penafsirannya serta adanya anjuran Rasulullah SAW
untuk mengikuti mereka.
Mendahulukan nash yang menyebutkan `illat (motivasi) hukumnya daripada nash yang tidak
menyebutkan `illatnya.
Mendahulukan dalil yang mengandung kehati-hatian (ihtiyath) daripada dalil yang tidak
menyebutkan demikian.
Mendahulukan dalil yang dibarengi dengan perbuatan atau perkataan perawinya dari dalil yang tidak
demikian halnya.
Ta`arudh dengan segala macam cara penyelesaiannya tersebut di atas adalah bertentangan
antara dua dalil syara` yang berupa nash. Di samping itu ada ta`arudh yang terjadi antara dua dalil
syara` yang bukan nash yaitu ta`arudh antara qiyas dengan qiyas. Muhammad bin `Ali al-Syawkani
mengemukakan tujuh belas macam pentarjihan dalam persoalan qiyas yang saling bertentangan
(ta`arudh). Ketujuh belas macam pentarjihan tersebut dikelompokkan oleh Wahbah al-Zuhaily (guru
besar fikih Islam/usul Fiqh di Universitas Damaskus, Suriah) menjadi empat kelompok, yaitu
Seperti yang dituliskan di awal bahwa dalam konstitusi Muhammadiyah, terdapat tiga model
gerakan yang mewujud menjadi modal gerakan yaitu: Pertama: Muhammadiyah sebagai gerakan
Islam. Kedua: sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, dan ketiga: Muhammadiyah
sebagai gerakan tajdid.
Pada dasarnya, Muhamadiyah telah menggagas mengenai penguatan basis gerakan, sejak
awal berdirinya. Bahkan dalam Muktamar pada tahun 1970-an telah diputuskan untuk menggalang
jama’ah dan dakwah jamaah (GJDJ). Hanya saja, gagasan tersebut belum ter-implementasi secara
maksimal dalam aktivistas gerakan organisasi.
Kesadaran yang sama muncul pada Muktamar ke 46 Yogyakarta dengan adanya program
revitalisasi cabang dan ranting serta pembentukan Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting
(LPCR), sebagai respons atas kondisi global dan tantangan yang dihadapi.
Esensi GDJD adalah penguatan kesadaran jamaah dan kepedulian mereka terhadap
lingkungan sosialnya. Definisi sederhana tentang jamaah adalah kumpulan keluarga muslim yang
berada dalam suatu lingkungan tempat tinggal. Ajakan warga aktif merupakan landasan gerakan
Muhammadiyah yang menuntut adanya komunitas yang solid dan terorganisir untuk
memperjuangkan tegaknya kebaikan menentang segala macam keburukan. Orientasi dari gerakan ini
adalah membangun basis kehidupan dakwah bil halal di bidang pendidikan, sosial, ekonomi dan
kesehatan.
KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dan beberapa sahabatnya sangat peduli
terhadap pembinaan jamaah. Beliau melakukan perjalanan keliling Jawa untuk melakukan
pembinaan hingga ke Banyuwangi, Jakarta dan Jawa Tengah. Itu artinya, penguatan jamaah sudah
menjadi platform dari berdiri dan pengembangan gerakan Muhamaadiyah.
Langkah pemberdayaan melalui penguatan institusi cabang dan ranting akan memberi kontribusi
bagi penguatan kohesi sosial /solidaritas antar warga di tengah meluasnya paham-paham radikal
yang cenderung anarkis belakangan ini. Ledakan bom di Pesantren Umar Bin Khattab Bima NTB,
dapat menjadi bukti betapa rapuhnya kohesi sosial warga. Komunitas kecil jauh di Bima saja,
terdapat tindakan kekerasan terhadap ummat Islam. oleh karena itu, memperkuat kembali identitas
lokal melalui gerakan jamaah, dipandang perlu dalam kerangka penguatan potensi dan basis gerakan
untuk hal-hal yang produktif.
Langkah yang dapat dilakukan untuk menggiatkan cabang dan ranting Muhammadiyah melalui
gerakan jamaah dan dakwah jamaah antara lain:
Melakukan assesment awal mengenai kehidupan keagamaan di desa atau komunitas atau ranting
Memantapkan konsep dakwah jamaah yang akan dipergunakan agar sesuai dengan kondisi sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat basis
Melakukan sosialisasi dan pelatihan bagi para fasilitator yang akan menggerakkan cabang dan
ranting
Melakukan pendampingan dakwah jamaah
Memantapkan organisasi gerakan di akar rumput (pimpinan ranting) sebagai ujung tombak gerakan
dakwah jamaah
Secara harfiah ada perbedaan antara kata “gerak, “gerakan”, maupun “pergerakan”. Gerak
adalah perubahan sesuatu materi dari tempat yang satu ke tempat lainnya[2], gerakan adalah
perbuatan atau keadaan bergerak, sedangkan pergerakan adalah usaha atau kegiatan. Pergerakan
identik dengan kegiatan dalam ranah sosial. Dengan demikian, kata gerakan atau pergerakan
mengandung arti, unsur, dan esensi yang dinamis tidak statis.
Inilah Islam yang modern, Islam yang melintasi batas-batas kaku tradisional dan budaya,
Islam yang senantiasa melangkah maju ke depan. Sebagaimana semangat dasar gerakan
Muhammadiyah dalam menyebarkan panji-panji agama Islam dan menghadapi pergolakan arah
global dunia.
Oleh karena itu, aktor-aktor gerakan dakwah wajib masuk dalam lingkaran organisasi agar
dapat terorganisir dan memiliki power yang kuat. Sehingga, kelelahan dan keteteran dalam
menyebarkan nilai-nilai ke-Islam-an dapat teratasi sejak dini dan secara organisatoris. Dalam hal ini,
para pendahulu Muhammadiyah memaknainya dengan kaidah fiqhiyah “ma layatim al-wajib Illa bihi
da huma wajib.” Artinya: organisasi menjadi wajib adanya, karena keniscayaan dakwah memerlukan
perangkat-perangkat organisasi
Di sisi lain: Muhammadiyah bertujuan untuk mencetak ummat terbaik atau ummat yang
unggul. Sebagaimana pokok pikiran keenam Anggaran Dasar Muhammadiyah. Disebutkan bahwa:
“organisasi adalah satu-satunya alat atau cara perjuangan yang sebaik-baiknya.”
Tajdid merupakan proses yang tidak pernah berhenti. Ia akan tumbuh dan berkembang seiring
dengan perkembangan kehidupan manusia. Dalam ranah agama, tajdid dimaknai sebagai upaya
untuk redefinisi makna di tengah-tengah kehidupan manusia yang progresif Islam seringkali dimaknai
penganutnya sebagai agama yang “rahmatan lil alamin”, agama yang senantiasa sesuai di setiap
tempat dan zaman. Untuk mengejawantahkannya, seringkali dihadapkan pada dilema antara
normativitas teks dengan realitas sosial. Dalam menghadapi dilema ini, maka yang harus diubah
adalah cara pandang terhadap teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Amin Rais menyebut tajdid dilakukan
secara konprehensif yang mengarah kepada future oriented. (Amin Rais, Visi dan Misi
Muhammadiyah, 1998: 10).
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid menggunakan tiga paradigma dalam membaca teks
yakni bayani, burhani, dan irfani. Ketiga paradigma ini diharapkan mampu menjawab dilema antar
teks dan konteks sehingga menghasilkan Islam yang rahmatan lil alamin.
Pengetahuan dan peradaban manusia senantiasa berubah dan berkembang seiring dengan
perkembangan zaman. Sebagai bagian dari narasi besar ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu keislaman pun
mengalami pergeseran paradigmatik. Hal ini terjadi karena ilmu-ilmu yang lahir tidak lepas dari
bingkai sosial yang mengkonstruk realitas. Bingkai sosial inilah yang selalu mengalami perubahan
seiring dengan pperkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, pergeseran paradigma
merupakan tuntutan sejarah.
Perkembangan peradaban manusia kini sampai pada era pluralisme dan multikulturalisme.
Agama-agama yang selama ini mapan dengan dirinya, ternyata mengalami problematika ketika
berhadapan dengan realitas luar yang makin kompleks dan plural. Untuk itu, maka, harus ada
redefinisi terhadap makna dan orientasi agama, sehingga agama senantiasa relevan dengan
peradaban manusia.
Tantangan selanjutnya datang dari ranah budaya atau kultur sosial masyarakat lokal. Agama
sebagai sistem nilai, norma dan ajaran yang dominan, berhadapan dengan sistem nilai yang datang
dari tradisi atau adat masyarakat setempat. Sistem nilai itu lahir dari kearifan lokal yang secara turun
temurun dipegang oleh sebuah masyarakat sebagai suatu ajaran yang harus dijunjung tinggi.
Dialektika antara agama dan budaya (kearifan) lokal ini juga sering memicu ketegangan, konflik dan
perpecahan.
Muhammadiyah 100 tahun kedua, meninjau ulang paradigma yang selama ini dipegang
merupakan suatu keharusan. Misalnya, sikap Muhammadiyah terhadap persoalan budaya lebih
bersifat monolitik. Kecendrungan ini bisa dilihat dari identitas yang melekat dalam Muhammadiyah
yakni gerakan Islam yang murni, di samping sebagai gerakan modernisme.
Muhammadiyah 100 tahun kedua, diharapkan mampu melangkah dengan pandangan dan
strategi yang lebih tepat sasaran dan mencapai keberhasilan dalam mewujudkan visi dan tujuannya,
baik tujuan jangka menengah dan jangka panjang, maupun tujuan ideal yakni terbentuknya
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Untuk mencapai tujuan yang ideal ini, diperlukan transformasi baru dalam aktualisasi gerakannya
di berbagai bidang kehidupan. Disinilah pentingnya aktualisasi ideologi medernisme-reformasi Islam
dalam gerakan dakwah dan tajdid gelombang kedua yang diperlukan Muhammadiyah. melalui
potensi dan modal sebagai gerakan pencerahan, Muhammadiyah diharapkan terus berkiprah untuk
pencerahan dan kemajuan bangsa, serta mampu menjadikan gerakan Islam kosmopolitan yang
membawa Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Selain transformasi dalam aktualisasi gerakan, juga transformasi di bidang pemikiran, pendidikan,
kesehatan, ekonomi, dan usaha-usaha lain yang bersifat unggul dan terobosan, Muhammadiyah
dituntut untuk terus berkiprah dengan inovatif. Dengan demikian transformasi dakwah dan tajdid,
yakni melakukan perubahan-perubahan pandangan dan strategi dakwah dan tajdid lebih mendasar
sebagai alternatif. Benni Setiawan, www.muhammadiyahstudies.blog)
Sejumlah tawaran bagi Muhammadiyah dalam melakukan reorientasi terhadap gerakan tajdid
yang diperankannya. Jalaluddin Rahmat pernah menawarkan formulasi Tauhid Sosial sebagaimana
gagasan Dr. M. Amien Rais sebagai blueprint (cetak biru) tajdid Muhammadiyah jilid dua. Ahmad
Syafii Maarif menawarkan Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu untuk melangkah ke depan di
tengah pergulatan pemikiran Islam dan tantangan besar yang demikian kompleks saat ini.
Nurcholish Madjid secara isyarat memberikan catatan agar gerakan-gerakan Islam modernis
seperti Muhammadiyah memperkaya khazanah keilmuan dan pemikiran agar “kunci” metodologis
yang selama ini kuat dimiliki dilengkapi dengan kekayaan materi pemikiran baik yang bersifat
pemikiran Islam klasik maupun kontemporer.
Tawaran-tawaran pemikiran tersebut berangkat dari penilaian bahwa gerakan Islam modern
seperti Muhammadiyah selama ini cenderung terlalu ad-hoc, kaya amal tetapi kering pemikiran, dan
kehilangan daya transformasionalnya di tengah perubahan dan perkembangan zaman yang sarat
kompleksitas masalah dan tantangan sebagaimana kritik kaum noemodernisme terhadap
modernisme.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid, M. Syamsul Anwar juga memberikan tawaran bahwa kini tajdid
Muhammadiyah memerlukan pengembangan dari paradigma tajdid juz’i-‘alami (pembaruan praksis
amaliah) ke tajdid usuli-nazari (pembaruan pemikiran yang lebih mendasar).Dalam konteks ini secara
sistemik tentu saja keseluruhan pengembangan pemikiran tajdid itu berada dalam bingkai dan
legalitas organisasi, bukan bersifat perseorangan kecuali untuk wacana dan pengembangan wawasan
pemikiran.
Tajdid Muhammadiyah bersifat jama’iy atau kolektif, tetapi tentu saja memerlukan etos ijtihad
dan sistem yang lebih dinamis agar tidak mengalami kelambanan dan tidak terperangkap pada posisi
statis. Sedangkan berbagai variasi dan pengembangan wacana pemikiran sebaiknya diberi ruang yang
lebih longgar agar tradisi pemikiran terus berkembang, tentu saja disertai sikap tasamuh dan
memiliki pertanggungjawaban intelektual yang tinggi.
Keberhasilan Muhammadiyah melangkah melintasi zaman menuju 100 tahun kedua, karena
potensi dan modal dasar yang dimiliki sebagai gerakan pencerahan. Melalui gerakan pencerahan
yang membawa misi dakwah dan tajdid yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan
kehidupan di tengah dinamika abad modern yang sarat tantangan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat difahami, bahwa tajdid dalam Muhammadiyah mengalami
perubahan yang sangat berarti. Tajdid dalam Muhammadiyah pada tataran praktis dan gerakan aksi
yang mengarah pada pemurnian akidah dan ibadah, sebagai reaksi terhadap penyimpangan yang
dilakukan oleh umat Islam.
Model model Tajdid dalam Muhammadiyah digolongkan dalam tiga bidang diantaranya (a)
bidang keagarmaan yaitu Pembaharuan dalam bidang keagamaan adalah penemuan kembali ajaran
atau prinsip dasar yang berlaku abadi, yang karena waktu lingkungan situasi dan kondisi mungkin
menyebabkan dasar-dasar tersebut kurang jelas dan tertutup oleh kebiasan dan pemikiran tambahan
lain. (b) bidang pendidikan yaitu Muhammadiyah mempelopori dan meyelenggarakan sejumlah
pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata dimana bidang pendidikan dipandang sangat penting
dalam penyebaran ajaran agama islam. (c) bidang sosial masyarakat Muhammadiyah merintis bidang
sosial kemasyarakatan dengan mendirikan rumah sakit, piklinik, panti auhan, rumah singgah, panti
jompo, Pusat kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), posyandu lansia yang dikelola melalui amal
usahanya dan bukan secara individual sebagai mana dilakukan orang pada umumnya.
B. Saran
Tajdid atau pembaharuan dalam Islam khususnya dalam Muhammadiyah memang perlu
terus dilakukan oleh kader–kader Muhammadiyah. Hal ini untuk melindungi ajaran–ajaran agama
yang semakin hari luntur oleh fenomena modern yang berkembang di masyarakat. Pola kehidupan
masyarakat modern yang memiliki budaya baru yang lebih bebas cenderung melupakan ajaran –
ajaran agama yang sebenarnya.
http://rafhaulfa.blogspot.co.id/2016/08/makalah-muhammadiyah-sebagai-gerakan.html