Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama akhir zaman, dimana kesempurnaan dan
kebenarannya diciptakan oleh Allah SWT. Kehadirannya dalam sejarah
membawa perubahan dan kemajuan besar bagi adab dan budaya umat manusia
karena ia menganjurkan agar setiap kaum selalu berusaha untuk mengubah
nasibnya.
Di awal perkembangannya sewaktu nabi Muhammad SAW., masih ada
dan pengikutnya baru terbatas pada bangsa Arab yang terpusat di Makkah dan
Madinah, dia diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya sama
berkata “kami telah mendengar dan kami taat”.
Akan tetapi, perjalanan sejarahnya selama kurun waktu empat abad
yang sudah dilaluinya dan bergerak oleh watak aslinya yang membawa dan
menganjurkan perubahan itu, setiap mencapai suatu daerah atau memasuki
suatu bangsa, ia terpaksa dihadapkan dengan tradisi asli daerah dan suku
bangsa tersebut dalam segala bentuk dan aspeknya. Perhadapan muka ini telah
menimbulkan aksi dan reaksi, membuahkan berbagai hal dan peristiwa,
sebanyak yang positif ada juga yang negatifnya.
Sebenarnya Tajdid atau Pembaharuan dapat ditelusuri latar
belakangnya yang dapat dilihat dalam beberapa faktor, yaitu faktor politik,
sosial, budaya dan ilmu pengetahuan. Dalam sejarah pembaharuan terdapat
beberapa tokoh yang cukup terkenal yaitu, Muhammad Abduh. Dimana
pikiran-pikirannya cukup besar pengaruhnya terhadap pembaharuan di dalam
Islam dan Dunia Islam.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian, Ruang Lingkup, Metode Kajian Pemikiran dalam
Islam?
2. Apa Manfaat Kajian Pemikiran dalam Islam?
3. Bagaimana corak pemikiran tokoh Muhammad Abduh ?
4. Bagaimana corak pemikiran tokoh Rasyid Ridho?

1
5. Bagaimana corak pemikiran tokoh Sayid Ahmad Khan?
6. Bagaimana corak prmikiran tokoh Sayid Amir Ali?
C. Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini bertujuan untuk
mengetahui dan mendeskripsikan:
1. Pengertian, Ruang Lingkup, Metode Kajian Pemikiran dalam Islam
2. Manfaat Kajian Pemikiran dalam Islam
3. Corak pemikiran tokoh Muhammad Abduh
4. Corak pemikiran tokoh Rasyid Ridho
5. Corak pemikiran tokoh Sayid Ahmad Khan
6. Corak prmikiran tokoh Sayid Amir Ali
D. Kegunaan
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik
teoritis maupun praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai
pengembang wawasan tentang Pemikiran Modern dalam Islam..
Secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. Penulis, sebagai wahana untuk menambah pengetahuan khususnya
tentang Pemikiran Modern dalam Islam;
2. Pembaca, terutama pendidik baik formal, semi formal maupun nonformal
supaya dapat memahami tentang Pemikiran Modern dalam Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Ruang Lingkup, Metode Kajian Pemikiran Islam
1. Pengertian
Kata modern yang berada di belakang kata islam, berasal dari
bahasa inggris modernistic yang berarti model baru. Selanjutnya
dalam kamus umum bahasa Indonesia, Kata modern diartikan sebagai
yang terbaru secara baru, mutakhir. Selanjutnya kata modern erat pula
kaitannya dengan kata modernisasi yang berarti pembaharuan
atau tajdid dalam bahasa arabnya. Dalam masyarakat barat modernisasi
mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah
paham-paham, adat-istiadat lama dan sebagainya untuk disesuaikan
dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern. Kata tersebut selanjutnya masuk kedalam literature
islam yang berarti upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan
interpretasi terhadap pemahaman, pemikiran, dan pendapat tentang
masalah keislaman yang dilakukan oleh pemikiran terdahulu untuk
disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Kata yang lebih di kenal untuk pembaharuan adalah modernisasi.
Kata modernisasi lahir dari dunia barat, adanya sejak terkait dengan
masalah agama. Dalam masyarakat barat kata modernisasi mengandung
pengertian pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-
paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya. Agar semua
itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadan baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.
Pembaharuan Islam adalah upaya untuk menyesuiakan paham
keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan
ilmu pengetahuan dan terknologi modern.1 Dengan demikian pembaharuan
dalam Islam bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks
Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas

1
Abudin Nata,Metodologi Studi Islam. (Jakarta : PT. raja Grafindo Persada,2001), h. 41

3
keduanya. Sesuai dengan perkembangannya zaman, hal ini dilakukan
karena betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau
pakar di zaman lampau itu tetap ada kekurangannya dan selalu
dipengaruhi oleh kecendrungan, pengetahuan, situasional, dan sebagainya.
Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang mungkin masih banyak
yang relevan dan masih dapat digunakan, tetapi mungkin sudah banyak
yang tidak sesuai lagi.
Kata tajdid sendiri secara bahasa berarti “mengembalikan sesuatu
kepada kondisinya yang seharusnya”. Dalam bahasa Arab, sesuatu
dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan
masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk
mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Atau dengan
ungkapan yang lebih jelas, Thahir ibn ‘Asyur mengatakan, “Pembaharuan
agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di
dunia. Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan
pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari sisi
pengamalan agamisnya dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga
dari sisi upaya menguatkan kekuasaan agama”.2
Dalam Islam sendiri, seputar ide tajdid ini, Rasulullah saw. sendiri
telah menegaskan dalam haditsnya tentang kemungkinan itu. Beliau
mengatakan, yang artinya: “Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk
ummat ini pada setiap pengujung seratus tahun orang yang akan
melakukan tajdid (pembaharuan) terhadap agamanya.” (HR. Abu Dawud ,
no. 3740).
2. Ruang Lingkup
Pemikiranya adalah upaya memperbaiki keadan umat Islam dan
merupakan reaksi dari paham tauhid yang terdapat dikalangan Umat Islam
saat itu. Dimana paham-paham tauhid mereka telah tercampur dengan
ajaran-ajaran lain sejak abad ke-13.

2
M. Yusran Asmuni. Pengantar Studi Pemikiran dan Geerakan Pembaharuan dalam
Dunia Islam. (Jakarta: Rajawali, 1998.), h. 56

4
Adapun aliran yang menyeleweng, pada saat itu orang-orang yang
sering meminta pertolongan atau bantuan kepada makam-makam Syeh
yang telah meninggal. Adapula yang meminta pertolongan untuk
menyelesaikan masalah sehari hari, meminta anak, jodoh bahkan ada yang
meminta kekayaan. Paham ini menurut paham wahabiyah termasuk syirik
karena permohonan dan doa tidak lagi di panjatkan kepada Allah.
Masalah Tauhid merupakan ajaran yang paling dasar dalam Islam.
Oleh karena itu tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab
memusatkan perhatianya pada persoalan ini.
Adapun pokok-pokok pemikiranya adalah:3
1. Yang harus disembah hanyalah Allah dan orang-orang yang
menyembah selain Allah dinyatakan Musyrik.
2. Kebanyakan orang islam bukan lagi penganut paham Tauhid yang
sebenarnya karena mereka meminta pertolongan kepada selain Allah,
melainkan kepada Syeh, Wali atau kekuatan gaib. Orang Islam yang
berprilaku demikian juga dikatakan musyrik.
3. Menyebut nama Nabi, Syeh atau malaikat sebagai pengantar dalam
doa juga dikatakan syirik.
4. Meminta syafaat selain kepada Allah juga syirik.
5. Bernazar kepada selain Allah juga syirik.
6. Memperoleh pengetahuan selain dari Al-qur’an, Hadis dan Qiyas
merupakan kekufuran.
7. Tidak mempercayai kepada Qada’ dan Qadar juga mmerupakan
kekufuran.
8. Menafsirkan Al-qur’an dengan Ta’wil atau interpretasi bebas juga
termasuk kekufuran.
Untuk mengembalikan kemurnian Tauhid tersebut, makam-makam
yang banyak dikunjungi dengan tujuan mencari syafaat, keberuntungan
dan lain-lain yang membawa kepada paham syirik, mereka berusaha
menghapuskan paham ini. Pemikiran Muhammad Abdul Wahab yang
3
Achmad Jainuri. “Landasan Teologis Gerakan Pembaruan Islam”, dalam Jurnal
Ulumul Qur’an, (No. 3. Vol. VI, Tahun 1995.), h. 62

5
mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad
ke-19 adalah:
1. Hanya Al qur’an dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran-ajran
Islam. Dan pendapat ulama’ bukanlah sumber, menurut paham
wahabiyah.
2. Taklid kepada ulama’ tidak dibeanarkan.
3. Pintu ijtihad senantiasa terbuka tidak tertutup.
Muhammd Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif
berusaha mewujudkan pemikiranya. Ia mendapat dukungan dari
Muhammad Ibnu Su’ud dan putranya Abdul Aziz. Paham-pahamnya
tersebar luas dan pengikutnya bertambah banyak sehingga ditahun 1773 M
mereka mendapat mayoritas di Riyadh. Pada tahun 1787 Muhammad
Abdul Wahab meninggal, namun ajaran-ajaranya tetap hidup dan
mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiyah.4
3. Metode
Untuk mewujudkan tujuan di atas, maka ijtihad dapat dipandang
sebagai metode pokok untuk berjalannya gerakan pembaruan Islam
(tajdid). Statemen ini tentunya tidak terlalu berlebihan karena pada
dasarnya pembaruan Islam akan bermuara kepada aktualisasi,
rasionalisasi, dan kontekstualisasi ajaran Islam di tengah kehidupan sosial,
dan semua itu memerlukan upaya ijtihady.
Aktualisasi di sini berkaitan dengan bagaimana agar pelaksanaan
kehidupan umat tidak menyimpang dari ajaran Islam sekaligus bagaimana
agar makna universalitas Islam dapat terwujud dan teraktualisasikan dalam
semangat jaman sehingga dalam kehidupan sosial, Islam tidak dijadikan
sebagai alasan terjadinya kemunduran dan kelemahan, bahkan kehancuran.
Padahal, hal itu sebenarnya disebab-kan ketidakmampuannya
menerjemahkan Islam dalam tatanan kehidupan yang terus berkembang.

4
Abdul Sani. Perkembangan Modern dalam Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998), h, 78

6
Dalam konteks sejarahnya bahwa ijtihad telah memberikan sumbangan
besar dalam perkembangan pemikiran umat Islam, khususnya dalam upaya
menghadapi persoalan kehidupan sosial. Tentu ijtihad dalam konteks ini
bukan dibatasi dalam hal hukum (syari’ah) semata yang selama ini banyak
dipahami, melainkan yang terpenting bagaimana ijtihad dimaknai sebagai
upaya untuk menilai “ulang” terhadap berbagai warisan keagamaan yang ada,
serta adanya kebebasan untuk menafsirkan kembali sesuai dengan pemikiran
modern. Semangat untuk terus menghidupkan ijtihad merupakan salah satu
tema pokok yang selalu digelorakan oleh para pembaru (mujaddidun).
B. Kegunaan Kajian Pemikiran Modern dalam Islam
Revivalisme juga berati bangkit kembali, tetapi kembali ke masa
lampau, bahkan berkeinginan untuk meng-hidupkan kembali yang sudah
usang. Renaisans, jika hanya diartikan secara umum nampaknya
membangkitkan kembali ke masa-masa yang sudah ketinggalan zaman,
bahkan ada konotasi menghidupkan kembali masa Jahiliyah, sebagaimana
renaisans di Eropa yang berarti menghidupkan kembali peradaban Yunani.
Jika istilah ini terpaksa digunakan, maka Renaisans Islam harus berarti tajdid.
Sementara itu reassertion berarti tegak kembali tetapi tidak mengandung tan
tangan terhadap masalah sosial yang ada.
Sebagaimana halnya di barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan
gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan
perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern itu. Dengan jalan demikian itu pemimpin-pemimpin Islam
modern berharap akan dapat melepaskan umat Islam nilai suasana
kemunduran untuk selanjutnya dibawa pada kemajuan.5
Akan tetapi di sebagian umat Islam tradisional hingga sat ini tampak
ada perasaan masih belum mau menerima apa yang di maksud dengan
pembaharuan Islam. Hal ini, antara lain disebabkan karena salah persepsi
dalam memahami arti pembaharuan dalam Islam. Mereka memandang bahwa
pembaharuan Islam adalah membuang ajaran Islam yang sama diganti dengan
5
Didiek Ahmad Supadie dan Sarjuni. Pengantar Studi Islam. (Jakarta : Rajawali Pers,
2011), h. 41

7
ajaran Islam baru, padahal ajaran Islam yang lama itu berdasarkan hasil Ijtihad
ulama besar yang dalam ilmunya taat beribadah dan unggul kepribadiannya.
Sedangkan ulama yang sekarang di pandang kurang mendalami ilmu
agamanya, kurang taat, dalam beribadahnya, dan kurang baik budi pekertinya.
Oleh Karena itu mereka masih beranggapan bahwa pemikiran ulama di abad
yang lampau sudah cukup baik dan tidak perlu diganti dengan pemikiran
ulama sekarang.
Selain itu ada pula yang memahami pembaharuan Islam dengan
mengubah Al-Quran dan Hadits, memahami Al-Quran dan Hadits menurut
selera orang yang memahaminya atau mencocokan makna Al-Quran dan
Hadits dengan makna yang dimaui oleh orang-orang yang menafsirkannya,
sehingga Al-Quran dan Hadits seperti yang terdapat dalam segala perbuatan
yang dilakukan manusia. Dengan kata lain, pembahasan Islam mereka
persepsikan dengan upaya mencocokkan kehendak Al-Quran dan Hadits
dengan kehendak orang yang menafsirkannya, bukan mengajak orang untuk
hidup sesuai dengan Al-Quran dan Hadits. Persepsi demikian hingga kini
tampak di pegang terus oleh sebagian umat Islam Tradisional tanpa mau
melakukan dialog atau diskusi dengan para tokoh Pembaharu Islam, sehingga
munculah istilah kaum modernis dan kaum tradisional.  Modern berarti
terbaru, mutakhir atau sikap dan cara berpikir serta bertindak dengan tuntutan
zaman. Sedangkan modernisasi adalah pergeseran sikap dan mentalitas
sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup
masa kini. 6
Selain itu pembaharuan dalam Islam dapat pula berarti mengubah
keadaan umat agar mengikuti ajaran yang terdapat di dalam Al-Quran dan
Sunnah. Hal ini perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara yang
dikehendaki Al-Quran dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Al-Quran
misalnya mendorong umatnya agar menguasai pengetahuan agama dan ilmu
pengetahuan modern serta teknologi secara seimbang; hidup bersatu, rukun,
dan damai sebagai suatu keluarga besar; bersikap dinamis, kreatif, inovatif,

6
Ibid, h, 42

8
demokratis, terbuka, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu,
menyukai kebersihan, dan lain sebagainya. Namun kenyataan umatnya
menunjukan keadan yang berbeda. Sebagaian besar umat Islam hanya
mengetahui pengetahuan agama sedangkan ilmu pengetahuan modern tidak
dikuasai bahkan dimusuhi; hidup dalam keadaan penuh pertentangan dan
peperangan, satu dan lainnya saling bermusuhan, statis, memandang cukup
apa yang ada, tidak ada kehendak untuk meningkatkan produktivitas dan
efisiensi kerja, bersikap diktator, kurang menghargai waktu, kurang terbuka,
dan lain sebagainya. Sikap dan pandangan hidup umat demikian jelas tidak
sejalan dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah, dan hal demikian harus
diperbarui dengan jalan kembali kepada dua sumber ajaran Islam yang utama
itu. Dengan demikian, maka pembaruan Islam mengandung maksud
mengembalikan sikap dan pandangan hidup umat agar sejalan dengan
petunjuk Al-Quran dan Sunnah.7
Sedangkan Kegunaan tajdid yang dimaksud oleh Rasulullah saw di
sini tentu bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan tetapi –seperti
dijelaskan oleh Abbas Husni Muhammad maksudnya adalah
mengembalikannya seperti sediakala dan memurnikannya dari berbagai
kebatilan yang menempel padanya disebabkan hawa nafsu manusia sepanjang
zaman. Termasuk “mengembalikan agama seperti sediakala” tidaklah berarti
bahwa seorang pelaku tajdid (mujaddid) hidup menjauh dari zamannya
sendiri, tetapi maknanya adalah memberikan jawaban kepada era kontemporer
sesuai dengan Syariat Allah Ta’ala setelah ia dimurnikan dari kebatilan yang
ditambahkan oleh tangan jahat manusia ke dalamnya. Itulah sebabnya, di saat
yang sama, upaya tajdid secara otomatis digencarkan untuk menjawab hal-hal
yang mustahdatsat (persoalan-persoalan baru) yang kontemporer. Dan untuk
itu, upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya mengoreksi
nash-nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syar’i dengan
metode yang menyelisihi ijma’ ulama Islam. Sama sekali bukan.

7
Muhammad Husain Abdullah. Studi dasar-dasar Pemikiran Islam. Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah, 2002), h. 80

9
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kegunaan tajdid dalam
Islam mempunyai 2 bentuk:8
1. Memurnikan agama -setelah perjalanannya berabad-abad lamanya- dari
hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Konsekuensinya tentu saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah
saw dan para sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian
mereka.
2. Memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul dan
berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain. Meski harus diingat,
bahwa “memberikan jawaban” sama sekali tidak identik dengan
membolehkan atau menghalalkannya. Intinya adalah bahwa Islam
mempunyai jawaban terhadap hal itu. Berdasarkan ini pula, maka kita
dapat memahami bahwa bidang-bidang tajdid itu mencakup seluruh bagian
ajaran Islam. Tidak hanya fikih, namun juga aqidah, akhlaq dan yang
lainnya. Tajdid dapat saja dilakukan terhadap aqidah, jika aqidah ummat
telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.
C. Corak Pemikiran Muhammad Abdah
Pemikiran Muhammad Abduh banyak terinspirasi dari Ibnu Taimiyah dan
pemikirannya banyak menginspirasi organisasi Islam, Abduh berpendapat, Islam
akan maju bila umatnya mau belajar, tidak hanya ilmu agama, tapi juga ilmu
sains. Latar belakang pemikiran Abduh banyak lahir atas refleksi terhadap
kondisi realitas masyarakat kala itu yang memprihatinkan. Terjadi kemunduran
intelektual umat Islam dengan ditandai beberapa hal :
1. Bahwa masyarakat Muslim mengalami kemunduran akibat kepercayaan
terhadap taqlid “mengalahkan” kepercayaan terhadap teks ajaran agama (al-
Qur’an dan hadis) yang sesungguhnya;
2. Stagnasi (kemandegan) pemikiran masyarakat Muslim. Abduh melihat bahwa
salah satu penyebab keterbelakangan umat Islam yang amat memprihatinkan
adalah hilangnya tradisi intelektual, yang pada intinya ialah kebebasan
berpikir.

8
Ibid, h. 81

10
3. Kondisi lemah dan terbelakang kaum Muslim disebabkan oleh faktor
eksternal, seperti hegemoni Eropa yang mengancam eksistensi masyarakat
Muslim dan realitas internal seperti situasi yang diciptakan oleh kaum
Muslim sendiri
Diantara sekian banyaknya pemikir muslim, pemikiran Muhammad
Abduhlah adalah salah satu yang mendapat tanggapan dari masyarakat luas. Baik
yang pro maupun yang kontra. Hal ini disebabkan buah pikirannya dan tulisan-
tulisan Abduh yang bersifat apologetik yang menyangkut aspek politik,
pendidikan tafsir, tauhid, sastra dan lain sebagainya. Ide dan pemikiran Abduh ini
kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh murid terbaiknya Rasyid Ridha.
Selain itu, Muhammad Abduh dikenal sebagai tokoh pemikir yang independen
dan bersikap liberal, karena ia banyak bersentuhan dengan peradaban Barat.
Berikut ini merupakan pemikiran-pemikiran dari Muhammad Abduh:
1. Ketauhidan (Akal dan Wahyu)
Secara umum, ada 2 (dua) pemikiran pokok yang menjadi fokus utama
pemikiran Muhammad Abduh, yaitu:10
a. Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang
menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya
salaful ummah, yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-
Qur’an dan Hadits. Sehingga ini memberikan anggapan bahwa setiap
orang boleh berijtihad.
b. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan
resmi di kantor-kantor pemerintahan, maupun dalam tulisan-tulisan di
media massa. Hal ini juga merupakan salah satu point yang ditekankan
Hasan al-Banna yang merupakan salah satu pengagum Muhammad
Abduh dan Al-Manarnya
Atas dasar kedua fokus pikirannya itu, Abduh memberikan peranan
yang sangat besar kepada akal. Begitu besarnya peranan yang diberikan
olehnya, sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh
memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada akal daripada Mu’tazilah.12
Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini :
1) Tuhan dan sifat-sifat-Nya;

11
2) Keberadaan hidup di akhirat;
3) Kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan
berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak
mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat;
4) Kewajiban manusia mengenal Tuhan;
5) Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat
untuk kebahagiaan di akhirat;
6) Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu;
2. Pendidikan Islam
Pendidikan pada umumnya tidak diberikan kepada kaum wanita,
sehingga wanita tetap tinggal dalam kebodohan dan penderitaan. Abduh
berpandangan bahwa penyakit tersebut antara lain berpangkal dari
ketidaktahuan umat Islam pada ajaran agama yang sebenarnya, karena mereka
mempelajari dengan cara yang tidak tepat. Menurut Abduh, penyakit tersebut
dapat diobati dengan cara mendidik mereka dengan sistem pengajaran
(tepatnya pembelajaran) yang tepat.
Sistem pendidikan yang ada pada masanya yang selanjutnya
melatarbelakangi pemikiran pendidikan Muhammad Abduh. Sebelumnya,
pembaruan pendidikan Mesir diawali oleh Muhammad Ali. Dia hanya
menekankan pada perkembangan aspek intelektual dan mewariskan dua tipe
pendidikan pada masa berikutnya. Model pertama ialah sekolah-sekolah
moderen, sedang model kedua adalah sekolah agama. Masing-masing sekolah
berdiri sendiri, tanpa mempunyai hubungan satu sama lain. Pada sekolah
agama tidak diberikan pelajaran ilmu-ilmu moderen yang berasal dari Barat,
sehingga perkembangan intelektual berkurang. Sedangkan sekolah-sekolah
yang diselenggarakan oleh pemerintah, hanya diberikan ilmu pengetahuan
Barat, tanpa memberikan ilmu agama.
Dualisme pendidikan yang memunculkan dua kelas sosial yang
berbeda. Yang pertama menghasilkan ulama serta tokoh masyarakat yang
enggan menerima perubahan dan mempertahankan tradisi, sedang sekolah
yang kedua menghasilkan kelas elit. Generasi muda yang dimulai pada abad
19, dengan ilmu-ilmu Barat yang mereka peroleh, membuat mereka dapat

12
menerima ide-ide Barat. Abduh melihat segi negatif dari dua model
pendidikan tersebut, sehingga mendorongnya untuk mengadakan perbaikan
pada dua instansi tersebut.
kemudian Abduh melakukan pembaruan dan perubahan pendidikan
diantaranya :
a. Tujuan Pendidikan
Menurut Abduh tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan jiwa
dan menyampaikannya pada batas-batas kemungkinan seorang mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan pendidikan yang dirumuskan
Abduh tersebut mencakup aspek akal dan aspek spiritual. Dengan tujuan
tersebut ia menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur
jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan pengembangan akal,
tetapi juga pengembangan spiritual. Abduh berkeyakinan apabila aspek
akal dan spiritual dididik dengan cara dicerdaskan dan jiwa dengan
agama, maka umat Islam akan dapat bersaing dengan ilmu pengetahuan
baru, dan dapat mengimbangi mereka dalam kebudayaan.
b. Kurikulum Sekolah
Kurikulum yang dirumuskan Muhammad Abduh adalah sebagai
berikut: (a) Untuk tingkat sekolah dasar: membaca, menulis, berhitung,
dan pelajaran agama dengan materi akidah, fikih, akhlak, serta sejarah
Islam. (b) Untuk tingkat menengah: manthiq dan dasar, dasar penalaran,
akidah yang dibuktikan dengan akal dan dalil-dalil yang pasti, fikih dan
akhlak, dan sejarah Islam. (c) Untuk tingkat atas: tafsir, hadits, bahasa
Arab dengan segala cabangnya, akhlak dengan pembahasan yang rinci,
sejarah Islam, retorika dan dasar-dasar berdiskusi, dan ilmu kalam. Dari
penerapan kurikulum di atas, tampak bahwa Abduh ingin menghilangkan
dualisme pendidikan yang ada pada saat itu. Dia menginginkan sekolah-
sekolah umum memberikan pelajaran agama dan al-Azhar diharapkan
menerapkan ilmu-ilmu yang datang dari Barat.
c. Metode Pengajaran
Abduh menekankan pemberian pengertian (pemahaman) dalam
setiap pelajaran yang diberikan. Ia mengingatkan kepada para pendidik

13
untuk tidak mengajar murid dengan metode hapalan, karena metode
hapalan menurutnya hanya akan merusak daya nalar. Abduh menekankan
metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam kepada
murid.
d. Pendidikan bagi Perempuan
Menurut Abduh, pendidikan harus diikuti oleh semua orang, baik
laki-laki maupun perempuan. Menurutnya perempuan haruslah mendapat
hak yang sama dalam bidang pendidikan. Hal ini didasarkan kepada QS
al-Baqarah (02): 228 dan QS al-Ahzab (33)
3. Ijtihad
Muhammad Abduh sangat menentang taklid yang dipandangnya
sebagai faktor yang melemahkan jiwa umat Islam. Pandangan Abduh
tentang perlunya upaya pembongkaran kejumudan yang telah sedemikian
lama mengalami pengerakan tersebut akan melahirkan ide tentang perlunya
melaksanakan kegiatan ijtihad. Menurut Abduh, taklid akan menghentikan
akal pikiran manusia pada batas tertentu, yakni taklid sangat bertentangan
dengan akal, taklid bertentangan dengan tabiat kehidupan, dan taklid itu juga
bertentangan dengan tabiat dasar-dasar dan ciri Islam 15. Muhammad Abduh
mengikis habis taklid sebagai suatu prinsip, dalam bentuknya yang ada pada
saat itu, seperti mengikuti mazhab secara harfiah dengan pengkultusan.
Fanatisme itu disebabkan oleh adanya kelemahan pemikiran, politik, dan
ekonomi pada masyarakat Islam.
Ijtihad menurut Abduh, bukan hanya boleh bahkan perlu dilakukan.
Namun, menurut ia bukan berati setiap orang boleh berijtihad. Hanya orang-
orang tertentu dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihadlah yang boleh
melakukan ijtihad tersebut. Ijtihad dilakukan langsung terhadap al-Qur’an
dan hadits sebagai sumber dari ajaran Islam 16. Lapangan ijtihad adalah
mengenai soal-soal muamalah yang ayat-ayat dan haditsnya bersifat umum
dan jumlahnya sedikit. Sedangkan soal ibadah bukanlah bagian dari
lapangan ijtihad, karena persoalan ibadah merupakan hubungan manusia
dengan Tuhan, dan bukan antara manusia dengan manusia yang tidak
menghendaki perubahan menurut zaman.

14
Bahwasanya keterbelakangan dan kemunduran yang dialami umat
Islam disebabkan oleh pandangan dan sikap jumud. Maka untuk
membebaskan umat Islam dari taklid, dan kembali kepada ajaran Islam yang
sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits. Bahkan Abduh mengecam orang yang
melakuakan taqlid. Orang yang melakukan taqlid tampaknya didasari atas
kepercayaannya yang tinggi terhadap akal. Karena menurut Abduh, Islam
menempatkan akal pada kedudukan yang tinggi. Sebab akal dapat
membedakan antara baik dan yang buruk, antara yang bermanfaat dan yang
tidak bermanfaat. Islam adalah agama yang rasional, dan menggunakan akal
merupakan salah satu dari dasar-dasar Islam. Kebenaran yang dicapai akal
tidak bertentangan dengan kebenaran yang disampaikan oleh wahyu.
Menurutnya dalil akal yang meyakinkan bertentangan dengan dalil naql
yang tidak meyakinkan.
Namun, masih menurut Abduh, ada dua cara yang dapat ditempuh
jika ditemukan adanya kontradiksi antara dalil akal dengan dalil naql.
Pertama, kita menerima dalil naql itu sebagai dalil yang sah, tetapi kita
mengakui bahwa kita tidak mampu untuk memahaminya dan menyerahkan
hal yang sesungguhnya kepada Allah SWT. Kedua, kita menta’wilkan dalil
naql itu sesuai dengan tata bahasa sehingga artinya dapat menjadi sesuai
dengan yang ditetapkan oleh akal.
Meskipun begitu, Abduh tetap mengakui keterbatasan akal manusia.
Menurutnya, selain akal juga diperlukan wahyu. Sebab, tanpa wahyu akal
tidak mampu membawa manusia untuk mencapai kebahagiaan. Selanjutnya,
Abduh berpendapat bahwa masalah-masalah yang berkenaan dengan
hakekat Tuhan dan masalah-masalah metafisika, bukan merupakan wilayah
sepenuhnya dapat dijangkau akal. Karena itu, penjelajahan akal dalam hal
seperti itu perlu dibatasi.
Disamping itu, akal juga memiliki keterbatasan dalam mengetahui
kegunaan perbuatan-perbuatan tertentu, seperti jumlah raka’at shalat dan
amalan-amalan dalam ibadah haji, dan sebagainnya. Dengan demikian,
ijtihad menurut Abduh sangat diperlukan dalam Islam, agar umat tidak

15
terbelenggu oleh taklid dan memberikan kebebasan bagi umatnya untuk
berijtihad selagi tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
4. Politik
Menurut Muhammad Abduh, Islam tidak menetapkan suatu bentuk
tertentu dalam pemerintahan. Jika bentuk khalifah masih tetap menjadi pilihan
dalam pemerintahan, maka bentuk demikianpun harus mengikuti
perkembangan masyarakat18. Ini mengandung maksud bahwa apa pun bentuk
dari suatu pemerintahan, Abduh menghendaki pemerintahan yang dinamis.
Dengan demikian, ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman.
Abduh mengatakan bahwa rakyat merupakan sumber kekuasaan bagi
pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan memiliki hak memaksa
pemerintah. Oleh karena itu rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam
menetapkan hukum untuk kemaslahatan meraka19. Karena sumber kekuasaan
adalah rakyat, Islam tidak mengenal kekuasaan agama, maksud dari
Muhammad Abduh, bahwa Islam tidak mengenal adanya kekuasaan agama
yakni, Pertama, Islam tidak memberikan kekuasaan kepada seseorang atau
sekelompok orang untuk menindak orang lain atas nama agama atau
berdasarkan mandat agama atau dari Tuhan. Kedua,Islam tidak membenarkan
campur tangan seseorang, penguasa, dalam kehidupan dan urusan keagamaan
orang lain. Ketiga, Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan
pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas orang lainseperti
yang terdapat dalam Kristen Katolik pada abad pertengahan di Barat. Islam
tidak memberikan kekuasaan kepada seorangpun selain kepada Allah dan
Rasul-Nya.
Menurut Abduh, salah satu prinsip ajaran Islam adalah mengikis habis
kekuasaan agama sehingga setelah Allah dan Rasul-Nya, tidak ada
seorangpun yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan agama orang
lain20.Bukankah Nabi Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi
peringatan tanpa adanya pemaksaan untuk mengikuti ajarannya. Pendapatnya
ini mengisyaratkan ketidaksepakatannya dengan para pemikir politik pada
masa klasik dan masa pertengahan, yang menyatakan bahwa kekuasaan
khalifah atau kepala negara itu merupakan mandat dari Allah, maka dengan

16
demikian ia harus bertenggungjawab kepada Allah pula. Menurut Abduh,
khalifah atau kepala negara hanya seorang penguasa sipil yang diangkat dan
diberhentikan oleh rakyat dan bukanlah hak Tuhan untuk mengangkat dan
memberhentikannya.
Dalam hal ketaatan, menurut Abduh rakyat tidak boleh menaati
pemimpin yang berbuat maksiat yang bertentangan dengan al-Qur’an dan
hadits, jika pemimpin berbuat sesuatu yang bertentangan, rakyat harus
menggantinya dengan orang lain, selama proses itu tidak menimbulkan
bahaya yang lebih besar dari pada maslahatnya. Dengan kekuasaan politik
yang dipegang oleh pemimpin, hendaknya prinsip-prinsip ajaran Islam dapat
dijalankan oleh yang mempunyai hak dan wewenang. Usaha pemimpin atau
pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam disesuaikan dengan
situasi dan kondisi masyarakat.
Undang-undang yang adil dan bebas bukanlah didasarkan pada
prinsip-prinsip budaya dan politik negara lain. Abduh mengatakan bahwa
harus ada hubungan yang erat antara undang-undang dan kondisi Negara
setempat. Karena setiap negara berbeda menurut perbedaan tempat, kondisi
perdagangan dan pertanian. Warganya pun berbeda-beda dalam tradisi, moral,
keyakinan, dan sebagainya. Peraturan yang cocok dan bermanfaat untuk satu
bangsa, belum tentu cocok dan sesuai untuk bangsa yang lainnya. Maka
perundang-undangan harus memperhatikan dengan benar perbedaan manusia,
sesuai dengan tingkat, kondisi, tempat tinggal, keyakinan dan tradisinya. Hal
tersebut akan memudahkan baginya untuk mengambil hal yang berguna dan
mencegah dari yang bahaya.
5. Kebebasan
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya fikir, manusia juga
mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami (natural)
yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya,
maka ia bukan manusia lagi, tetapi makhluq lain. Manusia dengan aqalnya
mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian
mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya
mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya. 22 Karena

17
yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan
tidak bersifat muthlaq. Tuhan telah membatasi kehendak muthlaq-Nya dengan
memberi kebebasan dan kesanggupan (qudrah) kepada manusia dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Kehendak muthlaq Tuhan pun dibatasi
oleh sunatullah secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunatullah
yang telah ditetapkan-Nya. Didalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan
kemauan-Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan sunatullah yang
diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.
D. Corak Pemikiran Rasyid Ridho
Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun wilayah pemerintahan
Tarablus Syam pada tahun 1282-1354 H/1865-1935 M. Dia adalah
Muhammad Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn Muhammad Syamsuddin Ibn
Muhammad Bahauddin Ibn Manla Ali Khalifah. Keluarganya dari keturunan
yang terhormat berhijrah dari Baghdad dan menetap di Qalmun. Kelahirannya
tepat pada 27 Jumad al-Tsanil tahun 1282 H/ 18 Oktober tahun 1865 M.
Pada tahun 1898 Rasyid Ridha hijrah ke Kairo dengan maksud berguru
dan bergabung dengan Muhammad Abduh. Langkah pertama yang dilakukan
Rasyid di Mesir adalah mendesak Abduh untuk menerbitkan sebuah majalah
sebagai corong mereka. Menurut Rasyid, hal ini penting karena cara yang
tepat untuk menyembuhkan penyakit umat ialah pendidikan serta menyiarkan
ide-ide yang pantas untuk menentang kebodohan dan pikiran-pikiran yang
mengendap dalam diri umat seperti fatalistik dan khurafat.  Abduh menyetujui
saran muridnya itu, kemudian terbitlah sebuah majalah yang diberi nama al-
Manar. Nama yang diusulkan Rasyid dan disetujui Abduh. Dalam terbitan
perdananya dijelaskan bahwa tujuan al-Manar sama dengan al-‘Urwah al-
Wusqa, yakni sebagai media pembaharuan dalam bidang agama, sosial,
ekonomi, menghilangkan faham-faham yang menyimpang dari agama Islam,
peningkatan mutu pendidikan, dan membela umat Islam dari kebuasan politik
Barat.
1. Bidang Pendidikan

18
Erat kaitannya dengan konsep “jihad” yang dikemukakannya,
Rasyid menganjurkan umat Islam memiliki satu kekuatan untuk
menghadapi beratnya tantangan dunia modern. Kekuatan itu hanya dapat
dimiliki jika umat Islam bersedia menerima peradaban Barat. Jalan untuk
memperoleh peradaban Barat itu ialah berusaha memperoleh ilmu
pengetahuan dan teknologi Barat itu sendiri. Ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak berlawanan dengan Islam, bahkan umat Islam wajib
mempelajari dan menerima ilmu pengetahuan dan teknologi itu bila
mereka ingin maju.
Dalam berbagai tulisannya, Rasyid mendorong umat Islam untuk
menggunakan kekayaannya dalam  pembangunan lembaga-lembaga
pendidikan. Menurut Rasyid, membangun lembaga pendidikan lebih baik
dari membangun masjid. Baginya masjid tidaklah besar nilainya apabila
orang-orang yang shalat di dalamnya hanyalah orang-orang bodoh.
Dengan  membangun lembaga pendidikan, kebodohan dapat dihapuskan
dan dengan demikian pekerjaan duniawi dan ukhrawi akan menjadi baik.
Satu-satunya jalan menuju kemakmuran adalah perluasan pendidikan
secara umum.
Di bidang pendidikan ia mendirikan sekolah sebagai misi Islam
dengan nama Madrasah al-dakwah Wa al-Irsyad di Kairo pada tahun 1912
M. Para alumni madrasah ini disebarkan keberbagai dunia Islam.
Muhammad Rasyid Ridha sebagai penggerak pembaharuan Islam yang
masih condong pada ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah. Ia sebagai penyokong
aliran Wahabi, karena dalam ajaran aliran tersebut dikemukakan
pengakuan bermazhab salaf yang bertujuan mengembalikan ajaran Islam
kepada al-Qur’an dan al-Hadis.
2. Bidang Agama
Ada beberapa faktor yang menyebabkan umat Islam lemah dan
jauh ketinggalan oleh orang Barat, di antaranya Islam telah kemasukan
ajaran-ajaran yang nampaknya Islam, tetapi sebenarnya bukan. Hal itu

19
menyebabkan umat Islam melaksanakan ajaran yang tidak sesuai lagi 
dengan ajaran Islam sebenarnya.
Menurut Rasyid Ridha, umat Islam dapat mengejar ketinggalannya
dari bangsa Eropa, jika mereka kembali kepada ajaran Islam sebenarnya
sebagaimana telah diajarkan  Nabi Muhammad saw dan dipraktekkan oleh
sahabat. Dengan demikian, Rasyid menganjurkan untuk menggali kembali
teks al-Qur’an.
Ijtihad adalah modal awal demi keberlangsungan syariat Islam
yang memenuhi seluruh kebutuhan pembaruan “karena syariat Islam
adalah syariat penutup dari Tuhan, dan hikmah dari semua itu adalah
bahwasanya Allah swt,  telah menyempurnakan agama ini dan
menjadikannya agama yang universal antara ruh dan jasad, dan
memberikan kesempatan seluas-luasnya pada umatnya untuk berijtihad
yang benar dan dalam mengambil istinbat. Kedua sisi ini sangat sesuai
dengan kemaslahatan manusia di setiap tempat dan waktu.
3. Bidang Politik dan Hukum
Walaupun Rasyid Ridha mengakui kemajuan peradaban Barat,
tetapi dia tidak setuju dengan ide kebangsaan yang dibawa bangsa Barat.
Menurut Rasyid, umat Islam tidak perlu meniru ide kebangsaan Barat,
karena dalam Islam rasa kebangsaan itu dibangun atas dasar keagamaan.
Sejalan dengan konsepnya ini, Rasyid merindukan pulihnya kesatuan dan
persatuan umat. Ia mengajak umat Islam untuk bersatu kembali di bawah
satu sistem hukum dan moral. Untuk melaksanakan hukum harus ada
kekuasaan dalam bentuk negara. Negara yang dianjurkan Rasyid Ridha
ialah negara dalam bentuk kekhalifahan. Kepala negara dibantu oleh
ulama-ulama pembantu. Khalifah hendaklah seorang mujtahid, karena ia
mempunyai kekuatan legislatif. Di bawah kekhalifahan seperti inilah
kesatuan dan kemajuan umat dapat tercapai.
Konsep kekhalifahan yang diajukan Rasyid sebagai yang termuat
dalam buku al-Khalifah, kelihatannya semata-mata hasil renungan dan
pandangannya terhadap sejarah perjalanan khalifah al-Rasyidin. Dia hanya

20
melihat pada fungsi negara dengan mengenyampingkan persepsi negara
ditinjau dari sudut pertumbuhan penduduk. Dengan kata lain, Rasyid
kurang menghayati dinamika sejarah pemerintahan Islam pada zaman
klasik dan pertengahan. Secara administrasi, sistem kekhalifahan itu
memancing instabilitas dan perebutan kekuasaan karena secara langsung
menutup kreativitas dan aspirasi rakyat. Tampaknya sistem kekhalifahan
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Pendedahan awalnya terhadap gerakan politik dan islah tercetus
setelah terbaca jurnal al-‘Urwa al-Wuthqa yang diterbitkan pada tahun
1884 (yang dikeluarkan secara berkala selama 8 bulan) di Paris, oleh Jamal
al-Din al-Afghani yang mengungkapkan ide-ide pembaharuan dan
mengapungkan faham anti kolonialisme, pemberdayaan reformasi dan
pemacuan ijtihad.
Ridha menjelaskan tentang idealisme pemikiran yang dizahirkan
dalam al-‘Urwa al-Wuthqa dengan katanya: “Aku menemui salinan
al-‘Urwa al-Wuthqa daripada kertas-kertas dalam simpanan ayah.
Setelah aku membaca artikel-artikelnya yang menyeru kepada gagasan
Pan-Islamisme, meraih semula kegemilangan, kekuatan dan keunggulan
Islam, penemuan semula ketinggian dan kedudukan yang pernah
dimilikinya, dan pembebasan umatnya daripada dominasi luar, aku
sangat teruja sehingga seperti memasuki fasa baru dalam hidupku. Dan
aku sangat tertarik dengan metodologi yang diketengahkan dalam artikel-
artikel ini dalam melakar dan membuktikan hujahnya dalam perbahasan
dengan bersandarkan ayat-ayat al-Qur’an, dan tentang tafsirnya yang
tiada seorang mufassir telah menulis sepertinya.
Ridha turut menghuraikan kekuatan al-‘Urwa al-Wuthqa sebagai
hasil pemikiran yang penting yang menggariskan manhaj perjuangan yang
berkesan dalam menangani kepincangan budaya dan politik dan
mengangkat harakat pemikiran dan menggarap permasalahan umat yang
mendasar: “antara poin yang terpenting yang menzahirkan keunggulan
al-‘Urwa al-Wuthqa dan kekuatannya yang tersendiri adalah: (1)

21
(penekanannya terhadap) ketentuan Allah terhadap makhlukNya dan
sistem aturan dalam masyarakat manusia, dan sebab kebangkitan dan
kejatuhan sesuatu bangsa sepertimana juga kekuatan dan kelemahan
mereka; (2) penjelasan bahawa Islam adalah agama yang mempunyai
kedaulatan dan kuasa, yang merangkul kebahagiaan di dunia dan di
akhirat, dan menegaskan bahawa ia adalah agama yang menggabungkan
nilai spirituil dan sosial, sivil dan militer, dan bahawa kekuatan
militernya adalah untuk melindungi keadilan undang-undang, petunjuk
dan wibawa umat, dan bukan untuk mengerahkan kepercayaan dengan
paksa; dan (3) bagi umat Islam tidak ada faham kebangsaan dan
nasionalisme kecuali terhadap agama mereka, oleh itu mereka semuanya
bersaudara di mana perbezaan ras dan darah keturunan  tidak harus
memisahkan kesatuan mereka, tidak juga perbezaan bahasa dan kerajaan
mereka.”
Semangat yang dipugar daripada pembacaan al-‘Urwa al-
Wuthqa ini terus menggilap karakter dan mengukuhkan daya perjuangan
Ridha, yang mengilhamkannya untuk berhijrah ke Mesir dan bergabung
dengan al-Afghani dan Abduh bagi melanjutkan perjuangan Pan-
Islamisme: “Setelah beliau [al-Afghani] meninggal, harapanku semakin
tinggi untuk menemu wakilnya Shaykh Muhammad Abduh untuk meraih
ilmu dan pandangannya tentang reformasi Islam. Aku menunggu sehingga
terbukanya peluang pada bulan Rajab tahun 1315 (1897) dan itu adalah
sebaik saja aku menamatkan pengajian di Tripoli, memperoleh status
‘alim, dan tauliah untuk mengajar secara bebas, daripada mentor-ku,
Shaikh Husayn al-Jisr. Kemudian itu aku lansung berhijrah ke Mesir dan
melancarkan al-Manar untuk menyeru kepada pembaharuan.”
E. Corak Pemikiran Sayid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan mempunyai kesamaan pemikiran dengan
Muhammad Abduh di Mesir. Setelah Abduh berpisah dengan jamaluddin Al-
Afgani dan kembali dari perasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ide

22
yang dikemukakannya, terutama tentang akal yang mendapat penghargaan
tinggi dalam pandangannya.
Sayyid Ahmad Khan sangat menghargai akal pikiran rasional,
walaupun ia percaya bahwa kekuatan dan kebebasan serta kemerdekaan
manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatan, akan diserahkan
sepenuhnya kepada manusia itu sendiri. Dengan kata lain, ia mempunyai
paham Qadariah (free will and free act) dan tidak berpaham Jabariah atau
Fatalisme. Menurutnya, manusia telah dianugrahi tuhan berbagai macam daya,
diantaranya adalah daya berpikir berupa akal,dengan daya fisik untuk
merealisasikan kehendaknya. Karena kuatnya kepercayaan terhadap hukum
alam dan kerasnya mempertahankan konsep hukum alam. Ia dianggap kafir
oleh sebagian umat Islam, bahkan ketika datang ke India pada tahun 1869,
Jamaluddin Al-Aghani menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan
tersebut, Jamaluddin mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd Ad-
Dahriyah (Jawaban Bagi Kaum Materialis).
Beberapa karya Ahmad Khan yang terkenal sebagai bagian ide
pembaruan, salah satunya yaitu, Tahzibul Akhlaq, ‘Ala Dahiyyin. Sebagai
puncak pengakuan dunia (Barat) atas jasa-jasanya, Universitas Eidenburg
memberikan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang hukum pada
tahun1889.
Diantara ide-ide yang cemerlang itu adalah sebagai berikut:
1. Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa peningkatan kedudukan
ummat Islam India, dapat diwujudkan dengan hanya bekerjasama dengan
Inggris. Inggris merupakan penguasa terkuat di India, dan menentang
kekuasaan itu tidak membawa kebaikan bagi ummat Islam India. Hal ini
akan membuat mereka tetap mundur dan akhirnya akan jauh ketinggalan
dari masyarakat Hindu India. Disamping itu dasar ketinggian dan kekuatan
barat, termasuk didalamnya Inggris, ialah ilmu pengetahuan dan teknologi
modern. Untuk dapat maju, ummat Islam harus pula menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi modern itu. Jalan yang harus ditempuh ummat
Islam untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang

23
diperlukan itu bukanlah kerjasama dengan Hindu dalam menentang
Inggris tetapi memperbaiki dan memperkuat hubungan baik dengan
Inggris. Ia berusaha meyakinkan pihak Inggris bahwa dalam
pemberontakan 1857, ummat Islam tidak memainkan peranan utama. Atas
usaha-usahanya dan atas sikap setia yang ia tunjukkan terhadap Inggris.
Sayyid Ahmad Khan akhirnya berhasil dalam merobah pandangan Ingris
terhadap ummat Islam India. Dan sementara itu kepada ummat Islam ia
anjurkan supaya jangan mengambil sikap melawan, tetapi sikap berteman
dan bersahabat dengan inggris. Cita citanya untuk menjalani hubungan
baik antara inggris dan umat islam, agar demikian ummat islam dapat di
tolong dari kemundurannya telah dapat di wujudkan di masa hidupnya.
2. Sayid Ahmad Khan melihat bahwa ummat Islam India mundur
karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Peradaban
Islam klasik telah hilang dan telah timbul peradaban baru di barat. Dasar
peradaban baru ini ialah ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu
pengetahuan dan teknologi modern adalah hasil pemikiran manusia. Oleh
karena itu akal mendapat penghargaan tinggi bagi Sayyid Ahmad Khan.
Tetapi sebagai orang Islam yang percaya kapada wahyu, ia berpendapat
bahwa kekuatan akal bukan tidak terbatas. Karena ia percaya pada
kekuatan dan kebebasan akal, sungguhpun mempunyai batas, ia percaya
pada kebebasan dan kemerdekaan manusia dalam menentukan kehendak
dan melakukan perbuatan Alam, Sayyid Ahmad Khan selanjutnya,
berjalan dan beredar sesuai dengan hukum alam yang telah ditentukan
Tuhan itu. Segalanya dalam alam terjadi menurut hukum sebab akibat.
Tetapi wujud semuanya tergantung pada sebab pertama (Tuhan). Kalau
ada sesuatu yang putus hubungannya dengan sebab pertama, maka wujud
sesuatu itu akan lenyap.
3. Sejalan dengan ide-ide diatas, ia menolak faham Taklid bahkan tidak
segan-segan menyerang faham ini. Sumber ajaran Islam menurut
pendapatnya hanyalah Al Qur’an dan Al Hadist. Pendapat ulama’ di masa
lampau tidak mengikat bagi ummat Islam dan diantara pendapat mereka

24
ada yang tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Pendapat serupa itu
dapat ditinggalkan. Masyarakat manusia senantiasa mengalami perubahan
dan oleh karena itu perlu diadakan ijtihad baru untuk menyesuaikan
pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan suasana masyarakat yang berobah
itu. Dalam mengadakan ijtihad, ijma’ dan qiyas baginya tidak merupakan
sumber ajaran Islam yang bersifat absolute. Hadits juga tidak semuanya
diterimanya karena ada hadits buat-buatan. Hadits dapat ia terima sebagai
sumber hanya setelah diadakan penelitian yang seksama tentang
keasliannya.
4. Yang menjadi dasar bagi system perkawinan dalam Islam, menurut
pendapatnya, adalah system monogamy, dan bukan system poligami
sebagaimana telah dijelaskan oleh ulama’-ulama’ dizaman itu. Poligami
adalah pengecualian bagi system monogamy itu. Poligami tidak
dianjurkan tetapi dibolehkan dalam kasus-kasus tertentu. Hukum
pemotongan tangan bagi pencuri bukan suatu hukum yang wajib
dilaksanakan, tetapi hanya merupakan hukum maksimal yang dijatuhkan
dalam keadaan tertentu. Disamping hukum potong tangan terdapat hukum
penjara bagi pencuri. Perbudakan yang disebut dalam Al Qur’an hanyalah
terbatas pada hari-hari pertama dari perjuangan Islam. Sesudah jatuh dan
menyerahnya kota Makkah, perbudakan tidak dibolehkan lagi dalam
Islam. Tujuan sebenarnya dari do’a ialah merasakan kehadiran Tuhan,
dengan kata lain do’a diperlukan untuk urusan spiritual dan ketenteraman
jiwa. Paham bahwa tujuan do’a adalah meminta sesuatu dari Tuhan dan
bahwa Tuhan mengabulkan permintaan itu, ia tolak. Kebanyakan do’a,
demikian ia menjelaskan, tidak pernah dikabulkan Tuhan.
5. Dalam ide politik, Sayyid Ahmad Khan, berpendapat bahwa ummat Islam
merupakan satu ummat yang tidak dapat membentuk suatu Negara dengan
ummat Hindu. Ummat Islam harus mempunyai Negara tersendiri, Bersatu
dengan ummat Hindu dalam satu Negara akan membuat minoritas Islam
yang rendah kemajuannya, akan lenyap dalam mayoritas ummat Hindu
yang lebih tinggi kemajuannya.

25
Inilah pokok-pokok pemikiran Sayyid Ahmad Khan mengenai
pembaharuan dalam Islam. Ide-ide yang dimajukannya banyak
persamaannya dengan pemikiran Muhammad Abduh di Mesir. Kedua
pemuka pembaharuan ini sama-sama memberi penghargaan tinggi kepada
akal manusia, sama-sama menganut faham Qadariyah, sama-sama percaya
kepada hukum alam ciptaan Tuhan, sama-sama menentang taklid, dan
sama-sama membuka pintu ijtihad yang dianggap tertutup oleh ummat
Islam pada umumnya diwaktu itu.
F. Corak Pemikiran Sayid Amir Ali
Dalam karyanya, Amir Ali ingin menunjukan kepada muslim maupun
non Muslim bahwa agama Islam adalah agama yang rasionalis. Syed Amir Ali
mengajak umat Islam meninjau kembali Sejarah masa silam, untuk
membuktikan bahwa Agama yang mereka anut bukanlah agama yang
menyebabkan kemunduran tetapi agama yang membawa kepada kemajuan
dan peradaban.
1. Ajaran Tentang Akhirat
Bangsa yang pertama kali menimbulkan kepercayaan pada
kehidupan akhirat adalah bangsa Mesir. Agama Yahudi pada mulanya
tidak mengakui adanya hidup selain hidup di dunia, namun dengan adanya
pekembangan dalam ajaran-ajaran Yahudi yang timbul kemudian baru
dijumpai adanya hidup yang kedua. Agama-agama yang datang sebelum
Islam pada umumnya menggambarkan bahwa di hidup kedua itu manusia
akan memperoleh upah dan balasan dalam bentuk jasmani dan bukan
dalam bentuk rohani.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ajaran mengenai akhirat itu
amat besar arti dan pengaruhnya dalam mendorong manusia untuk berbuat
baik dan menjauhi perbuatan jahat. Lebih lanjut lagi ajaran ini membawa
kepada peningkatan moral golongan awam, apabila ganjaran dan balasan
di akhirat digambarkan dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh panca
indera (Harun Nasution, 1992:184)
2. Kedudukan Wanita Dalam Islam

26
Menurutnya salah satu ajaran yang asasi dalam Islam ialah
menghormati wanita. Rasulullah SAW sangat menghargai hak-hak wanita,
ia memberikan kedudukan yang sama antara wanita dengan kaum pria
dalam menjalankan segala kekuasaan hukum dan jabatan. Lebih lanjut,
Amir Ali menyebutkan poligami tergantung keadaan. Ada masa atau
keadaan dimana poligami itu sungguh-sungguh perlu untuk memelihara
wanita dari kelaparan atau kemelaratan. Sedangkan pada keadaan tertentu
poligami itu tidak diperbolehkan. Poligami pada dasarnya terlarang kecuali
dengan syarat-syarat tertentu dan perceraian harus ditolak. Poligami dan
perceraian adalah merupakan kelemahan moral. (Amir Ali,1978,375)
3. Perbudakan
Sayyid Amir Ali menerangkan bahwa sistem perbudakan sudah ada
dalam masyarakat semenjak zaman purba. Bangsa Yahudi, Yunani,
Romawi, dan Jerman di masa lampau mengakui dan memakai sistem
perbudakan. Agama Kristen, tidak membawa ajaran untuk menghapus
system perbudakan itu.
Berbeda dengan agama-agama sebelumnya, Islam datang dengan
ajaran untuk menmbebaskan sistem perbudakan. Dosa-dosa tertentu dapat
ditebus dengan memerdekakan budak. Budak harus diberi kesempatan
untuk membeli kemerdekaannya dengan upah yang ia peroleh. Budak
harus diperlakuakan dengan baik dan tidak boleh diperbedakan dengan
manusia lain. Dalam ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW, sistem
perbudakan diterima sebagai suatu kenyataan yang terdapat dalam
masyarakat dan dapat diterima hanya untuk sementara. Ajaran-ajaran
mengenai perlakuan baik dan pembebasan terhadap budak. Pada akhirnya
harus membawa kepada penghapusan sistem perbudakan dalam Islam.
(Harun Nasution,1992:186)
4. Politik dalam Islam
Dalam masalah politik, Amir Ali mengungkapkan bahwa inti sari
politik Islam dapat dilihat dari piagam Madinah dan dalam pesan yang
dikirim kepada orang kristen di Najran dan daerah-daerah tetangga setelah

27
Islam berdiri di Jazirah Arab. Dokumen tersebut yang sebagian besar
memberikan tuntunan bagi semua penguasa Islam dalam memperlakukan
rakyatnya yang bukan Islam. Sikap toleransi yang tinggi ini hanya ada
dalam Islam, seperti sikap yang diberikan kepada pemeluk lain oleh Nabi
Muhammad SAW, asal mereka tidak mengingkari janji dan menganggu,
maka hak dan keselamatan mereka terjamin. (Amir Ali,1978:434)
Pembaharuan yang dilakukan Amir Ali, menitik beratkan pada
masalah politik dan akhirnya tersebar menjadi gerakan organisasi nasional.
Ia berusaha mengembangkan kesadaran politik bagi orang-orang muslim
India dan menurut Amir Ali langkah inilah yang akan memelihara mereka
di negerinya sendiri. (Asmuni,1992:84)
5. Ilmu Pengetahuan
Dalam tulisanya, Amir ali memberi penjelasan tentang ilmu
pengetahuan, pemikiran rasional dan filosofis yang ada dalam sejarah
Islam. Dia menguraikan Islam sebagai kekuatan besar yang potensial
untuk menggapai kesuksesan dalam menghadapi tantangan modernitas.
Kemunduran umat Islam terletak pada keadaan umat Islam yang
menganggap pintu Ijtihad telah tertutup dan tidak dibolehkan lagi, bahkan
merupakan dosa.
Semangat pengembangan ilmu pengetahuan telah dimiliki oleh
Rasulullah dan generasi awal umat Islam. Rasulullah menempatkan posisi
akal di tempat yang tinggi. Kejayaan peradaban Islam klasik adalah hasil
dari kerja keras umat Islam dalam optimalisasi fungsi akal (Amir
Ali,1978:600)
Kemajuan ilmu pengetahuan ini dapat dicapai oleh umat Islam di
zaman itu, karena mereka kuat berpegang pada ajaran nabi Muhammad
dan berusaha keras untuk melaksanakannya. Di waktu yang bersamaan
Eropa masih dalam kemunduran intelektual. Kebebasan berpikir belum
ada. Islamlah yang pertama kali membuka pintu untuk berpikir. Dan inilah
yang membuat umat Islam menjadi promotor ilmu pengetahuan dan
peradaban. Ilmu pengetahuan dan peradaban tidak bisa dipisahkan dari

28
kebebasan berpikir. Setelah kebebasan berpikir menjadi kabur di kalangan
umat Islam, mereka menjadi ketinggalan dalam perlombaan menuju
kemajuan. (Nasution, 1992:187)
6. Konsepsi tentang Free Will and Free Act
Dalam uraiannya mengenai pemikiran dan falsafat dalam Islam,
Sayyid Amir Ali menjelaskan bahwa jiwa yang terdapat dalam al-Qur’an
bukanlah jiwa fatalisme, tetapi jiwa kebebasan manusia dalam berbuat.
Jiwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Nabi Muhammad,
demikian ia menulis lebih lanjut, berkeyakinan bahwa manusia
mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan. Apa yang hendak
ditegaskan pemimpin ini sebenarnya ialah bahwa Islam bukan dijiwai oleh
paham qada’ dan qadar atau jabariah, tetapi oleh paham Qadariah, yaitu
paham kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan (free will and
free act). Paham qadariah selanjutnya yang menimbulkan rasionalisme
dalam Islam. Paham qadariah dan rasionalisme, kedua inilah pula yang
menimbulkan peradaban Islam zaman klasik. (Nasution, 1992:188)
7. Pandangan terhadap Muktazilah
Selanjutnya, Amir Ali menguraikan peranan yang dipegang
golongan Muktazilah dalam perkembangan ilmu pengetahuna dan filsafat
dalam Islam. Aliran Muktazilah untuk beberapa abad mempengaruhi
pemikiran umat Islam. Kaum Muktazilah membawa kemajuan ilmu
pengetahuan dan filsafat dalam Islam. Ahli-ahli ilmu pengetahuan, sebagai
dokter penyakit, ahli fisika, ahli matematika, ahli sejarah, pendeknya
semua ahli dan khalifah di waktu itu, termasuk dalam golongan
Muktazilah.
Melalui Mu’tazilah, rasionalisme Islam meluas ke seluruh
masyarakat terpelajar yang ada di kerajaan Islam ketika itu bahkan sampai
ke perguruan-perguruan yang letaknya sejauh Andalusia (Spanyol Islam).
Kaum rasionalis Islam memberi ceramah-ceramah bukan di perguruan
tinggi saja, tetapi juga di masjid-masjid. Merekalah pula yang merupakan
penasehat bagi khalifah. Untuk menduduki jabatan menteri, gubernur,

29
mahaguru dan sebagainya kaum Muktazilah banyak dipakai. Melalui
merekalah terjadinya perubahan umat Islam dari umat yang sederhana
kebudayaannya menjadi umat yang tinggi peradabannya (Nasution,
1992:188)
Pengaruh Pemikiran Syed Amir Ali
Berawal dari pemikiran Sayyid Amir Ali yang mengatakan bahwa
Islam bukanlah agama yang membawa kemunduran, akan tetapi justru
sebaliknya Islam dapat membawa kamajuan. Hal ini menunjukan bahwa
Islam menginginkan agar umatnya berpikir maju, mengarah ke masa depan.
Islam sendiri telah mengajarkan agar umatnya mau berusaha dalam segala
hal. Tak lantas begitu saja mengabaikan kepentingan dunia karena mengejar
kepentingan akhirat.
Faktor yang paling penting dalam pembaharuan Islam menurut Sayyid
Amir Ali adalah kemunduran umat Islam pada masa itu, karena umat Islam
tidak lagi mau membuka pintu ijtihad. Bagi mereka pintu ijtiad telah tertutup,
oleh karena itu Sayyid Amir Ali mengemukakan konsep-konsep
pembaharuan yang bertujuan untuk memajukan umat Islam kembali seperti
kemajuan umat Islam pada masa lampau (Nasution,1992:186)
Sayyid Amir Ali adalah seorang pembaharu muslim India yang telah
membawa obor dan membangunkan umat muslim dari ketidurannya.
Kesadaran tentang apa yang menjadi masalah merupakan suatu hal yang amat
penting. Sikap apologis tersebut tersebar baik di India, Pakistan, negara-
negara Arab, Afrika maupun Asia. Ia menegaskan bahwa semangat Islam
dapat diturunkan menjadi ide-ide yang sebenarnya.seperti Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha dan tokoh pembaharu intelektual muslim lainya.
Pengaruh pemikiran Sayyid Amir Ali cukup berpengaruh bagi
masyarakat Muslim di India pada saat itu. Sayyid Amir lah yang pertama kali
membuat semangat umat Islam di India semakin meningkat untuk memajukan
umat Islam kembali. Sayyid Amir Ali juga berharap agar orang non Islam
tertarik pada agama Islam. Ia berusaha mencoba mempersamakan ajaran
Islam dengan ide-ide Barat, ini dibuktikan dengan kebencianya terhadap

30
praktik Poligami, dan Jihad yang berkembang didunia Islam. Ia juga bukan
hanya menganggap Islam sesuai dengan ide modern, melainkan sebaliknya, Ia
bahkan mengatakan bahwa ide-ide modern tersebut itulah sesungguhnya
Islam. Hanya saja dia menyesuaikan antara ajaran Barat dengan ajaran Islam,
hal-hal yang sesuai dengan ajaran Islam itulah yang ia ambil dari Barat (ibid)
Sepak terjang yang dimainkan Syed Amir Ali di pentas peradaban
dunia khususnya di anak benua India sangat mengagumkan dan sebagai
pengabdiannya yang terakhir ia mendirikan suatu balai pengobatan orang
muslim. Pendirian balai ini didorong oleh kenyataan yang dilihatnya bahwa
palang merah hanya memperhatikan orang kristen yang terluka, sedangkan
orang muslim tidak mendapat perlakuan yang sama. Untuk mengantisipasi
keadaan yang demikian maka ia mendirikan suatu organisasi yang dapat
menghimpun dana dari para sukarelawan dan dermawan guna melaksanakan
pengobatan kepada orang Turki dan Arab yang mengalami luka perang.
Usahanya ini berlanjut terus untuk membantu korban bencana perang hingga
perang Balkhan dan perang-perang lainnya.

31
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan penting sebagai berikut:
Pertama, pembaruan Islam (tajdid) merupakan suatu keharusan karena ajaran
Islam yang rahmah li al’alamin serta sebagai agama “pamungkas” menuntut
adanya upaya rasionalisasi dan konteks-tualisasi sesuai dengan semangat
jaman. Hal itu karena pada hakikatnya pembaruan Islam merupakan ikhtiar
melakukan rasionalisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam segala ranah
kehidupan.
Kedua, keharusan bagi upaya tajdid setidaknya memiliki tiga landasan
dasar yaitu landasan teologis, landasan normatif, dan landasan historis.
Artinya bahwa gerakan tajdid dilaksanakan dengan dasar dan pijakan yang
kuat.
Ketiga, agar tajdid dalam Islam dapat terimplementasikan dan
teraktualisasikan, maka ijtihad harus dijalankan karena tajdid dan ijtihad
hakikatnya merupakan dua hal yang saling terkait.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari
kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam
bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat membangun penulisan
makalah ini.

32
DAFTAR PUSTAKA
Ali, H. A. Mukti. 1995. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta:
Djambatan.

Ali, Amir, 1978. The Spirit Of Islam, terj. Oleh H.B Jassin. Jakarta:Bulan Bintang

Asmuni, M. Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Geerakan Pembaharuan


dalam Dunia Islam. Jakarta: Rajawali, 1998.

Hourani, Albert. 2004. Pemikiran Liberal di Dunia Arab, Penerjemah: Suparno, dkk,
Bandung: Mizan.

Husain Abdullah, Muhammad. Studi dasar-dasar Pemikiran Islam. Bogor:


Pustaka Thariqul Izzah, 2002.

Jainuri, Achmad. “Landasan Teologis Gerakan Pembaruan Islam”, dalam Jurnal


Ulumul Qur’an, No. 3. Vol. VI, Tahun 1995.

Karim, Abdul, 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta:


Pustaka Book Publisher

Munawir, Imam, 1984. Kebangkitan Islam dan Tantangan yang dihadapi Dari
masa kemasa. Surabaya: Bina Ilmu.

Nasution, Harun.1996.  Islam Rasional. Bandung:Mizan.

Nasution, Harun.1992.  Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan


Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.

Nasution, Harun. 1978. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, Jakarta: UI Press.

Nata, Abudin,Metodologi Studi Islam. Jakarta : PT. raja Grafindo Persada,2001

Lupito, Yuliani. 1996. Para perintis zaman baru Islam, Cetakan Kedua, Penerjemah:
Ilyas Hasan, Bandung: Mizan.

Shihab, M. Quraisy. 1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Jakarta: Pustaka Hidayah.

Sani, Abdul. Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 1998

Supadie, Didiek Ahmad dan Sarjuni. Pengantar Studi Islam. Jakarta : Rajawali
Pers, 2011

33

Anda mungkin juga menyukai