Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

MATA KULIAH KEMUHAMMADIYAHAN

PEMBAHARUAN DALAM ISLAM DAN GERAKAN PEMBAHARUAN


ISLAM PERIODE KLASIK-MODERN
Dosen Pengampu: Tjipto Subadi, Prof., Dr., M.Si.

Oleh:
Kelompok 8
Agtya Jacklione Sabrina (A410190076/4B)
Lintang Yanuarita (A410190079/4B)
Eka Febriani (A410190080/4B)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
MARET, 2021

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah, Rabb Semesta Alam. Shalawat serta
salam tak lupa tercurahkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW. Dengan segala rahmat,
taufik, dan hidayah Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan makalah kelompok sebagai
tugas secara daring pada Mata Kuliah Kemuhammadiyahan yang diampu oleh Bapak Tjipto
Subadi, Prof., Dr., M.Si. berupa makalah “Pembaharuan dalam Islam dan Gerakan
Pembaharuan Islam Periode Klasik-Modern” dengan tepat waktu.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah menyempatkan
waktunya untuk membantu, membimbing, dan memberikan dukungan serta review sehingga
makalah ini dapat terselesaikan. Tujuan dibuatnya makalah ini ialah untuk pembaharuan-
pembaharuan dalam agama Islam. Penulis menyadari bahwa pemenuhan tugas berupa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu sangat dibutuhkan kritik dan saran
yang membangun guna penyempurnaan dalam penyusunan makalah selanjutnya.
Terlepas dari kekurangan yang ada, penulis berharap semoga dalam penyusunan
makalah ini dapat memberikan manfaat pemahaman materi bahasan terkait.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Surakarta, 9 Maret 2021

2
BAB 1
PENDAHULUAN

Ada beberapa pihak yang mengklaim Islam di Indonesia saat ini tengah mengalami fase
kejumudan. Dampaknya, terjadi beberapa penyimpangan dalam masalah agama, yang secara umum
terbagi kedalam dua hal yaitu penyimpangan pola pikir dan praktik ritual. Meskipun kedua
penyimpangan itu sangat meresahkan, namun yang disebut pertama sejatinya merupakan masalah yang
sesungguhnya. Sebab, hal ini akan menyebabkan penyelewengan prinsip normatif dalam tingkah laku
dan akhlak. Sedangkan pelakunya sendiri tidak mengetahui bahwa apa yang ia lakukan tidak seperti
yang seharusnya dilakukan. Ia sangat mungkin mengira kesalahan sebagai kebenaran, atau sebaliknya
kebenaran sebagai kekeliruan. Ini disinyalir lahir sebagai dampak dari berhentinya semangat pengkajian
Islam yang dinamis dan terus berkembang. Oleh karena itu, tidak sedikit dari Muslim Indonesia sendiri
yang mencoba meneriakkan ide pembaharuan pemikiran Islam atau biasa disebut tajdid. Meskipun ide
ini mendapat respons yang cukup baik, pada kenyataannya dalam memahami makna pembaharuan, para
cendekiawan Muslim terpecah kedalam dua kelompok besar. Sebut saja kelompok klasik dan kelompok
sekuler.
Kelompok klasik ingin mencoba mengaplikasikan tajdid melalui proses yang berorientasi pada
pelurusan pemikiran dan pemahaman keagamaan dengan merujuk kembali pada peninggalan
cendekiawan terdahulu. Slogan utama kelompok ini adalah kembali kepada dasar Islam yang tertuang
dalam Qur’an dan Sunah. Sedangkan kelompok kedua mencoba mengangkat semangat liberalisasi
agama yang mengharuskan perubahan radikal dalam pemikiran keagamaan dengan mengadopsi ide-ide
baru dari sejarah peradaban lain yang dinilai sesuai konteks kekinian (kontekstualis) sebagai upaya
untuk menyesuaikan ajaran agama dengan perubahan zaman. Ide kedua ini mulai berkembang luas di
Indonesia semenjak pertengahan akhir abad ke-20.
Abad ke-20 dinilai sebagai awal terjadinya gerakan untuk menegakkan Islam demi kemuliaan
agama Islam sebagai idealita dan kejayaan umat sebagai realita dapat diwujudkan secara konkret dengan
menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya. Kesadaran baru yang muncul saat itu adalah
keyakinan bahwa cita-cita yang besar dan berat itu hanya dapat direalisasikan dengan organisasi yang
efisien dan efektif (Pasha dan Darban, 2002). Disadari pula gagasan baru itu hanya akan tersebar luas
jika digunakan media yaitu majalah.
Gagasan perlunya pembaharuan memang telah muncul sebelum abad ke-20, yaitu sejalan
dengan pulangnya ulama yang telah menuntut ilmu di Mekah yang bersamaan pula dengan
berkembangnya gerakan Wahabi yang menginginkan pemurnian pelaksanaan ajaran Islam. Gerakan
yang muncul mulai dari upaya perseorangan dengan membuka surau atau madrasah, penerbitan
majalah, serta pembentukan organisasi sosial, ekonomi, keagamaan, dan bahkan kemudian bergeser ke
organisasi politik. Para peneliti sering mengaitkan munculnya kegiatan pendidikan Islam dengan
masuknya Islam ke suatu daerah (Junus, 1985).

3
BAB 2
PEMBAHASAN

Tajdid diambil dari bahasa arab “jaddada-yujaddidu-tajdiidan” yang artinya “terbaru atau
menjadi baru”. Kata ini kemudian dijadikan jargon dalam gerakan pembaruan islam agar terlepas dari
Bidah, Takhayul dan Khurafat. Tajdid maknawi pula berlaku umpamanya pada agama sama ada dalam
bentuk pembaharuan kefahaman (tajdid fikri) atau tajdid amal yang meliputi tajdid imani dan tajdid
ruhi. Tajdid bertujuan untuk memfungsikan islam sebagai hudan, furqan dan rahmatan Lil’alamin,
termasuk mendasari dan membimbing perkembangan kehidupan masyarakat, ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dimensi tajdid dalam Muhammadiyah meliputi:
(1) Pemurnian aqidah dan ibadah, serta pembentukan akhlak mulia (alakhlaq al-karimah)
(2) Pembangunan sikap hidup dinamis, kreatif, progressif, dan berwawasan masa depan.
(3) Pengembangan kepemimpinan organisasi dan etos kerja dalam Pesyarikatan Muhammadiyah
Putusan Muktamar Tarjih ke XXII, 1989 di Malang.
Dalam perkembangan sejarah Islam, tajdid juga dipahami sebagai pembaharuan dalam
kehidupan keagamaan, baik berbentuk pemikiran maupun gerakan, sebagai reaksi atau tanggapan
terhadap tantangan internal maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dengan urusan sosial umat
Islam. Istilah tajdid atau pembaharuan juga sering digunakan dalam konteks gerakan Islam modern.
Tajdid mempunyai makna memperkuat dimensi spiritual iman dan praktik muslim.
Tajdid mempunyai makna memperkuat dimensi spiritual iman dan praktik, seperti terlihat
dalam karya al-Ghazali Ihya' 'Ulum al-Din dan karya Ibnu Taimiyah al-Radd 'ala al-Hululiyah wa al-
Ittihadiyah. Pada masa modern, tajdid adalah upaya para salafi dan modernis Islam untuk
memperkenalkan pengaruh Islam dalam kehidupan Muslim. Dengan demikian, ada dua kecenderungan
di sini, yakni kecenderungan salafi dan reformis modernis (Khalil, 1995: 431). Pertama, kecenderungan
gerakan salafi (seperti Muhammad Ibn Abdul Wahhab). Gerakan salafi sama sekali tidak berkaitan
dengan pengaruh Barat. Gerakan ini lebih mengutamakan upaya pemurnian aqidah Islam dari bahaya
tahayul dan khurafat; juga pemurnian ibadah dari bahaya bid'ah. Gerakan ini berusaha membersihkan
praktik dan pemikiran keagamaan dari unsurunsur asing dengan menekankan pada tauhid. Ziarah dan
pensucian atas para wall atau makam mereka ditolak karena mengandung kemusyrikan. Islam harus
menjadi petunjuk hidup Muslim. Gerakan ini belum melihat kebutuhan untuk mereinterpretasi Islam
agar sesuai dengan kehidupan modern, karena orientasinya pada masalah-masalah aqidah dan ubudiyah
(Khalil, 1995: 432).
Kedua, kecenderungan gerakan reformis/modernis (seperti: Jamaluddin al-Afghani dan
Muhammad Abduh). Gerakan ini memandang masyarakat muslim gagal menangkap spirit kemajuan
dan perkembangan dalam seluruh aspek kehidupan yang telah dicapai Eropa. Para reformis tidak
bermaksud mengundang westernisasi. Mereka justru mengkritik kebutaan dunia Muslim dalam melihat
cara-cara Barat memperoleh kemajuan, mereka berusaha memperbaiki martabat kebesaran Muslim, dan
Arab melalui peremajaan pemikiran dan praktik Islam (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1993: 42).
Dengan demikian, gerakan reformis/modernis berkaitan erat dengan Barat; berusaha merespon
tantangan sebagai akibat kontak dengan Barat. Umat Islam sadar akan keterbelakangan dan stagnasi
budaya dunia Islam. Mereka tidak hanya yakin bahwa Islam sesuai dengan sains, bahkan percaya bahwa
kemajuan Eropa adalah hasil kontribusi peradaban Islam/Arab, mengakui peran akal bahkan menolak
bahwa akal tidak sesuai dengan iman. Pembaharuan akan gagal jika ulama Muslim terus menganjurkan
taqilid. Taqlid ditolak karena merupakan.faktor terbesar stagnasi budaya di dunia Islam/Arab dan
menyebabkan orang beriman tergantung pada tafsir-tafsir lama.
Pembaharuan di mata reformis/ modernis adalah memperbaharui agama itu sendiri (lihat
misalnya penggunaan definisi ini pada judul karya M. Iqbal, Reconstruction of Religious Thought in

4
Islam, New Delhi, 1985) bukan karena Islam sudah tidak memadai, tetapi karena interpretasi dan
reinterpretasi Islam adalah proses berkesinambungan. Mereka menganjurkan ijtihad, karena dengan
ijtihad, problem modernitas dapat direspons dengan jawaban modern. Perhatian utama para reformis
berkaitan dengan upaya perbaikan pendidikan, status perempuan dalam masyarakat, politik,
nasionalisme dan upaya modernisasi seluruh aspek kehidupan lainnya.
Perbaikan pendidikan meliputi penyerapan sains; dan temuan-temuan baru ke dalam kurikulum
institusi belajar Islam; modernisasi pendidikan sipil dengan tujuan untuk member! kontribusi bagi
kemajuan bangsa. Untuk mendudukkan perempuan pada posisi yang adil, reformis menolak anggapan
inferioritas mereka dalam bidang sosial dan hukum. Ketertindasan perempuan di dunia Islam adalah
hasil dari kebodohan dan salah tafsir terhadap teks-teks Islam. Reformis juga memandang keyakinan
bahwa ulama tidak harus tunduk pada penguasa politik, kecuali dalam hal-hal yang berbahaya bagi
kepentingan Muslim. Ulama hanya tunduk pada Tuhan dan bukan pada penguasa demi upah atau
hadiah. Ulama harus berpikir independen dan tahan terhadap tekanan politik. Akhirnya, para reformis
juga mengaitkan upaya pembaharuan dengan kesadaran nasionalisme bangsa-bangsa Muslim untuk
menentang penjajahan Eropa dan mendirikan negara-bangsa yang berdaulat. Dengan demikian,
pambaharuan meliputi dimensi internal dan eksternal, dan kedua dimensi ini harus didekati secara
simultan.
Berikut ini adalah contoh tokoh-tokoh utama yang melakukan gerakan pembaharuan Islam
klasik dan modern, baik salafi maupun reformis.
1. Ibnu Taimiyah (1263-1328)
Corak pemikiran Ibnu Taimiyah bersifat empiris sekaligus rasionalis. Empiris dalam
arti bahwa ia mengakui kebenaran itu hanya ada dalam kenyataan, bukan dalam pemikiran
(alhaqiqah fi al-a'yan la fi al-adhhan), dan rasionalis dalam arti ia tidak mempertentangkan
antara akal dengan naqi (al- Qur'an dan hadits) yang sahih. la menolak logika sebagai metode
berpikir deduktif yang tidak dapat digunakan untuk mengkaji materi keislaman secara hakiki.
Upaya pembaharuannya antara lain sebagai berikut.
a) Sebagian besar aktivitasnya diarahkan untuk memurnikan paham tauhid.
b) Menggatakkan umat Islam agar bergairah kembali menggali ajaran-ajaran al-Qur'an
dan hadits, serta mendorong mereka melakukan ijtihad dalam menafsirkan ajaran-
ajaran agama.
c) Untuk kembali pada al-Qur'an dan hadits diperlukan ijtihad, maka ia menentang taklid.
d) Di dalam berijitihad tidak terikat pada madzhab atau imam.
e) Dalam bidang hukum Islam, Ibnu Taimiyah menawarkan suatu metode baru.
2. Muhammad Ibn Abdul Wahhab (1730-1791)
Muhammad Ibn Abdul Wahhab, Dari ayahnya ia memperoleh pendidikan di bidang
keagamaan dan mengembangkan minatnya di bidang tafsir, hadits, dan hukum madzhab
Hanbaliyah. Untuk meningkatkan pengetahuannya ia banyak melakukan perjalanan mencari
ilmu. Ia juga membaca karya-karya Ibn Taimiyah dan Ibn al- Qay-yim al-Jauziyah, sehingg-a
ia benar-benar menjadi seorang ulama, ahli hukum dan pembaharu ternama. Proses
pembahamannya dimulai dengan banyak menyampaikan ceramah dan khutbah dengan berani
dan antusiasme. Inti gerakan pembaharuannya adalah :
a) Pembaharuan Islam yang paling utama disandarkan pada persoalan tauhid.
b) Wahhab sangat tidak setuju dengan para pendukung tawashshul.
c) Sumber-sumber syari'ah Islam adalah al-Qur'an dan Sunnah.
d) Serupa dengan Ibn Taimiyah, Wahhab menyatakan pentingnya negara dalam
memberlakukan secara paksa syari'ah dalam masyarakat yang otoritas tertinggi ada di
tangan khalifah atau imam yang harus bertindak atas dasar saran ulama dan
komunitasnya.

5
3. Jamaluddin al-Afghani (1838/1839-1897)
Karirnya lebih menggambarkan sebagai tokoh politik, Jamaluddin al-Afghani telah
berjasa memberikan kontribusi bagi pembaharuan Islam modern. Pengalamannya berkelana ke
Negara-negara Barat, membawa pada suatu kesimpulan bahwa dunia Islam dalam keadaan
mundur, sementara Barat mengalami kemajuan. Ini mendorongnya untuk melahirkan
pemikiran-pemikiran baru. Untuk mengatasi keterbelakangan dan kemunduran tersebut,
Jamaluddin mengemukakan dan memperjuangkan gagasan pembaharuannya meliputi:
a) Dari sudut pandang Islam tradisional, Jamaluddin mengemukakan pentingnya
kepercayaan pada akal dan hukum alam, yang tidak bertentangan dengan kepercayaan
pada Tuhan.
b) Jamaluddin berhasil mendukung kebangkitan nasionalisme di Mesir dan India.
c) Jamaluddin menyatakan ide tentang persamaan antara pria dan wanita dalam beberapa
hal. Wanita dan pria sama kedudukannya.
4. Muhammad Abduh (1848-1905)
Abduh lebih banyak menulis dan menerjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa Arab di
Beirut. Di kota inilah ia menyelesaikan Risalah al-Tauhid. Pada tahun 1888 ia kembali ke Mesir
setelah masa pengasingannya berakhir. Karir Abduh memasuki babakan baru. Kesan
keterlibatan Muhammad Abduh dalam Pemberontakan 'Urabi Pasya tampaknya belum terhapus
di hati Khedewi Tawfik penguasa Mesir saat itu. Permohonan Abduh agar ia diizinkan
mengajar di Dar al-'Ulum ditolaknya. Sebaliknya ia menawarkan kepada Abduh jabatan hakim
di kota Benha dan di luar kota Kairo. Abduh sebenarnya tidak menyenangi jabatan tersebut ia
melihat tidak adajalan lain yang lebih baik, maka menerima tawaran tersebut. Jabatan itu
diterima dan dimanfaatkan untuk merealisasi cita-cita pembaharuannya. Ia juga menjabat
sebagai penasehat pada Mahkamah Tinggi di Kairo. Ada tiga pranata yang menjadi sasaran :
a) Pembaharuan di bidang pendidikan dipusatkan di al-Azhar. Ia beralasan bahwa al-
Azhar adalah pusat pendidikan Mesir dan dunia Islam. Pembaharuan yang
dilakukannya menyangkut sistem
b) Pembaharuan di bidang hukum.
c) Wakaf juga merupakan institusi yang menjadi perhatiannya. Wakaf merupakan sumber
dana yang sangat berarti pada masa itu, sedangkan dalam pengelolaan administrasi
sangat tidak efektif.
5. Muhammad Rasyid Ridha
Ide-ide pembaharuan penting yang dibawa Rasyid Ridha adalah dalam bidang agama,
bidang pendidikan, dan bidang politik. Dalam bidang agama ia berpendapat bahwa umat Islam
lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang murni seperti
yang dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya, melainkan ajaran-
ajaran yang sudah banyak bercampur dengan bid'ah dan khurafat. Selanjutnya ia menegaskan,
jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada al-Qur'an dan sunnah
Rasulullah SAW dan tidak terikat dengan pendapat-pendapat ulama terdahulu yang tidak lagi
sesuai dengan tuntutan hidup modern.
Dalam bidang pendidikan Rasyid Ridha mengikuti gurunya, Muhammad Abduh. Ridha
sangat menaruh perhatian terhadap pendidikan. Umat Islam hanya dapat maju apabila
menguasai bidang pendidikan. Oleh karena itu, ia selalu menghimbau dan mendorong umat
Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembagalembaga pendidikan.
Menurut Rasyid Rida, membangun lembaga pendidikan lebih bermanfaat dari pada
membangun masjid.
Selain aktif di bidang pendidikan, ia juga aktif berkiprah di dunia politik. Ide-idenya
yang penting di bidang politik adalah tentang ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Ia

6
melihat salah satu penyebab kemunduran umat Islam ialah perpecahan yang terjadi di kalangan
mereka. Untuk itu, ia menyeru umat Islam agar bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu
sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk kepada satu sistem hukum dalam satu
kekuasaan yang berbentuk negara. Akan tetapi, negara yang diinginkan Rasyid Ridha bukan
seperti di Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa al-
Khulafa' ar-Rasyidun (empat khalifah besar).

Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia


1. Jami'atul Khair dan Al-Irsyad
Organisasi pembaharuan pertama yang didirikan di Indonesia adalah Jami'atul Khair,
pada 15 Juli 1905. Pendirinya bernama Sayid Muhammad al-Fateh ibn Abdurrahman al-
Masjhur, Sayid Muhammad ibn Abdullah ibn Sjihab, Sayid Idms ibn Ahmad ibn Sjihab dan
Sayid Sjehan ibn Sjihab. Meskipun organisasi ini mayoritas anggotanya adalah orang-orang
Arab, tetapi terbuka untuk aetiap Muslim tanpa diskriminasi. Kegiatan yang menjadi perhatian
organisasi ini meliputi dua bidang; pendirian dan pcmbinann sekolah pada tingkat dasar dan
pengiriman anakanak muda ke Turki untuk melanjutkan studi.
Pentingnya Jami'atul Khair terletak pada kenyataan bahwa organisasi inilah yang
memulai organisasi modern dalam masyarakat Islam (yaitu dengan adanya anggaran dasar,
daftar anggota tercatat, dan rapat-rapat berkala) dan mendirikan sekolah yang menerapkan
sistem modern (adanya kurikulum, sistem klasikal, dan perlengkapan kolas). Namun demikian,
umur organisasi ini tidak panjang Setelah kedatangan Ahmad Soorkati dan kawan-kawannya
sebagai guru di sekolah Jami'atui Khair, di samping mengajarkan pelajaran-pelajaran umum,
juga menekankan daya kritik dan pemikiran kembali kepada Al-Qur'an dan Al-Hadits. Mereka
memperkenalkan ide-ide mengenai persamaan sesama Muslim. Ide yang terakhir inilah yang
menyebabkan kedudukan para Sayid merasa terancam. Dari sinilah benih perpecahan mulai
muncul. Akhirnya Ahmad Soorkati keluar dari Jami'atul Khair dan merintis berdirinya
organisasi al-Irsyad.
Al-Irsyad sendiri merupakan organisasi Islam yang secara resmi menekankan
perhatian pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat Arab meskipun anggotanya ada
dari non-Arab. Al-Irsyad berjasa dalam mendirikan banyak lembaga sekolah dari tingkat dasar
hingga sekolah guru. Ada juga sekolah takhasus dengan spesialisasi dalam bidang agama,
pendidikan atau bahasa. Al-Irsyad juga memberikan beasiswa untuk beberapa lulusannya guna
belajar ke luar negeri, terutama ke Mesir. Organisasi ini juga mempergunakan tabligh dan
pertemuan-pertemuan sebagai cara untuk menyebarkan pahamnya. Ia juga menerbitkan buku-
buku dan pamflet-pamflet.
a. Sarekat Islam
Dengan perubahan nama menjadi Sarekat Islam, organisasi ini mengubah haluan
menjadi organisasi yang bergerak di bidang politik. Organisasi ini perjuangannya dalam
melawan penjajah tidak lagi menggunakan pendekatan kooperatif, tetapi dengan
pendekatan nonkooperatif. SI berkeyakinan bahwa agama Islam itu membuka pemikiran
tentang persamaan derajat manusia sambil menjunjung tinggi negeri. Mereka tidak
mengakui suatu golongan berkuasa di atas golongan lainnya. Oleh karena itu, segala
bentuk penindasan oleh kapitalisme dan kolonialisme harus dienyahkan. SI menuntut
perbaikan nasib rakyat di bidang agraria dan pertanian dengan menghapuskan undang-
undang kolonial tentang pemilikan tanah, pajak-pajak hendaknya ditarik secara
proporsional.
Di samping itu, SI juga mempunyai perhatian di bidang pendidikan. SI menuntut
penghapusan peraturan yang mendiskriminasikan penerimaan murid-murid di sekolah-

7
sekolah; ia menuntut pelaksanaan wajib belajar untuk semua penduduk, serta perbaikan
lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkat. Sedangkan di bidang agama, SI
menuntut penghapusan segala macam undang-undang dan peraturan yang menghambat
tersebarnya Islam, pembayaran gaji bagi kyai dan penghulu, subsidi lembaga-lembaga
pendidikan Islam, dan pengakuan harihari besar Islam. Meskipun akhirnya SI tidak begitu
terdengar gaungnya dalam perjalanan sejarah, paling tidak ia telah memberi kontribusi
bagi perjuangan politik bangsa Indonesia. Kini Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)
muncul kembali dalam bentuk partai Islam meskipun meraih suara yang sangat kecil dalam
pemilu.
b. Persatuan Islam
Persatuan Islam (Persia) didirikan di Bandung, 17 September 1923 oleh KH.
Zamzam, seorang ulama asal Palembang. Persatuan Islam bertujuan mengembalikan kaum
Muslimin kepada pimpinan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, dengan jalan mendirikan
madsarah-madrasah, pesantren dan tabligh melalui ceramah-ceramah, menerbitkan
majalah, brosur dan buku. Majalah yang menonjol terbitan Persis adalah "Pembela Islam"
dan majalah al-Muslimun, yang banyak membahas masalahmasalah hukum agama. Seperti
kedua saudaranya yang telah lahir lebih dahulu (Al-Irsyad dan Muhammadiyah), Persis
sangat getol dalam usahanya memberantas segala bentuk takhayul, bid'ah dan khurafat
(TBC).
Kegetolannya memberantas TBC semakin menonjol setelah Persis dipimpin oleh A.
Hasan. Perjuangan A. Hasan dalam memberantas TBC dengan cara yang radikal dan tidak
tanggung-tanggung. Di bawah kepempinan A. Hasan, Persis berkembang pesat terutama
di Jawa Barat dan Jawa Timur. Di antara kader hasil tempaan pendidikan Persis, adalah
ulama terkemuka Dr. Muhammad Natsir, yang pernah menjadi Perdana Menteri RI dan
menduduki jabatan penting dalam lembaga Islam Internasional, seperti Rabithah Alam
Islami dan Muktamar Alam Islami.
c. Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhyjah 1330
Hijriyah bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Kota Yogyakarta.
Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang telah menghembuskan jiwa pembaharuan
pemikiran Islam di Indonesia, memberantas TBC, mengusahakan umat Islam kembali
kepada Al-Qur'an dan Sunnah, dan bergerak di berbagai bidang kehidupan umat.

8
BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan
Tajdid berarti pembaharuan, yakni memperbaharui kehidupan keagamaan kaum muslimin, baik
dalam wilayah ibadah, aqidah maupun dalam wilayah mu'amalah, dunyawiyah. Ada dua kecenderungan
pembaharuan, yakni kecenderungan ke arah salafi yang mengutamakan pemurnian ibadah dan aqidah
dari bid'ah, khzimfat, takhayul dan syirik maupun kecenderungan ke arah modernisme/reformisme.
Kecenderungan kedua ini mengarahkan gerakannya pada pembaharuan bidang pendidikan, politik,
sosial budaya, dan mengangkat harkat martabat kaum wanita. Tokoh pembaharu pada periode klasik
sampai modern adalah Ibnu Tamiiyah, Muhammad ibn Abdul Wahhab, Jamaluddm alAfghani,
Muhammad Abduh dan Rasyid Rida.
Gerakan Islam merupakan satu fenomena yang mencerminkan jiwa zamannya. Lingkungan
kultural dan sosial mendorong seseorang untuk sesuatu dan membangun jaringan, merumuskan
masalah, mencari jalan keluar, dan melakukan tindakan reformasi sosial dan kultural. Faktor eksternal
yang merupakan faktor penentu bagi yang muncul- nya proses transformasi dapat berlangsung lebih
cepat dari faktor internal. Peran media massa sangat mendukung sosialisasi gagasan baru baik dalam
skala nasional maupun internasional, Gerakan Reformasi Islam telah berhasil menunjukkannya secara
fisik. Lembaga pendidikan, fasilitas pelayanan sosial, seperti rumah sakit, gedung perkantor, dan
sarana-prasarana fisik lainnya, sudah berhasil diwujudkan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Muhiddin. Muhammad. (2019). Tajdid dan Taqlid . Jurnal Al-Asas, 3(2), pp. 55-72.

Junus, Mohammad. 1985. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.

Modul Kuliah Pertemuan 1-14 pada Mata Kuliah Kemuhammadiyahan.

Pasha, Musthafa Kamal & Adaby Darban. (2002). Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam dalam
Perspektif Historis dan Ideologis. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam.

10

Anda mungkin juga menyukai