Anda di halaman 1dari 6

TAJDID DALAM 

MUHAMMADIYAH

BAB I

PENDAHULUAN

1. A. Latar Belakang

Muhammadiyah sering dijuluki sebagai organisasi islam pembaharu, atau gerakan tajdid. Julukan ini tentu tidak datang dari dalam Muhammadiyah, melainkan
dari para pengamat dan pemerhati Muhammadiyah. Diantara indikator organisasi pembaharu, menurut mereka, adalah karena organisasi ini berusaha untuk
merujuk secara langsung kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah dan memahaminya secara utuh dan komprehensif. Namun, akhir-akhir ini, ciri dan indikator itu sering
dipermasalahkan. Karena itu, predikat mujaddid yang diberikan kepada Muhammadiyah merupakan sesuatu yang harus dikritisi.

Ketika Muhammadiyah didirikan tahun 1912 atau sejak Majlis tarjih dibentuk pada tahun 1928, persoalan yang dihadapinya relative sangat sederhana dan
kelihatannya tidak beranjak dari pemurnian aqidah dan ibadah atau dalam masalah-masalah khilafiyah. Itulah sebabnya, majlis ini diberi nama Majlis Tarjih.
Tetapi dalam perkembangannya sampai saat ini, persoalan-persoalan baru muncul kepermukaan dan menuntut direspon oleh Muhammadiyah. Tentu, seiring
dengan beragam persoalan kontemporer, nama Majlis ini pun mengalami peerubahan atau penambahan.

Berbagai metode dan pendekatan itu digunakan oleh Muhammadiyah dimaksudkan untuk merealisasikan Islam yang universal sebagai cirri gerakannya. Diyakini
oleh Muhammadiyah, bahwa sebagai sebuah agama, Islam memiliki kepentingan untuk mendorong manusia untuk melakukan transformasi ke arah cita dan visi
Islam. Alasan utamanya terletak pada ciri Islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya yang “hadir dimana-mana” (omnipressence). Ini sebuah pandangan yang
mengakui bahwa “dimana-mana”, kehadiran Islam selalu memberikan panduan moral yang benar bagi tindakan manusia.

Peradaban modern manusia yang semakin mengglobal akibat pesatnya kemajuan industri, teknologi, dan informasi menuntut tidak saja kecerdasan nalar tetapi
juga kematangan dan kecerahan emosional dan spiritual dalam menyikapi, mencermati, menyimak, dan mengevaluasi peradaban sehingga manusia tidak
tercerabut dari akar religiusitasnya. Umat Islam, sesungguhnya dapat memberikan responsi pada modernitas secara positif. Sebagai agama universal dan
kosmopolitan, Islam memiliki karakter yang menjunjung tinggi pada harkat kemanusiaan dan kepedulian sosial sebagai sesuatu yang selalu tetap dan abadi.

Sumber ajaran Islam adalah al-Quran dan Sunnah, artinya segala persoalan kehidupan harus dikembalikan pada kedua sumber tersebut. Akan tetapi, hal itu
memerlukan kecerdasan akal untuk menggali dan menkontekstualisasikan secara tepat dengan situasi dan kondisi yang berubah. Upaya reaktualisasi ajaran Islam,
menjadi niscaya karena secara doktrinal Islam bersifat universal dan rahmat bagi seluruh alam. Al-Quran memang bersifat doktrin yang mutlak benar, tetapi
penafsiran dan pemahaman atasnya tidak bernilai mutlak benar semutlak benarnya doktrin itu sendiri. Di sinilah makna tajdid menjadi tema penting.

1. B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas maka masalah dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan tajdid?


2. Bagaimanakah Tajdid dalam Muhammadiyah?
3. Apa contoh Tajdid Muhammadiyah dalam kehidupan Modern?

1. C. Tujuan penulisan

Dalam makalah ini, tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut

1. Mengetahui definisi Tajdid.


2. Mengetahui Tajdid dalam Muhammadiyah
3. Mengetahui contoh Tajdid Muhammadiyah dalam kehidupan Modern.

BAB II

PEMBAHASAN

1. A. Pengertian Tajdid

Secara umum, pengertian tajdid seperti dikutip dari Wikipedia adalah sebagai berikut :

Kata “Tajdid” dimambil dari bahasa Arab yang berkata dasar “Jaddada-Yujaddidu-Tajdiidan” yang artinya memperbarui. Kata ini kemudian dijadikan jargon
dalam gerakan pembaruan Islam agar terlepas dari Bid’ah, Takhayyul dan Khurafat. Gerakan ini diilhami dari Gerakan Wahabi di Arab Saudi dan Pemikiran
Al-Afghani yang dibuang di Mesir. Gerakan ini kemudian menjadi ruh dalam beberapa Organisasi seperti Sarekat Islam, Muhammadiyyah dan Al-Irsyad juga
Persatuan Islam di Jawa. Gerakan ini pula pernah menjadi ruh perjuangan Tuanku Imam Bonjol dalam menggerakkan kaum Paderi. Gerakan ini kemudian
mengalami Kanter dari Akademisi Jawa Kejawen yang kemudian menggabungkan diri dalam Budhi Oetomo dan Ulama Jawa yang bergabung dalam Nahdhatul
Ulama. Meski gerakan ini kini sudah mulai melemah, namun semangatnya kini terus diwariskan pada generasi berikutnya hingga muncullah Jaringan Islam
Liberal yang memiliki visi Tajdid ini meski kemudian ditentang oleh para Tokoh ummat Islam yang aktif dalam Organisasi yang dulunya mengusung ruh Tajdid.

Selain itu, seperti ditulis Aep Saepulloh D. Dalam artikelnya yang berjudul “Tajdid al-Fiqh, Why Not?” mengungkapkan bahwa akhir – akhir ini banyak
sekali wacana tajdid yang diperdebatkan kembali. Menurutnya hal  ini dikarenakan dua hal yaitu Pertama, “kegerahan” sebagian kalangan dengan fiqh
yang selama ini– dalam kacamata mereka– cenderung kaku, rigid dan sudah kehilangan “ruh”nya. Untuk mengembalikan “ruh”nya inilah, kemudian mereka
menyodorkan beberapa ma’âlim pembaharuan dan rekonstruksi sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisannya. Kedua, sebagai reaksi atas kepicikan sebagian
kelompok yang sudah “keterlaluan” dalam melihat fiqh; seolah fiqh adalah benda kramat yang mampu menjawab semua tantangan dan persoalan kapanpun
sehingga karenanya tidak perlu adanya perubahan. Hanya saja, sayangnya kelompok “pembaharu” ini terkadang lepas kendali, keluar dari koridor wacana yang
dibawanya, tajdîd.
Apabila kita mencermati salah satu sabda Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Abu Daud, Hakim dan Imam Baihaqi, bahwa setiap seratus tahun sekali, Allah
akan mengutus orang yang akan memperbaharui din (agama)-Nya, maka konsep tajdîd adalah sesuatu yang sudah diprogramkan oleh Allah. Bahkan, kalau boleh
dikatakan, ia memang sesuatu yang diperintahkan. Apabila dalam konteks din saja, harus ada gerakan tajdîd, maka apalagi dalam tataran fiqh yang tentunya
hanya merupakan salah satu partikel kecil dari din tersebut. Namun persoalannya, tajdîd seperti apa yang dikehendaki? Apakah tajdîd dalam pengertian
rekonstruksi atau malah sebuah dekonstruksi (tabdîd, tahrîf)? Untuk itu, mari kita samakan dahulu persepsi tentang tajdid ini.

Tajdîd (pembaharuan, renovasi) bukan berarti tabdîd, tahrîf atau taghyîr. Untuk lebih memudahkan pengertian tajdîd ini, penulis akan sodorkan sebuah analogi
ringan. Apabila ada sebuah bangunan kuno bersejarah atau sebuah rumah yang hendak ditajdîd (renovasi), maka ada beberapa ciri penting dari usaha tajdîd ini: 1)
tetap menjaga esensi dari bangunan lama tersebut sesuai dengan ciri khas, tabiat dan modelnya. 2) hanya memperbaiki bagian-bagian yang sudah rusak atau
sudah lemah dan 3) menambahkan aksesoris baru dengan tanpa merubah dan mengotak-atik ciri khas atau esensi dari bangunan kuno tersebut. Aksesoris ini
semisal halamannya, kebunnya dan kebersihan atapnya. Hal ini dimaksudkan agar bangunan tersebut dapat tetap indah dan makin nyaman dipandang, tetapi
tentunya tidak menghilangkan ciri keasliannya. Itulah tajdîd. Namun, apabila semua bangunan kuno tadi dirobohkan, atau ciri-ciri khasnya dihilangkan dan
diganti dengan yang baru, maka ia bukan sebuah tajdîd, akan tetapi tabdîd, tahrîf atau taghyîr.

Dari uraian diatas secara jelas Aep Saepulloh D. Menyatakan bahwa tajdid merupakan pembaruan dalam arti yaitu penegakan aturan agama islam sesuai dengan
Al- Qur’an dan Hadist Rosul sesuai dengan kondisi atau kejadian yang terjadi sekarang ini tanpa meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya.

Dalam wacana lain yang ditulis oleh Muhammad Ikhsan, Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Kajian Timur Tengah Dan Islam Kekhususan Kajian
Islam Universitas Indonesia Jakarta, tajdid dijabarkan sebagai berikut :

Kata tajdid sendiri secara bahasa berarti “mengembalikan sesuatu kepada kondisinya yang seharusnya”. Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid” (baru),
jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam
kembali. Atau dengan ungkapan yang lebih jelas, Thahir ibn ‘Asyur mengatakan,

Pembaharuan agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di dunia. Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan upaya
mengembalikan pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan agamisnya dengan mereformasi amalan-amalannya, dan
juga dari sisi upaya menguatkan kekuasaan agama.

Pengertian ini menunjukkan bahwa sesuatu yang akan mengalami proses tajdid adalah sesuatu yang memang telah memiliki wujud dan dasar yang riil dan jelas.
Sebab jika tidak, ke arah mana tajdid itu akan dilakukan? Sesuatu yang pada dasarnya memang adalah ajaran yang batil –dan semakin lama semakin batil-, akan
ditajdid menjadi apa? Itulah sebabnya, hanya Syariat Islam satu-satunya syariat samawiyah yang mungkin mengalami tajdid. Sebabnya dasar pijakannya masih
terjaga dengan sangat jelas hingga saat ini, dan dapat dipertanggungjawabkan. Adapun Syariat agama Yahudi atau Kristen –misalnya-, keduanya tidak mungkin
mengalami tajdid, sebab pijakan yang sesungguhnya sudah tidak ada. Yang ada hanyalah “apa yang disangka” sebagai pijakan, padahal bukan. Tidak
mengherankan jika kemudian aliran Prostestan menerima “kemenangan” akal dan sains atas agama, sebab gereja pada mulanya tidak menerimanya, sebab teks-
teks Injil tidak memungkinkan untuk itu. Dan yang seperti sama sekali tidak dapat disebut sebagai tajdid.

Dalam Islam sendiri, seputar ide tajdid ini, Rasulullah saw. sendiri telah menegaskan dalam haditsnya tentang kemungkinan itu. Beliau mengatakan, yang artinya:

“Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk ummat ini pada setiap pengujung seratus tahun orang yang akan melakukan tajdid (pembaharuan) terhadap
agamanya.” (HR. Abu Dawud , no. 3740)

Tajdid yang dimaksud oleh Rasulullah saw di sini tentu bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan tetapi –seperti dijelaskan oleh Abbas Husni Muhammad
maksudnya adalah mengembalikannya seperti sediakala dan memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya disebabkan hawa nafsu manusia
sepanjang zaman. Terma “mengembalikan agama seperti sediakala” tidaklah berarti bahwa seorang pelaku tajdid (mujaddid) hidup menjauh dari zamannya
sendiri, tetapi maknanya adalah memberikan jawaban kepada era kontemporer sesuai dengan Syariat Allah Ta’ala setelah ia dimurnikan dari kebatilan yang
ditambahkan oleh tangan jahat manusia ke dalamnya. Itulah sebabnya, di saat yang sama, upaya tajdid secara otomatis digencarkan untuk menjawab hal-hal yang
mustahdatsat (persoalan-persoalan baru) yang kontemporer. Dan untuk itu, upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya mengoreksi nash-nash
syar’i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syar’i dengan metode yang menyelisihi ijma’ ulama Islam. Sama sekali bukan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tajdid dalam Islam mempunyai 2 bentuk: Pertama, memurnikan agama -setelah perjalanannya berabad-abad
lamanya- dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsekuensinya tentu saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah SAW dan para
sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka. Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul dan berbeda dari satu
zaman dengan zaman yang lain. Meski harus diingat, bahwa “memberikan jawaban” sama sekali tidak identik dengan membolehkan atau menghalalkannya.
Intinya adalah bahwa Islam mempunyai jawaban terhadap hal itu.

Berdasarkan ini pula, maka kita dapat memahami bahwa bidang-bidang tajdid itu mencakup seluruh bagian ajaran Islam. Tidak hanya fikih, namun juga aqidah,
akhlaq dan yang lainnya. Tajdid dapat saja dilakukan terhadap aqidah, jika aqidah ummat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.

1. B. Tajdid dalam Muhammadiyah

Seperti ditulis oleh Drs H Ibnu Djarir, wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah. Persyarikatan Muhammadiyah bertekad makin
memperkukuh diri sebagai gerakan tajdid atau pembaruan. Baik pemikiran maupun gerakan, sepertinya merupakan karakteristik utama organisasi Islam modern
ini. Alasannya, masyarakat selalu berubah, ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang maju dan alam sekitar pun mengalami perubahan. Mengapa kita
mesti statis dan konservatif ?

Tentu kita akan ketinggalan zaman jika kita tidak berpikir dinamis. Maka KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, sejak awal kiprahnya telah menyerukan
kepada umat Islam di Indonesia agar selalu mengadakan pembaruan dalam pemahaman ajaran Islam. Ide pembaruan bersumber dari sebuah Hadis yang artinya :
“Sesungguhnya Allah mengutus bagi umat ini pada tiap-tiap penghujung abad seorang yang akan memperbarui pemahaman agama bagi umat tersebut”. Dari
Hadis ini ditarik kesimpulan, setiap abad akan muncul mujadid (reformer) Islam.

Menurut paham Muhammadiyah, tajdid mempunyai dua pengertian, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Pertama, mengandung pengertian purifikasi dan
reformasi. Yaitu pembaruan dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam ke arah keaslian dan kemurniannya sesuai dengan Alquran dan As-Sunnah Al-
Maqbulah.
Dalam pengertian pertama ini diterapkan pada bidang akidah dan ibadah mahdhah. Kedua, mengandung pengertian modernisasi atau dinamisasi
( pengembangan ) dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan masyarakat.
Pengertian yang kedua diterapkan pada masalah muamalah duniawi.

Tajdid dalam pengertian ini sangat diperlukan, terutama setelah memasuki era globalisasi, karena pada era ini bangsa-bangsa di dunia rnengalami interaksi
antarbudaya yang sangat kompleks.

Ilmu, Amal, dan Akhlak

Mencermalti jejak KH Ahmad Dahlan, sejak awal kiprahnya dia sangat mengutamakan pendidikan umat. Dia berobsesi agar umat Islam menjadi umat yang
berilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Mula-mula dia mendirikan sekolah di rumahnya dan biaya penyelenggaraan pendidikan pun ditanggungnya
sendiri.

Dia sangat mendambakan agar bangsa Indonesia jangan kalah pandai dibanding dengan bangsa Belanda yang waktu itu sebagai penjajah. Maka di sekolah
Muhammadiyah mulai diajarkan bahasa asing, yaitu Arab, Belanda, dan Inggris. Kini lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah sudah berkembang luas di
seluruh pelosok Tanah Air.

Sejak muda Ahmad Dahlan dikenal sebagai pemuda yang suka bekerja keras dan tidak banyak bicara. Sifat ini kemudian diformulasikan sebagai semboyan
organisasi yaitu “Sedikit bicara, banyak bekerja”.

Revitalisasi tajdid sangat diperlukan, dalam arti kegiatan ditingkatkan, pengengertiannya dikembangkan, dan wilayah kajian diperluas. Selama ini kajian masih
berkutat pada bidang ibadah. Maka perlu diperluas untuk membahas masalah aktual yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan umat manusia secara global,
meliputi teologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan isme-isme yang sedang ngetren ( sekularisme, pluralisme, fundamentalisme, liberalisme) kaitannya dengan
bidang agama

Semboyan ini menjiwai etos kerja warga, sehingga Muhammadiyah sering diidentikkan sebagai organisasi amal. Tak ada hari tanpa beramal. Kenyataannya
memang demikian, betapa banyaknya amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan ekonomi yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia.

Ahmad Dahlan juga menekankan hendaknya semua warga menghiasi dirinya dengan akhlakul karimah ( budi pekerti yang luhur ). Di antaranya masalah
keikhlasan dalam mengabdi di organisasi sangat diutamakan, sehingga muncul semboyan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup di
Muhammadiyah”.

Semboyan ini mengandung arti bahwa warga Muhammadiyah harus berani berkorban demi kelangsungan hidup organisassinya, dan jangan sampai ada orang
yang bekerja di Muhammadiyah hanya semata-mata untuk mencari nafkah, apalagi untuk memperkaya diri, melainkan harus didasari dengan semangat
pengabdian untuk mencapai cita-cita dan tujuan organisasi.

Dalam melaksanakan dakwahnya, KH Ahmad Dahlan menekankan agar umat Islam memiliki keimanan yang benar dan mengerjakan ibadah dengan cara yang
benar pula. Sebab kalau tidak, sia-sialah jerih payah dalam mengamalkan ajaran agama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya, “Barang
siapa yang mengerjakan ibadah yang tidak ada perintahnya dari aku, maka tertolaklah ibadahnya”.

Sesuai dengan isi Hadis tersebut, maka Muhammadiyah menyerukan kepada umat Islam agar menjauhi TBC, singkatan dari takhayul, bid’ah, dan churafat.
Dalam churafat itu terdapat unsur syirik, sehingga lebih lengkapnya ialah agar umat Islam menjauhi takhayul, bid’ah, churafat, dan syirik. Inilah bentuk awal
dari tajdid yang diserukan oleh KH Dahlan. Kemudian oleh para pemimpin Muhammadiyah periode berikutnya, pengertian itu dikembangkan.

Pengembangan

Pembaruan diperlukan karena terjadinya perubahan dalam masyarakat sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh, pada zaman
Nabi Muhammad SAW, upaya untuk mencegah kehamilan, yang menurut istilah sekarang adalah perencanaan keluarga, melalui ‘azl ( coitus interruptus). Pada
zaman modern sekarang, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah ditemukan metode baru untuk perencanaan keluarga, seperti : dengan suntikan,
pil, kondom, susuk, IUD, vasektomi, tubektomi, dan lain-lain.

Meski terdapat perubahan dalam metode, namun prinsip ajaran agama harus selalu diindahkan. Misalnya pemasangan alat kontrasepsi pada rahim wanita
hendaknya dilakukan oleh wanita juga. Sebab pada prinsipnya pria dilarang melihat aurat wanita, kecuali dalam keadaan darurat.

Pengertian tajdid mengalami pengembangan. Dalam Muktamar Muhammadiyah di Malang Desember 1990, antara lain dirumuskan, tujuan tajdid adalah untuk
memfungsikan Islam sebagai furqan (membedakan antara yang haq dan yang batil), hudan (petunjuk), rahmatan lil ‘alamin (menjadi rahmat bagi seluruh alam),
mendasari dan membimbing perkembangan kehidupan masyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sedangkan dimensi tajdid meliputi pemurnian akidah dan ibadah serta pembentukan akhlak yang mulia; pembentukan sikap hidup yang dinamis, kreatif,
progresif, dan berwawasan masa depan; pengembangan kepemimpinan, organisasi, dan etos kerja dalam Persyarikatan Muhammadiyah.

Dalam melaksanakannya, kedudukan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) mendapat perhatian khusus. Dalam satu segi Iptek bisa menimbulkan degradasi
harkat dan martabat manusia. Namun dalam segi lain ia berfungsi positif bagi operasionalisasi dakwah dan tarbiyah serta pencapaian harkat kemanusiaan yang
menjadi tujuan kemerdekaan bangsa.

Tantangan Masa Kini

Memasuki abad ke-21, sejalan dengan arus globalisasi, tantangan terhadap eksistensi agama makin keras. Sebagai contoh, di Amerika Serikat belum lama ini
diadakan jajak pendapat oleh lembaga Haris Poll. Hasilnya 42 % penduduk Amerika Serikat tidak yakin Tuhan benar-benar ada dan berkuasa atas alam semesta.
Tidak mustahil di antara orang-orang Indonesia yang belajar di negeri Paman Sam itu ada yang terpengaruh menjadi ateis atau agnostis, dan merasa bangga dapat
meniru pandangan hidup orang modern di negara adidaya tersebut.

Meniru cara berpikir dan budaya Barat itu bagi sebagian orang merupakan kebanggaan. Misalnya orang yang dengan getol ingin terus menerbitkan majalah
Playboy di Indonesia. Meski isi majalah tersebut jelas saru, tetapi mereka beralasan bahwa di negara maju majalah semacam itu tidak ada masalah, di samping
mereka membayangkan akan meraih keuntungan finansial yang sangat besar.

Berdasarkan contoh kasus tersebut maka revitalisasi tajdid sangat diperlukan, dalam arti kegiatan ditingkatkan, pengertiannya dikembangkan, dan wilayah kajian
diperluas. Suara yang muncul di Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang antara lain menyatakan, selama ini kajian masih berkutat pada bidang ibadah. Maka
perlu diperluas untuk membahas masalah aktual yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan umat manusia secara global, meliputi : teologi, ekonomi, politik, sosial,
budaya, dan isme-isme yang sedang ngetren seperti : sekularisme, pluralisme, fundamentalisme, liberalisme, dan lain-lain dalam kaitannya dengan bidang agama.

1. C. Contoh Tajdid Dalam Muhammadiyah

Kalau dalam perkembangan pertama sampai pertengahan abad 20 Muhammadiyah berhadapan dengan persoalan khilafiyah dan pemurnian aqidah, maka pada
akhir abad 20 menjelang awal abad 21 organisasi ini sudah berhadapan dengan berbagai kecenderungan pemikiran di kalangan umat Islam, baik dalam skala
nasional maun internasional. Kecenderungan itu didasarkan asumsi bahwa Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadis, difahami oleh umat Islam dengan
pemahaman dan cara pandang yang berbeda. Secara garis besar, kecenderungan untuk memehami ajaran dasar Islam dapat dikelompokan menjadi dua kelompok
besar, pertama kelompok salafi dan kedua kelompok ‘ashrani. Kelompok pertama biasa disebut sebagian pengamat sebagai kelompok fundamentalis, sedangkan
Kelompok yang terakhir dapat disamakan dengan kelompok Islam Liberalis Kemudian, berdasarkan pembagian itu, para ahli dan pengamat keislaman
mengklasifikasikan aliran pemikiran di kalangan umat Islam menjadi tiga kelompok, yakni fundamentalis, liberalis dan moderat.

1. Fundamentalis

Istilah Fundamentalis yang dihubungkan dengan penganut ajaran Islam garis keras, sering kita dengar dari sumber informasi Negara barat. Hal itu terasa lebih
popular ketika telah terjadinya serangan 11 september di New York. Kelompok Al-qaida yang dikomandani Usamah bin Laden termasuk kategori ini. Belakangan
diduga ada jaringan yang sangat luas dari kelompok ini di beberapa wilayah di dunia ini, termasuk di Asia Tenggara, tentu Indonesia termasuk di dalamnya.
Adanya kelompok garis keras Fron Pembela Islam, yang dipimpin Habib Rizizq Shihab, semakin memperkuat dugaan, bahwa Islam atau muslim fundamentalis
itu identik dengan muslim yang mempunyai faham “garis keras” itu. Apakah memang benar demikian? Tentu persepsi seperti itu perlu ditelusuri kebenarannya.

Dalam tradisi kajian Islam, istilah lain dari fundamentalis adalah salfiy. Kelompok salafi, dari segi bahasa berarti kelompok yang berorientasi kepada masa
lampau atau orang-orang yang terdahulu. Maksudnya, kelompok ini berusaha memahami ajaran Islam seperti apa yang difahami oleh Umat Islam generasi awal,
termasuk Rasulullah dan para sahabatnya. Karena itu, apa saja yang tertulis secara harfiah dalam Al-Qur’an dan Hadis merupakan ajaran yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi, atau merupakan ajaran yang given dari Allah dan Rasul-Nya. Sesuai dengan namanya, kelompok ini mempunyai ciri dan karakteristik sebagai
berikut :

Pertama, Meyakini bahwa Al-Qur’an dan Hadis merupakan rujukan utama. Al-Qur’an diyakini sebagai wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
SAW dalam bahasa Arab. Kemudian Nabi Muhammad menjelaskan dalam bentuk pernyataan dan praktek beliau. Penjelasan ini merupakan bagian tak
terpisahkan dari dari wahyu Allah itu.

Kedua, Meyakini bahwa Al-Qur’an dan Hadis merupakan syariat penyempurna dari syari’at sebelumnya. Oleh karena penyempurna, maka syariat yang dibawa
oleh Nabi Muhammad dipastikan telah sempurna mengatur berbagai aspek kehidupan, baik yang menyangkut masalah ibadah khusus (ritual), maupun yang
menyangkut masalah kehidupan di dunia ini. Karena itu, harus diacu secara keseluruhan (kaffah).

Ketiga, Memahami ayat Al-Qur’an dan Hadis secara tekstual, apa adanya sesuai dengan apa yang dipraktekan oleh Rasulullah dan sahabatnya. Penafsiran
terhadap Al-Qur’an harus dilakukan dengan memahami kosa kata bahasa ketika Al-Qur’an diturunkan. Dalam banyak hal, penafsiran otentik, penafsiran ayat
dengan ayat lain atau dengan hadis, merupakan ciri dari kelompok ini.

Keempat, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif. Maksudnya, mereka berkeyakinan bahwa Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber hukum
yang harus difahami sebagai norma yang mengatur, dan karena itu, harus ditaati secara keseluruhan. Tentu, mereka tidak mau menerima pendekatan rasional dan
pendekatan historis-sosiologis, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok islam liberal.

Dari keempat karakteristik di atas dapat difahami, bahwa kelompok salafi melihat segala persoalan dalam perspektif teks Al-Quran dan Hadis secara ketat.
Mereka selalu berusaha mengadakan purifikasi atau pemurnian dari tradisi dan tindakan yang menyimpang dari diktum Al-Quran dan Hadis.

Timbul pertanyaan, apakah mereka mungkin dapat mengadakan perubahan dan pembaharuan terhadap syariat yang datang dari Tuhan itu ? Jawabannya sudah
dipastikan tidak. Bahkan mereka sering mengibaratkan, perubahan dalam masyarakat di satu sisi dengan syariat (wahyu) di sisi lain, seperti orang yang ingin
membeli peci. Kepala orang dianggap sama dengan syariat, sedangkan peci disamakan dengan perubahan masyarakat. Karena itu, apabila terjadi ketidak cocokan
antara ukuran kepala dengan peci, maka yang harus disesuaikan adalah pecinya, bukan merombak kepalanya. Begitulah kira-kira tamsil dari betapa kelompok ini
berusaha menjaga kemurnian ajaran Al-Qur’an dan Hadis.

Namun demikian, tidak berarti kelompok ini menolak perubahan sama sekali. Mereka meyakini bahwa teks suci yang berupa Al-Qur’an dan Hadis yang
mengatur tentang kehidupan duniawi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ada ayat yang bersifat pasti (qath’i) dan tidak ada penafsiran lain terhadap ayat
dimaksud; dan ada ayat yang interpretable dan multi tafsir. Dalam kaitan dengan ayat-ayat jenis pertama tidak ada perubahan dan penafsiran, betapapun kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan dalam masalah yang diatur oleh ayat-ayat jenis kedua dimungkinkan adanya penafsiran yang berbeda, dan tentu
membawa implikasi perbedaan dalam penerapan aturan itu.

Betapapun adanya potensi perbedaan penafsiran di kalangan mereka, tapi penafsiran mereka masih terbatas dengan kaidah-kaidah yang telah dirumuskan oleh
ulama terdahulu. Bahkan dalam hal tertentu, mereka lebih bersifat kaku dalam menafsirkan ayat atau hadis. Itulah sebabnya kelompok ini disebut orang sebagai
kelompok “skripturalis” atau “tekstualis”. Implikasi dari kecenderungan ini terkadang mereka bersifat ekslusif, menganggap penafsiran dari kelompoknya yang
paling benar, sementara pemahaman orang lain dianggap salah. Tidak jarang juga menganggap umat Islam yang berbeda dengan penafsiran kelompoknya
dianggap “kafir”.
Di kalangan mereka diintrodusir istilah “bid’ah” yang dipertentangkan dengan istilah “sunnah”. Istilah ini terutama berkaitan dengan tatacara beribadah (ibadah
mahdlah). Bagi mereka, adat atau kebiasaan ibadah yang tidak ada landasannya dari Al-Qur’an dan Hadis disebut bid’ah, dan karena itu dianggap sesat. Konsep
bid’ah itu juga memasuki ranah muamalat, sehingga apa saja yang dilakukan oleh Rasul, tanpa membedakan kedudukan beliau, harus sepenuhnya diikuti. Tidak
heran, kalau dalam penampilan sehari-hari mereka harus memakai gamis atau jubah, berjenggot tebal dan seterusnya.

Bertitik tolak dari keyakinan dan cara berfikir kelompok ini, maka banyak pandangan atau gagasan yang dikemukakan mereka terkesan kembali ke lima belas
abad yang lampau. Dalam masalah kenegaraan, mereka tidak membenarkan wanita menjadi kepala negara. Argumen yang dikemukakannya adalah ayat Al-
Qur’an yang menyatakan bahwa “Laki-laki menjadi pemimpin terhadap wanita”. Tentu mereka tidak berupaya untuk memehami secara komprehensif apa makna
yang sesungguhnya dari ayat tersebut, apa konteks kalimatnya, apalagi memeahami makana di balik teks itu berupa kondisi sosial budaya pada masyarakat Arab
waktu itu.

Begitu pula masalah hubungan antar umat beragama. Dalam pandangan mereka, tidak dibenarkan menjadikan orang non muslim sebagai orang yang menjadi
kepercayaan orang muslim, apalagi menjadikan mereka sebagai pemimpin bagi orang muslim. Memang harus diakui ada ayat yang secara eksplisit menjelaskan
hal itu. Tetapi, lagi-lagi tanpa difahami konteks ayat dan kondisi sosial yang ada pada waktu itu.
Dari beberapa contoh kasus di atas dapat difahami, betapa konsistennya kelompok ini dalam mengamalkan apa yang tertulis secara literal dalam Al-Qur’an dan
Hadis. Kedua sumber ajaran islam ini diyakini mereka merupakan ajaran yang fundamental dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Itulah sebabnya, orang yang di
luar kelompok ini, terutama orang barat, menyebut kelompok mereka sebagai kelompok muslim fundamentalis, bahkan sering juga disebut sebagai kelompok
militan.

Tentu, kita sebagai umat Islam harus memberikan apresiasi terhadap sikap mereka yang konsisten atau istiqamah dalam menjalankan apa yang tertulis dalam Al-
Qur’an dan Hadis. Namun dalam waktu yang sama kita juga harus memperhatikan dan mencermati sumber ajaran Islam dengan menggunakan penalaran dan
analisis yangtidak bertentangan dengan misi Al-Qur’an sebagai agama yang menjadi rahmat bagi semua umat manusia, di mana pun dan kapan pun mereka
berada

1. Liberalis

Istilah Islam Liberal merupakan salah satu wacana dialektis Islam dalam konteks menghadapi kemodernnan. Wacana ini menjadi penting dan menonjol akhir-
akhir ini, ketika dunia Islam terkepung oleh peradaban dan sains modern yang datang dari barat. Kemunculan Islam liberal berbeda secara kontras dengan Islam
fundamentalis yang menekankan pada tradisi salaf. Dalam faham liberal, faham fundamentalis hanya akan membawa keterbelakangan yang akan membawa dunia
islam menikmati buah modernitas, berupa kemajuan ekonomi, demokrasi, hak asasi manusia. Lebih dari itu, faham ini meyakini bahwa apabila Islam difahami
dengan pendekatan liberal akan menjadi perintis jalan bagi liberalisme di dunia barat.

Dalam memahami sumber ajaran islam, Al-Qur’an dan Al-Sunnah, kelompok ini berusaha untuk menangkap ajaran moral dan bukan aturan-aturan normatif yang
terkandung di dalamnya. Karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan norma hukum tidak harus difahami apa adanya, melainkan harus dibawa kepada
konteks manusia modern.

1. Moderat

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa kecenderungan pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an dan Al-Sunnah dibedakan menjadi muslim liberal di satu sisi
dan muslim fundamentalis di sisi yang lain. Diantara kedua aliran dan kecenderungan ini ada kelompok umat Islam yang memahami kedua sumber itu secara
moderat (tawassuth). Artinya, tidak terlalu bebas, seperti kelompok Islam liberal dan tidak juga kaku, seperti kelompok Islam fundamentalis.

Kelompok ini melihat persoalan yang muncul saat ini sebagai sebuah keniscayaan, karena sumber ajaran Islam yang utama, Al-Qur’an dan Al-Sunnah , turun
dalam situasi yang berbeda dengan apa yang ada saat ini. Diakui, bahwa kedua sumber itu mempunyai ajaran yang bersifat permanent dan konstan,, tidak berubah
dan tidak dapat diubah. Ajaran yang masuk kategori ini umumnya menyangkut masalah akidah (keimanan) dan ibadah ritual (ibadah mahdlah). Namun ada juga
ajaran yang mengalami perkembangan dan penyempurnaan, seiring degan perkembangan umat Islam. Ajaran Islam kategori ini lebih bersifat temporer, berubah
dan dqapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Kelompok ini membuat adagium “al-Nushush mutanahiyah wa al-waqai’ ghairu mutanahiyah”. Artinya, Teks suci, Al-Qur’an dan Al-Sunnah, bersifat terbatas,
sementara kasus dan perstiwa hokum tidak pernah ada batasnya. Bagi mereka, Al-Qur’an dan Al-Sunnah harus difahami dalam kaitannya dengan perkembangan
umat islam yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat. Secara sosiologis harus diakui bahwa masyarakat berkembang dan tidak statis.
Bahkan secara linguistic, bahasa mengalami perubahan sekitar 90 tahun sekali (hampir satu abad). Perubahan ini meniscayakan adanya perubahan dalam
pemahaman terhadap norma dasar, Al-Qur’an dan Hadis.

Kelompok ini selalu memperhatikan kepentingan dan kebutuhan manusia yang selalu berkembang, dengan tetap memperhatikan norma yang terdapat dalam teks.
Selama telah diatur secara qathiy, maka perkembangan dan kepentingan manusia harus tunduk pada ketentuan teks yang sudah mempunyai nilai pasti itu.

Karakteristik kelompok moderat: Pertama, Menggabungkan antara faham salaf dan modernis. Kelompok ini tidak terpaku hanya pada buku-buku yang ditulis
oleh ulama terdahulu, sebagaimana dilakukan oleh kelompok fundamentalis, melainkan juga memperhatikan perkembangan pemikiran dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang ada saat ini. Kedua, Mengambil pendapat para ulama secara selektif, tidak mengikatkan diri dengan mazhab tertentu. Kelompok
ini berusaha untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan penafsiran genearsi awal, dengan memperhatikan relevansinya dengan kondisi saat ini. Ketiga,
Mendahulukan persoalan yang universal dibandingkan dengan masalah yang particular. Kelompok ini lebih banyak berbicara masalah yang bersifat pokok
(ushul) ketimbang yang bersifat cabang (furu’)
Keempat, Kelompok ini berusaha untuk menggabungkan arti yang secara harfiah ada dalam teks, tetapi berusaha juga memahami apa maksud pemberi syariat
dibalik teks itu.

Dari empat karakteristik di atas, dapat difahami, bahwa kelompok ini telah berupaya untuk membedakan antara masalah-masalah yang prinsipil dan konstan atau
permanent di satu pihak dan masalah-masalah yang tidak prinsipil, berubah dan temporer di sisi yang lain. Mereka memilah ajaran Islam yang ada menjadi dua
kategori, yaitu yang tetap dan berubah. Yang termasuk prinsipil dan tidak berubah adalah aqidah (keyakinan) , akhlak dan ibadah mahdlah. Sedangkan dalam
masalah muamalah pada umumnya dikategorikan pada masalah yang bersifat berubah, terutama dalam hal yang bersifat oprasional.

Setelah diaparkan tiga kecenderungan dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Sunnah (Hadis), kelihatannya yang menjadi kecenderungan umum adalah sikap
moderat dalam mengamalkan ajaran Islam. Sikap dan kecenderungan ini sejalan dengan jiwa dan semangat Al-Qur’an yang menghendaki umat Islam menjadi
umat yang moderat (wasathan). Hal ini dapat dilihat dalam Surat Al-Baqarah ayat 143: “Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang
moderat (adil dan pilihan), agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu”.
Sementara itu Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang yang datang sebelum kamu binasa
karena sikap mereka yang berlebihan dalam agama”.

Kelihatannya menjadi muslim moderat, bukan saja sesuai dengan jiwa ajaran Al-Qur’an dan Hadis, tetapi juga mencerminkan kearifan umat Islam untuk melihat
masa sekarang sebagai sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari, namun tetap dapat mengamalkan ajaran dasar Islam dengan peneuh keyakinan atas
kebenaran ajarannya.

Kelihatannya Muhammadiyah telah faham dan sangat menyadari adanya wacana pemahaman umat Islam tentang doktrin dan penerapannya. Kecenderungan di
kalangan warga persyarikatan, kalau boleh jujur apa adanya, telah terbagi menjadi dua arus utama ini. Kelompok Muhammadiyah salafi dalam arti taat asas
kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah secara literal cukup banyak penganutnya. Bagi kelompok ini, perubahan masyarakat tidak serta merta harus
mengubah pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

Sementara kelompok ‘ashroni di kalangan warga Muhammadiyah tidak kurang banyak juga penganutnya. Tarik menarik antara dua kelompok kecenderungan ini
tidak mustahil akan menimbulkan “ideologi” keberagamaan baru dalam Muhammadiyah. Mungkin, di tengah pergumulan pemikiran itu, adanya sikap tawassuth
atau moderat akan lebih arif dan penting untuk disosialisaikan.

BAB III

PENUTUP

1. A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat difahami, bahwa tajdid dalam Muhammadiyah mengalami perubahan yang sangat berarti. Pada pase pertama tajdid dalam
Muhammadiyah baru pada tataran praktis dan gerakan aksi yang mengarah pada pemurnian akidah dan ibadah, sebagai reaksi terhadap penyimpangan yang
dilakukan oleh umat Islam pada saat itu. Tema sentral tajdid pada pase ini adalah pemurnian. Kemudian pada pase kedua sudah mulai terlihat pentingnya
menyelesaikan masalah yang sama sekali baru yang dihadapi umat Islam. Pada pase ini mulai dibahas bahkan dirumuskan tajdid dalam arti modernisasi dan
dinamisasi. Rumusan dan konsep tajdid diarahkan pada upaya untuk merspon perubahan masyarakat yang berkaitan dengan al-umur al-dunyawiyyah. Pada pase
ini tidak lagi berkutat pada pemurnian aqidah dan masalah-masalah khilafiyah dalam fikih, tetapi lebih diarahkan pada ijtihad insya’i. Sedangkan pada pase
terakhir, tema tajdid dalam Muhammadiyah tidak terbatas pada masalah purifikasi dan dinamisasi, tetapi menuju rekonstruksi dan bahkan dalam batas tertentu
melakukan dekonstruksi terhadap ajaran normatif, menuju ajaran islam yang bersifat historis.

Persoalannya adalah, apakah semua warga Muhammadiyah, terutama para ulama dan cendikiawannya setuju dengan tema tajdid pase ketiga ini. Tentu, sesuai
dengan karakteristik persyarikatan yang menghargai pendapat anggotanya, ragam pandangan dalam merspons persoalan ini tidak dapat dihindari. Kecenderungan
fundamentalis sama kuatnya dengan kecenderungan liberalis. Di balik kedua kecenderungan yang ekstrim itu, barangkali kecenderungan moderat menjadi
pertimbangan kita semua.

1. B. Saran

Tajdid atau pembaharuan dalam Islam khususnya dalam Muhammadiyah memang perlu terus dilakukan oleh kader–kader Muhammadiyah. Hal ini untuk
melindungi ajaran–ajaran agama yang semakin hari luntur oleh fenomena modern yang berkembang di masyarakat. Pola kehidupan masyarakat modern yang
memiliki budaya baru yang lebih bebas cenderung melupakan ajaran – ajaran agama yang  sebenarnya.

Disinilah peran tajdid harus dikedepankan, karena dengan hadirnya tajdid dari pemikiran – pemkiran para cendekiawan dan tokoh agama, perubahan – perubahan
kehidupan tetap bisa berjalan sesuai dengan koridor agama Islam yang sesuai dengan Al – Qur’an dan Hadist.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Tajdid diakses tanggal 24 Januari 2010

http://www.suaramerdeka.com/harian/0611/16/opi03.htm diakses tanggal 24 Januari 2010

http://pwkpersis.wordpress.com/ diakses tanggal 24 Januari 2010

http://pwkpersis.wordpress.com/2008/05/29/tajdid-al-fiqh-why-not/ diakses tanggal 24 Januari 2010

http://www.wahdah.or.id/wis/index.php?option=com_content&task=view&id=305&Itemid=193 diakses tanggal 25 Januari 2010

http://taufiqnugroho.blogspot.com/2009/02/tajdid-gerakan-muhammadiyah-dalam.html diakses tanggal 26 Januari 2010

Anda mungkin juga menyukai