Anda di halaman 1dari 21

Pembaharuan Islam di Timur Tengah dan Hubungannya dengan

Muhammadiyah di Indonesia

Makalah ini disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
“Kemuhammadiyyahan”

Dosen Pengampu:

Dr. Mahmudin Sudin, MA

Disusun oleh:

Abdul Aziz 202005103000

Khoirunnisa 20200510300003

PROGRAM STUDI

KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2021 M/1441 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, taufik dan karunia-
Nya. Sholawat dan salam dihaturkan kepada suri tauladan kita yakni Nabi
Muhammad SAW.

Makalah “Pembaharuan Islam di Timur Tengah dan Hubungannya dengan


Muhammadiyah di Indonesia” disusun guna memenuhi tugas Drs. Mahmudin,
MA pada mata kuliah “Kemuhammadiyyahan”. Selain itu penulis juga berharap
agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu. Tugas yang


telah diberikan ini dapat menambah wawasan bagi penulis terkait bidang yang
ditekuni. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari akan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karna itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi
kesempurnaan makalah ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Cirendeu, 7 Oktober 2021

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................1

A. Latar Belakang.........................................................................................................3

B. Pembaharuan Islam di Timur Tengah...................................................................5

1. Muhammad Abduh.................................................................................................7

2. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha........................................................................11

C. Hubungan Muhammadiyah dengan Pembaharuan Islam..................................13

D. Kesimpulan.............................................................................................................17

Daftar Pustaka...............................................................................................................19

2
A. Latar Belakang
Islam di Indonesia tidak dapat di pisahkan dengan Islam di Timur
Tengah. Sebenarnya sudah sejak lama terjadi hubungan antara Timur Tangah dan
Nusantara dalam bentuk jaringan intelektual. Hubungan intelektual yang
dilakukan antar ulama sebenarnya terkait dengan paham keagamaan. Timur
Tengah dan Nusantara pada abad ke-17 dan 18 di catat sebagai titik awal
penyebaran pembaharuan Islam Nusantara. Menyangkut pembaharuan ini, Islam
di wilayah Melayu Nusantara pada abad ke-17 bukan semata-mata Islam yang
berorientasi pada tasawwuf melainkan juga Islam yang berorientasi pada syariat.
Ini merupakan perubahan besar dalam sejarah Islam di Nusantara, sebab pada
abad-abad sebelumnya Islam adalah istilah yang dominan. Setelah belajar di pusat
jaringan di Timur Tengah para ulama Melayu Indonesia sejak peuh kedua abad
ke-17 dan seterusnya melakukan usaha-usaha untuk menyebarkan ide-ide baru di
Nusantara.1
Sejarah telah mencatat bahwa Islam telah memberikan suatu kerangka
bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban dunia. Sikap dan semangat
ilmiah yang telah dibentuk oleh dunia Islam pada abad klasik dan pertengahan,
melahirkan figur ensiklopedik dari berbagai ragam ilmu pengetahuan. Tetapi
setelah abad ke-13 ketika Baghdad dihancurkan oleh Hulagu Khan, dunia Islam
mulai mundur. Peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan yang telah dicapai oleh
kaum muslimin sebelumnya tidak nampak lagi. Bahkan kaum muslimin nampak
statis dalam berbagai lapangan pemikiran.
Sejak itu kondisi dunia Islam dengan berbagai aspeknya menarik
perhatian banyak kalangan. Dari pihak kaum muslimin terdapat dua kelompok.
Pertama, mereka yang menyadari tentang keadaan kaum muslimin dan menilai
bahwa praktek keagamaan umat Islam telah menyimpang dari ajaran Islam yang
benar. Mereka berpendapat jika umat Islam kembali kepada prinsip-prinsip ajaran
Islam yang benar dan menggerakkan semangat ijtihad dalam setiap proses
berfikir, maka kaum muslimin akan memperoleh kembali kemajuan sebagaimana

1
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII & XVIII,
Akar Pwmbaruan Islam Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 117-118

3
yang pernah dicapainya pada waktu lampau. Mereka inilah yang dengan gigih
memperjuangkan ide-ide Islam ke dalam usaha pembaharuan masyarakat Islam.
Kedua, mereka yang berpegang teguh kepada tradisi abad pertengahan
beranggapan bahwa apa yang telah dicapai oleh para ulama Islam terdahulu di
bidang pemikiran agama, terutama pemikiran imam mazhab yang empat (Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hambali) dinilai mutlak, dan tidak mungkin ada pemikiran
lain yang bisa menandinginya. Atas dasar pandangan ini tertanamlah rasa
skeptisme dalam tubuh kaum muslimin.2 Kelompok yang kedua ini mewakili
kaum tradisional dalam masyarakat Islam. Mereka menolak setiap pembaharuan
di dalam Islam, dan mengatakan bahwa setiap perubahan merupakan rongrongan
terhadap agama itu sendiri.
Di Indonesia proses reformasi pemikiran Islam, terjadi setelah
terbukanya komunikasi yang luas dengan negara-negara Timur Tengah yang
menjadi pusat Islam. Proses perubahan ini dilakukan oleh individu dan kelompok
masyarakat yang ingin memperjuangkan identitas dan prinsip ajaran Islam di
tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia. Usaha tersebut direalisir dengan
mendirikan organisasi tertentu. Di antara organisasi tersebut adalah organisasi
Muhammadiyah. Muhammadiyah dipandang memiliki peranan yang sangat
penting dalam menyebarkan ide-ide pembaharuan Islam dan memiliki pengaruh
yang sangat kuat di kalangan masyarakat menengah Indonesia. Muhammadiyah
dapat dikatakan trendsetter dan dapat diibaratkan sebagai lokomotif penarik
gerbong gerakan reformis Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari luasnya cakupan
reformasi Muhammadiyah yang tidak hanya bergerak dalam tataran reformas
pendidikan tetapi juga diberbagai bidang lain seperti menjadi pelopor pendirian
pantipanti asuhan, rumah sakit, Bank Pengkreditan Rakyat, Baitul Mal wa at-
Tamwil dan lain sebagainya sebagai ciri masyarakat modern.3

2
Tatang M. Natsir, Di sekitar Reformasi dan Modernisasi Masyarakat Islam (Bandung:
alMaarif, 1972), hal. 198
3
Muhammad Damami, Akar Gerakan Muhammadiyah (Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru: 2000), hal. 82

4
B. Pembaharuan Islam di Timur Tengah
Dalam sejarah peradaban Islam, abad ke-18 menempati posisi tersendiri.
Ummat Islam pada itu, dipandang sebagai awal dari satu peradaban. kemudian era
tersebut dikenal dengan masa modern. Di bawah dominasi budaya Barat, masa ini
ditandai dengan adanya kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi, yang
dipandang mampu mengubah halhal fundamental dalam kehidupan manusia.4
Hal utama yang mengakibatkan transformasi sosial-kultural adalah
ditemukannya sains modern. Hadirnya sains modern telah menimbulkan
pergeseran yang luar biasa, bukan hanya bidang bidang ekonomi, politik dan
sosio-kultural, tapi juga dalam filsafat dan agama. Tiga Pergeseran tersebut telah
melanda dunia Islam. Berhadapan dengan arus rasionalitas ilmiah modern dan
permasalahan-permasalahan yang bersifat universal, berbagai khazanah pemikiran
Islam tampak telah menjadi benda-benda arkeologis yang menanti saatnya untuk
digali dan dibangun kembali (reactualization).
Memasuki dan ikut serta dalam abad modern bukanlah persoalan pilihan,
melainkan suatu keharusan sejarah kemanusian (historical thought) 5. Kenyataan
tersebut menuntut ummat Islam untuk berusaha melakukan pembaruan,
penyegaran, atau pemurnian pemahaman ummat kepada agamanya. Usaha seperti
itu adalah sesuatu yang telah menyatu dengan sistem Islam dalam sejarah.
Gerakan pembaruan Islam adalah sebuah kenyataan historis, sebagai cermin
implementasi respons positif terhadap modernisme, untuk kemudian melahirkan
dinamika dan gerakan pemikiran yang beragam dan tentu saja secara diametral
masing-masing berbeda.
sesungguhnya Islam sebagai gerakan kultural menolak
pandanganpandangan kuno yang statis dan bahkan sangat mendorong pandangan-
pandangan dinamis.6 Gerakan ini, pembaruan pemikiran Islam, ditandai dengan
pemikiran-pemikiran yang kritis pada modernisme (Barat). Mereka berupaya
mencari alternatif-alternatif non-Barat, untuk membangun Islam. Kebangkitan
4
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina 1992), hal.
452-453
5
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban. hal 65
6
Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pemikiran Agama Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1986), hal. 148

5
merupakan isu yang tumbuh dari sikap kritis itu, dan mencangkup di dalamnya
gerakan-gerakan intelektual, sosial politik yang cukup beragam: neo-
tradisionalisme, neo-revivalisme, neo-fundamentalisme, dan neo-modernisme.7
Gerakan kebangkitan Islam secara historis, jika dilihat kebelakang mulai
pada penghujung abad XVIII terjadi ledakan paling besar dan tipikal di Arabia
sendiri, yaitu yang dikenal dengan Wahabi.8 Muhammad ibn Abdul Wahab,
‘murid” Ibn Taymiyah, bergerak untuk purifikasi demi kemajuan dan kebangkitan
Islam dengan jalan menelusuri sumber-sumber dari naqli. 9 Gerakan ini pada
intinya diarahkan untuk menanggulangi proses-proses degradasi moral Islam
dalam bidang moral dan politik akibat runtuhnya peradaban muslim di abad
pertengahan. Gerakan ini sesunguhnya bisa dikatakan muncul sebagai
pendobrakan terhadap kemapanan dan finalitas tradisi pemikiran
tradisional/ortodoks yang telah mengalami konservatisasi.10
Sebagaimana sering didengar, ada dua arus besar dalam pemikiran Islam
yang hendak dilakukan oleh para pembaharu, yaitu Arabisasi dan modernisasi
terkait dengan warisan Islam yang dimiliki oleh dunia Arab. Kelompok pertama
yang menghendaki Arabisasi didorong oleh alasan yang menyatakan bahwa
selama kejayaan Islam bahasa Arab dan budaya Arab adalah merupakan hal nyata
digunakan untuk kemajuan bersama, bukan merupakan isapan jempol memang
ketika imperium Islam dibangun atas budayabudaya Arab, khususnya suku
Quraisy, walapun dalam sebuah hadits dinyatakan al-Quran ini bukan untuk
Quraisy namun untuk sekalian umat. Tokoh yang sering dijadikan acuan dalam
gerakan ini adalah Kawakibi, yang disebut oleh Azra sebagai seorang romantisime
sejati.11 Kelompok yang kedua yaitu yang cenderung ke modernisasi dan memang
agak sekularisasi, sebagaimana yang dilakukan oleh Kemal Ataturk dalam negara
7
Akbar S. Ahmed, Posmodernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam, (Bandung: Mizan,
1995), hal. 15
8
Bahtiar Effendi dan Fahry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1996),
hal. 245
9
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal 54
10
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hal.
20
11
Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentaslime Sampai
Posmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 43

6
Turki, yang mencoba membangun negaranya dengan paradigma Barat, ia
mengembalikan agama sebagai urusan privat dan negara tidak mencampurinya.
Diantara dua kelompok besar itu muncul pula tokoh pembaharu yang
moderat satu sisi mencoba untuk mempertahankan warisan islam disisi lain juga
berupaya melakukan pembaharuan terhadap pemikiran islam yaitu antara lain
Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Rida.
1. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh yang memiliki nama lengkap Muhammad bin
Abduh bin Hasan Khairullah merupakan salah seorang tokoh pemikir,
pembaharu Islam pada awal abad 19 M. Beliau lahir pada tahun 1266 H/1849
M disebuah distrik bernama Sibsyir kota Mahallah Nasr di provinsi al
Bahirah, Mesir dari rahim seorang wanita Arab yang nasabnya sampai pada
Umar ibn Khathab, Khalifah kedua sesudah Abu Bakar mangkat. Ayahnya
bernama Abduh bin Hasan Khairullah, merupakan seorang petani dan
mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya
bernama Junaidah Uthman, seorang wanita keturunan Arab.12
Sebagaimana umumnya keluarga Islam, pendidikan agama pertama
didapat dari lingkungan keluarga. Pendidikan pertama ditempa dari ayahnya,
Abduh Khair Allah, yang pertama menyentuh Abduh di ranah pendidikan.
Keluarganya sangat memotivasi Abduh untuk menuntut ilmu terutama
ayahnya. Guru pertama Abduh adalah ayahnya, ia belajar Al Qur’an dari
ayahnya.
Kondisi umat Islam pada masa hidup Abduh akhir abad 18 dan awal
abad 19 adalah bagian dari rentetan sejarah kemunduran umat Islam. Dunia
Islam mengalami mengalami kemunduran yang sangat memprihatinkan.
Dunia Islam terkukung oleh penjajah. Wilayah Islam yang sebelumnya
berada dalam naungan Khilafah Utsmaniyah menjadi sasaran jajahan oleh
bangsa-bangsa Eropa. Inggris menduduki Mesir, Sudan, Pakistan dan
Bangladesh (India). Perancis menduduki Aljazair, Tunisia, dan Maroko. Italia

12
Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh
Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2000), hal. 18

7
mendapat bagian Libia. Di samping kekalahan politik dan militer, umat Islam
juga mengalami stagnasi pemikiran (intelektualitas). Situasinya sarat
perbedaan jika dibandingkan dengan kemajuan Eropa yang tersentuh
renaisance. Kebangkitan Eropa disertai dengan ekspansi mereka ke berbagai
wilayah Islam. Lebih dari itu, kebangkitan Eropa juga menyebabkan
terpilahnya Umat Islam menjadi dua kelompok.
Pertama, kelompok konservatif yang terwakili oleh para pembesar
ulama Azhar. Mereka sangat menolak segala macam bentuk perubahan.
Orientasi pandangan mereka hanya mengacu pada kejayaan Islam masa
klasik. Acuannya selalu berbalik ke sebuah zaman klasik. Menilai masa itu
dengan semangat kultusisme atau fanatik tanpa boleh disentuh oleh
pembaharuan-pembaharuan.13
Kedua, golongan pembaharu atau kelompok terpelajar dari Barat
yang mulai mengenal seperangkat metode modern. Mereka meyakini bahwa
melihat sejarah keemasan Islam dengan semangat pengkultuasan adalah
usaha bodoh yang hanya memasung kebebasan berpikir. Singkat kelompok
kedua ini, cara pandang seperti ini mustahil akan mencapai kemajuan.
Kondisi keterpilahan umat Islam pada masa ini secara cerdas hendak
didamaikan oleh Abduh. Ia menempatkan diri layaknya tali penyambung anta
dua kubu yang sebrang sudut pandang itu. Sedikit demi sedikit, ia membuka
kayu pemasung yang mengkungkung pemikiran kaum konservatif dan di
waktu yang sama, ia pun tetap tak mau bertindak gegabah agar kemajuan
Islam tak secara absolut meniru kemajuan Barat.
Mulai dari sini, langkah pembaharuan Abduh dimulai. Ia tak hanya
merombak hal-hal pragmatis, namun lebih dalam lagi, cara keberagaman
(fiqh) dan keyakinan (tauhid) mendapatkan suntikan infusi. Pada masa ini
(masa kolonialisme negara-negara Eropa terhadap Asia dan Afrika) ide
pembaharuan ini tak hanya terjadi di Mesir saja yang diwakili Abduh. Di
Saudi misalnya, ide pembaharuan mulai digalakkan oleh seorang pengikut

13
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995),
hal. 365

8
Ibn Taimiyah, Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1787 M) yang
merupakan cikal bakal tumbuh kembangnya paham Wahabi di sana. Namun
bedanya, pembaharuan yang dibawa Muhammad ibn Abdul Wahab berkutat
pada pembersihan dan pemurnian ajaran-ajaran Islam dari khurafat dan bid’ah
dan sikap skeptisismenya dalam menerima kemajuan bangsa Eropa.
Sedangkan Abduh lebih jauh lagi, tantangan di Mesir adalah bagaiman umat
Islam bisa bersatu mengusir kolonialisme bersama-sama dari tanah air mereka
dan membangkit spirit kemajuan dengan prinsip mengambil apa yang patut
dari Barat dan menampik apa yang tak selaras dengan konsep Islam.14
Gerakan pembaharuan Islam yang dilakukan oleh Muhammad
Abduh tidak terlepas dari karekter dan wataknya yang cinta pada ilmu
pengetahuan. Gibb dalam Mukti Ali menyebutkan salah satu karya
terkenalnya, Modern Trends in Islam, menyebutkan empat agenda
pembaharuan Muhammad Abduh. Keempat agenda itu adalah pemurnian
Islam dari berbagai pengaruh ajaran dan amalan yang tidak benar.15 Yaitu:
a. Purifikasi
Purifikasi atau pemurnian ajaran Islam telah mendapat tekanan serius
dari Muhammad Abduh berkaitan dengan munculnya bid`ah dan
khurafah yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslim. Kaum
muslim tak perlu mempercayai adanyah karamah yang dimiliki para wali
atau kemampuan mereka sebagai perantara (wasilah) kepada Allah.
Dalam pandangan Muhmmad Abduh, seorang muslim diwajibkan
mengindarkan diri dari perbuatan dari perbuatan Syirik (lihat QS.6:79).16
b. Reformasi
Reformasi pendidikan tinggi Islam difokuskan Muahammad Abduh pada
universitas almamaternya, Al-Azhar. Muhammad Abduh menyatakan
bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku klasik
berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu kalam untuk membela Islam.
14
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995),
hal. 369
15
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, hal 365
16
Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentaslime Sampai
Posmodernisme, hal 265

9
Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sain-sain
modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebaba-sebab
kemajuan yang telah mereka capai.11 Usaha awal reformasi Muhammad
Abduh adalah memperjuangan mata kuliah filsafat agar diajarkan di Al-
Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intelektualisme Islam yang
padam diharapkan dapat dihiduipkan kembali.17
c. Pembelaan Islam
Muhammad Abduh lewat Risalah Al-Tauhidny tetap mempertahankan
potret diri Islam. Hasratnya untuk menghilangkan unsur-unsur asing
merupakan bukti bahwa dia tetap yakin dengan kemandirian Islam.
Muhammad Abduh terlihat tidak pernah menaruh perhatian terhadap
paham-paham filsafat anti agama yang marak di Eropa. Dia lebih tertarik
memperhatikan serangan-serangan terhadap agama Islam dari sudut
keilmuan. Muhammad Abduh berusaha mempertahankan potret Islam
dengan menegaskan bahwa jika pikiran dimanfaatkan sebagaimana
mestinya. Hasil yang dicapainya otomatis akan selaras dengan kebenaran
illahi yang dipelajari melalui agama.
d. Reformulasi
Agenda reformulasi tersebut dilasanakan Muhmmad Abduh dengan cara
membuka kembali pintu ijtihadd. Menurutnya, kemunduran kaum
muslim disebabkan oleh dua faktor yaitu internal dan eksternal.
Muhammad Abduh dengan refomulasinya menegaskan bahwa Islam
telah membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya.
Manusia tercipta dalam keadaan dalam keadaan tidak terkekang.18

2. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha


Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, lahir di Qalmun, sebuah desa
sekitar 4 km dari Tripoli, Libanon pada 27 Jumadil Awal 1282 H.; Beliau
17
Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentaslime Sampai
Posmodernisme, hal 267
18
Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentaslime Sampai
Posmodernisme, hal 269

10
adalah bangsawan Arab yang memiliki garis keturunan langsung dari
Sayyidina Husen, putera Ali bin Abu Thalib dan Fatimah puteri Rasulullah
Saw.19
Setelah melalui masa pengasuhan dalam lingkungan keluarga
sendiri, maka pada usianya yang ketujuh tahun, Muhammad Rasyid Rida
dimasukkan orang tuanya kesebuah lembaga pendidikan dasar yang disebut
Kuttab yang ada di desanya. Disinilah dia mulai membaca Alquran, menulis
dan berhitung.20 Beberapa tahun kemudian, setelah menamatkan pelajarannya
di lembaga pendidikan dasar itu. Muhammad Rasyid Rida meneruskan
pelajarannya di Madrasah Ibtidaiyah al-Rusdiyah di kota Tripoli. Di
madrasah tersebut di ajarkan nahwu, sharaf, berhitung, geografi, akidah dan
ibadah. Semua mata pelajaran tersebut disampaikan kepada para siswa dalam
bahasa Turki. Hal itu tidak mengherankan karena tujuan pendidikan dan
pengajaran pada madrasah itu melahirkan tenaga-tenaga kerja yang menjadi
pegawai kerajaan. Dia pun keluar dari madrasah itu setelah kurang lebih satu
tahun lamanya belajar disana. Pada tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di
Madrasah al-Wataniyah al-Islamiyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Di
Madrasah ini, selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa Turki dan
Perancis, dan disamping itu pengetahuan-pengetahuan agama juga
pengetahuan-pengetahuan modern. Disamping itu, Muhammad Rasyid Rida
memperoleh tambahan ilmu dan semangat keagamaan melalui membaca
kitab-kitab yang ditulis al-Gazali, antara lain Ihya’ Ulum al-Din sangat
mempengaruhi jiwa dan kehidupannya, terutama sikap patuh pada hukum dan
baktinya terhadap agama.21
Muhammad Rasyid Rida sebagai ulama yang selalu menambah ilmu
pengetahuan dan selalu pula berjuang selama hayatnya, telah menutup
lembaran hidupnya pada tanggal 23 Jumadil ‘Ula 1354 H, bertepatan dengan

19
Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh
Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2000), hal. 25
20
Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh
Muhammadiyah, hal 28
21
Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh
Muhammadiyah, hal. 30

11
22 Agustus 1935 M. Muhammad Rasyid Rida wafat dengan wajah yang
sangat cerah disertai dengan senyuman.
Muhammad Rasyid Ridha mulai mencoba menjalankan ide-ide
pembaharuannya sejak ia masih berada di Suria. Tetapi usaha-usahanya
mendapat tantangan dari dari pihak kerajaan Utsmani. Kemudian ia pindah ke
Mesir dan tiba di sana pada bulan januari 1898 M.22
Masalah aqidah di zaman hidupnya Rasyid Ridha masih belum
tercemar unsurunsur tradisi maupun pemikiran filosof. Dalam masalah
teologi, Rasyid Ridha banyak dipengaruhi oleh pemikiran para tokoh gerakan
salafiyah. Dalam hal ini, ada beberapa konsep pembaharuan yang
dikemukakannya, yaitu masalah akal dan wahyu, sifat Tuhan, perbuatan
manusia (af’al al-Ibad) dan konsep iman.23
Di antara aktivitas beliau dalam bidang pendidikan antara lain
membentuk lembaga pendidikan yang bernama “al-Dakwah Wal Irsyad” pada
tahun 1912 di Kairo. Mula-mula beliau mendirikan madrasah tersebut di
Konstantinopel terutama meminta bantuan pemerintah setempat akan tetapi
gagal, karena adanya keluhan-keluhan dari negeri-negeri Islam, di antaranya
Indonesia, tentang aktivitas misi Kristen di negerinegeri mereka. Untuk
mengimbangi sekolah tersebut dipandang perlu mengadakan sekolah misi
Islam.24
Muhammad Rasyid Ridha juga merasa perlu dilaksanakannya ide
pembaharuan dalam bidang pendidikan. untuk itu ia melihat perlu
ditambahkan ke dalam kurikulum mata-mata pelajaran berikut: teologi,
pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu
kesehatan, bahasa-bahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga
(kesejahteraan keluarga), yaitu disamping fiqh, tafsir, hadits dan lain-lain
yang biasa diberikan di Madrasah-madrasah tradisional.

22
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal. 69
23
Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-Tokoh
Muhammadiyah, hal. 45
24
Muhammad Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan
dalam Dunia Islam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1994), hal. 85

12
C. Hubungan Muhammadiyah dengan Pembaharuan Islam
Muhammadiyah berawal di Yogyakarta mewakili kelompok yang
menekankan keunggulan hukum Islam. Didirikan oleh Ahmad Dahlan pada
tanggal 18 Nopember 1912 atau 8 Dzulhijjah 1330. 25 Organisasi ini mencurahkan
kegiatannya pada usaha-usaha pendidikan serta kesejahteraan dan pada program
dakwah guna melawan agama Kristen dan takhayultakhayul lokal. Tujuan
persyarikatan Muhammadiyah adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama
Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur.
Pendiri Muhammadiyah yaitu Ahmad Dahlan merupakan salah seorang
elit Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1890, pertama kali ia pergi ke Mekkah
untuk menunaikan ibadah haji dan belajar selama setahun dengan Syaikh Ahmad
Khatib sebagai salah seorang gurunya. Ahmad Dahlan terinspirasi untuk
memurnikan agamanya dengan menggunakan label haram dan syirik terhadap
kebiasaan lokal yang dipengaruhi oleh tradisi Jawa Hindu Buddha. Dahlan sama
sekali tidak sependapat terhadap praktik-praktik tarekat yang berkembang di
daerahnya, Yogyakarta. Para pendukungnya menyarankan agar Dahlan
mendirikan organisasi sendiri yang bersifat permanen. Saran inilah yang
kemudian ditindaklanjuti Ahmad Dahlan dengan pendirian Muhammadiyah.26
Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah dengan harapan agar
pengikutnya benar-benar bisa mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw. 27 Secara
etimologis (bahasa), kata Muhammadiyah merupakan kata jadian dari kata
Muhammad dan Iyah. Kata Muhammad menunjuk pada pengertian Rasulullah
atau seorang Rasul yang diutus Allah ke muka bumi untuk menyampaikan risalah
dan agama Islam kepada seluruh ummat manusia. Sedangkan kata Iyah
merupakan kata yang menunjuk pada pengertian para pengikut Rasulullah yang

25
Ramly dan Nadjamuddin, Ensiklopedi tokoh Muhammadiyah. (Jakarta: Best Media
Utama, 2010), hal. 11
26
Suyoto, Pola Muhammadiyah Ranting Ketegangan Antara Purifikasi dan
Dinamisasi, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005), hal. 17
27
Suyoto, Pola Muhammadiyah Ranting Ketegangan Antara Purifikasi dan Dinamisasi,
hal. 20

13
senantiasa mengerjakan perintah dan ajaran serta meninggalkan larangan yang
dibawakannya.28
Sebagai gerakan yang berlandaskan agama, maka ide pembaharuan
Muhammadiyah ditekankan pada usaha untuk memurnikan Islam dari pengaruh
tradisi dan kepercayaan lokal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ciri khas
pembaharuan pemikiran keagamaan Islam model Muhammadiyah adalah adanya
hubungan yang bersifat dialektis-hermeneutis (hubungan timbal balik dan bolak-
balik) bukan hubungan yang bersifat dikotomis eksklusif antara sisi normativitas
al-Qur’ an (dengan simbolisasi kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah) dan
historisistas pemahaman manusia Muslim atas norma-norma al-Qur’an tersebut
pada wilayah kesejarahan tertentu (dengan simbolisasi perlunya ‘ijtihad’ dan
‘tajdid’ setiap saat).29
Strategi tajdid yang dijalankan Muhammadiyah merupakan pemahaman
bahwa nilai-nilai Islami itu memang tidak boleh “digadaikan” dan tidak boleh
dikompromikan dengan nilai-nilai non Islami tetapi tidak boleh bersikap menolak
seluruhnya terhadap apa yang datang dari luar Islam. Apa saja yang datang dari
luar belum tentu merupakan hal buruk sehingga penerimaan terhadap westernisme
atau modernisme bisa saja terjadi, berbeda dengan tanggapan kaum tradisionalis
yang menolaknya. Namun, juga tidak menerima begitu saja modernisme sampai
meninggalkan nilainilai Islam itu sendiri.
Bagi Muhammadiyah pintu ijtihad masih terbuka sepanjang masa. Oleh
karena itu, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar
dengan cara modernisasi Islam bagi masyarakat Indonesia sekaligus juga secara
progresif revolusioner mengadakan perlawanan terhadap ancaman dari pihak
pemerintah kolonial Belanda. Dengan cara itu, maka ijtihad masih selalu
dilakukan selama al-Qur’an dan Sunnah Nabi menjadi pedoman dan tidak hanya
terbatas pada mazhab-mazhab yang ada saja. Muhammadiyah dalam hal ini
hanyalah alat untuk selalu mengikuti dan melanjutkan ajaran Nabi Muhammad
28
Paryanto, Format Theologi, Gerakan Dakwah Muhammadiyah dan Transformasinya
Untuk Reformasi Sosial 1912-1914, (Yogyakarta: Fakultas Da’wah Institut Agama Islam Negeri
Sunan Kalijaga, 1999), hlm. 50.
29
Suyoto, Pola Muhammadiyah Ranting Ketegangan Antara Purifikasi dan Dinamisasi,
hal. 23

14
Saw, maka Muhammadiyah sebagai alat yang menjadi subjek dalam melakukan
dakwahnya kepada masyarakat Indonesia yang menjadi objeknya.
Kegigihan pemberantasan TBC (Takhayul, Bid’ah, Churafat) yang mulai
tampak pada masa kemerdekaan berbeda dari masa kolonial semasa dalam
kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan dan mulai mencair sesudah kepemimpinan
gerakan ini didominasi elit baru berpendidikan tinggi modern pada masa terakhir
Orde Baru.30 Selain itu, pemurnian Islam dalam pandangan Muhammadiyah
merupakan pencarian referensi sistem kepercayaan dan ritual Islam pada fakta
historis kenabian Muhammad Saw. Oleh karena itu, pembentukan sebuah
organisasi untuk membela Islam merupakan konsekuensi logis.
Pada masa-masa awalnya, tindakan yang dilakukan Muhammadiyah
sebagai upaya pemurnian dengan mengecam kebiasaan yang telah diyakini oleh
orang Jawa sebagai Islam sebenarnya mengandung begitu banyak permusushan
dan kebencian dari komunitas agama di Jawa. Pada tahun 1925, dua tahun
sesudah kematian pendirinya, Muhammadiyah hanya beranggotakan 4000 orang.
Namun, organisasi ini telah mendirikan 55 sekolah dengan 4000 orang murid, dua
balai pengobatan di Yogyakarta dan Surabaya, sebuah panti asuhan, dan sebuah
rumah miskin. Hal ini membuktikan peranan rintisan Muhammadiyah dalam
Islam di Indonesia modern.31
Islam selalu memberikan gambaran yang berbeda dalam setiap masa
yang dilaluinya sebagai hasil tafsir dari para pengikutnya. Hasil pemahaman dan
penafsiran manusia disesuaikan dengan kondisi fisik maupun psikologis individu
dalam memahami dunia dengan pandangan Islami melalui cara-cara yang sangat
berbeda. Melalui usaha dakwah yang intensif, Muhammadiyah mendapat
sambutan di daerah-daerah di luar Yogyakarta sampai dengan pelosok di pulau
Jawa bahkan di bagian-bagian lain di luar Jawa. Perjuangan yang dilakukan
Muhammadiyah melalui cara meniru model kelembagaan dan organisasi barat
untuk mengubah reformisme menjadi sebuah kekuatan sosial baru dalam bidang

30
Abdul munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani, (Yogyakarta:
Bentang, 2000), hal. 1-2.
31
Suyoto, Pola Muhammadiyah Ranting Ketegangan Antara Purifikasi dan Dinamisasi,
hal. 40

15
pendidikan. Pada kenyataannya, umat Islam berhasil berkembang setelah tahun
1927 karena pemerintah lebih menaruh perhatian kepada gerakan-gerakan yang
bersifat politik dari pada gerakan keagamaan maupun sosial dimana gerakan
politik dianggap sebagai kendala yang lebih berarti dalam menguasai Indonesia.
Sejak awal pendiriannya, telah ditetapkan bahwa Muhammadiyah bukan
organisasi (partai) politik. Meskipun fakta membuktikan bahwa Muhammadiyah
pernah terlibat dengan partai politik, yaitu pada masa kepemimpinan Mas mansur
(1936-1942) ikut membidani lahirnya MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) tahun
1937, PII (Partai Islam Indonesia) tahun 1938 dan Parmusi (Partai Muslimin
Indonesia) tahun 1968. Pada masa Demokrasi Terpimpin Muhammadiyah
menjadi anggota istimewa Masyumi (Majelis Syuro Muslimin), terlibat dengan
PPP pada masa Orde Baru serta hubungan moral dengan PAN. Lain halnya
dengan NU yang mengubah dirinya menjadi partai politik pada tahun 1952.32
Sejak lahir 1912 hingga kurang lebih tahun 1995, jumlah anggotanya
belum mencapai satu juta orang, kurang 10% diantaranya petani yang semakin
kecil jika dikurangi yang meninggal. Namun, gerakan ini memiliki 26 pimpinan
tingkat provinsi, 271 pimpinan tingkat kabupaten, 3.000-an pimpinan tingkat
kecamatan dan puluhan ribu pimpinan tingkat desa. Gerakan ini juga memiliki
puluhan ribu lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah, ratusan pendidikan
tinggi, rumah sakit dan balai kesehatan. Menunjukkan rendahnya partisipasi
masyarakat dalam gerakan ini jika dilihat dari jumlah anggota, terutama dari
petani dan buruh.33
Muhammadiyah memiliki organisasi yang kukuh, juga memiliki peran
dalam pendidikan agama yang memberikan banyak pengaruh kepada umat Islam
Indonesia, demikian pula amal usaha serta penerbitannya. Kehidupan politiknya
memberikan pengaruh kepada kehidupan umat Islam di Indonesia tetapi bila
dibandingkan dengan organisasi-organisasi lain pengaruhnya dirasa kurang karena
komitmennya. Organisasi ini telah berusaha mendefinisikan untuk masyarakat
Indonesia khususnya daerah Sukoharjo apa yang dimaksud dengan Islam, apa
32
Suwarno, Muhammadiyah Sebagai Oposisi, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 28
33
PP Muhammadiyah, Laporan Pimpinan Pusat Muhammadiayah Periode 1990-1995,
(Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 1995).

16
prinsip dasar agama Islam, dan apa sebenarnya perilaku religius yang tepat bagi
umat Islam. Suatu gagasan yang ditandai oleh keanekaragaman pemikiran sosial
dan politik, telah menarik sejumlah pengikut dan misinya berpengaruh dalam
kehidupan sosial-keagamaan umat Islam.

D. Kesimpulan
Dua arus besar dalam pemikiran Islam yang hendak dilakukan oleh para
pembaharu, yaitu Arabisasi dan modernisasi terkait dengan warisan Islam yang
dimiliki oleh dunia Arab. Kelompok pertama yang menghendaki Arabisasi
didorong oleh alasan yang menyatakan bahwa selama kejayaan Islam bahasa Arab
dan budaya Arab adalah merupakan hal nyata digunakan untuk kemajuan
bersama, bukan merupakan isapan jempol memang ketika imperium Islam
dibangun atas budayabudaya Arab, khususnya suku Quraisy, walapun dalam
sebuah hadits dinyatakan al-Quran ini bukan untuk Quraisy namun untuk sekalian
umat. Tokoh yang sering dijadikan acuan dalam gerakan ini adalah Kawakibi,
yang disebut oleh Azra sebagai seorang romantisime sejati. Kelompok yang kedua
yaitu yang cenderung ke modernisasi dan memang agak sekularisasi, sebagaimana
yang dilakukan oleh Kemal Ataturk dalam negara Turki, yang mencoba
membangun negaranya dengan paradigma Barat, ia mengembalikan agama
sebagai urusan privat dan negara tidak mencampurinya.
Diantara dua kelompok besar itu muncul pula tokoh pembaharu yang
moderat satu sisi mencoba untuk mempertahankan warisan islam disisi lain juga
berupaya melakukan pembaharuan terhadap pemikiran islam yaitu antara lain
Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Rida.
Gerakan pembaharuan Islam yang dilakukan oleh Muhammad Abduh
tidak terlepas dari karekter dan wataknya yang cinta pada ilmu pengetahuan.
Keempat agenda itu adalah pemurnian Islam dari berbagai pengaruh ajaran dan
amalan yang tidak benar. Yaitu: Purifikasi, Reformasi, Pembelaan Islam dan
Reformulasi.
Muhammad Rasyid Ridha juga merasa perlu dilaksanakannya ide
pembaharuan dalam bidang pendidikan. untuk itu ia melihat perlu ditambahkan ke

17
dalam kurikulum mata-mata pelajaran berikut: teologi, pendidikan moral,
sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kesehatan, bahasa-
bahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga (kesejahteraan keluarga), yaitu
disamping fiqh, tafsir, hadits dan lain-lain yang biasa diberikan di Madrasah-
madrasah tradisional.
Ide pembaharuan Muhammadiyah ditekankan pada usaha untuk
memurnikan Islam dari pengaruh tradisi dan kepercayaan lokal yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Ciri khas pembaharuan pemikiran keagamaan Islam model
Muhammadiyah adalah adanya hubungan yang bersifat dialektis-hermeneutis
(hubungan timbal balik dan bolak-balik) bukan hubungan yang bersifat dikotomis
eksklusif antara sisi normativitas al-Qur’ an (dengan simbolisasi kembali kepada
al-Qur’an dan al-Sunnah) dan historisistas pemahaman manusia Muslim atas
norma-norma al-Qur’an tersebut pada wilayah kesejarahan tertentu (dengan
simbolisasi perlunya ‘ijtihad’ dan ‘tajdid’ setiap saat).
Strategi tajdid yang dijalankan Muhammadiyah merupakan pemahaman
bahwa nilai-nilai Islami itu memang tidak boleh “digadaikan” dan tidak boleh
dikompromikan dengan nilai-nilai non Islami tetapi tidak boleh bersikap menolak
seluruhnya terhadap apa yang datang dari luar Islam. Apa saja yang datang dari
luar belum tentu merupakan hal buruk sehingga penerimaan terhadap westernisme
atau modernisme bisa saja terjadi, berbeda dengan tanggapan kaum tradisionalis
yang menolaknya. Namun, juga tidak menerima begitu saja modernisme sampai
meninggalkan nilainilai Islam itu sendiri.

18
Daftar Pustaka

Ali. Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, Jakarta: Djambatan,
1995
Azra. Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII &
XVIII, Akar Pwmbaruan Islam Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005
Damami. Muhammad, Akar Gerakan Muhammadiyah, Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru, 2000
Effendi. Bahtiar dan Fahry Ali, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan,
1999
Iqbal. Muhammad, Membangun Kembali Pemikiran Agama Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1986
M. Natsir, Tatang, Di sekitar Reformasi dan Modernisasi Masyarakat Islam,
Bandung: alMaarif, 1972
Madjid. Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992
Muhaimin, Pembaharuan Islam: Repleksi Pemikiran Rasyid Ridha dan Tokoh-
Tokoh Muhammadiyah, Yogyakarta: Pustaka Dinamika, 2000
Munir Mulkhan. Abdul, Islam Murni dalam Masyarakat Petani, Yogyakarta:
Bentang, 2000
Nasution. Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Paryanto, Format Theologi, Gerakan Dakwah Muhammadiyah dan
Transformasinya Untuk Reformasi Sosial 1912-1914, Yogyakarta:
Fakultas Da’wah Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, 1999.
PP Muhammadiyah, Laporan Pimpinan Pusat Muhammadiayah Periode 1990-
1995, Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 1995
Ramly dan Nadjamuddin, Ensiklopedi tokoh Muhammadiyah. Jakarta: Best Media
Utama, 2010
S. Ahmed, Akbar, Posmodernisme Bahaya dan Harapan bagi Islam, Bandung:
Mizan, 1995
Suwarno, Muhammadiyah Sebagai Oposisi, Yogyakarta: UII Press, 2001

19
Suyoto, Pola Muhammadiyah Ranting Ketegangan Antara Purifikasi dan
Dinamisasi, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005
Yusran Asmuni. Muhammad, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan
Pembaharuan dalam Dunia Islam, Surabaya: al-Ikhlas, 1994

20

Anda mungkin juga menyukai