Anda di halaman 1dari 24

KAJIAN MODEL PEMIKIRAN MODERN DALAM ISLAM

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu & kelompok


Pada Mata Kuliah Pendekatan Studi Islam Dalam Perspektif Sejarah (PSIDPS)
Dosen Pengampu Dr. Muslih Hidayat. M.Pd.I

Disusun oleh :
Aprijudis Setiawan

JURUSAN PENDIDIKAN AGAM ISLAM


SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) AL-AZHAAR
LUBUK LINGGAU
SUMATERA SELATAN

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil Alamien segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam dengan
kasih dan sayangnya telah mengantarkan penyusun untuk menyelesaikan makalah ini.
Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda nabi Muhammad SAW, khotamul
anbiya’i wal mursalin, semoga kita semua pada hari kiamat kelak mendapat syafa’at dari
beliau. Amien yaa robbal aalamien.

Makalah ini disusun dalam menyeselesaiakn tugas individu & kelompok pada mata kuliah
Pendekatan Studi Islam Dalam Perspektif Sejarah (PSIDPS). Dosen Pengampu Dr. Muslih
Hidayat. M.Pd.I. Pada program pasca sarjana IAI Al-Azhaar Lubuk Linggau. Dan tentunya
dalam Menyusun makalah ini ada kekurangan dan kesalahan, perlu kritik, saran dan masukan,
sehingga makalah ini berguna bagi umat manusia.

Akhirnya penulis sangat berharap melalui makalah yang sederhana ini, dapat memberi
manfaat dan sumbangsih pemikiran akademik yang berkelanjutan bagi para pembaca sekalian.

Lubuk Linggau, Juni 2021


Penulis

Aprijudis Setiawan

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………….ii
A. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………………….4
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………..5
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………………….5
B. BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pemikiran Modern Dalam Islam……………………………………..6
B. Model Penelitian Pemikiran Dalam Islam……………………………………….7
C. Signifikansi Penelitian Pemikiran Modern Dalam Islam………………………..11
C. BAB III
PENUTUP
Kesimpulan…………………………………………………………………………...22
Saran …………………………………………………………………………………22
Daftar Pustaka……………………………………………………………………......23

3
BAB I
PENDAHULUAN
Kajian Model Pemikiran Modern Dalam Islam

A. Latar Belakang Masalah


Di tengah-tengah kejumudan berfikir di kalangan umat Islam berikut disusul hancurnya
Baghdad pada abad 13 sebagai lambang mercusuar Islam, lahirlah semangat baru
berusaha mencari pilar-pilar islam serta upaya membangun kembali puing-puing dasar
metodologi dan pemikiran Islam yang masih bersifat parsial dan di individual para tokoh
utama serta ilmuwan muslim sebelumnya.
Semangat baru di atas sekitar abad ke-14 hingga abad ke-17 M. meski masa- masa di
antara kedua abad ini, menurut Prof. Dr. Harun Nasution, dunia Islam masih dintandai oleh
dua kenyataan : Pertama, kemunduran Islam sekitar tahun 1250 – 1500 M dan kemajuan
Islam sekitar tahun 1500 – 1700 M. Disebut fase kemunduran disebabkan desentralisasi
dan disintegrasi kekuatan politik Islam, semakin mengikat. Dan juga semakin
menajamnya perbedaan Sunni dan Syi’ah serta munculnya Arab dan Persia, di mana
masing-masing mempunyai wilayah kekuasaan sendiri-sendiri. Sedang disebut fase
kemajuan disebabkan, munculnya tiga kerajaan besar. Masing-masing adalah kerajaan
Ustmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India.1.
Pola pemikiran modern dimulai sekitar paruh kedua abad ke-17 M hingga
sekarang, dengan munculnya tokoh-tokoh pembaruan di kalangan timur tengah (Saudi
Arabia dan Mesir). Istilah modern di atas hanya sekedar untuk mempermudah melihat
ciri perkembangan pemikiran yang ada.
Munculnya pola pemikiran modern tidak lepas dari tiga latar belakang penyebab.
Pertama, munculnya kesadaran pembaruan secara intern sebagai akibat dari dampak
pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah. Kedua, lahirnya peradaban baru dari Barat yang
disebut masa renaissance (Masa Keemasan Barat) yang memunculkan ide sentral
modernisasi serta pemikiran rasional ilmiah sehingga melahirkan sains dan teknologi
yang dimulai sekitar abad ke 16 M.
Dan ketiga, kondisi Negara-negara Arab, serta Mesir dan Turki, yang sangat
memprihatinkan di bawah imperialisme Negara-negara Eropa khususnya Perancis.2.
Kesadaran untuk mencapai kemerdekaan, kesadaran akan bangkitnya Eropa Barat dan
Barat, serta kesadaran akan eksistensi umat Islam yang selama berabad-abad
mengalami kejumudan adalah penyebab kuat lahirnya gerakan perubahan Islam.

1
HarunNasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm.
10
2
Nur Khakim, Islam : Doktrin Pemikiran dan Realitas Historis (Yogyakarta: Aditya Press. 2002) hlm. 68

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pemikiran modern dalam Islam?
2. Bagaimana model penelitian pemikiran dalam Islam?
3. Bagaimana signifikansi penelitian pemikiran modern dalam Islam?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian pemikiran modern dalam Islam
2. Untuk mengetahui model penelitian pemikiran dalam Islam
3. Untuk mengetahui signifikansi penelitian pemikiran modern dalam Islam

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pemikiran Modern Dalam Islam

Makna dari pemikiran Islam adalah semua hasil karya akal kaum muslim yang
menyangkut masalah-masalah akidah, syari’ah, dan kehidupan rohaniah dan jasmaniah,
kehidupan dunia, politik, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya.
Dalam dunia akademis, umumnya pemikiran Islam meliputi bidang-bidang
ilmu kalam, Filsafat Islam, Tasawuf, dan Ushul Fiqh. Kalau nisbah pemikiran itu
kepada Islam, maka sudah seharusnya pemikiran itu tidak boleh berlawanan dan
bertentangan dengan ajaran pokok Islam yang bersumber kepada al-Qur’an dan Hadis.
Kalu pemikiran tersebut bertentangan dan tidak sesuai denagn ajaran Islam , maka tidak
boleh dinisbahkan kepada pemikiran Islam.3
Selanjutnya menyangkut masalah modernisme. Kata modernisme tidak hanya
berarti orientasi kepada kemoderenan, tetapi merupakan terminology khusus yang
intinya adalah memodernisasi pemahaman agama. Modernisme meyakini bahwa
kemajuan ilmiah dan budaya modern membawa konsekuensi reaktualisasi berbgai
ajaran keagamaan tradisional mengikuti disiplin pemahaman filsafat ilmiah yang
tinggi.4
Membicarakan sebuah pemikiran tidak bisa melepaskan diri dari hal-hal yang
melatar belakangi pemikiran modernis. Modernisasi menjadi tombak perubahan
pemikiran khusus dalam Islam. Secara sosiologis, pemikiran yang dilakukan dilatar
belakangi oleh perubahan sosial yang terjadi karena efek globalisasi dari proses
modernisasi. Perubahan yang disebabkan modernisasi adalah tantangan baru yang
dihadapi oleh masyarakat. Sehingga perubahan sosial ini akan mempengaruhi
pemikiran dan perilaku keagamaan diantaranya Nurkholis Madjid.
Sedangkan modernisasi menurut Nurkholis Madjid, dimaksudkan sebagai
penyegaran pemahaman, bukan inovasi atau pembaruan. Inti makna pembaruan adalah
up dating pemahaman kita terhadap ajaran agama kita dan cara mewujudkan ajaran
dalam masyarakat. Ajaran Islam itu sendiri menurutnya sudah sempurna. Tapi
pemahaman orang Islam sendiri terhadap ajaran Islam selalu berubah dan terus
berubah. Sedangkan tujuan modernisasi itu sendiri dilakukan, untuk membuat agama

3
Jurnal Tsaqafah, Tajdid dan Modernisasi Pemikiran Islam. Vol. 9, No. 2, November 2013. Hlm, 405
4
Munir al-Ba’lalabaki, Kamus Inggris-Arab, (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1974), hlm. 386

6
yang kita Yakini sepenih hati ini lebih fungsional dalam memberi jawaban terhadap
tantangan modern, maksud dari memberi jawaban adalah mengarahkan, membimbing
dan memberi makna kepadanya. Sementara, dari sisi lain, lanjut Nurkholis Madjid,
ialah untuk membuat modernitas lebih konsonan dengan tuntutan-tuntutan moral
sebagai wujud terpenting sikap pasrah kepada Allah.5

B. Model Penelitian Pemikiran Dalam Islam


Agama sebagai salah satu ajaran yang memberi tuntunan hidup banyak
dijadikan pilihan. Karena ada indikasi dalam agama terdapat banyak nilai yang bisa
dimanfaatkan manusia ketimbang ideologi. Orang juga lebih leluasa memeluk agama
dan merasakan nilai-nilai positifnya tanpa harus capek-capek menggunakan potensi
akalnya untuk berpikir. Agama memberi tempat bagi semua.
Di kalangan kaum akademisi dan aktivis sosial khususnya, agama saat ini tidak
hanya dipandang sebagai seperangkat ajaran (nilai), dogma atau sesuatu yang bersifat
normatif lainnya, tetapi juga dilihat sebagai suatu case study, studi kasus yang menarik
bagaimana agama dilihat sebagai obyek kajian untuk diteliti.
Dalam perspektif budaya, agama dilihat bagaimana yang ilahi itu menghistoris
(menyejarah) di dalam tindakan sosial. Sehingga dengan demikian agama bukannya
sesuatu yang tak tersentuh (untouchable), namun sesuatu yang dapat diobservasi dan
dianalisis karena perilaku keberagamaan itu dapat dilihat, dan dirasakan. Terlebih di
dalam masyarakat yang agamis seperti Indonesia, yang menempatkan agama sebagai
bagian dari identitas keindonesiaan tentu ada banyak problem keagamaan yang menarik
untuk diungkap.
Kita tidak akan pernah tahu rahasia agama dan keberagamaan masyarakat bila
kita tidak mampu melakukan penelitian atau kajian, seperti mengapa seseorang itu
menjadi sangat militan dengan ajaran agama dan madzhabnya, atau mengapa antar
komunitas agama saling berkonflik dan seterusnya.
Telah banyak hasil penelitian yang di lakukan para ahli yang mengambil tema
di sekitar pemikiran modern dalam Islam di antaranya hasil penelitian yang di lakukan
oleh Deliar Noer, H.A.R. Gibb dan Muhammad Abduh :

5
Dedi Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia (Bandung: Zaman
Wacana Mulia, 1998), hlm. 178

7
1. Model penelitian Deliar Noer

Deliar Noer mengatakan betapa perkembangan masa merdeka banyak


relevansinya dengan perkembangan pemikiran periode sebelumnya yaitu pertama, soal
khilafiyah. Kedua, sifat fragmentasi kepartaian. Ketiga, kepemimpinan yang bersifat
pribadi. Keempat, perbedaan dan pertentangan paham. Kelima, hubungan dengan
pemerintah. Untuk mendapatkan bahan-bahan yang di perlukan untuk penelitian
tersebut
Deliar Noer menggunakan bahan-bahan yang terdapat dalam berbagai litelatur
baik yang di tulis dalam bahasa Indonesia maupun yang di tulis dalam bahasa asing
sepertin Inggris dan Belanda. Dengan pendekatan hitoris di hasilkan pembahasan
menurut urutan peristiwa secara kronologis dan dapat di buktikan keberadaanya dalam
sejarah dan dengan pendekatan sosiologis di hasilkan deskripsi yang menjelaskan
berbagai peristiwa yang antara satu bagian dengan bagian lainnya saling berkaitan.6
Melalui metode dan pendekatan tersebut di hasilkan informasi yang
komprehensif mengenai asal-usul dan pertumbuhan gerakan modern Islam dalam
bidang pendidikan, social dan politik. Asal-usul dan petumbuhan gerakan modern Islam
dalam bidang politik meliputi sarekat Islam, partai-partai Islam,reaksi Belanda, reaksi
kalangan teradisi dan kalangan kebangsaan, reaksi kalangan tradisi dan reaksi kalangan
nasionalis yang netral agama
Mengenai perkembangan dan sifat gerakan moderrn Islam di Indonesia, Deliar
Noer menyimpukan bahwa sifat dan kecenderungan gerakan ini di bentuk oleh
Pemimpin Organisasi serta lingkungan tempat organisasi itu bergerak.
Selanjutnya,dalam kesimpualn itu Deliar Noer menyebukan adanya golongan
tradisional dan golongan pembaharu. Sementara itu, golongan pembaharu lebih
memberi perhatian pada sifat Islam pada umumnya.
Kesimpulan berikutnya Deliar Noer mengungkapkan tentang kepemimpinan
dalam gerakan pembaruan. Sehingga terdapat dualisme dalam kepemimpinan gerakan
ini.
Menurutnya, hal ini menumbuhkan kesulitan dalam memilih kepemimpinan
masyarakat Islam di Indonesia; apalagi pada saat kesatuan dan persatuan masyrakat

6
Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A Metodologi Studi Islam. PT. raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 348

8
tersebut telah tercapai- umpamanya- pada masa Indonesia merdeka. Sehingga timbul
masalah pilihan, kapada siapa kepemimpinan itu di serahkan.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat jelas bahwa Deliar NOer telah memberikan
model penelitian yang memenuhi persyaratan sebagai penelitian sejarah, yang dalam
hal ini sejarah gerakan moderrn Islam di Indonesia tahun 1900-1942, dengan
kesimpulan yang secara akademis dapat di pertanggungjawabkan validitasnya.
Penelitian tersebut walaupun tidak secara eksplisit mengemukakan latar belakang
pemikiran, permasalahann tujuan, metode dan pendekatan setra kerangka analisis yang
di gunakan dalam penelitian, namun secara keseluruhan berbagai aspek yang
seharusnya ada dalam sebuah penelitian telah tertampung dalam penelitian yang di
lakukan Deliar Noer.7
Berdasarkan uraian di atas, tentang model penelitian pemikiran modern dalam
Islam yang dilakukan Deliar Noer dapat kita simpulkan sebagai berikut:
1. Asal usul Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dimulai dari Gerakan
Pendidikan dan social, kemunduran pada bidang politik yang terlihat dari kegiatan
partai-partai yang mendasarkan dirinya pada citra Islam.
2. Sifat Gerakan ini dibentuk oleh pemimpin organisasi serta lingkungan tempat
organisasi itu dibentuk.

2. Model Penelitian H.A.R. Gibb


Penelitian Gibb tentang gerakan modern dalam Islam kelihatannya bertolak dari
tesisnya yang mengatakan bahwa Islam adalah suatu agama yang hidup dan vital yang
menyampaikan dakwah kepada hati,pikiran, dan perasaan dari berpuluh-puluh,malah
berarus –ratus miliun manusia, memberikan kepadanya suatu pedoman supaya hidup
jujur, sungguh-sungguh dan taqwa.
Untuk membuktikan tesisnya itu H.A.R Gibb melakukan penelaahan terhadap-
doktrin doktrin ajaran Islam sebagai mana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-
Sunnah, dan bukan dari sumber-sumber yang sudah tidak sejalan dengan doktrin
tersebut. Dengan demikian, peneitian yang mencoba mendeskripsikan secara
mendalam suatu objek dengan menggunakan data-data yang terdapat dalam kajian
pustaka, sedangkan pendekatan yang digunakannya bersifat filosofis historis. Yaitu
suatu penelitian yang tekanannya ditujukan untuk mengemukakan nilai-nilai universal

7
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan gerakan (Jakarta: Bulan Bintan ,1975)

9
dan mendasar dari suatu ajaran atau objek yang diteliti, serta didukung oleh data-data
historis yang dipercaya.8
Dari penelitian itu, Gibb mengemukakan tentang dasar-dasar alam pikiran
Islam, ketenggangan dalam Islam, dasar-dasar moderisme, agama kaum modern.
Hukum dan masyarakat serta Islam di dunia.
Terlihat bahwa model penelitian gerakan modern dalam Islam yang di lakukan
Gibb bersifat penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang sepenuhnya menggunakan
bahan-bahan yang terdapat dalam sumber-sumber tertulis, khususnya buku buku nyang
dihasilkan para penulis sebelumnya.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitiannya itu adalah pendekatan filosofis
historis, yaiu penelitian yang menekankan pada upaya untuk menarik nilai-nilai
universal yang di dasarkan pada informasi yang terdapat dalam kitab suci dan di dukung
oleh kebenaran sejarah.9

3. Model pemikiran Muhammad Abduh

Ilmu pengetahuan modern ini tidak bertentangan dengan Islam, yang


sebenarnya. Hukum alam adalah ciptaan Allah dan wahyu juga berasal dari Allah.
Karena keduanya berasal dari Allah, maka ilmu pengetahuan modern yang berdasar
pada hukum alam, dan Islam sebenarnya yang berdasarkan pada wahyu, tidak bisa dan
tidak mungkin bertentangan. Islam mesti sesuai dengan ilmu pengetahuan modern dan
ilmu pengetahuan modern mesti sesuai dengan Islam.

Dalam zaman keemasan Islam, ilmu pengetahuan berkembang di bawah


naungan pemerintah-pemerintah Islam yang ada pada waktu itu. Oleh karena itu, ilmu
pengetahuan tidak bertentangan dengan agama, sehingga sebagai umat islam kita harus
mempergunakan akal kita dengan sebaik-baiknya, wajib atas setiap orang muslim. Ilmu
pengetahuan merupakan salah satu dari sebab-sebab kemajuan umat Islam zaman kalsik
dan juga merupakan salah satu dari sebab-sebab kemajuan barat sekarang ini.

Muhammad abduh mengatakan, umtuk mencapai kemajuannya yang hilang,


umat Islam sekarang haruslah Kembali mempelajari dan mementingkan soal ilmu

8
Abudin Nata, hlm.389
9
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta:LP2ES, 1980) hlm.13

10
pengetahuan. 10. Maka dari itu , umat Islam harus terlebih dahulu dibebaskan dari faham
jumud, taklid, Kembali lagi berijtihad dan Kembali kepada Islam yang murni.

C. Signifikansi Penelitian Pemikiran Modern Dalam Islam

A. Ilmu-ilmu Islam dalam sketsa historis


sebelum penulis meluas pada aspek signifikansi penelitian modern dalam Islam,
maka disini kami akan mencoba menghadirkan tentang ilmu-ilmu Islam dalam sketsa
historis. Sehingga kita tahu para figure yang berusaha menyumbangkan ilmu mereka
untuk kemajuan Islam.
Apa yang dialami barat dalam abad pertengahan amat berbeda jauh dengan
kondisi yang terjadi di negeri muslim pada saat itu. Justru di dunia Islam tengah
bermunculan figur-figur besar yang menjadi pengembang tersebar dasar-dasar ilmu
pengetahuan modern. Sains sains yang bersifat mekanik, teknik, sosial, ekonomi,
matematik, kesehatan dan lain-lainnya mencapai puncak kematangannya ketika
berada ditangan ilmuwan-ilmuwan muslim. Bahkan, dibidang sastra, kebudayaan
Arab baik pra Islam maupun sesudah banyak menghasilkan karya-karya yang
bermutu. Mulai karya Ummru’ul Qais dan Nabighah az Zibyani sampai pada masa
Jalaluddin ar-Rumi dan al-Hafidz. Pada masa yang paling dini karya sastra itu biasa
dikenal dengan istilah rajaz, hajaz, maqbudh dan mabsuth. Pada waktu-waktu
tertentu karya sastra itu dipertandingkan dan bagi yang berhasil menang ia disebut
dengan al-Mu’allaqah. Disamping itu ia juga mendapat sebutan mujamharah,
muntaqiyah, muzdahhabah dan mulahhamah.

Selain sastra masyarakat muslim juga meletakkan dasar ilmu pengetahuan


bagi ilmu sejarah, mulai dari ibn Ishaq, al-Waqidi, Ibn Hisyam (218 H) sampai
munculnya Bapak sejarah muslim ibn Khaldun ( 808 H) dibidang filsafat muncul
ibn Sina/Avicena (260 H), al-Farabi/al- Farabius (872 H), Ibn Bajjah/ Avempace (523
H), ibn Thufail/abu Bacer (851 H) ibn Rusyd/Averroes (595 H), al-Maimun/al-
Maimonades (601 H). Matematika menjadi dasar ilmu mekanik berkembang
ditangan ilmuan muslim seperti al-Khawarizmi (226 H) lewat karya gemilangnya “Al
Jabar”. Sesudah al-Khawarizmi muncul al-Haitsami yang menghitung hubungan

10
Jurnal Kependidikan MI, Kajian Pemikiran Tokoh Modern Muhammad Abduh (Rekonstruksi
Pendidikan Islam) ,Vol. 6 No. 2.(2020), hlm. 1

11
antara suatu lingkaran dan diameternya. Kemudian Ummar Khayyam menciptakan
teori tentang angka-angka “irrasional” serta menulis buku yang sistematis tentang
mu’addalah (equation). Disusul kemudian Ibn Tsabit bin Qurrah pada abad IX
menciptakan hitungan integral dan menghubungkan antara geometri dan Al Jabar. At-
Thousi, al-Biruni, Abul Wafa mengerjakan teori tenang sainus dan melahirkan
“secante” beberapa abad sebelum Copernicus memulai usaha tersebut, serta
menerjemahkan karya-karya diophantos ahli matematika Yunani.

Di bidang astronomi muncul al-Batani (317 H), al-Buruni (440 H),


Nashiruddin al-Faragamus yang menguraikan sejumlah kekeliruan Ptolemous
tentang sebab-sebab terjadinya gerhana matahari dan gerhana bulan dan tidak
terbitnya matahari di kutub. Sementara di al-Battani menghitung enklinasi
eklektip= 230 35’ (sekarang ukuran yang disepakati = 230 27’) dan Precessi
Ekinax (waktu siang yang sama panjangnya dengan waktu malam ) = 540 5’
tiap tahun. Para ahli astronomi zaman kekhalifahan al-Ma’mun menyangka bahwa
panjangnya garis meridian bumi = 111.814 meter (sekarang angka yang disepakati oleh
para ahli adalah 110.938 meter).

Di bidang kedokteran muncul Ibn Zakaria ar-Razi (320 H), ia menulis


karya dibidang kedokteran lebih dari seratus buah judul buku. Karya-karyanya
telah diterjemahkan kedalam bahasa Eropa dan dicetak ulang beberapa kali. Ia
menulis ensiklopedi tentang penyakit demam, campak dan cacar. Selain itu ia
menulis juga suatu buku diagnosis tentang batu-batu kecil pada ginjal. Selain ar-Razi
muncul pula Ibn Sina (428 H), Abu Qosim az-Zahrawi/ Abdul Casis (500 H) ahli
bedah dan pencipta peralatan medis dibidang tersebut masih banyak lagi tokoh-
tokoh terkemuka yang muncul di dunia muslim pada waktu sebelum kemunduran
ilmu pengetahuan Islam paska peristiwa Reconquista di Spanyol.

Hal ini membuktikan bahwa masyarakat/pemerintah muslim dalam


sejarahnya yang panjang memiliki hubungan yang mesra dengan pengembangan
ilmu pengetahuan. Kemajuan mengagumkan yang dicapai oleh generasi masa lalu itu
tak lepas dari kecintaan khalifah/ pemimpin umat pada masa itu beserta adanya
dukungan normative dari Al- Qur’an/Al Hadits. Dua sumber ajaran agama Islam
ini tidak pernah mengekang bagi perkembangan ilmu secara meluas. Bahkan
ajaran- ajaran yang dikandungnya justru menggairahkan umatnya agar banyak

12
melakukan riset-riset/ penyelidikan ilmiah atas fenomena alam yang dalam bahasa
Al Qur’an biasa disebut sebagai tanda-tanda kebesaran Allah (baca: ayat-ayat
Kauniyah).11

B. Signifikansi dan Relevansi Islam Dengan Pemikiran Abad Modern

Signifikansi dan relevansi Islam dengan pemikiran pada abad modern yaitu
dengan meninjau Kembali ajaran-ajaran Islam dan menafsirkannya dengan
interpretasi baru, untuk menjadikan Islam sebagai agama modern.
Dan di antara Umat Islam sendiri, terdapat beberapa tokoh yang melakukan
modernisasi keagamaan. Di antara mereka adalah Syed Ahmad Khan, Mohammad
Iqbal, Qosim Amin, dan Ali Abdul Raziq.
1. Modernisasi Syed Ahmad Khan (1817-1898 M). Pelopor modernisme di dunia
Islam adalah Sayid Ahmad Khan yang lahir di India. Pola pikirnya sangat sesuai
dengan makna dan tujuan modernisme itu sendiri, yaitu: berusaha
merelevansikan ajaran agama Islam dengan pengetahuan modern dengan jalan
menafsirkan kembali ajaran agama sesuai dengan pengetahuan modern.12
Tampaknya, Syed Ahmad Khan sangat berusaha keras untuk melestarikan
peradaban Barat dan membuka jalan bagi Kaum Muslim untuk meniru
peradaban Barat. Untuk mencapai hal itu, ia menempuh tiga prinsip: pertama,
bekerjasama dalam bidang politik (cooperation dengan Barat). Kedua,
mengimpor ilmu–ilmu Barat dalam lapangan kebudayaan, dengan membangun
Alligard Moslem University, dengan merombak kurikulumnya dan
memasukkan ilmu umum (sains dan teknologi), mengajarkan sastra dan bahasa
Eropa. Dalam hal ini, Khan melakukan tajdid, tetapi kurikulum yang diterapkan
tidak mencerminkan kurikulum yang Islami, apalagi menjamah masalah
Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Ketiga, menafsir- kan kembali ajaran Islam dalam
lapangan pemikiran.13

Untuk prinsip terakhir ini, ia mengarang Tafsir al-Qur’an yang intinya


meyakinkan Kaum Muslim bahwa akidah Islam tidak ber- tentangan dengan

11
Jurnal Fikroh. Vol. 4 No. 1 Juli 2010, hlm. 50-52
12
Sir Ahmad Khan, “Reenterpretation of Moslem theology”, dalam John J. Donohue dan John L.
Espesito (ed), Islam In Transition and Prespektives, (Jakarta: Rajawali, 1984), 61-64.
13
Basri Ahmad Dar, The Religious Thought of Sir Ahmad Khan, (Lahore: Institute of Islamic Culture,
1957), hlm. 270

13
hukum-hukum alam (naturalisme). Ia beranggapan bahwa al-Qur’an adalah
firman Allah dan hukum-hukum alam adalah perbuatan-Nya, maka tidak
mungkin firman Allah bertentangan dengan perbuatan-Nya. Lanjutnya, Umat
Islam cukup berpegang pada al- Qur’an, sehingga tidak memerlukan hadis.
Umat Islam tidak perlu bersandar kepada tafsir-tafsir klasik yang penuh dengan
khurafat dalam memahami al-Qur’an, tetapi mereka dapat menafsirkan al-
Qur’an sendiri dengan pengalaman dan ilmu pengetahuan modern.14

Penolakannya terhadap hadis dikarenakan sabda Rasul SAW itu tidak


dibukukan di Zaman Rasulullah SAW, melainkan pada abad kedua Hijrah, di
mana kekecauan, pergolakan politik, dan berbagai perselisihan di bidang agama
terjadi. Hal ini mempengaruhi tersebarnya hadis-hadis palsu. Oleh karena itu,
ia hanya menerima hadis yang sesuai dengan nas dan ruh al-Qur’an, sesuai
dengan akal dan pengalaman manusia, serta tidak bertolak belakang dengan
fakta- fakta sejarah yang benar.15

Di samping itu, Ahmad Khan juga menolak pendapat fuqaha terdahulu


secara individu, bahkan pendapat ijma pun ditolak. Ia sama sekali tidak
mengakui ijma, meskipun dilakukan oleh para sahabat. Ia beralasan, pintu
ijtihad masih terbuka dan tidak perlu mengikuti pendapat para fuqaha terdahulu,
karena situasi dahulu dan sekarang berbeda.16

Dari sini tampak bahwa Ahmad Khan seorang penganut paham


rasionalisme dan memakai framework dan worldview Barat dalam memandang
Islam. Sedang penginkarannya terhadap sunah, walau tidak mutlak, namun
sudah mengarah kepada “Golongan ingkar sunah” yang jelas-jelas bertentangan
dan keluar dari pedoman tajdid itu sendiri, ditambah dengan penginkarannya
terhadap ijma sahabat, menunjukkan komitmennya terhadap worldview Barat.

Dalam hal ini, Jamaludin al-Afghani mengkritiknya dengan


menerbitkan buku yang berjudul al-Raddu ‘alâ al-Dahriyîn (Sang- gahan
terhadap Aliran Naturalisme) yang diusung oleh Ahmad Khan. Dalam hal ini
al-Afghani menjelaskan tentang bahaya aliran Naturalis terhadap masyarakat.

14
Khalil Abu Hamid abu ‘Ala, Jawanib min al-Hindi al-Islam, (Kairo:Maktabah al-ma’arif al-Hadisah,
1979), hlm. 41
15
Ibid, hlm. 113-118
16
Ibid, hlm. 275

14
Al-Afghani memberi contoh kehancuran penganut aliran ini, seperti Bangsa
Yunani karena mengadopsi aliran Abiqur.17 Bangsa Persi karena mengadopsi
aliran Muzdik.18 dan Bangsa Mesir karena mengadopsi aliran Kebatinan.

Sebenarnya mengadopsi sains dan teknologi darimanapun dibolehkan


dalam Islam, termasuk dari Barat. Sebab, dalam Islam tidak teradapat dikotomi
antara ilmu agama dan non-agama, karena keduanya berasal dari Allah. Akan
tetapi, yang diambil bukanlah filsafat meterialis, gaya piker dan pola hidup yang
sekuler yang jelas- jelas bertentangan dengan akidah Islam, melainkan adalah
teknologi dan ilmu pengetahuannya.

Menurut Abu al-Hasan al-Nadawi, pola pemikiran Sayyid Khan


berpijak atas dasar taklid kepada Peradaban Barat dan prinsip- prinsipnya yang
materealistis, mengambil seluruh sains modern beserta konsep-konsepnya,
berusaha menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan Peradaban Barat, serta menolak
segala sesuatu yang tidak dapat dibuktikan oleh indra dan pengalaman empiris
serta tidak diakui oleh ilmu pengetahuan alam dalam hal yang gaib.19

2. Modernisasi Mohammad Iqbal


Konstribusi Iqbal dalam bidang pembaharuan adalah kritiknya hadap peradaban
Barat yang materealistis, setelah sebelumnya ia mendalami filsafat Barat,
peradaban, dan kehidupannya. Pemikiran modernisasi Iqbal dituangkan dalam
buku yang bejudul Reconstruc- tion of Religious Thought in Islam. Berkat
kritiknya kekaguman Umat Islam terhadap Peradaban Barat mulai pudar.20

Namun demikian, Iqbal mengagumi reformasi Kemal Attaturk dari


Turki yang sekuler. Padahal jelas sekali apa yang dilakukan Attaturk merupakan
westernisasi secara membabi buta. Tetapi Iqbal menganggapnya sebagai suatu
ijtihad untuk menegakkan kembali ajaran Islam sesuai dengan pemikiran dan
pengalaman modern, yakni ijtihad dalam masalah politik dan agama, yang

17
Jamal al-Din al-Afgani, al-Raddu ‘ala al-Dahriyyin, Terj. Muhammad Abduh, (Kairo: al-Salam al-
Alami, T. Th), hlm 59-60
18
Ibid, hlm. 63
19
Abu al-Hasan al-Nadawi, Mûjaz Târîkh Tajdîd Fikrah al-Islâmiyyah wa Fikrah al- Gharbiyyah, 163;
dan Islâm wa al-H{ârah al-Gharbiyyah, hlm. 110 dan 114.
20
Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, (Lahore; T. Pn, 1971), hlm. 242

15
berpijak kepada pengalaman empiris dan bukan pada pemikiran para fuqaha.21
Ia berpendapat bahwa kebangkitan Islam yang dinanti-nantikan haruslah meniru
langkah Turki dan berbuat seperti mereka dengan meninjau kembali warisan-
warisan pemikiran Islam.22 Karena, Turki satu-satunya yang memerangi
stagnasi akidah dan bangkit dari kejumudan intelektual. Turki satu-satunya
bangsa yang benar-benar mengajak pada kebebasan berpikir, yang berangkat
dari alam ide kepada alam nyata.23 Iqbal kemudian mengemukakan kriteria
modernisasi yang diserukannya kepada Kaum Muslim, yakni menuntut
peninjauan kembali terhadap warisan-warisan intelektual salaf, merekonstruksi
syariah sedini mungkin sesuai dengan pemikiran dan pengalaman modern, serta
mengadakan interpretasi baru terhadap prinsip-prinsip yang fundamental.24
Pengaruh Turki yang cukup signifikan terhadap pemikiran Iqbal bukan
hanya datang dari Kemal Attaturk, tetapi juga datang dari Jalaluddin al-Rumi.
Di samping itu, Iqbal juga tepengaruh oleh aliran Filasaf Positivisme Agust
Comte yang Atheis; juga Dhiya’ ukap, yang mengumandangkan paham
persamaan gender antara laki-laki dan perempuan dalam hukum perkawinan,
talak, dan waris. Mereka itu dianggap sebagai cerminan gerakan modernisasi
dalam Islam.25
Iqbal juga terpengaruh oleh orientalis, Gold Ziher. Mengenai
penelitiannya terhadap hadis Nabi SAW, Iqbal menukil pendapat orientalis
Gold Ziher, bahwa penelitian yang mendalam tentang hadis-hadis dengan
menggunakan metode kritik sejarah menunjukkan bahwa hadis-hadis Nabi
SAW tidak dapat dipercaya kebenarannya, sehingga hadis yang menyangkut
hukum syariah perlu diteliti isinya.
Menanggapi Iqbal, Abu ‘Ala Maududi berkomentar:
“Tetapi Iqbal dengan segala kejeniusannya dalam bersyair, tidak
pernah lepas dari berbagai bahaya. Sayang sekali bahwa tulisan-
tulisannya tidak pernah sepi dari berbagai hal kontradiktif. Ia telah

21
Muhammad Iqbal, Tajdid al-Fikri al-Din fi al-Islam, Terj. Abbas Mahmud al-Aqad, (Kairo: Dar al-Taklif
wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1955), hlm. 182
22
Ibid, hlm. 176
23
Bustami Muhammad. Said, Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam, Terj. Mahsun al-Mundzir,
(Gontor-Ponorogo: PSIA ISID, 1991), hlm. 148
24
Ibid, hlm. 139
25
Ibid, hlm. 192

16
melalui berbagai fase yang berbeda dalam perkembangan pemikiran
selama hidupnya. Ia tidak dapat membentuk pemikiran Islam yang
jernih kecuali tahun-tahun terakhir dari hidupnya. Di tahun-tahun
pertama dari kehidupannya pemikirannya tentang Islam bercampur dan
dipengauhi oleh pemikiran- pemikiran Barat”26

Sepertinya, Iqbal memang gegabah ketika mengajak Umat Islam meniru


sekulerisme Turki. Karena sampai sekarang, Turki tidak mengalami kemajuan
yang signifikan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk ilmu pengetahuan
dan teknologi, kecuali produksi karpet dan sajadahnya. Baru setelah Partai
Keadilan dan Kebebasan Islam menang dan memimpin Turki dalam beberapa
tahun terakhir, Turki mulai kembali kepada Islam. Turki perlahan menjadikan
syariat Islam sebagai pedoman hidup dan mulai meninggalkan sekulerisme.
Dari situ, sedikit demi sedikit kondisi sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan
budaya rakyat Turki membaik secara signifikan, ini fakta yang tidak
terbantahkan, walau masih ada tantangan dari kaum sekularis.
3. Modernisasi Qasim Amin

Masalah pokok yang diperjuangkan Qasim amin adalah agar wanita


muslimah melepaskan diri dari tradisi-tradisi masa lalu, untuk kemudian mencontoh
wanita Barat. Hal ini tercantum dalam bukunya Tahrîr al-Mar’ah. Walaupun ia tidak
menguasai ilmu agama, tetapi ia kerap berbicara tentang hijab, talak, poligami, serta
pengajaran dan pekerjaan wanita dalam Islam. Bagi Amin, syariah Islam adalah
masalah yang tidak tetap, melainkan selalu berubah sesuai dengan situasi dan
kondisi zaman. Ia juga beranggapan bahwa tidak semua perkataan Nabi SAW
merupakan bagian dari agama, maka harus dipisahkan antara perkataan yang biasa,
nasehat-nasehat, moral, dan filsafat-filsafat hidup yang tidak merupakan kewajiban
agama.27 Berdasarkan hal tersebut ia menyerukan kepada wanita muslimah untuk
menanggalkan hijab, karena hijab bagi wanita merupakan sebab kemunduran
Bangsa Timur. Adapun menang- galkan hijab merupakan rahasia kemajuan Barat.

26
Maryam Jameela, Islam in theory and Practice, (Lahore: Muhammad Yusuf Khan, 1970), hlm. 99
27
Muhammad Imarah, Al-Masiriyun-al-A’mal al-Kamilah li Qasim Amin, Juz 1, (Beirut: al-Mu’assah al-
arabiyah li dirasah wa al-Nasyr, 1976), hlm. 292

17
Ia juga menghimbau bagi mereka kepada pergaulan bebas, antara laki-laki dan
perempuan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa modernisasi yang digagas oleh
Qasim Amin telah terlepas dari konteks tajdid dalam Islam, dan hanya merupakan
taghrîb (westernisasi) semata, bahkan tahrîf (penyelewengan) terhadap ajaran Islam
itu sendiri. Perkataan Amin bahwa syariah Islam adalah masalah yang tidak tetap
perlu dikritisi. Memang syariah Islam itu bersifat umum, ada yang harus tetap dan
ada yang boleh berubah, seperti rukun Iman dan rukun Islam jelas tidak boleh
berubah, tetapi model pakaian Islam boleh berubah sesuai dengan perkembangan
zaman dan tempat, asalkan tetap menutup aurat. Adapun pandangannya bahwa
tidak semua perkataan Nabi SAW merupakan bagian dari agama, menunjukkan
bahwa Amin ingin mengadakan sekularisasi bagi ajaran Islam. Padahal ajaran Islam
mencakup seluruh aspek kehidupan, tetapi hukumnya bermacam-macam, adanya
yang wajib, jaiz, mubah, makruh, dan haram. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Islam itu luas dan luwes.

Anjuran Amin bagi para wanita untuk melepas jilbab dan mengikuti gaya
hidup bebas sebagaimana Masyarakat Barat merupakan upaya menghapuskan
syariah Islam dan menggantikannya dengan hukum Barat yang sekuler. Pendapat
ini jelas absurd, sebab kemajuan wanita Muslimah bukan ditentukan oleh hal
demikian, melainkan oleh pendidikan dan ketrampilannya. Juga perlu ditegaskan di
sini, bahwa Kaum Muslimah dapat maju dalam berbagai aspek kehidupan tanpa
harus mengadopsi hukum Barat.

4. Modernisasi Ali Abd al-Raziq


Di antara konsep–konsep fundamental Peradaban Barat adalah konsep
pemisahan antara agama dan negara (sekularisme). Konsep ini banyak sekali
diadopsi oleh intelektual muslim, contohnya Ali Abd al-Raziq.28 Dalam
bukunya yang berjudul Al-Islâm wa Usûl al- Hukm, ia menakwilkan hukum-
hukum al-Qur’an, sunah, dan fikih yang disesuaikan dengan pemikiran Barat,
dan menjadikan kitabnya sebagai puncak produk pemikiran modern.
Adapun dalil-dalil tentang khilafah yang terdapat dalam al- Qur’an,
dikatakannya bahwa maknanya lebih luas dan lebih umum dari pada khilafah

28
Charle adam, Islam and modernization In Egypt, hlm. 252

18
yang dimaksud. Adapun hadis-hadis tentang imamah, baiat, jamaah, dan
sebagainya tidak patut dijadikan dalil oleh mereka yang menganggap khilafah
sebagai akidah atau hukum agama, sebab hadis itu tidak lebih sebagaimana
perkataan Isa mengenai hukum-hukum agama yang berkaitan dengan
pemerintahan Kaisar Romawi.
Raziq lebih mengedepankan substansi dari sebuah pemerintah- an, yakni
menegakkan keadilan. Ia tidak menghiraukan penamaan dari pemerintahan itu
sendiri. Apapun namanya, baik itu kesultanan, kepresidenan, atau kekaisaran,
yang penting adalah mereka harus mampu menegakkan keadilan.
“jika yang dikatakan oleh ahli fikih tentang imamah dan khilafah itu
sama dengan apa yang dimaksud oleh para ahli politik, maka benar apa
yang mereka katakan bahwa syiar agama dan kemaslahatan masyarakat
tergantung bentuk pemerintahannya; absolutisme atau terbatas, kerajaan
atau republik, diktator atau konstitusional, dengan demokrasi atau
sosialis.”29

Nabi SAW sendiri, tidak mengajarkan untuk mendirikan Negara Islam.


Kepemimpian Rasulullah SAW adalah kepemimpinan agama dan rohani, tidak
ada hubungannya dengan pemerintahan atau politik. Kebanyakan tugas
pemerintahan dan politik tidak ada di masa beliau. Adapun premis-premis yang
menunjukkan atau menyerupai masalah-masalah pemerintahan dan politik,
hanya seba- gai sarana untuk memperkuat dakwah Islam.30 Bagi Raziq, Islam
adalah peraturan agama yang tidak berkaitan dengan sistem politik. Adapun
sistem pemerintahan yang dikenal Kaum Muslim hanyalah sejarah yang tidak
berhubungan dengan agama. Oleh karena itu, tidak ada larangan bagi Kaum
Muslim untuk menghapus sistem khilafah. Kaum Muslim hendaknya
mencontoh sistem pemerintahan berdasarkan pengalaman-pengalaman bangsa
lain, juga hasil pemikiran mereka dalam bidang sosiologi dan poitik.31 Dari sini,
tampak jelas bahwa Raziq menginginkan Umat Islam mau me- ngambil sistem

29
D}iyâ’u al-Dîn al-Rais, al-Islam wa al-Khilâfah fî al-’Asri al-H}adîs; Naqd lî Kitâb “al- Islâm wa Us}ûl al-
H}ukm, (Kairo: Maktab Dâr al-Turâs, 1976), 256-257.
30
Ibid, hlm. 139-167
31
Ibid, hlm. 182-194

19
politik Barat yang sekuler untuk diterapkan dalam pemerintahan mereka, dan
meninggalkan sistem khilafah. Hal tersebut terangkum dalam pernyataannya:

“Sesungguhnya agama Islam tidak berkaitan dengan khilafah yang


dikenal oleh Kaum Muslim, dan bukan merupakan salah satu prinsip agama,
begitu pula masalah yudikatif, tugas-tugas pemerintahan, dan lain-lain, tetapi
itu hanya merupakan sistem politik yang tidak ada hubungannya dengan agama.
Jadi, agama tidak memberi batasan, tidak memerintah atau melarangnya, tetapi
menyerahkan kepada kita untuk dikembalikan kepada hukum rasio dan
pengalaman bangsa-bangsa dan kepada sistem politik.”32

Tampaknya, Raziq tidak tahu bahwa Islam adalah agama yang


komprehensif, yang ajarannya bukan hanya meliputi masalah akidah dan ibadah
saja, tetapi juga pemerintahan. Memang dalam al-Qur’an tidak ada ayat yang
menyebut secara gamblang untuk mendirikan Negara Islam, tetapi dasar-dasar
Negara Islam disebutkan dalam al- Qur’an dan dicontohkan oleh Rasulullah
SAW. Di samping sebagai nabi, Muhammad juga seorang panglima perang,
kepala pemerinta- han, dan imam masjid. Tidak ada pembedaan antara perkara
dunia dan akhirat. Kesemuanya dikerjakan Nabi SAW dalam satu masa. Perlu
diketahui bahwa hadist fi’li sebagaimana penerapan Nabi SAW akan Negara
Islam, lebih kuat untuk dijadikan hukum ajaran ke- timbang h}adits qaulî.
Untuk itu, Nabi SAW itu tidak mengatakan

“Dirikanlah Negara Islam!”, tetapi amalannya telah mencerminkan hal itu, dan
masalah ini tidak terbantahkan oleh fakta sejarah. Pada masa selanjutnya, hal
ini kemudian dicontoh oleh al-Khulafâ al- Râsyidûn.

Perlu diterangkan, bahwa Islam tidak mengenal demokrasi ala Barat


yang sekuler, yang berpedoman bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan”.
Sebab tugas negara dan pemerintahan Islam bukan merancang undang-undang
atau syariah, tetapi sekedar melaksanakan syariah yang sudah ditetapkan oleh
Allah melalui Rasul-Nya, juga bukan oleh rakyat yang tingkat pendidikan dan

32
Ali ‘Abd Raziq, Al-Islâm wa Us}ûl al-H}ukm: Bah}tsu al-Khilâfah wa al-H}ukûmah fî al-Islâm, (T. Tp:
Dâr al-Hilâl, Cet. I, 1925), 146.

20
ilmunya sangat bervariasi, apalagi oleh rakyat yang menentang Tuhan dan
syariah-Nya.

Maka jelaslah modernisasi yang dilakukan oleh Raziq dalam


pemerintahan hanya merupakan westernisasi dan sekularisasi seperti yang ada
di Barat. Padahal hal tersebut membawa paham-paham lain yang bertentangan
dengan ajaran Islam itu sendiri, di antaranya humanisme, sekularisme,
pragmatisme, ataupun kapitalisme.

21
BAB
III
Kesimpulan
Jadi apa yang dilakukan oleh kaum modernis itu lebih bersifat taghrib
(westernisasi bahkan sekulerisasi ajaran Islam). Islam tidak menafikan adanya
inovasi kreatif dan dinamis dalam pemikiran masalah-masalah yang mungkin
berubah, tetapi bukan dalam hal-hal yang bersifat tetap. Namun karena nisbah
pemikiran tersebut ditujukan kepada Islam, maka pemikiran Islam tersebut
harus selalu berpegang teguh terhadap sumber-sumber al-qur’an dan hadis, baik
secara tersirat maupun tersurat.

Dan penulis sengaja menampilkan makalah yang mungkin kontroversi


ini, namun ini semua tiada lain adalah untuk dijadikan pelajaran (I’tibar), bagi
kita semua, agar supaya ada perbandingan-perbandingan dalam mempelajari
pemikiran-pemikiran modern.

SARAN

Dengan segala keterbatasan kami, demikianlah makalah ini kami buat.


Kesempurnaan hanyalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, Tuhan pencipta
alam semesta. oleh karena itu sudah pasti makalah ini memerlukan kritik dan
saran yang membangun dari pembaca yang baik hatinya,. Selamat membaca
dan semoga bermanfaat. Amin.

22
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun, 1975: Pembaharuan dalam Islam Sejarah dan Gerakan Jakarta: Bulan
Bintang
Nur, Khakim, Islam. 2002 : Doktrin Pemikiran dan Realitas Historis. Yogyakarta: Aditya Press.

Jurnal Tsaqafah, 2013: Tajdid dan Modernisasi Pemikiran Islam. Vol. 9, No. 2, November

al-Ba’lalabaki, Munir, 1974: Kamus Inggris-Arab, Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin

Djamaluddin, Dedi, Malik dan Idi Subandy Ibrahim, 1998: Zaman Baru Islam Indonesia
Bandung: Zaman Wacana Mulia

Nata, Abudin Prof. Dr. H., M.A, tt: Metodologi Studi Islam. PT. raja Grafindo
Persada, Jakarta

Nasution, Harun, 1975, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan gerakan
Jakarta: Bulan Bintang

Noer, Deliar, 1980, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta:LP2ES

Jurnal Kependidikan MI, 2020: Kajian Pemikiran Tokoh Modern Muhammad Abduh
(Rekonstruksi Pendidikan Islam) ,Vol. 6 No. 2.
Jurnal Fikroh. Vol. 4 No. 1 Juli 2010

Ahmad Khan Sir, 1984: “Reenterpretation of Moslem theology”, dalam John J. Donohue dan
John L. Espesito (ed), Islam In Transition and Prespektives, Jakarta: Rajawali

Ahmad, Dar, Basri, 1957: The Religious Thought of Sir Ahmad Khan, Lahore: Institute of Islamic
Culture

Hamid abu ‘Ala, Khalil Abu Jawanib, 1979: min al-Hindi al-Islam, Kairo:Maktabah al-ma’arif al-
Hadisah

Al-Din al-Afgani Jamal, al-Raddu ‘ala al-Dahriyyin, Terj. Muhammad Abduh, Kairo: al-Salam al-
Alami, T. Th

Al-Hasan, al-Nadawi, Abu, Mûjaz Târîkh Tajdîd Fikrah al-Islâmiyyah wa Fikrah al- Gharbiyyah,
163; dan Islâm wa al-H{ârah al-Gharbiyyah

Muhammad, Ali, Maulana, 1971: The Religion of Islam, Lahore; T. Pn

Iqbal, Muhammad, 1955: Tajdid al-Fikri al-Din fi al-Islam, Terj. Abbas Mahmud al-Aqad, Kairo:
Dar al-Taklif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr

23
Said, Muhammad, Bustami,1991: Pembaharu dan Pembaharuan dalam Islam, Terj. Mahsun
al-Mundzir, Gontor-Ponorogo: PSIA ISID

Jameela, Maryam, 1970: Islam in theory and Practice, Lahore: Muhammad Yusuf Khan

Imarah, Muhammad, 1976: Al-Masiriyun-al-A’mal al-Kamilah li Qasim Amin, Juz 1, Beirut: al-
Mu’assah al-arabiyah li dirasah wa al-Nasyr

Adam, Charle, Islam and modernization In Egypt

Al-Dîn al-Rais D}iyâ’u, 1976: al-Islam wa al-Khilâfah fî al-’Asri al-H}adîs; Naqd lî Kitâb “al- Islâm
wa Us}ûl al-H}ukm, Kairo: Maktab Dâr al-Turâs

Abd, Raziq, 1925: Ali, Al-Islâm wa Us}ûl al-H}ukm: Bah}tsu al-Khilâfah wa al-H}ukûmah fî al-
Islâm, T. Tp: Dâr al-Hilâl, Cet. I.

24

Anda mungkin juga menyukai