Anda di halaman 1dari 75

KONSEP KAFAAH PADA PERNIKAHAN

(Studi Komparatif Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm )


SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar sarjana Strata
Satu (S1) Sarjana Hukum (SH) Bidang Hukum Keluarga Di Sekolah Tinggi
Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU)
Dosen Pembimbing :
1. KH. Ahmad Bahrul Hikam, Lc.MA
2. Ahmad Suhendra, M.Hum

Oleh :
Padia Rahmadani
NIM 18.01.01.71

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM SEKOLAH


TINGGI ILMU SYARIAH NAHDLATUL ULAMA (STISNU)
NUSANTARA TANGERANG
2022
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan


keilmuan, bahwa saya yang bernama:
Nama : Padia Rahmadani
NIM : 18.01.01.71
Program Studi : Hukum Keluarga Islam
Menyatakan bahwa skripsi dengan judul : “ KONSEP KAFA’AH
PADA PERNIKAHAN (STUDI KOMPARATIF IMAM SYAFI’I DAN
IBNU HAZM)”.
Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat
atau memindahkan data milik orang lain, kecuali yang disebutkan
referensinya secara benar. Jika di kemudian hari terbukti disusun orang lain,
ada penjiplakan, duplikasi atau memindahkan data milik orang lain, baik
secara keseluruhan atau sebagian, maka skripsi dan gelar sarjana yang saya
peroleh karenanya batal demi hukum.

Tangerang, Juli 2022


Penulis,

Padia Rahmadani

i
LEMBAR PERSETUJUAN

Setelah membaca dan mengoreksi skripsi yang disusun oleh mahasiswa :

Nama : Padia Rahmadani


NIM : 18.01.01.71
Program Studi : Hukum Keluarga Islam
Menyatakan bahwa skripsi dengan judul : “ KONSEP KAFA’AH
PADA PERNIKAHAN (STUDI KOMPARATIF IMAM SYAFI’I DAN
IBNU HAZM)”.
Benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat
atau memindahkan data milik orang lain, kecuali yang disebutkan
referensinya secara benar. Jika di kemudian hari terbukti disusun orang lain,
ada penjiplakan, duplikasi atau memindahkan data milik orang lain, baik
secara keseluruhan atau sebagian, maka skripsi dan gelar sarjana yang saya
peroleh karenanya batal demi hukum.
Tangerang, Juli 2022

Pembimbing I Pembimbing II

KH.Ahmad Bahrul Hikam,Lc.MA Ahmad Suhendra,M.Hum

Mengetahui
Ketua Program Studi
Hukum Keluarga Islam

Ahmad Suhendra, M.Hum

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Setelah melewati proses akademik dan sidang munaqosyah


kelulusan skripsi, maka pembimbing skripsi, dewan penguji, dan pimpinan
menyatakan saudara yang bernama:
Nama : Padia Rahmadani
NIM : 18.01.01.71
Program Studi : Hukum Keluarga Islam
Menyatakan bahwa skripsi dengan judul : “ KONSEP KAFA’AH
PADA PERNIKAHAN (STUDI KOMPARATIF IMAM SYAFI’I DAN
IBNU HAZM)”.
Dinyatakan lulus sidang munaqosyah skripsi dan berhak menyandang gelar
sarjana strata 1 dalam bidang Hukum Keluarga Islam (SH) dari Sekolah
Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang.

Ditetapkan di Tangerang
Pada tanggal, Juli 2022

Ketua sidang : (….................................)


Penguji I: (….................................)
Penguji II: (….................................)
Mengetahui,
Wakil Ketua I Ketua Prodi
Bidang Akademik Hukum Keluarga Islam

(Ecep Ishak Fariduddin, M.A) (Ahmad Suhendra,M.Hum)

iii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi berfungsi untuk memudahkan penulis dalam


memindahkan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Pedoman
transliterasi harus konsisten dari awal penulisan sebuah karya ilmiah sampai
akhir. Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam skripsi ini disesuaikan
dengan penulisan transliterasi Arab-Latin mengacu kepada keputusan
bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun
1987 Nomor: 158 tahun 1987 dan Nomor: 0543b/u1987, sebagai berikut:
A. Penulisan Huruf

Huruf
No Nama Huruf Latin Nama
Arab
Tidak
1 ‫ا‬ Alif
dilambangkan
Tidak dilambangkan
2 ‫ب‬ Ba B Be
3 ‫ت‬ Ta T Te
4 ‫ث‬ Sa Ś Es (dengan titik di atas)
5 ‫ج‬ Jim J Je
6 ‫ح‬ Ha H Ha (dengan titik di bawah)
7 ‫خ‬ Kha Kh Ka dan ha
8 ‫د‬ Dal D De
9 ‫ذ‬ Dzal Z Zet
10 ‫ر‬ Ra R Er
11 ‫ز‬ Zai Z Zet
12 ‫س‬ Sin S Es
13 ‫ش‬ Syin Sy Es dan ye
14 ‫ص‬ Shad Sh Es dan ha
15 ‫ض‬ Dhad Dh De dan ha
16 ‫ط‬ Tha Th Te dan ha
17 ‫ظ‬ Zhaa Zh Zet dan hà
18 ‫ع‬ ‘ain ‘ Koma terbalik di atas
19 ‫غ‬ Ghain Gh Ge dan ha
20 ‫ف‬ Fa F Ef

iv
21 ‫ق‬ Qaf Q Ki
22 ‫ك‬ Kaf K Ka
23 ‫ل‬ Lam L El
24 ‫م‬ Min M Em
25 ‫ن‬ Nun N En
26 ‫و‬ Waw W We
27 ‫ه‬ Ha H Ha
Hamz
28 ‫ء‬ ah
‘ Apostref
29 ‫ي‬ Ya Y Ye

B. Vokal Rangkap atau Diftong


1. Vokal rangkap atau diftong bahasa Arab yang lambangnya berupa
gabungan antara harakat dengan huruf, transliterasinya dalam tulisan
Latin dilambangkan dengan gabungan huruf sebagai berikut:
a) Vokal rangkap ( ْ‫ ) َأو‬dilambangkan dengan gabungan huruf aw,
misalnya: al-yawm.
b) Vokal rangkap ( ْ‫ ) َأي‬dilambangkan dengan gabungan huruf ay,
misalnya: al-bayt.
2. Vokal panjang atau maddah bahasa Arab yang lambangnya berupa
harakat dan huruf, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan
dengan huruf dan tanda macron (coretan horisontal) di atasnya,
َ ‫ = ْال َفات‬al-f̄atihah ), ( ‫ = ْال ُعلُ ْوم‬al-‘ul̄um ) dan ( ‫= قِ ْي َم ٌة‬
misalnya ( ‫ِح ْة‬
q̄imah ).
3. Syaddah atau tasydid yang dilambangkan dengan tanda syaddah atau
tasydid, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan
huruf yang sama dengan huruf yang bertanda syaddah itu, misalnya (
‫ = َح ٌّد‬haddun ), ( ‫ = َس ٌّد‬saddun ), ( ‫ = َطيِّب‬tayyib ).
4. Kata sandang dalam bahasa Arab yang dilambangkan dengan huruf
alif-lam, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan
huruf “al”, terpisah dari kata yang mengikuti dan diberi tanda hubung,
misalnya ( ‫ = ْال َبيْت‬al-bayt ), ( ‫ = السَّمآء‬al-sam̄a’ ).
5. T̄a’ marb̄utah mati atau yang dibaca seperti ber-harakat suk̄un,
transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf “h”,
sedangkan t̄a’ marb̄utah yang hidup dilambangkan dengan huruf “t”,
misalnya ( ‫ = رُْؤ َي ُة ْال ِهالل‬ru’yah al-hil̄al atau ru’yatul hil̄al ). Tanda
apostrof (’) sebagai transliterasi huruf hamzah hanya berlaku untuk

v
yang terletak di tengah atau di akhir kata, misalnya ( ‫ = رُْؤ َي ُة‬ru’yah ), (
‫ = فُ َق َهاء‬fuqah̄a’).

vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahil ladzii an’amanaa bini’matil iimani wal islam.
Wanusholli wanusallimu ‘alaa khoiril anaami sayyidina Muhammad wa’alaa
aalihi wa shohbihi ajma’iin. Amma ba’du. Dengan hanya rahmat-Mu serta
hidayah-Nya penulisan skripsi yang berjudul “Konsep Kafa’ah pada
pernikahan (Studi Komparatif Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm)” dapat di
selesaikan dengan curahan kasih sayang-Nya, kedamaian dan ketenangan
jiwa. Shalawat serta salam kita haturkan kepada junjungan nabi kita
Muhammad SAW yang telah mengajarkan kita dari alam kegelapan hingga
alam terang benderang seperti sekarang ini. Semoga kita tergolong orang-
orang yang beriman dan mendapatkan syafaa’at dari beliau di hari akhir
kelak, aamiin…
Dengan segala daya dan upaya serta bantuan, bimbingan maupun
pengarahan dari hasil diskusi dari berbagai pihak dalam proses penulisan
skripsi ini, maka dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang tiada batas kepada:
1. Bapak Dr. KH. Muhammad Qustulani, MA.Hum, Selaku ketua
Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Nahdlatul Ulama (STISNU)
Nusantara Tangerang.
2. Bapak Ecep Ishak Fariddudin, MA, (Waka Akademik dan
kemahasiwaan), H. Muflih Adi Laksono, Lc.MA (Waka Bid.
Keuangan), Nurullah, MM (Waka Perencanaan dan
Kelembagaan).
3. Ahmad Suhendra, M.Hum, Selaku Ketua Program Studi Hukum
Keluarga Islam, yang telah memberikan arahan, support, dan
saran terbaik bagi penulisan skripsi ini.
4. KH. Ahmad Bahrul Hikam, Lc,MA, selaku pembimbing I yang
telah memberikan masukan, arahan dan membantu penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
5. Ahmad Suhendra, M.Hum, selaku pembimbing II yang telah
memberikan masukan, arahan dan membantu penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
6. Seluruh Dosen sekolah tinggi ilmu syari’ah Nahdlatul Ulama
(STISNU) Nusantara Tangerang, yang telah menyampaikan
pengajaran, mendidik, membimbing serta mengamalkan ilmunya
dengan penuh ikhlas, semoga Allah SWT memberikan pahala
yang berlimpah kepada beliau semua.

vii
7. Tenaga pendidik (Staff karyawan) Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah
Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang, penulis
mengucapkan banyak terimakasih atas segala bantuan dan
partisipasinya dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Teruntuk yang paling Khusus, untuk kedua orang tua penulis
tidak ada kata selain “terimakasih” atas segala do’a dan
supportnya dalam bentuk materil maupun non materil, selalu
sabra dalam mendidik dan membimbing penulis untuk dapat
menyelasaikan skripsi ini, serta menjadi alasan utama untuk
penulis dapat menyelasaikan skripsi ini.
9. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan dari awal masuk di
akhir tahun 2018 yang saya tidak bisa sebutkan satu persatu,
kalian adalah kenangan terindah untuk saya. Semoga jalinan
silaturahmi kita masih tetap terjaga dan impian kita semua segera
tercapai.
Semoga apa yang telah saya peroleh selama kuliah di Sekolah Tinggi
Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang, bisa
bermanfaat bagi diri pribadi khususnya dan bagi masyarakat umumnya
namun demikian, penulis sebagai manusia biasa yang tidak luput dari salah
dan lupa, menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritiknya dari semua
pihak demi perbaikan skripsi ini.
Wallahul Muafieq Illa Aqwamithorieq
Tangerang, Juni 2022
Penulis,

Padia Rahmadani

viii
MOTTO
Terkait dengan masalah yang diteliti
Pilihlah pasangan yang agama dan hatinya baik, karena sepaling bagus
memilih pasangan dalam Islam ialah agamanya

ix
ABSTRAK
Kafa’ah menurut terminologi hukum islam yaitu keseimbangan dan
keserasian antara calon istri dan calon suami sehingga masing-masing calon
tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan. Kafa’ah dianjurkan
oleh Islam dalam memilih pasangan suami istri tetapi tidak menentukan sah
atau tidaknya pernikahan. Fokus masalah pada skripsi ini membahas konsep
kafa’ah pada pernikahan studi komparatif Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm.
Metode yang digunakan ialah kualitatif.
Tujuan dari skripsi ini adalah untuk menjelaskan bagaimana pendapat
Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm tentang konsep kafa’ah pada pernikahan , dan
juga menjelaskan bagaimana perbedaan dan persamaan pendapat Imam
Syafi’i dan Ibnu Hazm tentang konsep kafa’ah pada pernikahan.
Adapun hasil dari penelitian skripsi ini dapat disimpulkan
bahwasanya dalam pandangan konsep kafa’ah pada pernikahan Imam Syafi’i
dan Ibnu Hazm Imam Syafi’i berpendapat bahwasanya kafa’ah ditujukan
untuk menjaga keselamatan dan kerukunan dalam pernikahan, bukan untuk
kesahannya nikah. Dalam artian sah atau tidaknya pernikahan tidak
bergantung pada kafa’ah ini. Pernikahan tetap sah menurut hukum walaupun
tidak sekufu antara suami istri. Hanya saja, hak bagi wali dan perempuan
yang bersangkutan untuk mencari jodoh yang sepadan. Mengenai hal
kafa’ah, Imam Syafi’i mendefinisikan kafa’ah merupakan sepadan atau
sebanding antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan.
Sedangkan Ibnu Hazm mengemukakan pendapatnya mengenai kafa’ah yaitu
bahwa semua orang islam adalah bersaudara, tidaklah haram seorang budak
yang berkulit hitam menikah dengan keturunan bani hasyim, seorang muslim
yang sangat fasik sekalipun sekufu dengan wanita Muslimah yang mulia
selama ia tidak berbuat zina. Ibnu Hazm mengeluarkan istinbat hukum
dengan berdalilkan dalam surat al-hujurat ayat 10 yang artinya :
“sesungguhnya mukmin itu bersaudara”.

x
ABSTRACT
Kafa'ah according to the terminology of Islamic law is the balance
and harmony between the prospective wife and the prospective husband so
that each candidate does not find it difficult to get married. Kafa'ah is
recommended by Islam in choosing a husband and wife but does not
determine whether a marriage is valid or not. The focus of the problem in
this thesis discusses the concept of kafa'ah in marriage comparative studies
of Imam Shafi'i and Ibn Hazm. The method used is qualitative.
The purpose of this thesis is to explain the opinion of Imam Shafi'i
and Ibn Hazm about the concept of kafa'ah in marriage, and also to explain
how the differences and similarities of opinion of Imam Shafi'i and Ibn Hazm
regarding the concept of kafa'ah in marriage.
The results of this skripsi research can be concluded that in view of
the concept of kafa'ah in the marriage of Imam Syafi'i and Ibn Hazm Imam
Syafi'i argues that kafa'ah is intended to maintain safety and harmony in
marriage, not for the validity of marriage. In the sense that the marriage is
valid or not, it does not depend on this kafa'ah. Marriage is still legal
according to the law even though it is not mutually exclusive between
husband and wife. However, it is the right of the guardian and the woman
concerned to find a suitable mate. Regarding kafa'ah, Imam Shafi'i defines
kafa'ah as equal or comparable between the prospective groom and the
prospective bride. Meanwhile, Ibn Hazm expressed his opinion regarding
kafa'ah, namely that all Muslims are brothers, it is not unlawful for a black
slave to marry a descendant of Banu Hasyim, a Muslim who is very wicked
even though he is in agreement with a noble Muslim woman as long as he
does not commit adultery. Ibn Hazm issued a legal istinbat with the
argument in the letter al-Hujurat verse 10 which means: "Indeed the
believers are brothers".

xi
‫ملخص‬

‫والكفاءة حسب اصطالح الشريعة اإلسالمية هي التوازن واالنسجام بين الزوجة‬


‫المرتقبة والزوج المرتقب بحيث ال يجد كل مرشح صعوبة في الزواج‪ .‬يوصى اإلسالم‬
‫بالكفاءة في اختيار الزوج والزوجة ولكنها ال تحدد صحة الزواج من عدمه‪ .‬يناقش محور‬
‫المشكلة في هذه الرسالة مفهوم الكفالة في دراسات مقارنة الزواج لإلمامين الشافعي وابن‬
‫‪.‬حزم‪ .‬الطريقة المستخدمة هي الطريقة النوعية‬
‫الغرض من هذه الرسالة بيان رأي اإلمامين الشافعي وابن حزم في مفهوم الكفالة‬
‫في الزواج ‪ ،‬وكذلك توضيح أوجه االختالف والتشابه في رأي اإلمام الشافعي وابن حزم في‬
‫‪.‬المفهوم‪ .‬من الكفاءات في النكاح‬
‫يمكن أن تستنتج نتائج هذه الرسالة أنه بالنظر إلى مفهوم الكفالة في زواج اإلمام السافعي‬
‫وابن حزم اإلمام الصافعي ‪ ،‬فإن الكفاء يقصد به الحفاظ على السالمة واالنسجام في الزواج ‪ ،‬ال‪.‬‬
‫لصحة الزواج‪ .‬بمعنى أن النكاح صحيح من عدمه ‪ ،‬فإنه ال يتوقف على هذه الكفالة‪ .‬ال يزال الزواج‬
‫قانونيًا وفقًا للقانون على الرغم من أنه ال يتعارض مع الزوج والزوجة‪ .‬ومع ذلك فمن حق الولي‬
‫والمرأة إيجاد رفيق مناسب‪ .‬فيما يتعلق بالكفاءة ‪ ،‬يع ّرف اإلمام الشافعي الكفة بأنها متساوية أو قابلة‬
‫للمقارنة بين العريس المرتقب والعروس المرتقبة‪ .‬في حين أعرب ابن حزم عن رأيه في الكفالة ‪ ،‬أي‬
‫أن جميع المسلمين إخوة ‪ ،‬فال يحرم العبد األسود أن يتزوج من ساللة بني هاشم ‪ ،‬وهو مسلم شرير‬
‫جدا مع اتفاقه مع أحد الشرفاء‪ .‬المسلمة ما دام ال يزن‪ .‬أصدر ابن حزم االستنباط الشرعي بالحجة في‬
‫‪".‬حرف الحجرات اآلية ‪ 10‬والتي تعني‪" :‬إن المؤمنين إخوة‬

‫‪xii‬‬
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN....................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................1
B. Identifikasi Masalah....................................................................................3
C. Batasan Masalah.........................................................................................3
D. Rumusan Masalah.......................................................................................3
E. Tujuan Penelitian........................................................................................4
F. Manfaat Penelitian......................................................................................4
G. Tinjauan Pustaka Terdahulu yang Relevan..........................................4
H. Metodologi penelitian............................................................................11
1. Jenis Penelitian......................................................................................11
2. Pendekatan Penelitian...........................................................................11
3. Sumber Data..........................................................................................11
4. Teknik Pengumpulan Data...................................................................12
5. Teknik analisis Data..............................................................................12
I. Sistematika pembahasan...........................................................................13
KAJIAN TEORI...................................................................................................14
A. Konsep Pernikahan dalam Islam.............................................................14
1. Pengertian Pernikahan.........................................................................14
2. Rukun dan Syarat Pernikahan.............................................................15
3. Hukum Melakukan Pernikahan...........................................................17
4. Tujuan dan Hikmah pernikahan..........................................................18
B. Konsep Kafa’ah dalam Pernikahan.........................................................21
1. Pengertian Kafa’ah................................................................................21
2. Dasar Hukum Kafa’ah..........................................................................24
3. Urgensi Kafa’ah pada pernikahan.......................................................26
4. Kriteria Kafa’ah dalam pernikahan.....................................................27
5. Tujuan Kafa’ah......................................................................................32
6. Penerapan Konsep Kafa’ah Pada Pernikahan....................................32

xiii
ANALISIS DAN KAJIAN PEMBAHASAN.......................................................35
A. Konsep Kafa’ah Pada Pernikahan Menurut Imam Syafi’i....................35
1. Biografi Imam Syafi’i............................................................................35
2. Kafa’ah Menurut Imam Syafi’i............................................................40
B. Konsep Kafa’ah menurut Ibnu Hazm......................................................45
1. Biografi Ibnu Hazm...............................................................................46
2. Kafa’ah menurut Ibnu Hazm...............................................................51
C. Komparatif pendapat Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm.............................54
PENUTUP..............................................................................................................57
A. Kesimpulan................................................................................................57
B. Saran..........................................................................................................57

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pernikahan merupakan bagian dari ajaran Islam dan juga salah satu
dari sunnah Rasulullah SAW. Barang siapa menghindari pernikahan, berarti
ia telah meninggalkan sebagian dari ajaran agamanya. Di samping itu
pernikahan dapat menghindarkan diri dari perbuatan maksiat/zina.
Pernikahan adalah terjemah dari 2 kata Nakaha dan Zawaja ,az-Zauj
merupakan salah satu bentuk khas percampuran antar golongan dan diartikan
sebagai pasangan dengan lainnya, Az-zaujah artinya wanita pasangan laki-
laki dan az-Zauj adalah pasangan wanita atau biasa disebut dengan suami.1
Islam memandang bahwa pernikahan merupakan cita-cita ideal yang
tidak hanya mempersatukan laki-laki dan perempuan tetapi ia merupakan
kontrak sosial yang dengan segala aneka ragam tugas dan tanggung
jawabnya, sehingga pernikahan dianggap sebagai akad paling sakral dan
agung dalam sejarah perjalanan hidup manusia yang dalam Islam disebut
Mitsaqan Ghalidha yakni akad yang kuat untuk mentaati perintah Allah, dan
bagi yang melaksanakannya merupakan ibadah.2
Pernikahan adalah suatu akad antara seorang calon mempelai pria
dan calon mempelai wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah
pihak yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang
telah ditetapkan syara untuk menghalalkan percampuran anatara keduanya
sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman
hidup dalam rumah tangga.3
Kehidupan yang tentram (sakinah) yang dibalut perasaan cinta kasih
dan ditopang saling pengertian diantara suami dan istri. Karena baik istri
maupun suami menyadari bahwa masing-masing sebagai pakaian bagi
pasangannya. Apabila diantara suami istri terdapat suatu aib maka masing-
masing pasangan harus bisa saling menyimpan aib tersebut. Hanya mereka
berdua saja yang mengetahui dan jangan sampai orang lain mengetahuinya,
karena mereka berdua adalah bagai satu pakaian yang apabila salah satu
diantara mereka membuka aib maka terbukalah juga aib keluarganya.
Itulah sesungguhnya yang merupakan tujuan utama di syari’atkannya
pernikahan dalam Islam. Suasana kehidupan yang dituju oleh pernikahan
1
Mahmud Al-Sabagh, Tuntutan Hidup Bahagia Menurut Islam,
(Bandung:Rosdakarya 1993), hal.1
2
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam
Bab II, Tentang Dasar-dasar Perkawinan pasal 2, (Jakarta: DPBPAI), hal.11
3
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Mulia, 2013), hal.14

1
serupa itu akan dicapai dengan mudah apabila pernikahan dibangun atas
dasar yang kokoh, antara suami dan istri ada kafa’ah (keserasian). Akan
tetapi dalam Al-Qur’an maupun Hadis tak satupun yang menerangkan bahwa
pernikahan itu hanya dilakukan diantara pasangan yang sekufu. Kebiasaan
orang melakukan pernikahan diantara sekufu adalah persoalan lain, akan
tetapi Islam datang untuk melenyapkan segala macam perbedaan, baik
perbedaan sosial, kesukuan maupun derajat sosial yang lainnya.
Pentingnya kafa’ah dalam pernikahan sangat selaras dengan tujuan
pernikahan yang akan dijalaninya, yaitu suatu kehidupan suami istri yang
sakinah dan bahagia. Suami istri yang sakinah dan bahagia akan mampu
mengembangkan hubungan yang intim dan penuh kemesraan. Dalam
memilih calon suami/istri hendaknya berhati-hati karena pernikahan
merupakan kesempurnaan dari agama yang akan membawa kebahagiaan atau
kesengsaraan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Pernikahan dalam Islam merupakan gerbang sakral yang harus dilalui
oleh setiap individu untuk membentuk sebuah institusi yang bernama
keluarga, dan keluarga merupakan segmen awal dalam terciptanya sebuah
masyarakat dan negara yang baik. Pembentukan keluarga sakinah ini tidak
akan mungkin terbentuk atau terbangun tanpa adanya keseimbangan dan
kecocokan antara suami dan istri. Itu sebabnya dalam literatur fiqh kafa’ah
(keserasian, kesetaraan) menjadi persoalan dan pembahasan yang menarik
untuk dikaji bagi kalangan mujtahid dan akademisi. Hal ini karena mereka
memahami bahwa kafa’ah dalam pernikahan merupakan faktor yang dapat
mendorong terciptanya keharmonisan suami istri dan lebih menjamin
keselamatan perempuan dari kegagalan dan kegoncangan dalam rumah
tangga.
Kafa’ah adalah salah satu konsep Islam sebagai penuntut untuk
memilih calon pasangan hidup, dengan menggunakan konsep ini umat Islam
dapat memilih calon pasangan hidupnya sesuai dengan keinginannya sampai
akhir hayat. Dan perlu digaris bawahi dalam hal ini kafa’ah bukanlah syarat
sahnya sebuah pernikahan, akan tetapi kafa’ah menjadi pertimbangan bagi
seseorang ketika dia hendak melangsungkan pernikahan karena yang
menentukan sahnya pernikahan adalah terpenuhinya syarat rukun nikah.
Di kalangan Imam Mazhab sendiri terdapat perbedaan mengenai
kriteria kafa’ah dalam hal pemilihan pasangan suami istri. Imam Syafi’i
berpendapat bahwa kafa’ah itu penting untuk mencegah hal-hal yang dapat
merugikan wanita dalam pernikahannya, menurut beliau kafa’ah itu meliputi
empat aspek, yaitu : agama, nasab, kemerdekaan, dan selamat dari aib
(cacat). Dalam pandangan mazhab syafi’i kafa’ah merupakan suatu hal yang

2
penting dalam memilih pasangan hidup, perihal sepadan ini ditujukan untuk
menjaga keselamatan dan kerukunan dalam pernikahan bukan untuk kesahan
dalam artian, sah atau tidaknya pernikahan tidak bergantung pada kafa’ah
ini.
Sedangkan menurut Mazhab azh-Zhahiri dengan tokoh sentralnya
Ibnu Hazm berpendapat mengenai kafa’ah yaitu bahwa semua orang Islam
adalah bersaudara, tidaklah haram seorang budak yang berkulit hitam
menikah dengan wanita keturunan Bani Hasyim, seorang muslim yang
sangat fasik pun sekufu dengan wanita muslimah yang mulia selama ia tidak
berbuat zina.4

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas,maka identifikasi masalah
dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Pentingnya pengetahuan makna kafa’ah tentang pernikahan
2. Pembentukan keluarga sakinah tidak akan mungkin terbentuk atau
terbangun tanpa adanya keseimbangan dan kecocokan antara suami
dan istri
3. Kebiasaan orang melakukan pernikahan diantara sekufu adalah
persoalan lain
4. Kafa’ah adalah salah satu konsep Islam
5. Pengetahuan Kafa’ah menurut Imam Syafi’i
6. Pengetahuan Kafa’ah Menurut Ibnu Hazm

C. Batasan Masalah
Berdasarkan pemaparan keenam identifikasi masalah diatas, maka
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah Konsep kafa’ah pada
pernikahan (Studi komparatif Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm)

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan batasan masalah di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini dibagi dalam dua macam. Pertama rumusan
masalah mayor dan kedua rumusan masalah minor. Adapun rumusan mayor
dalam penelitian ini adalah permasalahan Konsep kafa’ah pada pernikahan
(Studi komparatif Imam syafi’i dan Ibnu Hazm)
Sedangkan rumusan masalah minor dalam penelitian ini sebagai
berikut:

4
Ibnu Hazm, Al-Muhalla (Daar al-fikr,t.t) hal.124

3
1. Bagaimana Konsep kafa’ah pada pernikahan menurut pandangan
Imam Syafi’i?
2. Bagaimana Konsep kafa’ah pada pernikahan menurut pandangan
Ibnu Hazm?
3. Bagaimana Komparasi Konsep Kafa’ah menurut Imam Syafi’i dan
Ibnu Hazm?

E. Tujuan Penelitian
Dari kedua poin rumusan masalah minor di atas tujuan penelitian
dapat di deskripsikan sebagai berikut:
1. Mengetahui Konsep kafa’ah pada pernikahan menurut Imam Syafi’i.
2. Mengetahui Konsep kafa’ah pada pernikahan menurut Ibnu Hazm.
3. Mengetahui Komparasi konsep kafa’ah menurut Imam Syafi’i dan
Ibnu Hazm.

F. Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini dibagi dalam dua kategori, yaitu
manfaat teoretis dan manfaat praktis. Adapun manfaat teorotis dalam
penelitian ini sebagai pengembangan khazanah keilmuan hukum keluarga
Islam khususnya terkait dengan Konsep kafa’ah pada pernikahan (Studi
komparatif Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm) sedangkan manfaat praktis dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1. Sebagai Rujukan atau Referensi bagi Civitas Akademika STISNU
Nusantara Tangerang Program Studi Hukum Keluarga Islam.
2. Sebagai bahan bacaan bagi masyarakat umum khususnya masyarakat
pemerhati bidang Hukum Keluarga Islam.

G. Tinjauan Pustaka Terdahulu yang Relevan


Tinjauan pustaka terdahulu yang relevan bertujuan untuk
membuktikan keorisinalitasan juga sebagai sumber data dalam penelitian ini.
Adapun klasifikasi tinjauan pustaka terdahulu yang relevan dalam penelitian
ini sebagaimana berikut:
Pertama, Skripsi yang ditulis oleh Trianto dengan judul “Studi
terhadap pemikiran Ibnu Hazm tentang Kafa’ah dalam Pernikahan”. 5 Skripsi
ini menjelaskan tentang pernikahan merupakan suatu hal yang sangat
penting. Pernikahan bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah,
5
Trianto, “Studi Terhadap Pemikiran Ibnu Hazm Tentang Kriteria Kafa’ah Dalam
Pernikahan” Skripsi pada prodi Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah Universitas
Islam Negeri Sunan kalijaga tahun 2005

4
mawaddah, dan rahmah. Salah satu hal yang berkaitan erat dengan
pernikahan adalah kafa’ah (kesepadanan) antara calon suami dan istri yang
berfungsi untuk mendukng tujuan tersebut. Ibnu Hazm dalam menetapkan
kriteria kafa’ah berbeda dengan kebanyakan ulama. Menurut Ibnu Hazm
kafa’ah tidak ada dalam islam kalaupun ada kafa’ah berlaku dalam agama
saja. Pendapat Ibnu Hazm mengenai kriteria kafa’ah tersebut merupakan
sebuah fenomena yang menarik untu dikaji. Hal tersebut memberikan
kesempatan kepada penyusun untuk mengungkap konsepsi kafa’ah menurut
Ibnu Hazm dengan cara mengkaji istinbat hukum yang digunakan serta
relevansi dengan praktek di Indonesia. Dikarenakan kajian ini adalah kajian
literatur, maka pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah
pendekatan normatif , yaitu pendekatan berdasarkan konsep syari’ah, kaidah
ushul fiqh dan kaidah fiqih yang bertujuan untuk menganalisa konsep
kafa’ah menurut Ibnu Hazm. Berdasarkan metode yang digunakan, maka
terungkaplah bahwa secara formal Ibnu Hazm tidak mengakui adanya
kafa’ah, tetapi secara esensial ia mngakuinya yakni dalam hal keagamaan.
Menurutnya, hal persamaan derajat dan status sosial sebenarnya tidak ada
dalam islam semua orang sekufu dengan yang lainnya siapapun laki-laki
muslim sekufu dengan peempuan muslimah selama ia tidak berbuat zina
sekalipun muslim yang sangat fasik , asalkan tidak berzina ia adalah sekufu
dengan wanita islam yang baik, demikian juga muslim yang baik sekufu
dengan muslimah yang fasik asal bukan perempuan pezina. Adapun
relevansi pemikiran Ibnu Hazm dalam konteks ke-Indonesia-an dipandang
relevan, karena di Indonesia bukan sikap religiusitas yang dimaksudkan
dalam kriteria agama, tetapi hanya sebatas ikhtilaf ad-din, sebagaimana
pendapat Ibnu Hazm.
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Lathifatun Ni’mah dengan judul
“Konsep Kafa’ah dalam Hukum Islam (Studi Pemikiran As-sayyid Sabiq
dalam Kitab Fiqh Sunnah)”.6 Skripsi ini menjelaskan tentang pernikahan
adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami isteri dengan
memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syari’at islam.
Kafa’ah dalam pernikahan adalah penyesuain keadaan antara laki-laki (calon
suami) dan Perempuan (calon isteri), yaitu sama kedudukannya. Suami sama
atau seimbang kedudukannya dengan isterinya dalam kekayaan, keturunan
atau nasab, pekerjaan dan tidak adanya kecacatan.
6
Lathifatun Ni’mah, “Konsep Kafa’ah Dalam Hukum Islam (Studi Pemikiran As-
Sayyid Sabiq Dalam Kitab fiqh sunnah)”.Skripsi pada prodi Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah
Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan kalijaga tahun 2009

5
Kafa’ah dalam pernikahan lebih diperlukan bagi laki-laki bukan
perempuan, maksudnya yaitu seorang laki-lakilah yang yang disyaratkan
agar sekufu dengan perempuan yang akan dinikahinya. As-sayyid Sabiq
mengatakan bahwa apabila perempuan yang mempunyai kedudukan
terhormat menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya maka
perempuan tersebut akan menanggung rasa malu serta timbul celaan dari
masyarakat setempatnya. Akan tetapi sebaliknya, bagi perempuan tidak
disyaratkan harus sepadan dengan laki-lakinya, dengan alasan bahwasanya
Rasulullah SAW. tidak mencari istri yang setingkat dengan beliau, yaitu
perempuan biasa bahkan budak pun tidak menjadi permasalahan. Karena
laki-lakilah yang dapat mengangkat derajat perempuan, bukan sebaliknya.
Kajian ini dilakukan guna memaparkan pemikiran As-Sayyid Sabiq , karena
dalam menetapkan hukum beliau senantiasa merujuk langsung kepada al-
qur’an dan hadis tanpa terikat atau fanatik kepada mazhab tertentu. Jenis
penelitian pustaka ini menggunakan metode deskritif analitis yaitu dengan
mendeskripsikan dan menganalisis pendapat As-Sayyid Sabiq tentang
konsep kafa’ah dalam pernikahan. Dalam kitab Fiqh as-sunnah as-sayyid
sabiq menjelaskan tentang signifikansi makna kafa’ah yang terdiri dari enam
faktor.
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Musafak dengan judul “konsep
kafa’ah dalam Pernikahan (Studi Pemikiran Mazhab Hanafi)”.7 Skripsi ini
menjelaskan tentang pernikahan adalah suatu cara yang di pilih oleh Allah
SWT, sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang biak dan kelestarian
hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang
positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan. Tujuan pernikahan adalah
tercipta keluarga yang sakinah, yang diliputi mawaddah wa rahmah .
Banyak cara yang untuk mewujudkan tujuan pernikahan, salah satunya
adalah adalah untuk mencari calon suami dan calon istri yang baik, namun
cara tersebut bukanlah suatu kunci. Namun, paling tidak dapat menentukan
baik tidaknya dalam kehidupan dikemudian hari, dan salah satu untuk
mencari pasangan yang baik adalah dalam konsep kafaah. Permasalahan
kafaah sebenarnya adalah suatu permasalahan yang sudah menjadi
perdebatan di kalangan ulama mazhab sejak dahulu kala, diantaranya adalah
ulama mazhab Hanafi, abu hanifah adalah tokoh pendiri mazhab Hanafi
beliau adalah pencetus pertama dari konsep kafaah ini, konsep ini muncul
karena kekosmopolitan dan kekomplekan masalah dan masyarakat yang
7
Musafak, “Konsep Kafa’ah Dalam Pernikahan (Studi pemikiran mazhab Hanafi)”,
Skripsi pada Prodi Al-Ahwal As-Syakhsiyyah Fakultas Syariah Universitas Sunan Kalijaga
Tahun 2010

6
hidup di irak ketika itu. Kompleksitas muncul sebagai akibat urbanisasi yang
terjadi di irak ketika itu. Urbanisasi melahirkan percampuran sejumlah etnik,
seperti percampuran antara orang arab dan nonarab yang baru masuk islam,
untuk menghindari salah pilih dalam pasangan pernikahan, teori kafaah jadi
niscaya. Dalam kaitannya dengan kehidupan yang sekarang konsep ini dirasa
menimbulkan peng-kelasan dan pengelompokan diantara manusia yang
dianggap tidak relevan lagi, apalagi dengan munculnya jargon-jargon
egalitarianism, Ham, gender, Anti diskriminasi yang kesemuanya menuntut
keadilan didalamnya. Dari penjelasan diatas, muncul permasalahan yang
harus dipecahkan, yaitu: (1) historisitas penetapan konsep kafaah mazhab
Hanafi? (2) bagaimana relevansinya dalam masyarakat di Indonesia yang
sekarang ini?.
Keempat, Tesis yang ditulis oleh Humaidi dengan judul “Pergeseran
Makna Kafa’ah dalam Pernikahan”.8 Tesis ini menjelaskan tentang
Masyarakat islam bukan masyarakat rasiasis,bukan nasionalis,bukan
sectarian,bukan proletar nasionalis dan bukan pula masyarakat
primordial,tidak membedakan antara kulit putih dan kulit hitam, atau antara
daerah timur dan daerah barat. Namun masyarakat Islam merupakan
masyarakat yang inklusif ,dinamis, yang terbuka untuk semua manusia, tanpa
memandang ras,warna kulit atau bahasa. Hal itu dimaksudkan agar antara
yang satu dengan yang lain saling mengenal dan saling membantu, karena
menurut allah hanya ada satu standardisasi untuk mengukur keutamaan
hambanya, yaitu keutamaan hambanya, yaitu ketaqwaan dan ketaatan kepada
Allah SWT. Adapun dalam penelitian ini peneliti menggunakan penelitian
kualitatif deskriptif dengan pendekatan sosiologis yang tentunya lebih
menekankan kualitas pada pengertian,konsep, nilai-nilai yang melekat
didalamnya dengan melihat gejala-gejala sosial yang berkembang, baik dari
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain sebagainya. Salah satunya
bahwa kebahagiaan dan keberlangsungan hidup dalam berumah tangga itu
tidaklah lepas atas dasar persetujuan dari anak yang bersangkutan.
Kelima, jurnal yang ditulis oleh Otong Husni Taufik, dengan judul
“Kafa’ah dalam Pernikahan menurut Islam” .9 Jurnal ini menjelaskan tentang
kafa’ah dalam pernikahan antara calon suami dan calon istri dimaksudkan
agar adanya keseimbangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga
kehidupan, persoalan kafa’ah sering difahami secara tidak proposional dalam

8
Humaidi Kh,S.HI , “Pergeseran Makna Kafa’ah Dalam Pernikahan”,Tesis pada
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Tahun 2011
9
H.Otong Husni Taufik, S.IP, M.Si, “Kafa’ah Dalam Pernikahan Menurut Hukum
Islam”, Jurnal pada Universitas Galuh Ciamis Tahun 2017

7
arti seseorang diharuskan menikah dengan lawan jenis yang sama derajatnya,
kekayaannya dan kecantikan dan sebagainya, padahal semuanya itu hanyalah
bersifat lahiriyah semata. Pasangan yang serasi diperoleh untuk mewujudkan
rumah tangga yang tenang (sakinah), cinta (mawaddah), kasih (rahmah),
banyak cara yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, salah
satunya adalah upaya mencari calon suami atau istri yang baik, upaya
tersebut bukanlah satu kunci namun keberadaannya dalam rumah tangga
akan menentukan mampu atau tidaknya seseorang dalam membangun
bahtera rumah tangga.
Keenam, Artikel yang ditulis oleh Rustam Dahar Kamadi Apollo
Harahap dengan judul “Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan dalam Hukum
Perkawinan Islam”10. Artikel ini menjelaskan tentang perkawinan merupakan
sebuah kontrak antara dua orang pasangan yang terdiri dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dalam posisi yang setara. Seorang perempuan
sebagai pihak yang sederajat dengan laki-laki dapat menetapkan syarat-
syarat yang yang diinginkan sebagaimana juga laki-laki. Perkawinan secara
mendasar berarti melibatkan diri dengan pembicaraan mengenai kasih
sayang (mawaddah wa rahmah), dan hal inilah yang merupakan pokok
pondasi suatu perkawinan. Dengan demikian hubungan antara suami dan istri
adalah hubungan horizontal bukan hubungan vertikal, sehingga tidak
terdapat kondisi yang mendominasi dan didominasi. Semua pihak setara dan
sederajat untuk saling bekerja sama dalam sebuah ikatan cinta dan kasih
sayang. Permasalahan perkawinan seringkali menjadi pemicu munculnya isu
ketidaksetaraan dalam keluarga, padahal sejatinya islam membawa norma-
norma yang mendukung terciptanya suasana damai, sejahtera, adil dan setara
dalam keluarga. Untuk menjawab berbagai berbagai pertanyaan seputar
kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hukum perkawinan islam.
Ketujuh, skripsi yang ditulis oleh Ulya Ziyanutuzzahro dengan judul
“Analisis Pemikiran Imam Syafi’i terhadap Konsep Kafa’ah dalam
perkawinan”11. Skripsi ini menjelaskan tentang kafa’ah dalam pernikahan
menurut hukum Islam yaitu keseimbangan dan keserasian anatara calon istri
dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk
melangsungkan pernikahan. Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih
pasangan suami istri, tetapi tidak menentukan sah tidaknya pernikahan.

10
Rustam Dahar Kamadi Apollo Harahap “Kesetaraan Laki-Laki Dan Perempuan
Dalam Hukum Perkawinan Islam”, Jurnal pada IAIN Walisongo Semarang Tahun 2020
11
Ziyanatuzzahro Ulya, “Analisis Pemikiran Imam Syafi’i Terhadap Konsep
Kafa’ah Dalam Perkawinan”. Skripsi pada prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syari’ah
Institut Agama Islam Negeri Ponorogo Tahun 2021

8
Imam Syafi’i adalah orang Quraisy dari kalangan Bani Muthalib. Imam
Syafi’i berpendapat bahwa kafa’ah itu penting untuk mencegah hal-hal yang
dapat merugikan wanita dalam pernikahannya , dimana menurut beliau
kafa’ah itu meliputi empat aspek, yaitu : agama, nasab, kemerdekaan dan
selamat dari aib (cacat). Istinbat merupakan cara-cara yang ditempuh oleh
Al-Qur’an atau as-sunnah. Adapun jenis penelitian yang dilakukan penulis
merupakan jenis penelitian pustaka (library research), karena penulis
menggunakan buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan sebagai
sumber data. Selain itu juga menggunakan metode dokumentasi, yaitu
mencari data mengenai hal-hal variabel yang berkaitan dengan pembahasan
dalam penelitian. Kemudian hasilnya dianalisa menggunakan metode bersifat
induktif berdasarkan data-data yang diperoleh selama penelitian. Dari
penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : Pemikiran Imam Syafi’i
tentang kafa’ah yaitu sepadan atau sebanding antara kedua mempelai.
Macam kriteria konsep kafa’ah dalam perkawinan menurut beliau dilihat
dari segi agama, keturunan, status kemerdekaan, kehormatan, dan bebas dari
aib. Beliau mengembangkan kriteria kafa’ah lebih luas lagi dari kriteria
kafa’ah menurut pandangan islam. Dengan mempertimbangkan faktor
lingkungan yang sesuai pada keadaan zaman yang berlaku dan
menyesuaikan dengan lingkungan yang ada dalam masyarakat. Tentang
metode istinbat terhadap kafa’ah dalam pernikahan, Imam Syafi’i
menggunakan istinbat yang bersumber dari Al-Qur’an yaitu pada Q.S Al-
Baqarah ayat 221. Metode istinbat as-sunnah yaitu, hadist yang diriwayatkan
oleh Ahmad, dalam Hadist Rasulullah saw. Metode istinbat berupa ijma
sesuai dengan kesepakatan para ulama yang dasar hukumnya terdapat juga
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kemudian metode istinbat berupa qiyas
ketika dasar hukumnya tidak terdapat dalam ijma.
Kedelapan, Artikel yang ditulis oleh Abu Bakar dengan judul
“Kafa’ah sebagai Pertimbangan dalam Perkawinan menurut Mazhab
Syafi’i”12. Artikel ini menjelaskan bahwa konsep kafa’ah sebagai salah satu
pertimbangan perkawinan menurut Mazhab Syafi’i bahwa kafa’ah dijadikan
sebagai syarat luzum atau syarat kelaziman perkawinan. Artinya, perkawinan
yang berlangsung antara pasangan yang tidak kafa’ah maka perkawinan
tersebut tetap sah. Hanya saja bila pihak wali tidak sepakat dengan
perkawinan tersebut, maka berhak untuk menuntut pembatalan perkawinan.
Penetapan Imam Mazhab Syafi’i tersebut diorientasikan pada kemaslahatan
bersama yaitu untuk menghidari adanya perpecahan keluarga dan
12
Abu Bakar “Kafa’ah Sebagai Pertimbangan Dalam Perkawinan Menurut Mazhab
Syafi’i”, Jurnal pada Fakultas Agama Islam UISU Medan, t.t.

9
menghindari munculnya aib akibat perkawinan yang tidak sekufu. Dengan
demikian, secara simplikatif dapat dinyatakan bisa saja seorang wanita
menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu dengan dirinya asalkan wanita
terssebut diberitahu keadaan calon suaminya secara jelas dan ia
menerimaanya, maka pernikahan tersebut sah demi hukum.
Berdasarkan pemaparan kedelapan tinjauan pustaka terdahulu yang
relevan, maka jelas penelitian penulis berbeda dengan sebelumnya pertama,
apa yang ditulis Trianto berbeda kajian dan fokus, pasalnya Trianto mengkaji
Studi Pemikiran Ibnu Hazm tentang Kafa’ah dalam pernikahan dan penulis
mengkaji Konsep Kafa’ah Pada Pernikahan Studi Komparatif Imam syafi’i
dan Ibnu Hazm dan pendekatan yang digunakan dalam skripsi Trianto ialah
pendekatan normatif sedangkan pendekatan yang digunakan dalam skripsi
penulis ialah pendekatan komparatif. Kedua, Skripsi yang ditulis oleh
Lathifatun Ni’mah Konsep kafa’ah dalam Hukum Islam Pemikiran As-
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah berbeda dengan skripsi penulis yang
berjudul Konsep Kafa’ah Pada Pernikahan Studi Komparatif Imam Syafi’i
dan Ibnu Hazm. Ketiga, Skripsi yang ditulis oleh Musafak mengkaji Konsep
Kafa’ah dalam Pernikahan Studi Pemikiran Mazhab Hanafi berbeda dengan
penulis yang mengkaji Konsep Kafa’ah Pada Pernikahan Studi Komparatif
Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm disini penulis lebih fokus mengkaji Kafa’ah
menurut Imam syafi’i dan Ibnu Hazm. Keempat, Tesis yang ditulis oleh
Humaidi berjudul Pergeseran Makna Kafa’ah dalam Pernikahan pendekatan
yang digunakan dalam tesis Humaidi ialah pendekatan sosiologis berbeda
dengan penulis yang menggunakan pendekatan komparatif. Kelima, jurnal
yang ditulis oleh Otong Husni Taufik, dengan judul Kafa’ah dalam
Pernikahan menurut Islam menjelaskan tentang kafa’ah saja, berbeda dengan
penulis yang membahas kafa’ah menurut Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm.
Keenam, Artikel yang ditulis oleh Rustam Dahar Kamadi Apollo Harahap
dengan judul Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan dalam Hukum
Perkawinan Islam berbeda dengan judul penulis yaitu Konsep Kafa’ah Pada
Pernikahan Studi Komparatif Imam Syafi’i dan Ibnu hazm. Ketujuh, Skripsi
yang ditulis oleh Ulya Ziyanutuzzahro dengan judul Analisis Pemikiran
Imam Syafi’i terhadap Konsep Kafa’ah dalam perkawinan berbeda dengan
penulis, pasalnya skripsi yang ditulis oleh Ulya Ziyanutuzzahro hanya
menganalisis pemikiran Imam Syafi’i sedangkan skripsi yang dibuat oleh
penulis membandingkan konsep kafa’ah menurut Imam Syafi’i dan Ibnu
Hazm. Kedelapan, Artikel yang ditulis oleh Abu Bakar dengan judul Kafa’ah
sebagai Pertimbangan dalam Perkawinan menurut Mazhab Syafi’i berbeda
dengan skripsi yang dibuat oleh penulis.

10
H. Metodologi penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library
research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan menelaah bahan-bahan
pustaka dan sumber lainnya yang relevan dengan topik yang dikaji. 13
Sedangkan jenis penelitian ini berupa penelitian kualitatif, karena teknis
penekanannya lebih menggunakan pada kajian teks.

2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan dapat diartikan suatu cara pandang yang digunakan
untuk menjelaskan suatu data yang dihasilkan dalam penelitian. Adapun
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
Komparatif.
Komparatif adalah pendekatan atau penelitian yang bertujuan
untuk membandingkan dua variabel atau lebih, untuk mendapatkan
jawaban atau fakta yang sedang diteliti.
Pendekatan penelitian dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan komparatif.

3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data
tersebut diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini terbagi dua, yakni
sumber data primer dan sumber data sekunder.
a. Sumber data primer
Sumber data primer merupakan sumber data yang
langsung memberikan data kepada pengumpul data.14 Dalam
penelitian ini penulis memperoleh data primer dengan
menggunakan sumber primer dari kitab Al-Umm karangan Imam
Syafi’i, kitab Al-Muzani karangan Imam Muzani, kitab Al-
Muhalla karangan Ibnu Hazm.

b. Sumber data sekunder

13
Suryana,Model Praktis Penelitian Kualitatif,(Bandung,Universitas Pendidikan
Indonesia,2010),hal.14
14
Sugiyono,Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,dan R&D,
(Bandung:Alfabeta,2014), hal 137.

11
Sumber data sekunder dapat diperoleh dari sumber
sumber yang telah ada, data ini merupakan data pelengkap yang
nantinya secara tegas dikorelasikan dengan data primer, antara
lain dalam wujud buku, dan artikel. Data sekunder dapat dapat
penulis peroleh dari buku-buku yang mengkaji permasalahan
fiqh, literatur-literatur ilmiah.

4. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data adalah suatu cara data yang
dikumpulkan sesuai dengan sumber, metode, dan instrumen
pengumpulan data.15 Maka pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari buku-buku,
artikel, jurnal, majalah terkait konsep kafa’ah pada pernikahan (Studi
Komparatif Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm) yang membandingkan
kafa’ah menurut Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm. Dalam penelitian ini
menggunakan metode pengkajian kepustakaan atau library research,
yaitu karya ilmiah yang didasarkan pada studi literatur atau pustaka.
Oleh karena itu, penulisan karya ilmiah ini akan dilakukan berdasarkan
atas studi membaca, mengkategori dan lain-lain terhadap beberapa
bahan pustaka atau dokumentasi baik berupa jurnal, buku , website dan
lain sebagainya.16

5. Teknik analisis Data


Teknik analisis data ini penulis menganalisis data dengan cara
mengumpulkan data melalui membaca, mengklasifikasi, menelusuri dan
mencatat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan
pembahasan. Selain itu, dalam penyusunan penelitian ini penulis juga
menggunakan metode Content Analysis yaitu Teknik apapun yang
digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan
karakteristik pesan dan dilakukan secara objektif dan sistematis.17
Content Analysis mengindikasikan beberapa ciri antara lain:
Pertama, teks perlu diproses dengan aturan dan prosedur yang telah
dirancangkan. Kedua, teks diproses secara sistematis mana yang
termasuk dalam suatu kategori dan mana yang tidak termasuk ditetapkan
15
Sanafiah Faisal, Format-format Penilitian Sosial (Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada,2007),hal.32
16
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,
(Jakarta:Rineka Cipta, 1990),hal.24
17
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:Remaja
Rosdakarya,1993), hal 163

12
berdasarkan aturan sudah ditetapkan. Ketiga, proses menganalisis teks
tersebut haruslah mengarah kepemberian sumbangan pada teori ada
relevansi teoritiknya. Keempat, proses analisis tersebut mendasarkan
pada deskripsi yang dimanifestasikan.

I. Sistematika pembahasan
BAB I , Adalah berisi tentang gamabaran secara umum dari seluruh
skripsi, pada bab pendahuluan berisi latar belakang, identifikasi masalah,
Batasan masalah, rumusan masalah, manfaat penelitian, kajian pustaka
terdahulu yang relevan metode penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II Menjelaskan kajian teori yang membahas konsep kafa’ah
pada pernikahan (Studi Komparatif Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm).
BAB III Hasil penelitian yaitu penjelasan yang terkait dengan hasil
penelitian bagaimana konsep kafa’ah pada pernikahan (Studi Komparatif
Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm).
BAB IV adalah kesimpulan yaitu berupa jawaban yang termaktub
dalam rumusan masalah dan kritik

13
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Konsep Pernikahan dalam Islam


1. Pengertian Pernikahan
Nikah berasal dari kata bahasa arab yang di dalam bahasa
Indonesia sering diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah menurut
syariat Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki
dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram sehingga dengan akad
tersebut terjadi hak dan kewajiban antara kedua insan.18
Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah mengandung kedua arti
sekaligus, yaitu sebagai akad dan setubuh, menurut ahli fiqh nikah pada
hakikatnya adalah akad yang diatur oleh agama untuk diberikan kepada
pria hak memiliki dan menikmati faraj dan seluruh tubuh wanita itu
(istri) dan membentuk rumah tangga.19
Pernikahan disebut ikatan lahir batin, karena pernikahan bukanlah
hal yang dianggap sebagai permainan. Pernikahan memiliki tanggung
jawab yang amat besar di dalamnya terdapat perjanjian antara suami dan
istri yang masing-masing memikul kewajiban dan hak yang harus
dijalankan. Substansi yang terkandung di dalamnya adalah menaati
perintah Allah dan Rasul-Nya, yaitu mendatangkan kemaslahatan baik
pelaku pernikahan itu sendiri (suami istri), anak, cucu, kerabat maupun
masyarakat. Oleh karena itu, pernikahan bukan hanya kebutuhan internal
antara kedua belah pihak akan tetapi juga faktor eksternal yang
melibatkan banyak pihak.
Pernikahan adalah satu ritual pemersatu dua insan yang diakui
secara resmi dalam hukum kenegaraan, dan termasuk kekuasaan Allah
SWT sesuai Q.S ar-Ruum :21

‫اج ا لِتَ ْس ُكنُوا ِإلَْي َه ا‬ ِ ِ ِ


ً ‫َوم ْن آيَاتِه َأ ْن َخلَ َق لَ ُك ْم م ْن َأْن ُفس ُك ْم َْأز َو‬
ِ
‫ات لَِق ْوٍم َيَت َف َّكُرو َن‬
ٍ ‫ك آَل ي‬ ِٰ ‫ِإ‬
َ َ ‫َو َج َع َل َبْينَ ُك ْم َم َو َّد ًة َو َرمْح َةً َّن يِف َذل‬
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-
Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-
18
Sabri Samin, Fikih II (Makkasar: Alauddin Press,2010), Cet.I, hal.2
19
Chuzaimah T.Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam
Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet.I, hal.2

14
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tentram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir”(Q.S:Ar-
Rum:21)

Jadi dapat disimpulkan bahwa pernikahan bukan semata-mata


legalisasi dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan
perempuan tetapi lebih dari itu pernikahan merupakan ikatan lahir batin
dalam membina kehidupan keluarga. Dalam menjalankan kehidupan
berkeluarga diharapkan kedua individu itu dapat memenuhi
kebutuhannya dan mengembangkan dirinya. Pernikahan sifatnya kekal
dan bertujuan menciptakan kebahagiaan individu yang terlibat di
dalamnya.

2. Rukun dan Syarat Pernikahan


Pernikahan merupakan salah satu perintah agama kepada yang
mampu untuk segera melaksanakannya, karena dengan pernikahan dapat
mengurangi maksiat penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina.20
Oleh karena itu, bagi mereka yang berkeinginan untuk menikah
sementara perbekalan untuk memasuki pernikahan belum siap
dianjurkan untuk berpuasa. Dengan berpuasa diharpkan dapat
membentengi diri dari perbuatan tercela yang sangat keji, yaitu
perzinaan.
Karena itulah pernikahan yang bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah perlu
diatur dengan syarat dan rukun tertentu agar tujuan disyariatkannya
pernikahan tercapai.
Rukun dan syarat pernikahan menentukan suatu perbuatan hukum
terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut
dari segi hukum baik hukum agama maupun hukum positif. Dalam suatu
acara pernikahan contohnya rukun dan syaratnya tertinggal, dalam arti
pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Adapun rukun pernikahan yaitu :
a. Adanya calon laki-laki
20
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,
2002),hal.69

15
b. Adanya calon perempuan
c. Adanya wali nikah
d. Adanya dua orang saksi
e. Adanya ijab dan qabul21

Sedangkan syarat pernikahan ialah syarat yang harus berkaitan


dengan rukun-rukun pernikahan, syarat pernikahan merupakan
perbuatan hukum terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya
perbuatan tersebut. Adapun syarat-syarat pernikahan terbagi dalam dua
kategori yaitu :
a. Syarat untuk suami
1) Laki-laki bukan mahram dari calon istri
2) Atas kemauan sendiri tidak terpaksa
3) Jelas orangnya
4) Tidak sedang melakukan ihram haji22
b. Syarat untuk istri
1) Tidak terhalang menurut ketentuan syara seperti tidak
bersuami, bukan mahram, dan tidak dalam keadaan iddah.
2) Atas ketentuan sendiri
3) Jelas orangnya
4) Tidak sedang melakukan ihram haji.

Adapun undang-undang pernikahan menetapkan syarat pernikahan


diatur dalam pasal 6 s.d pasal 11 undang-undang no.1 Tahun 1974
tentang pernikahan, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
a. Terdapat persetujuan dari kedua mempelai.
b. Terdapat pernyataan izin dari orang tua/wali bagi calon mempelai
yang belum berumur 21 tahun.
c. Umur calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan
mempelai wanita sudah mencapai 19 tahun.
d. Antara kedua calon mempelai tidak ada hubungan darah yang
dilarang nikah.
e. Tidak terikat hubungan pernikahan dengan orang lain.
f. Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami istri yang sama,
yang hendak di nikahi.

21
Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan, (Jakarta:Rineka Cipta), hal. 61
22
Kamsuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan
Perkawinan), (Jakarta: kalam Mulia, 1998), hal.15

16
g. Bagi seorang wanita (janda) tidak dapat nikah lagi sebelum masa
tunggu berakhir.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah diatur


tentang rukun pernikahan dalam pasal 14 yaitu dalam suatu pernikahan
harus ada:
a. Calon suami
b. Calon istri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi
e. Ijab dan qabul

3. Hukum Melakukan Pernikahan


a. Wajib
Nikah hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai
kemauan dan kemampuan untuk nikah dan di khawatirkan akan
tegelincir pada perbuatan zina seandainya tidak nikah, maka hukum
melakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah wajib.

b. Sunnah
Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
melangsungkan pernikahan, tetapi kalau tidak nikah tidak di
khawatirkan akan berbuat zina karena mampu mengendalikan
dirinya, maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut
adalah sunnah.

c. Makruh
Orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan
pernikahan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri
sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina,
sekiranya tidak nikah. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa
menikah itu hukumnya makruh bagi seseorang yang tidak memiliki
keinginan dan takut kalau tidak mampu memenuhi kewajibannya
kepada istrinya. Adapun dari kalangan Syafi’iyah bahwa menikah
itu hukumnya makruh bagi orang-orang yang mempunyai
kekhawatiran tidak mampu memberikan kewajiban kepada istrinya.

d. Mubah

17
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir
akan berbuat zina dan apabila melakukan tidak akan menelantarkan
istri.

e. Haram
Nikah hukumnya haram bagi orang yang tidak mempunyai
keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab
untuk melaksanakan kewajiban dalam rumah tangga sehingga
apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya dan
istrinya.

4. Tujuan dan Hikmah pernikahan


Tujuan nikah pada umumnya bergantung pada masing-masing
individu yang akan melakukannya, karena bersifat subyektif. Namun
demikian ada juga tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua
orang yang akan melakukan pernikahan, yaitu yang memperoleh
kebahagiaan dan kesejahteraan lahir dan batin menuju kebahagiaan dan
kesejahteraan dunia akhirat.
Nabi Muhammad SAW menganjurkan bahwa hendaklah tujuan
dan pertimbangan agama serta akhlak yang menjadi tujuan utama dalam
pernikahan. Hal ini karena kecantikan atau kegagahan, harta dan
pangkat serta lainnya tidak menjamin tercapainya kebahagiaan tanpa
didasari akhlak dan budi pekerti yang luhur.
Adapun tujuan pernikahan secara rinci dapat dikemukakan sebagai
berikut:
a. Untuk mendapatkan keturunan yang sah
Firman Allah dalam surat An-Nisa:1

‫س َواحِ َد ٍة‬ ُ ‫يَ ا َُّأي َه ا الن‬ 


ٍ ‫َّاس َّات ُق وا َربَّ ُك ُم الَّ ِذي َخلَ َق ُك ْم ِم ْن َن ْف‬
ِ ‫ث ِمْنهما ِرجااًل َكث‬ ِ
َ‫ِريا َون َس اءً َو َّات ُق وا اللَّه‬
ً َ َ ُ َّ َ‫َو َخلَ َق مْن َها َز ْو َج َها َوب‬
‫اَأْلر َح َام ۚ ِإ َّن اللَّهَ َك ا َن‬ ِ ِ ِ
ْ ‫الَّذيتَ َس اءَلُو َن بِه َو‬
ْ ‫اَأْلر َح َام تَ َس اءَلُو َن بِه َو‬
‫َعلَْي ُك ْم َرقِيبًا‬
Artinya : “Hai sekalian manusia, bertakwalah
kepada tuhan-mu yang telah menciptakan

18
kamu dari seorang diri, dan dari padanya
Allah menciptakan isterinya, dan dari pada
keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu”.

b. Penyaluran syahwat dan penumpahan kasih sayang berdasarkan


tanggung jawab
Kodrat manusia diciptakan oleh Allah dengan mempunyai
keinginan untuk berinteraksi antara laki-laki dan perempuan,
sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Imran: 14

ِ َ‫ات ِمن النِّس ِاء والْبنِني والْ َقن‬


‫اط ِري‬ ِ ‫الش هو‬ ِ ‫ُزيِّ َن لِلن‬
ََ َ َ َ َ َ َ َّ ‫ب‬ ُّ ‫َّاس ُح‬
َّ ‫ب َوالْ ِف‬
‫ض ِة َواخْلَْي ِل الْ ُم َس َّو َم ِة َواَأْلْن َع ِام‬ ِ ‫الْم َقْنطَ ر ِة ِمن ال َّذ َه‬
َ َ ُ
ِ ‫الد ْنيا واللَّهُ ِعْن َده حسن الْم‬ ِ ِ ِ ‫واحْل ر‬
‫آب‬ َ ُُْ ُ َ َ ُّ ‫ك َمتَاعُ احْلَيَاة‬ َ ‫ث ٰذَل‬ َْ َ
Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak,
harta yang banyak dari jenis emas, perak,
kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah lading. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali
yang baik (surga)”.

Dengan pernikahan seorang laki-laki dapat


menyalurkan nafsu seksualnya kepada seorang
perempuan dengan sah dan begitu pula
sebaliknya.Firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah:223

19
‫ِّموا َأِلْن ُف ِس ُك ْم‬ ِ
ُ ‫ث لَ ُك ْم فَ ْأتُوا َح ْرثَ ُك ْم َأىَّنٰ ش ْئتُ ْم َوقَ د‬ ٌ ‫نِ َس اُؤ ُك ْم َح ْر‬
ِِ
َ ‫َو َّات ُقوا اللَّهَ َو ْاعلَ ُموا َأنَّ ُك ْم ُماَل قُوهُ َوبَ ِّش ِر الْ ُمْؤ من‬
‫ني‬

Artinya: “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat


kamu bercocok tanam, Maka datangilah
tanah tempat bercocok tanammu itu
bagaiamana saja kamu kehendaki. Dan
kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu,
dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira
orang-orang yang beriman”.

Maksud dari ayat diatas adalah nikahilah perempuan yang


subur dan penyayang, wanita yang subur biasanya sehat, mudah
mendapatkan anak yang bisa meneruskan keturunan, amal pahala
jariah untuk kedua orang tuanya. Dan nikahilah perempuan yang
penyayang akan setia menyayangi suami dan membuat suami
sayang istri, suami akan lebih mudah mengurus hal nafkah, karena
hal pribadi sudah diurus istri. Jangan menikahi perempuan yang
tidak mencintai atau menyayangi suami karena memperbessar
potensi timbulnya perceraian.

c. Memelihara diri dari kerusakan


Ketenangan cinta dan kasih sayang keluarga dapat
ditunjukkan melalui pernikahan. Orang-orang yang tidak
menyalurkannya pada jalan yang dibenarkan, yaitu pernikahan
dapat menimbulkan kerusakan untuk dirinya , orang lain serta
masyarakat. Nafsu yang terdapat dalam diri manusia cenderung
mengajak pada hal-hal yang tidak di ridhoi oleh Allah.
Sebagaimana dalam Q.S Yusuf :53

ِ ‫الس‬
‫وء ِإاَّل َم ا َر ِح َم َريِّب ِإ َّن‬ ُّ ِ‫َأَلم َارةٌ ب‬
َّ ‫س‬ َّ ‫َو َم ا َُأب رُِّئ َن ْف ِس ي ِإ َّن‬
َ ‫الن ْف‬
‫يم‬ ِ ‫ريِّب َغ ُف‬
ٌ ‫ور َرح‬ ٌ َ

20
Artinya: “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh
kepada kejahatan, kecuali nafsu yang
diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku maha pengampun lagi maha
penyayang”.

Adapun hikmah dari adanya pernikahan antara lain:


1) Menyambung silaturahmi
2) Melestarikan manusia dengan perkembangan biak yang
dihasilkan oleh pernikahan
3) Kebutuhan suami istri kepada pasangannya untuk menjaga
kemaluannya dengan melakukan hubungan seks yang
fitriyah
4) Mengatur hubungan laki-laki dengan wanita berdasarkan
asas pertukaran hak dan saling kerjasama yang produktif
dalam suasana cinta kasih dan perasaan saling menghormati
yang lain.
5) Kerjasama suami dan istri dalam mendidik anak dan
menjaga kehidupannya.

B. Konsep Kafa’ah dalam Pernikahan


1. Pengertian Kafa’ah
Kafa’ah secara bahasa kafa’ah diambil dari kata ‫ كفاء‬yang berarti
‫ المساوة‬sama atau ‫ المماثلة‬serasi. Kata kafa’ah atau kufu dalam pernikahan
mengandung arti bahwa perempuan harus sama atau setara dengan laki-
laki. Sifat kafa’ah mengandung arti sifat yang terdapat pada perempuan
yang dalam perkawinan sifat tersebut harus ada pada laki-laki yang
mengawininya.23
Kafa’ah dalam terminologi hukum islam yaitu keseimbangan dan
keserasian antara calon istri dan suami dalam hal tingkatan sosial, moral,
dan ekonomi sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk
melangsungkan pernikahan.24 Jadi tekanan dalam kafa’ah merupakan
keserasian, terutama pada hal agama, yaitu akhlak serta ibadah. Menurut
sebagian pendapat ulama kalau kafa’ah diartikan persamaan dalam hal
harta atau kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta,

23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group,2006) hal.140
24
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat,(Semarang:Dina Utama /Toha Putra Group,1993)
hal.76

21
sedangkan dalam Islam tidak dibenarkan adanya kasta, karena manusia
di sisi Allah SWT adalah sama hanya ketaqwaannya-lah yang
membedakan.25 Persamaan kedudukan suami dan istri akan membawa
kerumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakharmonisan dalam
kehidupan rumah tangga.
Kafa’ah merupakan hak yang dimiliki oleh seorang perempuan
dan walinya, dimana seorang wali tidak bisa memaksa mengawinkan
perempuan dengan orang yang tidak sekufu kecuali yang bersangkutan
ridha, demikian juga para walinya. Maka seorang perempuan tidak boleh
dinikahkan kecuali atas persetujuan dengan para wali. Apabila si
perempuan dan walinya ridha maka perkanikahan sudah boleh
dilaksanakan sebab, persetujuan akan menghilangkan halangan untuk
nikah.26
Sedangkan secara terminologi terdapat perbedaan pendapat
ulama tentang pengertian kafa’ah dalam pernikahan, adapun
menurutnya:
a) Menurut ulama Hanafiyah kafa’ah ialah persamaan laki-laki dan
perempuan dalam perkara-perkara tertentu, yaitu nasab, Islam,
pekerjaan, merdeka, nilai ketaqwaan dan harta.
b) Menurut ulama Malikiyah kafa’ah adalah kesamaan dalam dua
perkara yaitu ketaqwaan dan selamat dari cacat yang
memperbolehkan seorang perempuan untuk melakukan khiyar
terhadap suami.
c) Menurut ulama Syafi’iyah kafa’ah adalah persamaan suami
dengan istri dengan kesempurnaan atau kekurangannya (selain
perkara yang selamat dari cacat) kemudian hal yang perlu
dipertimbangkan adalah nasab, Islam, merdeka dan pekerjaan.
d) Menurut ulama Hanabilah kafa’ah adalah persamaan dalam lima
perkara yakni islam, status pekerjaan, harta, merdeka, dan nasab.

Pertimbangan kafa’ah dalam pernikahan disandarkan pada


Riwayat dari Aisyah r.a bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

‫ثخريوا لنطفكم فانكحوا اال اكفاء وانكحوا اليهم‬

25
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, cet I ,jilid I (Bandung,
CV.Pustaka Setia,1999), hal. 15
26
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, cet I ,jilid I (Bandung,
CV.Pustaka Setia,1999), hal. 50

22
Artinya :’’Dari Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah
SAW bersabda: Pilih-pilihlah untuk tempat
tumpahnya nuthfah kalian (maksudnya istri),
dan nikahkanlah orang-orang yang sekufu”.
(HR.Ahmad)

Sebagian pendapat ulama mengklasifikasi pertimbangan kafa’ah


menjadi enam aspek :
a. Berstatus merdeka
b. Iffah
c. Nasab
d. Kualitas keagamaan
e. Hirfah
Hirfah ialah segala macam profesi yang digunakan sebagai
lantaran untuk mengais rezeki, sedangkan hirfah dani’ah adalah
segala bentuk profesi yang dapat menunjukkan rendahnya harga
diri bila ditekuni. Kafa’ah dari segi hirfah menurut pandangan
imam abu hanifah , satu riwayat dari Imam Ahmad dan riwayat
dari Abu Yusuf ialah kafa’ah dari segi hirfah dalam ikatan
pernikahan tidak diperhitungkan kecuali dalam profesi yang terlalu
merendahkannya seperti tukang bekam, tukang sapu dan
sebagainya karena profesi tersebut merupakan aib menurut
pandangan sebagian kalangan yang hampir sama denngan aib
dalam nasab.
f. Terhindar dari Aib yang membolehkan untuk memfaskh nikah.

Menurut Ibnu Mansur kafa’ah sebagai suatu keadaan


keseimbangan kesesuaian atau keserasian ketika dihubungkan dengan
nikah kafa’ah diartikan sebagai kondisi keseimbangan antara calon
suami dan istri baik dari segi kedudukan, agama, keturunan, dan
sebagainya.27
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mendefinisikan bahwa
kafa’ah dalam hal agama sudah menjadi kesepakatan dikalangan ulama.
Maka dari itu, seorang Muslimah dilarang menikah dengan seorang
kafir.28

27
Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukarram Al-Anshari Al-Manzur, Lisan al-Arabi

23
Menurut Abu Zahrah kafa’ah merupakan suatu kondisi dalam
suatu pernikahan harus didasari adanya keseimbangan antara suami dan
istri dalam suatu aspek tertentu yang dapat menghindari dari konflik
yang dapat merusak kehidupan berumah tangga.29
Dari berbagai definisi yang telah ditulis oleh penulis bahwasanya
penulis menarik kesimpulan bahwa kafa’ah yaitu kesetaraan atau
kesepadanan antara calon suami dengan calon istri untuk
melangsungkan pernikahan guna menghindari adanya perseteruan dalam
masalah tertentu sehingga antara calon suami dan calon istri tidak
merasa keberatan untuk melangsungkan suatu pernikahan. Jadi, tekanan
dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan, dan keserasian,
terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab kalau
kafa’ah diartikan persamaan dalam hal harta, atau kebangsawanan, maka
akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan dalam islam tidak
dibenarkan adanya kasta, karena manusia disisi Allah adalah sama,
hanya ketaqwaannyalah yang membedakan.30 Perihal kafa’ah sama atau
serasi ini ditunjukan untuk menjaga keselamatan dan kerukunan dalam
pernikahan, bukan untuk ke sah-annya. Artinya sah atau tidaknya
pernikahan tidak bergantung pada kafa’ah ini, pernikahan tetap sah
menurut hukum walaupun tidak sekufu antara suami istri hanya saja,
hak bagi wali dan perempuan yang bersangkutan untuk mencari jodoh
yang sepadan. Dalam arti keduanya boleh membatalkan akad nikah
pernikahan itu karena tidak setuju dan boleh menggugurkan haknya.31

2. Dasar Hukum Kafa’ah


a. Al-Qur’an
Sebagaimana di ungkap dalam surat Al- Hujurat ayat 13 :

28
Syaikh Mahmud Al-Mashri, Bekal Pernikahan, (Jakarta; Qisthi press,2012) hal.
267
29
Zainul Musthofa dan Siti Aminah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek
Kafa’ah sebagai Upaya membentuk Keluarga Sakinah,
30
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat,Vol.I (Bandung:CV Pustaka
Setia, 1999) hal.50
31
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S, Fiqh Mazhab Syafi’i,(Bandung:pustaka
setia,2000), hal.261

24
‫َّاس ِإنَّا َخلَ ْقنَ ا ُك ْم ِم ْن ذَ َك ٍر َوُأْنثَ ٰى َو َج َع ْلنَ ا ُك ْم ُش عُوبًا‬
ُ ‫يَا َُّأي َه ا الن‬
ِ ‫ِإ‬ ِ ِ ‫ِإ‬ ِ ‫ِئ‬
ٌ ‫َو َقبَا َل لَت َع َارفُوا َّن َأ ْك َر َم ُك ْم عْن َد اللَّه َأْت َق ا ُك ْم َّن اللَّهَ َعل‬
‫يم‬
ٌ‫َخبِري‬

Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya kami


menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui lagi maha mengenal”.

Bahwasanya ayat ini turun sebagai penegasan bahwa Allah


SWT telah menciptakan manusia dari berbagai bangsa dan berbagai
suku tujuannya agar saling mengenal dan tolong-menolong dalam
kehidupannya. Dan di dalam surat Al-hujurat ayat 13 bahwasanya
ada penegasan tidak ada perbedaan nilai kemanusiaan antara laki-
laki dan perempuan. Ayat diatas mengakui bahwa kejadian dan nilai
kemanusiaan itu adalah sama pada semua orang. Tak ada
seorangpun yang lebih mulia dari yang lain kecuali karena
ketaqwaannya kepada Allah Swt, jadi dari ayat tersebut kita sebagai
manusia tidak membedakan satu dengan yang lainnya dari sisi harta,
keturunan, dan kedudukan dalam memandang kafa’ah perkawinan.

b. Hadist
Hadist Abu Hurairah:

‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم قَ َال ُتْن َك ُح‬ ِ


َ ِّ ‫ َع ْن النَّيِب‬،ُ‫َع ْن َأيِب ُهَر ْيَر َة َرض َي اللَّهُ َعْنه‬
ِ ِ ِ ِ ‫هِل‬ ‫ِ هِل حِل‬
ْ َ‫ فَاظْ َف ْر بِ َذات الدِّي ِن تَ ِرب‬.‫ َولدين َها‬،‫ َومَجَا َا‬،‫ َو َ َسبِ َها‬،‫ ل َما َا‬:‫الْ َم ْرَأةُ ِال ْربَ ٍع‬
‫ت‬
‫يَ َد َاك‬

25
Artinya : “Seorang wanita dinikahi karena
empat perkara, karena hartanya, kedudukannya,
kecantikannya dan agamanya, maka dahulukanlah
yang kuat mempunyai agama, niscaya kamu akan
beruntung’’.

Hadist dari Abu Hatim :

ٌ‫تكن فتنة‬
ْ ‫ إال تفعلوا‬، ُ‫فزوجوه‬
ّ ُ‫إذا أتا ُكم من تَرضو َن ُخلقهُ ودينه‬
‫عريض‬
ٌ ‫وفساد‬
ٌ ِ
‫األرض‬ ‫يف‬

Artinya: “Apabila datang kepadamu sekalian


orang yang kamu sukai agamanya dan akhlaknya,
maka kawinkanlah dia. Kalau itu tidak kamu
lakukan, maka bakal terjadi huru-hara dan
kerusakan besar dimuka bumi’’. Para sahabat
bertanya: Yaa Rasulullah kalau terdapat padanya? ,
Rasul menukas :Apabila dating kepadamu orang
yang kamu sukai agamanya dan akhlaknya maka
kawinkanlah dia , demikian kata Rasul sampai tiga
kali.32

3. Urgensi Kafa’ah pada pernikahan


Setiap manusia tentu mendambakan kehidupan yang bahagia, baik
secara pribadi maupun dalam berkeluarga dan bermasyarakat. Dalam
istilah Al-Qur’an disebut kehidupan yang sakinah (tentram), mawaddah
(penuh kasih sayang), dan rahmah (diliputi dari rahmat Allah). Itu semua
bermula dari sebuah bangunan rumah tangga (keluarga). Soal urgensi
kafa’ah sebetulnya tidak dapat dilepaskan dari persoalan capaian akhir
yang akan diterima oleh kedua pasangan. Rasulullah mengisyaratkan
agar memilih wanita berdasarkan agama yang paling utama , kemudian
kecantikan, harta dan keturunan. Hal ini tidak terlepas dari capaian akhir
yang menjadi tujuan pernikahan. Imbas dari tidak adanya keserasian dan
kesetaraan dalam pernikahan yaitu terbukanya peluang perpecahan
32
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fikih Munakahat, Vol.I,5

26
dalam rumah tangga. Apabila tidak ada keserasian sering terjadi
pebedaan pandangan dan perbedaan dalam cara hidup, sehingga mudah
menimbulkan perselisihan,akhirnya perkawinan dapat saja putus.33
Uraian diatas dapat diketahui kafa’ah memiliki urgensitas
tersendiri dalam ranah hukum perkawinan Islam, unsur utama dalam
kafa’ah adalah keserasian dalam bidang agama, tujuannya agar pasangan
suami istri saling memenuhi kewajiban,suami dapat memperlakukan istri
secara patut, sementara dipihak istri patuh dan taat pada suami dalam
garis yang dibenarkan dalam agama. Dengan keserasian itu diharpkan
rumah tangga diliputi ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan.

4. Kriteria Kafa’ah dalam pernikahan


Kriteria Kafa’ah terdapat perbedaan pendapat diantaranya;
a) Agama
Jumhur ulama sepakat bahwa agama dimasukkan dalam
kafa’ah agama. Mengingat sangat pentingnya aspek ini dalam
kufu. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. As-sajadah:
18 yang berbunyi :

ِ َ‫أفَمن َكا َن مْؤ ِمنًا َكمن َكا َن ف‬


‫اس ًقا اَل يَ ْسَت ُوو َن‬ َْ ُ َْ
Artinya : ‘’Orang-orang yang beriman tidaklah seperti
orang-orang yang fasik mereka tidaklah
sama’. (QS. As-Sajadah: 18)

Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang muslim


yang sholeh sekufu dengan perempuan yang sholihah dan
tidak sekufu dengan orang yang fasik. Ayat ini menjelaskan
bahwasanya seorang muslim satu dengan lainnya adalah
sama. Yang membedakan dari keduanya ialah tingkat
ketaqwaannya. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 221
yang berbunyi:

‫َأَلم ةٌ ُمْؤ ِمنَ ةٌ َخْي ٌر ِم ْن‬ ِ ِ ِ


َ ‫َو َل َتْنك ُح وا الْ ُم ْش ِر َكات َحىَّت ٰ يُ ْؤ م َّن َو‬
‫ني َحىَّت ٰ يُْؤ ِمنُ وا‬ ِ ِ
َ ‫َأع َجبَْت ُك ْم َواَل ُتْنك ُح وا الْ ُم ْش ِرك‬ ْ ‫ُم ْش ِر َك ٍة َولَ ْو‬
‫ك يَ ْدعُو َن ِإىَل‬ َ ‫َأع َجبَ ُك ْم ُأولَِٰئ‬
ْ ‫َولَ َعْب ٌد ُمْؤ ِم ٌن َخْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر ٍك َولَ ْو‬

33
A.Hamid Sarong, Hukum perkawinan, hal.85

27
ِ ‫اتِه لِلن‬
‫َّاس‬ ِ ‫نِه ويبنِّي آي‬
ِ ‫النَّا ِر واللَّه ي ْدعو ِإىَل اجْل ن َِّة والْم ْغف ِِإ‬
َ ُ َُ َ ‫ِرةِ ب ْذ‬
َ َ َ َ ُ َُ َ
‫لَ َعلَّ ُه ْم َيتَ َذ َّكُرو َن‬

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-


wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin
lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izinnya. Dan allah
menerangkan ayat-ayatnya (perintah-
perintahnya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran. (Q.S Al-Baqarah;221)

b) Nasab (Keturunan)
Menurut Jumhur ulama selain malikiyah berpendapat
bahwasanya nasab merupakan suatu hal yang paling penting
dan masuk dalam kafa’ah.34 Hal ini mendasar pada hadist
Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
,‫ الع رب بعض ها اكف اء لبعض‬: ‫وروي عن ابن عم ر مرفوع ا‬
,‫ واملوايل اكفا ء لبعض قبيلة بقبيلة‬,‫ورجل برجل‬,‫قبيلة بقبيلة‬
‫ورجل برجل اال حأكا أوحجاما‬

Artinya: “Dari Ibnu Umar berkata : Orang Arab


itu sekufu sesamanya, dan orang mawaly
itu sekufu dengan sesamanya, kecuali

34
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, hal:142

28
tukang jahit dan tukang bekam”. (HR.Al-
Hakim)35

Bahwa orang Arab sepadan dengan orang Arab, orang


Arab tidak sepadan dengan orang selain Arab. Kabilah satu
dengan kabilah lainnya tidak sepadan. Menurut ulama
Hanafiyah, nasab dalam kafa’ah perkawinan dikhususkan
orang-orang Arab. Maka dari itu, suami istri harus sama
kabilahnya. Sedangkan menurut Syafi’iyah orang Quraish
sebanding dengan orang Quraish kecuali dari Bani Hasyim
dan Bani Muthalib. Jika ditelaah dari pendapat ini yang
menjadi pertimbangan nasab hanya nasab dari bapak.
Sedangkan Hanafiyah berpendapat bahwa golongan Quraish
sebanding dengan Bani Hasyim.
Adapun dalil dalam Al-Qur’an pada surah Al-Fur’qan
ayat 54 yang berbunyi :

‫َو ُه َو الَّ ِذي َخلَ َق ِم َن الْ َم ِاء بَ َش ًرا فَ َج َعلَ هُ نَ َس بًا َو ِص ْهًرا َو َك ا َن‬
‫ك قَ ِد ًيرا‬
َ ُّ‫َرب‬
Artinya: “Dan dia (pula) yang menciptakan
manusia dari air lalu dia dijadikan
manusia itu (punya) keturunan dan
mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha
Kuasa”. (Q.S Al-Fur’qan Ayat 54)

Imam Bukhari menjelaskan ayat ini merupakan dalil dalam


bab kafa’ah. Yang dimaksudkan adalah nasab dan hubungan
kekeluargaan yang berasal dari perkawinan.

c) Merdeka
Yang dimaksud disini ialah bukan budak (hamba
sahaya). Jumhur ulama selain Malikiyah memasukkan

35
Al-Hafiz Ibnu Hajar Asqolani, Bulugul Maram, hal. 147

29
merdeka dalam kafa’ah berdasrkan Al-Qur’an surah An-Nahl
ayat: 75

ٍ ِ
ُ‫ب اللَّهُ َمثَاًل َعْب ًدا مَمْلُو ًك ا اَل َي ْق د ُر َعلَ ٰى َش ْيء َو َم ْن َر َز ْقنَ اه‬ َ ‫ض َر‬ َ
‫ِمنَّا ِر ْزقًا َح َسنًا َف ُه َو يُْن ِف ُق ِمْنهُ ِسًّرا َو َج ْهًرا َه ْل يَ ْس َت ُوو َن احْلَ ْم ُد‬
‫لِلَّ ِه بَ ْل َأ ْكَثُر ُه ْم اَل َي ْعلَ ُمو َن‬

Artinya : “Allah membuat perumpamaan dengan


seorang hamba sahaya yang dimiliki
yang tidak dapat bertindak terhadap
sesuatupun dan seorang yang kami beri
rizki yang baik dari kami, lalu dia
menafkahkan sebagian dari rizki itu
secara sembunyi dan secara terang-
terangan, adakah itu sama? (Q.S An-
Nahl:75)

Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa seorang budak


dimiliki oleh tuannya dan dia tidak dapat melakukan sesuatu
pun termasuk menafkahkan hartanya sesuai keinginannya
kecuali atas perintah tuannya. Akan tetapi orang merdeka
bebas melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya tanpa
menunggu perintah dari siapapun.
Jadi, budak laki-laki tidak sekufu dengan perempuan
merdeka. Budak laki-laki yang sudah merdeka tidak kufu
dengan perempuan yang merdeka sejak asalnya. Laki-laki
yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak. Hal ini
karena perempuan merdeka bila dikawini oleh laki-laki yang
salah seorang neneknya pernah menjadi budak.

d) Harta
Harta adalah kemampuan seseorang (calon suami)
untuk memberikan mahar dan nafkah kepada istrinya.
Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, harta merupakan
hal yang paling penting dalam kehidupan rumah tangga
sehingga harta dianggap penting untuk dimasukkan dalam
kriteria kafa’ah.

30
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa
yang dianggap sekufu adalah apabila seorang laki-laki
sanggup membayar mahar dan nafkah kepada istrinya.
Apabila tidak sanggup membayar mahar dan nafkah atau
salah satu diantara keduanya, maka dianggap tidak sekufu.
Menurut Abu Yusuf yang dianggap sekufu dalam harta adalah
kesanggupan memberi nafkah bukan membayar mahar. Sebab
ukuran yang mudah dilakukan dan kemampuan seseorang
untuk memberi nafkah itu tidak dapat dilihat dari keadaan
bapaknya.36
Adapun ulama Malikiyah dan sebagian ulama
Syafi’iyah menentang penggolongan harta dalam kriteria
kafa’ah menurut mereka harta dianggap sebagai suatu hal
yang tidak penting dalam kehidupan rumah tangga sekalipun
itu merupakan kebutuhan. Memasukkan harta dalam ukuran
kafa’ah sama halnya mengajari atau mendidik umat Islam atau
tidak berakhlak terpuji seperti yang diajarkan Nabi SAW.37

e) Pekerjaan (Profesi)
Pekerjaan atau profesi diartikan sebagai mata
pencarian seorang laki-laki yang dapat menjamin nafkah
keluarganya. Jumhur ulama selain ulama Malikiyah
memasukkan pekerjaan dalam kafa’ah. Untuk kriteria kafa’ah
tentang profesi atau kedudukan usaha sebagai syarat kafa’ah
juga mengalami perbedaan pendapat di kalangan ulama.38

f) Tidak Cacat
Menurut ulama Mazhab Syafi’i juga menganggap
kesempurnaan anggota tubuh sebagai bagian dari kafa’ah.
Seorang laki-laki yang memiliki cacat tubuh yang menikah
dengan perempuan yang sempurna anggota tubuhnya dan
sehat itu membenarkan dibatalkannya suatu perkawinan
karena tidak kufu. Sedangkan menurut ulama Mazhab Hanafi
dan Hambali berpendapat bahwa meskipun cacat tubuh
tersebut tidak menjadikan suatu perkawinan menjadi batal,

36
H.M Rasyidi, Keutamaan Hukum Islam, hal.79
37
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu Juz 9, hal.6753-6754
38
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh
Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 142

31
akan tetapi memberikan kesempatan bagi seorang istri untuk
tetap menerima kekurangan suaminya atau menolaknya. 39
Cacat yang dimaksudkan disini adalah keadaan yang dapat
memungkinkan seseorang untuk dapat menuntut fasakh.
Karena orang cacat dianggap tidak sekufu dengan orang yang
tidak cacat, cacat yang dimaksud meliputi semua bentuk cacat
baik fisik maupun psikis yang meliputi penyakit gila, kusta,
maupun lepra.40 Namun keadaan manusia itu tidak selalu
sempurna tetapi selalu ada kekurangannya, sehingga jarang
sekali didapati seorang calon suami dan istri yang memiliki
kriteria baik secara menyeluruh. Apabila faktor-faktor tersebut
tidak dimiliki dan didapati seluruhnya, maka yang harus
diutamakan adalah faktor agama. Sebab perkawinan yang
dilakukan oleh orang yang berbeda agama mempunyai
kemungkinan kegagalan yang lebih besar daripada yang
seagama.41

5. Tujuan Kafa’ah
Kafa’ah berperan membentuk keluarga yang sakinah sesuai
dengan ajaran Islam. Dengan difahami substansi kafa’ah merupakan
langkah awal untuk menciptakan keluarga yang sakinah.
Kafa’ah bertujuan untuk menyelamatkan pernikahan dari
kegagalan yang disebabkan perbedaan di antara dua pasangan, pada
akhirnya dapat menimbulkan ketidakharmonisan dalam berumah tangga.

6. Penerapan Konsep Kafa’ah Pada Pernikahan


Peranan kafa’ah dalam pernikahan di kalangan masyarakat
muslim memegang peranan yang urgent untuk melanggengkan ikatan
sebuah pernikahan. Penulis akan memberikan contoh beberapa tempat di
Indonesia yang masyarakatnya menerapkan kafa’ah di lingkungannya.
Penerapan kafa’ah di Desa Kemang, Kecamatan Kemang,
Kabupaten Bogor, dalam pemahaman tentang pernikahan sekufu yang
dilakukan di masyarakat desa kemang, bahwa banyak masyarakat desa
kemang yang sudah cukup memahami tentang pernikahan yang sekufu.

39
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah Dan
Pendapat Para Ulama, hal. 51
40
Al-Jaziri, Al-Fiqh ala Madzahibil Arba’ah, hal.58
41
Nasaruddin Latif, Ilmu Perkawinan, Problematika Seputar Keluarga dan Rumah
Tangga, Cet.II, (Bandung: Pustaka Hidayah,2001), hal.101

32
Pernikahan yang sekufu adalah pernikahan yang memiliki kesamaan
latar belakang diantaranya: Pendidikan, agama, madzhab, organisasi
keagamaan, ketaqwaan, suku, status sosial, tingkatan ekonomi, dan
tampilan wajah. Mengenai pengetahuan pernikahan yang sekufu,
mayoritas masyarakat desa Kemang cukup mengerti dan cukup
mengetahui bahwa pernikahan yang memiliki kesamaan latar belakang
dapat membentuk keluarga yang sakinah, masyarakat mendapat
pengetahuan tentang ajaran kafa’ah dari membaca buku hukum islamdan
mendengarkan ceramah ustadz di majlis ta’lim atau mushola. Fenomena
ini menunjukkan bahwa masyarakat desa Kemang pada saat menikah
memiliki latar belakang yang sama dengan pasangannya.42
Penerapan Kafa’ah di Desa Bulus, Kecamatan Bandung,
Kabupaten Tulungagung. Kondisi Desa Bulus, Kecamatan Bandung,
Kabupaten Tulungagung , Jawa Timur dapat dikatakan cukup baik, jika
dilihat dari sisi kehidupan sosial, keagamaan bahkan keadaan sosial
kemasyarakatan. Penduduk desa tersebut merupakan penduduk asli
sedangkan pendatang hanya sedikit, pada kenyataannya dapat dilihat
adanya sikap rasa saling tolong menolong, gotong royong, dan saling
menghormati. Penerapan kafa’ah dalam lingkungan masyarakat
pedesaan tidaklah berbeda jauh dengan yang biasanya di terapkan oleh
masyarakat/komunitas arab pada umumnya yang lebih mementingkan
kafa’ah dalam hal nasab, akan tetapi sama juga dengan masyarakat Desa
Bulus yang lebih mementingkan dan mempertimbangkan pada sisi nasab
dan juga ekonomi dalam melihat kufu antara laki-laki dan perempuan
jika akan melaksanakan pernikahan. Namun yang membedakan nasab
antara masyarakat Arab dan pedesaan yaitu jika masyarakat Arab karena
mempertahankan dan menjaga keterkaitan keturunan dari Rasulullah,
sedangkan masyarakat pedesaan melihat nasab karena dapat menjaga
dari adanya hubungan darah yang haram bagi keduanya menikah, serta
juga yang paling di pertimbangkan adalah sisi ekonomi. Desa Bulus ini
biasanya dalam pertimbangan kafa’ah lebih utama melihat pada nasab
dan ekonomi, karena kalau melihatnya dari sisi orang tua (keturunan) ke
atas baik maka dapat berhati-hati dan dapat dari terhindar dari adanya
hubungan saudara yang diantara keduanya haram menikah. Mengikuti

42
Muhammad Irsyad, “Kafa’ah dalam pernikahan di masyarakat muslim”, Jurnal
Sintesa pada Seminar Nasional Teknologi Edukasi dan Humaniora Tahun 2021

33
nasab lebih penting karena kalau sudah nasabnya bagus ke atas dan ke
bawah insyaallah anak cucunya juga bagus.43
Penerapan kafa’ah di Desa Lebaksiu, kecamatan Lebaksiu,
Kabupaten Tegal. Masyarakat Desa Lebaksiu dengan status
pendidikannya di atas rata-rata dalam hal tentang pemahaman kafa’ah
dalam pernikahan cukup dipahami. Oleh karena itu masyarakat Desa
Lebaksiu dengan pemahamannya selalu menentukan pilihan di dalam
memilih pasangan calon suami maupun calon istri dengan konsep
kafa’ah, sehingga setiap keluarga pada masyarakat Desa Lebaksiu
merasakan kehidupan rumah tangganya menjadi semakin tenang,juga
ketentraman dalam dalam keluarga dan masyarakat. Kafa’ah di dalam
pernikahan ada pengaruh yang kuat yang dapat dirasakan masyarakat
Desa Lebaksiu dengan menjalankan kafa’ah tersebut. Terutama faktor
agama, walaupun masih ada faktor lain yang mungkin dapat dijadikan
persepsi. Keseimbangan antara calon suami dan calon istri dalam
pernikahan sangatlah diutamakan agar kehidupan rumah tangganya
kelak tidak ada persoalan. Masyarakat Desa Lebaksiu pada umumnya
sangat berharap anaknya mendapatkan pasangan yang seimbang atau
pilihan yang sekufu, baik dari segi agamanya, segi hartanya, segi
nasabnya, segi pekerjaannya, maupun dari segi kecantikannya. Dari hal
tersebut walaupun pilihannya tidak mampu terpenuhi, maka setidaknya
ketaatan yang paling diutamakan karena sebagai acuan pada kehidupan
keluarga dan anak cucunya. Dengan faktor yang ada, masyarakat Desa
Lebaksiu dapat menjalankan kafa’ah dalam pernikahan dengan
pemahaman yang telah dimilikinya. Oleh karena itu dalam pernikahan
lebih dilatar belakangi oleh faktor agama, sehingga faktor tersebut
menjadi pedoman sebagian masyarakat Desa Lebaksiu. Sehingga
masyarakat yang menjalankannya merasaakan ketenangan jiwa,
ketentraman batinnya, dan untuk membentuk keluarga yang bahagia.
Jadi, dalam pernikahan yang berdasarkan kafa’ah tersebut oleh sebagian
masyarakat masih tetap dilestarikan.44

43
Muhammad Irsyad, “Kafa’ah dalam pernikahan di masyarakat muslim”, Jurnal
Sintesa pada Seminar Nasional Teknologi Edukasi dan Humaniora Tahun 2021

44
Muhammad Irsyad, “Kafa’ah dalam pernikahan di masyarakat muslim”, Jurnal
Sintesa pada Seminar Nasional Teknologi Edukasi dan Humaniora Tahun 2021

34
BAB III

ANALISIS DAN KAJIAN PEMBAHASAN

A. Konsep Kafa’ah Pada Pernikahan Menurut Imam Syafi’i


1. Biografi Imam Syafi’i
Nama asli dari Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Gelar
beliau adalah Abu Abdillah, orang arab kalau menuliskan nama biasanya
mendahulukan gelar dari pada nama, sehingga berbunyi : Abu Abdillah
Muhammad bin Idris. Beliau lahir di Gaza, bagian selatan dari palestina,
pada tahun 150H pertengahan abad kedua Hijriyah. Ada ahli sejarah
mengatakan bahwa beliau lahir di Asqalan, tetapi kedua perkataan ini
tidak berbeda, karena gaza dahulunya adalah daerah asqalan. Ketika
beliau masih kecil bapaknya meninggal di Gaza dan beliau menjadi
yatim yang hanya diasuh oleh ibunya.45
Nasab Imam Syafi’i adalah Muhammad Idris bin Abbas bin
Utsman bin Syafi’i bin said bin Abu Yazid bin Hasyim bin Abdul
Muthalib bin Abdul Manaf bin Qushai. Abdul Manaf. Abdul Manaf
Qushai yang menjadi kakek ke-9 dari Imam Syafi’i adalah Abdul Manaf
bin Qushai kakek yang ke-9 dari Nabi Muhammad SAW. Teranglah
dalam silsilah ini bahwa Imam Syafi’i masih satu nasab dengan Nabi
Muhammmad SAW. Adapun dari pihak ibu yaitu Fatim ah binti
Abdullah bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. 46 Ibu Imam
Syafi’i adalah cucu dari cucu sahabat Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi
dan Khalifah IV yang terkenal. Jadi baik dipandang dari segi keturunan
darah, maupun dari keturunan ilmu maka Imam Syafi’i yang kita
bicarakan ini adalah karib kerabat Nabi Muhammad SAW. Gelar Syafi’i
dari Imam Syafi’i di ambil dari kakek yang keempat yaitu syafi’i bin
said.
Setelah usia Imam Syafi’i 2 tahun, ia dibawa ibunya kembali ke
Mekkah yaitu kampung halaman beliau dan tinggal sampai usia 20 tahun
(170 H). Selama beliau di Mekkah beliau berkecimpung dalam menuntut
ilmu pengetahuan. Dalam agama islam yang sangat dipatuhi orang
ketika itu, baik dalam hadis-hadis nabi maupun dalam Al-Qur’an banyak
sekali petunjuk-petunjuk yang menganjurkan dan mengerahkan rakyat

45
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta:Pustaka
Tarbiyah 1994), hal.3
46
Huzaemah Tahido Yango, Pengantar perbandingan Mazhab,(Jakarta:Logos
1997), hal. 121

35
supaya belajar segala macam ilmu pengetahuan, khususnya yang
berkaitan dengan agama. Sesuai dengan ini maka Imam Syafi’i pada
masa mudanya menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu
pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan agama Islam sesuai
dengan kebiasaan kebiasaan anak-anak kaum Muslimin ketika itu. Pusat
ilmu pengetahuan ketika itu berada di Mekkah, Madinah, Kuffah (Iraq),
Syam dan Mesir. Oleh karena itu seluruh pemuda ingin dapat tinggal di
salah satu kota itu untuk berstudi, untuk mencari ilmu pengetahuan dari
rendah sampai yang tinggi.47
Pada seperempat terakhir dari Abad II H , kota Madinah sedang
dalam ilmu pengetahuan, karena di sana banyak menetap ulama-ulama
Tabi’in dan ulama-ulama Tabi’ Tabi’in. Ulama yang menonjol di
tengah-tengah ulama banyak pada saat itu adalah seorang ulama yang
terkenal dengan gelar julukan Imam Darul Hijrah, yakni Imam Malik
bin Anas (Pendiri Mazhab Maliki). Imam Syafi’i seorang yang
mengagumi Imam Malik bin Anas, sehingga pada usia 10 tahun beliau
hafal kitab Al-Muwatha di luar kepala dan beliau ingin belajar kepada
Imam Malik secara berhadapan. Oleh karena itu, beliau minta izin
kepada gurunya Muslim bin Khalid Az-Zanji untuk pergi ke Madinah
bertemu Imam Malik dan belajar pada beliau. Imam Syafi’i berangkat ke
Madinah pada tahun 170 H dengan menaiki kendaraan Onta selama
delapan hari delapan malam. Selain itu Imam Syafi’i membawa surat
dari wali Mekkah (Gubernur) kepada wali Madinah agar wali Madinah
memperkenalkan Imam Syafi’i kepada Imam Malik sesampainya di kota
Madinah dan beliaupun belajar kepada Imam Malik.48
Setelah 2 tahun di Madinah yakni dalam usia 22 tahun, Imam
Syafi’i berangkat ke Iraq (Kuffah dan Baghdad), di mana beliau
bermaksud selain menambah ilmu dalam soal-soal kehidupan bangsa-
bangsa juga untuk menemui ulama-ulama hadist atau ahli fiqh yang
bertebaran pada ketika itu di Iraq dan Persia (Iran). Sampai di Kuffah
beliau menemui ulama-ulama sahabat almarhum Imam Abu Hanifah,
yaitu guru besar Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan dimana Imam
Syafi’i seringkali bertukar fikiran dengan beliau-beliau ini dalam soal
ilmu pengetahuan agama.

47
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta:Pustaka
Tarbiyah 1994), hal.14-15
48
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta:Pustaka
Tarbiyah 1994), hal.20-21

36
Dalam kesempatan ini Imam Syafi’i dapat mengetahui aliran-
aliran atau cara-cara fiqh dalam Mazhab Hanafi yang agak jauh berbeda
dari cara-cara dan aliran fiqh Mazhab Maliki. Ketika itu beliau dapat
mendalami dan menganalisa cara-cara yang dipakai oleh kedua Imam
itu. Ketika itu beliau tidak lama di Iraq dan terus mengembara ke Persia,
sampai ke Turki terus ke Palestina dimana beliau dalam perjalanan
mencari dan menjumpai ulama-ulama baik Tabi’in dan Tabi Tabi’in.
pada kesempatan ini mengembara ini beliau mengetahui adat istiadat
bangsa-bangsa selain bangsa Arab. Hal ini nantinya menolong beliau
dalam membangun fatwanya dalam Mazhab Syafi’i. 49 Imam Syafi’i
merupakan ulama sintesis yang beraliran antara Ahl Ra’yu dan Ahl
Hadis (Kuffah dan Madinah), di kuffah Imam Syafi’i menimba ilmu
kepada Imam Malik, beliau juga berguru kepada ulama-ulama di
Yaman, Mekkah dan Madinah.
Adapun ulama Yaman yang menjadi guru Imam Syafi’i yaitu:
a. Mutharaf Ibn Mazi
b. Hisyam Ibn Yusuf
c. Umar Ibn Abi Salamah
d. Yahya Ibn Hasan

Adapun selama tinggal di Mekkah, Imam Syafi’i belajar kepada


beberapa ulama antara lain:50
a. Sufyan Ibn Uyainah
b. Muslim Ibn Khalid Al-Zauji
c. Sa’id Ibn Salim Al-Kaddah
d. Daud Ibn Abdurrahman Al-Athtar
e. Abdul Hamid Abdul Aziz Ibn Muhammad Ad-Dahrawardi
f. Ibrahim Ibn Abi Sa’id Ibn Abi Fudaik
g. Abdullah Ibn Nafi

Selain dua aliran fiqh di atas (aliran ra’yu dan hadis), Imam Syafi’i
juga belajar fiqh aliran Al-Auza’i dari Umar Ibn Abi Salamah dan Fiqh
Al-Laits dari Yahya Ibn Hasan. Imam Syafi’i mempunyai banyak murid
dalam meneruskan kajian fiqh dalam alirannya, yang paling berperan
dalam pengembangan aliran fiqh Imam Syafi’i ini antara lain:

49
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta:Pustaka
Tarbiyah 1994), hal.23-24
50
Saifudin Nur, Ilmu Fiqh Suatu Pengantar Komprehensif dalam Hukum Islam,
(Bandung: Tafakur 2007), Cet I, hal. 99-100

37
a. Al-Muzani
Nama asli beliau Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya Al-Muzani
Al-Misri yang lahir pada tahun 185 H serta menjadi besar dalam
menuntut ilmu dan periwayatan hadist. Saat Imam Syafi’i datang
ke mesir pada tahun 1994, Al-Muzani menemuinya dan belajar
fiqh kepadanya. Al-Muzani dianggap orang yang paling pandai,
cerdas serta yang paling banyak menyusun kitab untuk
Mazhabnya. Beliau meninggal pada tahun 264 H, adapun kitab
karangan beliau antara lain Al-Jami Al-Kabir, Al-Jami Al-Shagir,
serta yang terkenal Al- Mukhtashar As-Shagir.51

b. Al-Buwaiti
Nama beliau adalah Abu Ya’qub Yusuf Ibn Yahya Al-
Buwaiti, yang berasal dari Bani Buwait kampong di tanah tinggi
Mesir. Beliau adalah murid sekaligus sahabat Imam Syafi’i yang
tertua yang berkebangsaan Mesir dan pengganti atau penerus
Imam Syafi’i, sepeninggalnya beliau belajar fiqh dari Imam
Syafi’i dan mengambil hadist dari nya pula serta dari Abdullah bin
Wahab dan dari yang lainnya. Imam Syafi’i merupakan
sandarannya dalam berfatwa serta pengaduannya apabila diberikan
suatu masalah padanya. Beliau selalu menghidupkan malam
dengan membaca Al-Qur’an dan shalat serta selalu menggerakkan
kedua bibirnya dengan berzikir kepada Allah SWT. Beliau wafat
pada tahun 231 H, di dalam penjara Baghdad, karena tidak
menyetujui faham resmi Negara saat itu, tentang kemahlukan Al-
Qur’an. Beliau mengimpun kitab Al-Fiqh, Al-Mukhtashar Al-
Kabir, Al-Mukhtashar As-Shagir dan Al-Fara’id dalam aliran
Imam Syafi’i menjadi satu.52

Selain mereka berdua, murid-murid Imam Syafi’i yang lain,


yaitu Ar-rabi Ibn Sulaiman, Al-Marawi, Abdullah Ibn Zubair Al-
Hamidi, Abu Ibrahim, Yunus Ibn Abdul A’la As-Sadafi, Ahmad Ibn
Sibti, Yahya Ibn Wazir Al-Misri, Harmalah Ibn Yahya Abdullah At-
Tujaidi, Ahmad Ibn Hanbal, Hasan Ibn Ali Al-Karabisi, Abu Saur

51
Muhammad Ali As-Sayis, Tarikh Al-Fiqh Al-Islami, diterjemahkan oleh Nurhadi
Aga dengan judul Sejarah Fiqh Islam, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,2003), hal.156
52
Muhammad Ali As-Sayis, Tarikh Al-Fiqh Al-Islami, diterjemahkan oleh Nurhadi
Aga dengan judul Sejarah Fiqh Islam, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,2003), hal.157

38
Ibrahim Ibn Khalid Yamani Al-kalbi serta Hasan Ibn Ibrahim Ibn
Muhammad As-Sahab Az-Za’farani. Imam Syafi’i wafat di mesir pada
tahun 204 H, setelah menyebarkan ilmu dan bermanfaat kepada banyak
orang. Kitab-kitab beliau hingga kini masih dibaca orang. Dan makam
beliau di mesir hingga kini masih ramai di ziarahi.
Adapun beberapa kitab fiqh karangan Imam Syafi’i, seperti kitab
Al-Umm dan Al-Risalah yang merupakan rujukan utama para ulama
Mazhab Syafi’i dalam fiqh dan ushul fiqh. Selama itu kitab lain
karangan Imam Syafi’i seperti Al-Musnad yang merupakan kitab hadist
Nabi Muhammad SAW yang dihimpun dari Al-Umm, serta Ikhtilaf Al-
Hadist, yaitu kitab yang menguraikan pendapat Imam Syafi’i mengenai
perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam hadist.
Secara sederhana, dalil-dalil hukum yang digunakan Imam
Syafi’i dalam istinbat hukum, antara lain:53
a. Al-Qur’an
b. Sunnah
c. Ijma
d. Qiyas

Menurut Rasyad Hasan Khalil, dalam istinbat hukum Imam


Syafi’i menggunakan lima sumber, yaitu:
a. Nash, adalah dalil-dalil baik Al-qur’an dan Sunnah yang
merupakan sumber utama bagi fiqh Islam, dan selain keduanya
adalah pengikut saja. Para sahabat terkadang sepakat atau
berbeda pendapat, tetapi tidak pernah bertentangan dalam Al-
Qur’an dan Sunnah.
b. Ijma, merupakan salah satu dasar yang dijadikan Hujjah oleh
Imam Syafi’i yang menempati urutan setelah Al-Qur’an dan
Sunnah. Beliau mendefinisikannya sebagai kesepakatan ulama
suatu zaman tertentu terhadap satu masalah hukum Syar’i dengan
bersandar kepada dalil. Adapun ijma pertama yang digunakan
oleh Imam Syafi’i adalah ijma nya para sahabat, beliau
menetapkan bahwa ijma diakhirkan dalam berdalil setelah Al-
Qur’an dan Sunnah. Apabila masalah yang sudah disepakati
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah maka tidak ada
Hujjah padanya.
53
Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada,1996), Cet I, hal.113

39
c. Pendapat para sahabat, Imam Syafi’i membagi pendapat sahabat
kepada tiga bagian. Pertama, sesuatu yang sudah disepakati,
seperti ijma mereka untuk membiarkan lahan pertanian hasil
rampasan perang tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijma seperti ini
adalah Hujjah dan termasuk dalam keumumannya serta tidak
dapat di kritik. Kedua, pendapat seorang saja dan tidak ada yang
lain dalam suatu masalah baik setuju atau menolak, maka Imam
Syafi’i tetap mengambilnya. Ketiga, masalah yang mereka
berselisih pendapat, maka dalam hal ini Imam Syafi’i akan
memilih salah satunya yang paling dekat dengan Al-Qur’an,
Sunnah, atau ijma, atau menguatkannya dengan Qiyas yang lebih
kuat dan beliau tidak akan membuat pendapat baru yang
bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.
d. Qiyas, Imam Syafi’i menetapkan Qiyas sebagai salah satu
sumber hukum bagi syari’at Islam untuk mengetahui tafsiran
hukum Al-Qur’an dan Sunnah yang tidak ada nash pasti. Beliau
tidak menilai Qiyas yang dilakukan untuk menetapkan sebuah
hukum dari seorang mujtahid lebih dari sekedar menjelaskan
hukum syari’at dalam masalah yang sedang digali oleh seorang
mujtahid.
e. Istidlal, Imam Syafi’i memakai jalan Istidlal dalam menetapkan
hukum , apabila tidak menemukan dari kaidah-kaidah hukum
sebelumnya yang di atas. Dua sumber Istidlal yang diakui oleh
Imam Syafi’i adalah adat istidlal (Urf) dan undang-undang
agama yang dahulu sebelum islam (Istishab). Namun begitu,
kedua sumber ini tidak termasuk metode dasar yang digunakan
Imam Syafi’i dalam mengambil istinbat hukum yang dipakai
Imam syafi’i.

2. Kafa’ah Menurut Imam Syafi’i


a. Pengertian Kafa’ah
Kafa’ah menurut Imam Syafi’i ialah sepadan atau sebanding.
Sepadan atau sebanding ini ditujukan untuk menjaga keselamatan dan
kerukunan dalam pernikahan, bukan untuk kesahannya. Mengenai sah
atau tidaknya pernikahan tidak tergantung dengan adanya kafa’ah dalam
pernikahan. Walaupun di antara calon mempelai laki-laki dan calon
mempelai perempuan tidak sekufu, pernikahan akan tetap sah dalam
hukum. Hanya saja, masalah sekufu atau tidaknya merupakan hak dari

40
pihak perempuan dan walinya. Dengan artian, pihak perempuan boleh
membatalkan akad pernikahan tersebut karena tidak adanya
kesepadanan atau tidak sebandingnya antara calon suami dan istri.54
Dalam kitab Al-Umm kitab yang dikarang oleh Imam Syafi’i :

‫ آل اَ ْعلَ ٌم ىف أن للوالة امرا مع‬: ‫قاَ َل الشافعي رمحه اهلل ثعاىل‬


‫املرأة ىف نفسها‬

Artinya:“Saya tidak mengetahui bagi para penguasa suatu


perkara yang mempunyai hubungan dengan wanita,
kecuali hendaknya menikahkan wanita itu dengan laki-
laki sekufu (sepadan)”.

Apa yang ada di kitab Al-Umm hanya berupa riwayat-riwayat


Imam syafi dalam masalah fiqih dan tentu fatwa-fatwa beliau tidak
tersusun secara sistematis dan juga urutan babnya masih tidak teratur.
Kemudian datanglah Imam Al-Muzani yang kemudian merangkum itu
semua. Imam Al-Muzani orang pertama yang menyusun kitab Mazhab
Syafi’i dalam bentuk yang sistematis, dengan susunan yang mudah dan
babnya berurutan. Beliau mulai kitabnya dengan bab Thoharoh dan
diakhiri dengan bab Itq Ummahat Al-Aulad dalam kitab Mukhtasornya
ini, beliau bukan hanya merangkum apa yang ada dalam kitab Al-Umm
Imam Syafi’i, tapi juga segala korespodensi beliau dengan Imam
Syafi’i dalam masalah fiqih yang tidak tertulis dalam Al-Umm.
‫و ليس نكاح غري الكفؤ مبحرم فأرده بكل حال إمن هو تقصر عن املزوجة والوالة‬

Hal ini apabila dari penguasa (hakim) yang memiliki urusan


dengan calon mempelai perempuan tentang segala permasalahan yang
ada salah satunya jalan hanyalah menikahkan perempuan tersebut
dengan laki-laki yang sekufu atau sepadan. Namun jika para penguasa
semuanya sepakat menikahkan perempuan tersebut dengan laki-laki
yang tidak sekufu maka pernikahan akan tetap sah. Sebaliknya, jika ada
salah satu penguasa yang tidak setuju, maka pernikahannya batal atau
tidak bisa dilaksanakan hingga semua penguasa menyatakan sepakat.
54
H. Ibnu Mas’ud dan H. Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2:
Muamalat,Munakahat, (Bandung:CV Pustaka Setia, 2007), hal.262

41
Dengan catatan, apabila ada wali yang sangat dekat dengan perempuan
tersebut menyetujui pernikahannya dengan laki-laki yang tidak sekufu
atas kemauan izin restu kehendak sang perempuan itu sendiri, maka wali
perempuan tidak bisa menolak pernikahan tersebut. Karena hak
kewalian yang lebih utama adalah yang paling dekat dengan si
perempuan, misalnya bapaknya atau kakeknya. Perkara sekufu tidaknya
dalam pernikahan bukan suatu keharaman, melainkan cenderung rugi
atau tidaknya bagi si perempuan yang akan dinikahkan itu karena
pernikahannya dengan laki-laki yang tidak sepadan. Dalam hal ini,
apabila si perempuan sudah ridho dengan segala kondisi dan segala
kekurangan yang ada pada si laki-laki, maka pernikahan antara
keduanya tetep sah.55
b. Kriteria Kafa’ah Menurut Imam Syafi’i
Mayoritas ulama fiqih sepakat tentang pentingnya kafa’ah, mereka
berbeda pendapat mengenai kriteria-kriterianya. Imam syafi’i
berpendapat bahwa kriteria kafa’ah dilihat dari segi agama, keturunan,
status kemerdekaan, kehormatan, dan bebas dari aib.56 Beberapa kriteria
kafa’ah menurut Imam Syafi’i di antaranya adalah sebagai berikut:
1) Agama
Menurut beliau tidaklah sekufu bagi orang Islam yang
menikah dengan orang yang bukan Islam. Di dalam Tafsir Al-
Khazin, Ibnu Abbas menafsirkan ayat yang berarti “Dan janganlah
kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik hingga mereka
beriman terlebih dahulu”, berkata kemudian Allah mengecualikan
wanita-wanita ahli kitab (keturunan kitab) dalam firmannya yang
berarti, “ Dan boleh kamu menikahi wanita-wanita merdeka dari
orang-orang yang diturunkan kitab kepada mereka (Yahudi dan
Nasrani) dari sebelah kamu”. Akan tetapi ada yang berpendapat
bahwa ayat tersebut ditujukan kepada wanita-wanita musyrik arab
yang mereka menyembah matahari dan lain-lain. Jadi, orang-orang
Yahudi dan Nasrani termasuk dalam orang-orang yang musyrik,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya surat
at-Taubah ayat 13: 57

55
Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, (Jakarta: Pustaka Azam,t.t), hal.359
56
Otong Husni taufik, Kafa’ah pernikahan menurut hukum islam, hal.179
57
H.Ibnu Mas’ud dan H. Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2:
Muamalat,Munakahat,Jinayat, Hal.262

42
‫ول َو ُه ْم‬ِ ‫الرس‬
ُ َّ ‫اج‬ ِ ‫َأاَل ُت َق اتِلُو َن َق ْو ًم ا نَ َكثُ وا َأمْيَ ا َن ُه ْم َومَهُّوا بِِإ ْخَر‬
‫َأح ُّق َأ ْن خَت ْ َش ْوهُ ِإ ْن ُكْنتُ ْم‬
َ ُ‫بَ َدءُو ُك ْم ََّأو َل َم َّر ٍة َأخَت ْ َش ْو َن ُه ْم فَاللَّه‬
‫ني‬ ِِ
َ ‫ُمْؤ من‬

Artinya: “Mengapakah kamu tidak memerangi


orang-orang yang merusak sumpah
(janjinya), padahal mereka telah keras
kemauannya untuk mengusir Rasul dan
merekalah yang pertama mulai memerangi
kamu? Mengapakah kamu takut kepada
mereka padahal Allah-lah yang berhak
untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar
orang yang beriman. (Q.S At-Taubah:13)

Kemudian, mengenai sekufu dalam hal agama adalah jika


pasangan calon suami istri yang akan menikah mereka sama-sama
saleh. Apabila ada laki-laki fasik karena perbuatan zina, maka
laki-laki tersebut tidak sekufu dengan perempuan sholeha,
meskipun laki-laki itu sudah bertaubat, karena aibnya tidak dapat
hilang dari pandangan orang dan pendengaran orang. Seorang
perempuan fasik dengan seorang laki-laki fasik ialah sekufu,
meskipun perbuatan fasiknya berbeda.58

2) Keturunan
Mengenai sekufu dalam hal keturunan Imam Syafi’i
berpendapat bahwa manusia terbagi dalam dua golongan, yaitu:
orang Arab dan orang Ajam. Adapun orang arab dibagi dua yaitu,
suku Quraisy dan suku bukan Quraisy. Seorang laki-laki Arab
yang bukan berasal dari suku Quraisy tidak sekufu dengan seorang
perempuan yang berasal dari suku Quraisy.
Begitu juga tidaklah sekufu bagi bangsawan Arab dan rakyat
jelata atau sebaliknya. Kemudian, seseorang yang berasal dari
keturunan zina tidak sekufu dengan seseorang yang berasal dari
keturunan dengan pernikahan yang sah.59

58
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,1988),hal.174

43
Imam Syafi’i menyatakan bahwa Kafa’ah dalam hal
keturunan ini dikiaskan pada ketentuan pada orang-orang arab,
sebab mereka akan merasa minder jika menikah dengan orang
yang bukan dari golongannya dilihat dari sisi keturunannya.60

3) Kemerdekaaan
Sekufu dalam hal kemerdekaan Imam Syafi’i menyatakan,
bahwa orang yang merdeka tidak sekufu dengan orang yang tidak
mereka (budak). Rasulullah SAW bersabda: “Dari Aisyah r.a,
dalam perkara kisah Barirah yang telah dimerdekakan, ia berkata,
“Suami Barirah adalah seorang budak, lalu Rasulullah SAW
memberi keesempatan baginya untuk memilih maka dipilihnyalah
pernikahan itu. Andaikan suaminya adalah seorang merdeka, tentu
ia tidak diperintahkan untuk memilih”. (H.R. Bukhari dan
Muslim.61
Dapat dijelaskan bahwa seorang laki-laki atau perempuan
yang dimerdekakan maka tidak sekufu dengan orang yang
merdeka, begitupun sebaliknya. Kemudian seorang laki-laki atau
perempuan yang dimerdekakan maka tidak sekufu dengan seorang
laki-laki atau perempuan yang merdeka dari asalnya. Dan seorang
laki-laki atau perempuan yang merdeka keturunan budak, maka
tidak sekufu dengan seorang laki-laki atau perempuan yang
berasal dari keturunan orang yang merdeka.62

4) Pekerjaan
Kafa’ah menurut pekerjaan tergantung pada kebiasaan dan
pandangan di suatu daerah tertentu dan pada suatu zaman yang
berlaku. Pemikiran ini berdasarkan pada firman Allah Q.S An-
Nahl:71

59
H.Ibnu Mas’ud dan H. Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2:
Muamalat,Munakahat,Jinayat, Hal.264
60
Muhammad Nasiruddin Al-Albani, Fiqih Sunnah terjemahan Sayyid Sabiq,
hal.400
61
H.Ibnu Mas’ud dan H. Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2:
Muamalat,Munakahat,Jinayat, Hal.263
62
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,1988),hal.175

44
‫ض لُوا‬ ِّ ُ‫ين ف‬ ِ َّ ِ ‫ض ُك ْم َعلَ ٰى َب ْع ٍ يِف‬ َّ َ‫َواللَّهُ ف‬
َ ‫ض ال ِّر ْزق فَ َم ا الذ‬ َ ‫ض َل َب ْع‬
ِ ِ‫بِر ِّادي ِر ْزقِ ِهم علَى م ا ملَ َكت َأمْيَانُهم َفهم ف‬
‫يه َس َواءٌ َأفَبِنِ ْع َم ِة‬ ُْ ُْ ْ َ َ ٰ َ ْ َ
ِ
‫اللَّه جَيْ َح ُدو َن‬

Artinya : “Dan Allah melebihkan sebagian kamu


dari sebagian yang lain dalam hal rezeki,
tetapi orang-orang yang dilebihkan
(rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki
mereka kepada budak-budak yang mereka
miliki, agar mereka sama (merasakan)
rezeki itu. Maka mengapa mereka
mengingkari nikmat Allah?. (Q.S An-
Nahl:71)

Bahwa kafa’ah juga diukur dari pekerjaan berdalil dalam


hadist : “Orang-orang Arab yang sekufu antara sebagian dari
dengan sebagian yang lain, yang satu kabilah dengan kabilah lain,
satu perkampungan dengan perkampungan yang lain, dan seorang
laki-laki dengan laki-laki yang lain, kecuali tukang tenun dan
tukang bekam”. Ibnu Qudamah dalam al-Mughni berkata,
maksudnya hadist tersebut sesuai dengan tradisi yang berlaku.
Orang-orang yang memiliki pekerjaan yang mulia menganggap
bahwa pernikahan anak-anak perempuan mereka dengan para laki-
laki yang memiliki pekerjaan yang mulia menganggap bahwa
pernikahan anak-anak perempuan mereka dengan para laki-laki
yang memiliki pekerjaan yang hina seperti tukang tenun, tukang
celup, tukang sapu, dan tukang sampah merupakan aib yang
menimpa mereka. Hal ini merupakan tradisi yang berlaku di
masyarakat pada umumnya. Dan pendapat ini merupakan pendapat
dari Imam Syafi’i.

5) Aib
Yang dimaksud aib disini adalah diperbolehkannya hak
khiyar dalam pernikahan, maka tidaklah sekufu bagi orang yang
berpenyakit kusta atau balak dengan orang yang sehat atau tidak
yang mempunyai penyakit. Orang yang memiliki riwayat penyakit

45
TBC, sifilis, dan lain-lain tidaklah sekufu dengan orang yang
berbadan sehat.
Orang yang cacat tidak sekufu dengan orang yang sehat
yang tidak memiliki cacat karena cacat atau aib karena dalam hal
ini dapat mengurangi tujuan dari pernikahan.

B. Konsep Kafa’ah menurut Ibnu Hazm


1. Biografi Ibnu Hazm
Nama asli dari Ibnu Hazm ialah Abu Muhammad Ali bin Ahmad
Sa’id bin Hazm bin Ghalib bin Saleh bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan
bin Yazid. Ia dilahirkan pada hari Rabu tanggal 7 November 994 M
bertepatan dengan hari akhir Ramadhan 348 H, yaitu pada waktu
sesudah terbit fajar sebelum munculnya matahari pagi idul fitri di
Cordova, Spanyol.63
Kalangan penulis klasik maupun kontemporer memakai nama
singkatnya yang popular, Ibnu Hazm dan terkadang dihubungkan
dengan panggilan al-Qurthubi atau al-Andalusi sebagai menisbatkannya
kepada tempat kelahirannya Cordova dan Andalus. Sebagaimana sering
pula dikaitkan dengan sebutan al-Dzahiri sehubungan dengan aliran
fiqih dan pola pikir al-Dzahiri yang dianutnya. Sedangkan Ibnu Hazm
sendiri memanggil dirinya dengan Ali atau Muhammad sebagaimana
ditemukan dalam karya-karya tulisnya.64
Ibnu Hazm berketurunan Persia, kakeknya Yazid adalah orang
Persia yang kemudian memeluk agama islam setelah ia menjalin
hubungan dengan melakukan sumpah setia kepada Yazid ibnu Abu
Sufyan saudara kandung Mua’wiyah khalifah pertama Bani Umayah.
Dengan sumpah setia ini ia dan keluarganya (Bani Hazm) dimasukkan
kedalam suku Quraisy sekalipun nenek moyangnya berbangsa Persia.
Ayahnya adalah Ahmad bin Sa’id seorang keturunan Persia
berpendidikan cukup tinggi sehingga ia dapat diangkat menjadi wazir
administrasi pada masa pemerintahan Hajib al-Mansur Abu Amir
Muhammad bin Abu Amir Al-Qanthani pada tahun 381 H/991 M dan
sempat pula menjadi wazir dimasa pemerintahan Najib Abd al-Malik al-
Mudzaffar (339 H/1009 M).65 Ibnu Hazm melukiskan kehidupannya
63
Rahman Alwi, Fiqih Mazhab al-Dzahiri,(Jakarta:Referensi,2012),Cet. Ke I,
hal.29
64
Rahman Alwi, Fiqih Mazhab al-Dzahiri,(Jakarta:Referensi,2012),Cet. Ke I,
hal.29
65
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
(Jogjakarta:Pustaka Pelajar,2010), Cet.I, hal.257-258

46
yang penuh dengan kemewahan itu dalam karya Thauq al-Hamamah
yang menggambarkan tentang keluasan rumah yang dipenuhi para
pelayan dan wanita-wanita yang mempelajari dan menghafal Al-Qur’an
di dalamnya. 66
Namun, kenikmatan dan kemewahan yang dirasakan oleh Ibnu
Hazm Bersama keluarganya tidaklah berlangsung lama. Segala cobaan
fitnah dan kekerasan hidup telah menimpanya terutama ketika terjadi
pergantian pemerintahan dari suatu penguasa ke penguasa lainnya. Ibnu
Hazm Bersama keluarga merasakan pahit getir kehidupan terutama pada
masa awal mudanya.
Selain itu beragam cobaan dan fitnah terus menimpanya, seperti
yang terjadi pada bulan Dzulqo’dah 401 H yaitu saudara satu-satunya
yang bernama Abu Bakar meninggal dunia karena sakit, kemudian
disusul oleh ayahnya yang meninggal pada tahun 402 H, lalu disusul lagi
oleh pelayan perempuannya yang bernama Na’ma yang meninggal pada
tahun 403 H. Pada awal bulan Muharram tahun 404 H setelah ditinggal
ayahnya, Ibnu Hazm tinggal sendiri ia keluar meninggalkan Cordova
disertai cucuran air mata ketika itu Ibnu Hazm berusia 20 tahun.
Pada masa pemerintahan Murtada ia ditunjuk sebagai seorang
menteri, akan tetapi jabatan ini tidak lama dipegangnya bahkan ia harus
menanghadapi situasi yang sulit pula yaitu ditangkap pasukan
pemberontak dan dijadikan tawanan. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun
1016 M pada bulan Syawal.
Pada akhir hayatnya Ibnu Hazm menghabiskan waktunya di
desanya yaitu Monlisam (kini disebut Montijar, dikawasan Huelva,
Andalusia bagian barat daya) yang terletak dalam wilayah Nielbia
disana ia menyebarkan ilmunya kepada murid-murid awam yang tidak
terkenal dan tidak takut dicela. Ia mengajarkan ilmu hadist dan fiqih
serta berdiskusi dengan mereka ia sabar melayani ilmu dan terus
mengarang sehingga sempurnalah karya-karyanya dalam berbagai
cabang ilmu.67Ibnu Hazm Wafat pada hari Ahad, dua hari terakhir pada
bulan Sya’ban 456 H 1064 M di monlisam.
Riwayat Pendidikan Ibnu Hazm beliau mendapatkan berbagai
fasilitas Pendidikan sejak kecil, ia memperoleh Pendidikan dasar seperti
pelajaran Al-Qur’an mengahafal Sya’ir menulis dan belajar
keterampilan lainnya. Dan setelah ia beranjak remaja Ibnu Hazm dapat
66
Ibnu Hazm, Al-Akhlaq wa as-Siyar, hal.45
67
Syeikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Kautsar , 2006),
Cet.I, hal.677

47
mengahafal Al-Qur’an dan menguasai maknanya serta menghafal
dengan baik. Ayahnya menyerahkan Ibnu Hazm kepada seorang guru
yaitu, Abu al-Husain Ibn Ali al-Farisi, seorang ulama yang
mengesankan hatinya, baik dari segi ilmu , amal, ibadah, maupun
kewaraannya. Dibawah bimbingan gurunya ini, ia mulai menuntut ilmu
secara intensif dengan menghadiri berbagai majelis ilmiah, baik di
bidang agama maupun umum.
Ibnu Hazm mulai belajar kepada gurunya pada usia 16 tahun dan
selalu menyertainya dalam rangka mengahadiri halaqah-halaqah yang
diselenggarakan oleh para ulama ahli tafsir, ahli hadist dan ahli bahasa
(arab). Selain dibimbing oleh Abu al-Hasan ibn Ali al-Fasi, Ibnu Hazm
secara bersamaan juga berguru kepada Ahmad ibnu al-Jasur seorang ahli
hadist, ia banyak meriwayatkan hadist darinya. Dengan kecepatan daya
tangkapnya dan kekuatan daya ingatnya.
Mula-mula Ibnu Hazm mempelajari fiqh Imam Malik seperti Al-
Muwattha, kekagumannya akan Imam Malik tidak akan merubah
pendiriannya akan mencari kebenaran dalam beragama, sehingga
menuntunnya untuk berpindah ke Mazhab Syafi’i. Pandangan Imam
Syafi’i memiliki kekhasan dan ketegasan dalam berpegang teguh pada
an-nushush as-syari’iyyah. Namun belakangan, Ibnu Hazm kembali
berpindah Mazhab dari Mazhab Syafi’i ke Mazhab Dawud al-Ashibany
pencetus Mazhab Zahiri dan murid dari Imam Syafi’i yang mengajak
pada ketegasan dalam berpegang teguh pada an-nushush semata serta
menolak qiyas, Istishan, Maslahah Mursalah
Adapun murid-murid Ibnu Hazm yang terkenal diantaranya
adalah: Abu Rafi (Putranya sendiri), Muhammad bin Abu Nashr al-
Humaidi yang menyebarkan Mazhab Zahiri ke masyriq setelah Ibnu
Hazm wafat serta al-Qadhi Abu al-Qasim sa’id bin Ahmad al-Andalusi
dan masih banyak yang lainnya. Ibnu Arabi sang sufi juga termasuk dari
penerus generasi Zahiri setelah wafatnya Ibnu Hazm.68
Abu Rafi mengatakan bahwa karya ayahnya di bidang Fiqh,
hadist, Ushul dan lainnya sebanyak 400 jilid atau secara keseluruhan
berjumlah 80.000 lembar. Namun hanya sebagaian yang dapat terlacak
karena kitab-kitabnya pernah dibakar oleh penguasa yang zalim
kepadanya. Diantara kitab-kitab yang terlacak dan terkenal ialah:
a. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, kitab ini berbicara tentang ushul
fiqh Zahiri terdiri dari 2 jilid yang di dalamnya ada 8 juz.

68
Ibnu Hazm, Al-Akhlaq wa as-Siyar, hal. 56

48
b. Al-Muhalla bi al-Atsar, terdiri atas 11 jilid tebal, tentang fiqh
beserta argumentasinya kitab ini merupakan karya terakhir Ibnu
Hazm.
c. Al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa’wa al-Nihal, kitab ini berbicara
mengenai sekte-sekte mazhab dan agama.
d. Thauq al-Hamamah fi Ulyah wa al-Ullaf, kitab ini berbicara
tentang cinta dan para pecinta, ditulis di kota Syathibi sekitar
tahun 418 H. menjadi karya Ibnu Hazm yang banyak dikaji di
Eropa dan masih banyak karya lainnya.
e. Al-Akhlaq wa as-Siyar fi mudawati nufus, kitab ini berbicara
tentang prinsip-prinsip Akhlak utama dan solusi bagi pengobatan
jiwa menuju kebahagiaan dan kesempurnaan.

Keteguhan sikap Ibnu Hazm dalam berpegang kepada nash, maka


dalam membangun teori hukumnya ia berangkat dari paradigma bahwa
masalah telah terdapat aturannya dalam teks-teks al-Qur’an dan sunnah.
Ia mengatakan “inn al-din kullahu mansus”. Ibnu Hazm memilih jalur
untuk mengkaji hukum Islam mulai dari awal, dengan kebebasan
berijtihad dan menolak taklid. Menurutnya, ijtihad adalah kembali
kepada al-Qur’an dan hadist. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa kehadiran Ibnu Hazm merupakan reaksinya terhdap fenomena
sosial politik yang secara mendasar membutuhkan perbaikan dari sisi
landasannya, yaitu pengetatan pemahaman dan penerapan nash syariat.
Sejalan dengan itu ia merumuskan bahwa dasar-dasar hukum syara
hanyalah empat, yaitu: al-Qur’an, hadist, ijma, dan al-dalil. Dengan
keempat dasar inilah hukum-hukum agama dapat diketahui dan keempat
dasar atau ini sumber semuanya kembali kepada nash.69
a. al-Qur’an
al-Qur’an menurut ahli ushul fiqh adalah kalam Allah
yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW setiap suratnya
berdaya mu’jizat mendapat nilai ibadah waktu membacanya dan
dinukilkan kepada kita secara mutawatir. al-Qur’an merupakan
kitab yang tertulis dalam mushaf dan telah tersohor di seluruh
penjuru alam itu adalah amanah allah kepada manusia yang harus

69
Amri Siregar, Ibnu Hazm Metode Zahiri Dalam Pembentukan Sumber Hukum
Islam, (Jogjakarta:Belukar,2009),hal.99

49
diakui. Ibnu Hazm menyatakan bahwa al-Qur’an dari segi
bayannya terbagi tiga bagian :
1) Jelas dengan sendirinya, tidak memerlukan bayan lagi
baik dari al-Qur’an maupun hadist
2) Mujmal, yang penjelasannya diterangkan oleh al-Qur’an
sendiri.
3) Mujmal, yang penjelasannya diterangkan oleh al-
Sunnah(Hadist)

b. Sunnah
al-Sunnah adalah sesuatu yang datang dari Rasulullah
SAW berupa perbuatan, ataupun pengakuan (taqrir). Sunnah
mempunyai peranan dan posisi yang penting sebagai sumber
syari’ah posisi tersebut sejalan dengan fungsi Nabi SAW,
sebagai penjelas bagi al-Qur’an Q.s An-Nahl: 44

‫َّاس َما نُ ِّز َل اِلَْي ِه ْم‬


ِ ‫الذ ْكَر لِتَُبنِّي َ لِلن‬
ِّ ‫ك‬ ِ
َ ‫الزبُ ۗ ِر َواَْنَزلْنَٓا الَْي‬
ُّ ‫ٰت َو‬ ِ ‫بِالْبِّين‬
َ
‫َولَ َعلَّ ُه ْم َيَت َف َّكُر ْو َن‬

Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat)


dan kitab-kitab. Dan kami turunkan Ad-Dzikr (Al-
Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan
kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Ibnu Hazm juga berpendapat bahwa sunnah itu mencakup segala
perkataan, perbuatan dan persetujuan (taqrir) Nabi SAW.
Menurut Ibnu Hazm, yang diucapkan Nabi SAW yang dapat
mengakibatkan tuntutan baik untuk menyuruh (amr) maupun
untuk melarang (nahi). Pandangan Ibnu Hazm mengenai hadist
mutawatir baginya banyaknya jumlah perawi tidaklah otomatis
menyebabkan suatu hadist dapat menjadi mutawatir. yang
terpenting dan terutama adalah terpelihara dari dusta.
c. Ijma
Ibnu Hazm menempatkan ijma sahabat sebagai sumber
hukum setelah al-Qur’an dan Hadist. Menurut beliau ijma
sesuatu yang diyakini bahwa seluruh sahabat Rasulullah SAW

50
mengetahui masalah itu dan mengatakannya, serta tidak ada
seorangpun diantara mereka yang mengingkarinya. Secara logika
Ibnu Hazm mengatakan bahwa para sahabat Rasul merupakan
saksi mata yang sangat kuat berkaitan dengan pengalaman nash
baik dari al-Qur’an maupun hadist.

d. Sumber-sumber pembantu
1) Dalil Dalam Mazhab Zahiri versi Ibnu Hazm adalah al-
Dalil, menurutnya teori al-Dalil sama seperti Ijma sahabat
tidak keluar dari nash. Al-Dalil menurut Ibnu Hazm tidaklah
keluar dari nash maupun Ijma, ia berbeda dengan qiyas
karena qiyas dasarnya mengeluarkan illat dari nash dan
memberikan hukum kepada segala yang terdapat illat itu,
sedangkan al-Dalil merupakan bagian dari nash itu sendiri.
2) al-Istishab Menurut Ibnu Hazm Istishab apabila telah ada
nash al-Qur’an atau sunnah tetang masalah hukum,
kemudian ada orang yang mengatakan bahwa hukum itu
telah berubah atau telah dibatalkan karena perubahan zaman
atau situasi, maka orang tersebut harus dapat mengajukan
bukti atau dalil nashnya. Jadi Istishab menurutnya,
memberlakukan ketentuan hukum yang lama terhadap
masalah (situasi) yang sama dengan ketentuan hukum yang
pernah ada.

2. Kafa’ah menurut Ibnu Hazm


a. Pengertian Kafa’ah menurut Ibnu Hazm
Kafa’ah menurut Ibnu Hazm dalam pernikahan ialah hanya
berkisar pada keimanan seseorang. Ibnu Hazm berpendapat, persamaan
derajat status sosial sebenarnya tidak ada dalam Islam. Seseorang sekufu
dengan yang lainnya, beliau mengatakan seluruh orang Islam bersaudara
sehingga tidak dilarang orang-orang yang berkulit hitam walaupun tidak
diketahui asal usul nasabnya menikah dengan putri al-hasyimi. Ibnu
Hazm memandang kafa’ah pada masalah keagamaan semata begitu juga
dalam masalah akhlaknya, Ibnu Hazm tidak menjadikan derajat status
sosial sebagai unsur kafa’ah , maka menurutnya orang perempuan yang
paling mulia tetap kufu dengan orang laki-laki paling fasiq asalkan ia
tidak berzina.70
70
Abi Muhammad Ali bin Ahmad Sa’id bin Hazm, al-Muhalla, Vol.10 (Beirut:Dar
al-Fikr,t.t),hal.24

51
Ibnu Hazm membahas masalah kafa’ah ini dengan membagi
dua hal:
1) Keturunan
Keturunan yang dimaksud adalah hubungan seseorang
dengan asal usulnya seperti bapak, kakek dan seterusnya. Ibnu
Hazm tidak menjadikan masalah keturunan sebagai dasar
penentuan kriteria kafa’ah. Menurutnya tidak diharamkan bagi
orang kulit hitam menikah dengan putri bangasawan. Dengan
demikian orang Arab yang bersuku Quraisy begitu juga dengan
orang Arab selain keturunan Bani Hasyim.71 Dalam masalah
ini, para ulama berselisih pendapat dengan Ibnu Hazm
diantaranya para ulama yang berselisih pendapat dengan Ibnu
Hazm ialah : Sufyan at-Tsauri, Hasan bin Aly, Mughiroh bin
Abdurrahman. Mereka berpendapat bahwa pernikahan antara
maula (bekas budak) dengan perempuan Arab harus
dibatalkan.72 Menurut Ibnu Hazm orang yang berselisish
dengannya menggunakan asar-asar yang menerangkan tentang
tindakan Nabi yang tidak menikahkan putrinya kecuali dengan
Bani Hasyim dan Bani Abdu Syam. Asar ini oleh Ibnu Hazm
dipandang gugur karena ada hujjah dari firman Allah yang
lebih kuat untuk dijadikan dasar dalam masalah ini yaitu :

‫َأخ َويْ ُك ْم َو َّات ُقوا اللَّهَ لَ َعلَّ ُك ْم‬ ِ َ‫ِإمَّنَا الْم ِمنو َن ِإخوةٌ ف‬
َ َ ‫َأصل ُحوا َبنْي‬
ْ َ ْ ُ ‫ُ ْؤ‬
‫ُتْرمَحُو َن‬

Artinya:“Sesungguhnya orang mu’min adalah bersaudara


karena damaikanlah kedua saudaramu dan
bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat
rahmat”.

Ayat ini menjelaskan bahwa hubungan sesama orang


muslim adalah bersaudara. Oleh karena itu ayat ini
mengindikasikan kebolehan menikahi perempuan yang kita
senangi, artinya tidak memandang status sosial atau keturunan.
Masih berkaitan dengan ini Allah menjelaskan wanita-wanita
71
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Vol.7, hal.243
72
Abi Muhammad Ali bin Ahmad Sa’id bin Hazm, al-Muhalla, Vol.10 (Beirut:Dar
al-Fikr,t.t),hal.24

52
yang harus dinikahi dan menjelaskan pula wanita-wanita yang
dihalalkan (selain mereka) untuk dinikahi dengan tanpa
mempermasalahkan kekayaan, kecantikan, keturunan, maupun
status sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain sepanjang
beriman maka orang itu boleh untuk dinikahi, maka bagi Ibnu
Hazm tetap dipandang Kufu.

2) Agama
Para ulama sepakat bahwa agama merupakan unsur dari
kafa’ah. Begitu juga Ibnu Hazm yang mengatakan kafa’ah
dalam pernikahan hanya berkisar pada keimanan seseorang.
Ibnu Hazm berpendapat demikian, walaupun tidak secara
eksplisit kriteria agama ini diungkapkan oleh pengembang
mazhab Zahiri. Para ulama mengakui kriteria ini namun dalam
melihat agama sebagai kriteria kafa’ah terjadi perbedaan.
Ulama yang berseberangan dengan Ibnu Hazm mengatakan
maksud dari agama adalah sifat bagus dan istiqomah terhadap
agama, maka orang yang berakhlak jelek dan fasiq tidak kufu
dengan orang yang terjaga dari perbuatan buruk atau wanita
shalihah dan bapaknya juga shalih. 73 Sedangkan Ibnu Hazm
tidak memandang kualitas keagamaan seseorang, maka
menurut Ibnu Hazm orang yang sangat fasiq sekalipun asal ia
muslim dan tidak berzina, maka ia tetap kufu dengan Muslimah
yang bagaimanapun.
Pendapat Ibnu Hazm ini bagi golongan yang
bersebrangan dengan Ibnu Hazm menyatakan bahwa laki-laki
fasiq tidak boleh menikah kecuali dengan wanita yang fasiq,
dan wanita yang fasiq tidak boleh menikah kecuali dengan laki-
laki fasiq. Namun hal ini tidak ada seorang pun yang
mengemukakannya.
Pendapat Ibnu Hazm ini didasarkan pada firman Allah
yaitu :

ِ َ‫ِإمَّنَ ا الْم ِمن و َن ِإخ وةٌ ف‬


َ‫َأخ َويْ ُك ْم َو َّات ُق وا اللَّه‬
َ َ ‫َأص ل ُحوا َبنْي‬
ْ َْ ُ ‫ُ ْؤ‬
‫لَ َعلَّ ُك ْم ُتْرمَحُو َن‬

73
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Vol.7, hal.241

53
Artinya: “Orang-orang beriman itu
sesungguhnya bersaudara, sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan)
antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah,supaya kamu
mendapat rahmat.

Selain itu Ibnu Hazm mendasarkan pendapatnya pada


firman Allah yaitu:

‫ض يَ ْأ ُمُرو َن‬ ٍ ‫ض ُه ْم َْأولِيَ اءُ َب ْع‬ ُ ‫ات َب ْع‬


ِ ِ
ُ َ‫َوالْ ُمْؤ منُ و َن َوالْ ُمْؤ من‬
ِ ِ
‫الص اَل َة َويُْؤ تُ و َن‬
َّ ‫يم و َن‬ ُ ‫بِالْ َم ْعُروف َو َيْن َه ْو َن َع ِن الْ ُمْن َك ِر َويُق‬
‫ِٰئ‬ ِ
َ‫الز َك ا َة َويُطيعُ و َن اللَّهَ َو َر ُس ولَهُ ُأولَ َك َس َي ْرمَحُ ُه ُم اللَّهُ ِإ َّن اللَّه‬َّ
ِ
ٌ ‫َع ِز ٌيز َحك‬
‫يم‬

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki


dan perempuan sebagian mereka adalah
menjadi penolong bagi sebagian yang
lain.74

Dengan demikian, Ibnu Hazm sebagai pengembang


Mazhab Zahiri berpendapat bahwa kafa’ah tidak ada dalam
Islam. Karena orang Islam sama kedudukannya, bersaudara
satu dengan yang lainnya, walaupun kafa’ah hanya berlaku
dalam masalah Agama saja. Identitas agama dalam memilih
jodoh menurut Ibnu Hazm semata-mata hanya pemeluk islam
saja, tanpa memperhatikan kadar atau kualitas ketaqwaan
dalam mengamalkan ajaran agama yang di syari’atkan oleh
Islam.

b. Kriteria kafa’ah menurut Ibnu Hazm


Kriteria kafa’ah menurut Ibnu Hazm ialah hanya berkisar pada
keimanan seseorang. agama adalah sifat bagus dan istiqomah terhadap

74
Q.S At-Taubah : 71

54
agama, maka orang yang berakhlak jelek dan fasiq tidak kufu dengan
orang yang terjaga dari perbuatan buruk atau wanita shalihah dan
bapaknya juga shalih.75 Sedangkan Ibnu Hazm tidak memandang
kualitas keagamaan seseorang, maka menurut Ibnu Hazm orang yang
sangat fasiq sekalipun asal ia muslim dan tidak berzina, maka ia tetap
kufu dengan Muslimah yang bagaimanapun.

C. Komparatif pendapat Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm


Imam Syafi’i berpendapat bahwasanya kafa’ah ditujukan untuk
menjaga keselamatan dan kerukunan dalam pernikahan, bukan untuk
kesahannya nikah. Dalam artian sah atau tidaknya pernikahan tidak
bergantung pada kafa’ah ini. Pernikahan tetap sah menurut hukum walaupun
tidak sekufu antara suami istri. Hanya saja, hak bagi wali dan perempuan
yang bersangkutan untuk mencari jodoh yang sepadan. Mengenai hal
kafa’ah, Imam Syafi’i mendefinisikan kafa’ah merupakan sepadan atau
sebanding antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan.
Sehubungan dengan adanya kesetaraan kedudukan antara suami
dengan istri dalam pernikahan diharapkan dapat mengaruh pada rumah
tangga yang sejahtera, menurut Imam Syafi’i kriteria kafa’ah yang
digunakan dalam pernikahan ialah agama, nasab, kemerdekaan, pekerjaan
atau profesi.
Ibnu Hazm mengemukakan pendapatnya mengenai kafa’ah yaitu
bahwa semua orang islam adalah bersaudara, tidaklah haram seorang budak
yang berkulit hitam menikah dengan keturunan bani hasyim, seorang muslim
yang sangat fasik sekalipun sekufu dengan wanita Muslimah yang mulia
selama ia tidak berbuat zina. Ibnu Hazm mengeluarkan istinbat hukum
dengan berdalilkan dalam surat al-hujurat ayat 10 yang artinya:
“sesungguhnya mukmin itu bersaudara”.
Imam Syafi’i berbeda pendapat dengan Ibnu Hazm dalam
mengeluarkan istinbat hukum, Imam Syafi’i menggunakan istinbat yang
bersumber Al-Qur’an yang digunakan beliau dalam menentukan kriteria
kafa’ah hal agama yaitu surat Al-baqarah ayat 221 yang artinya : “ Dan
janganlah kamu nikahi perempuan-perempuan yang musyrik itu hingga
mereka beriman lebih dahulu, sesungguhnya hamba sahaya yang beriman
lebih baik daripada perempuan musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dari
istinbat hukum yang digunakan Imam Syafi’i menjelaskan bahwa mengenai
kesetaraan dalam beragama sangat penting dalam pelaksanaan pernikahan.
Meskipun perempuan yang akan dinikahi seorang hamba sahaya akan lebih
75
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Vol.7, hal.241

55
baik daripada seorang perempuan musyrik, kecuali perempuan musyrik
tersebut mau beriman maka diperbolehkannya untuk melaksanakan
pernikahan.
Dapat disimpulkan bahwasanya dalam pandangan kafa’ah dalam
pernikahan menurut Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm terjadi perbedaan yang
sangat signifikan karena mereka sepakat memperbolehkan kafa’ah, namun
kafa’ah bukanlah termasuk pada syarat sahnya pernikahan. Dan dalam
permasalahan kriteria kafa’ah Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm berbeda
pendapat mengenai permasalahan ini. Menurut Imam Syafi’i kriteria kafa’ah
terdiri dari agama, keturunan, kemerdekaan dan pekerjaan. Sedangkan
menurut Ibnu Hazm kriteria kafa’ah hanyalah keimanannya saja.
Konsep Kafa’ah menurut Imam Konsep Kafa’ah menurut Ibnu Hazm
Syafi’i
1. Imam Syafi’i mengkriteria kan 1. kafa’ah menurut Ibnu Hazm hanya
kafa’ah diantaranya agama, keturunan, berkisar pada keimanan seseorang,
kemerdekaan, pekerjaan.

56
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian penulis mengenai pemikiran Imam
Syafi’i dan Ibnu Hazm terhadap konsep kafa’ah dalam pernikahan ini dapat
disimpulkan bahwa:
1. Pemikiran Imam Syafi’i tentang kafa’ah yaitu pihak perempuan boleh
membatalkan akad pernikahan tersebut karena tidak adanya
kesepadanan atau tidak sebandingnya antara calon suami dan istri Hal
ini apabila dari wali yang memiliki urusan dengan calon mempelai
perempuan tentang segala permasalahan yang ada salah satunya jalan
hanyalah menikahkan perempuan tersebut dengan laki-laki yang
sekufu atau sepadan. Dengan catatan, apabila ada wali yang sangat
dekat dengan perempuan tersebut menyetujui pernikahannya dengan
laki-laki yang tidak sekufu atas kemauan izin restu kehendak sang
perempuan itu sendiri, maka wali perempuan tidak bisa menolak
pernikahan tersebut.
2. Pemikiran Ibnu Hazm memandang kafa’ah pada masalah keagamaan
semata begitu juga dalam masalah akhlaknya, Ibnu Hazm tidak
menjadikan derajat status sosial sebagai unsur kafa’ah , maka
menurutnya orang perempuan yang paling mulia tetap kufu dengan
orang laki-laki paling fasiq asalkan ia tidak berzina.
3. Pandangan kafa’ah dalam pernikahan menurut Imam Syafi’i dan Ibnu
Hazm terjadi perbedaan yang sangat signifikan karena mereka
sepakat memperbolehkan kafa’ah, namun kafa’ah bukanlah termasuk
pada syarat sahnya pernikahan. Dan dalam permasalahan kriteria
kafa’ah Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm berbeda pendapat mengenai
permasalahan ini. Menurut Imam Syafi’i kriteria kafa’ah terdiri dari
agama, keturunan, kemerdekaan dan pekerjaan. Sedangkan menurut
Ibnu Hazm kriteria kafa’ah hanyalah keimanannya saja.

B. Saran
1. Dalam memilih calon pasangan dalam berumah tangga hendaknya
memprioritaskan pasangan yang memiliki keimanan dan akhlak yang
baik.

57
DAFTAR PUSTAKA

Abbas Siradjuddin.(1994) Sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i,


(Jakarta:Pustaka Tarbiyah)
Abi Muhammad Ali bin Ahmad Sa’id bin Hazm, al-Muhalla, Vol.10
(Beirut:Dar al-Fikr,t.t),hal.24
Abidin S Zainal, Ibnu Mas’ud . (2000) Fiqh Mazhab Syafi’i,
(Bandung:pustaka setia)
Abidin Slamet ,dan Aminuddin. (1999). Fiqh Munakahat, (Bandung,
CV.Pustaka Setia)
Abidin Slamet, dan Aminuddin. (1999). Fiqh Munakahat, (Bandung,
CV.Pustaka Setia)
Abidin Zainal H, dan Mas’ud Ibnu. (2007). Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2:
Muamalat,Munakahat, (Bandung:CV Pustaka Setia)
Abidin Zainal H, dan Mas’ud Ibnu. (2007). Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2:
Muamalat,Munakahat,Jinayat.
Al-Albani Nasiruddin Muhammad,Fiqih Sunnah terjemahan Sayyid Sabiq,
Al-Jaziri. (t.t) Al-Fiqh ala Madzahibil Arba’ah,
Al-Mashri Mahmud Syaikh.(2012). Bekal Pernikahan, (Jakarta; Qisthi press)
Alwi Rahman. (2012) Fiqih Mazhab al-Dzahiri,(Jakarta:Referensi)
Aminah Siti, Musthofa Zainul. (t.t). Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Praktek Kafa’ah sebagai Upaya membentuk Keluarga Sakinah,
Anshary Hafiz, Yanggo Chuzaimah T. (1994). Problematika Hukum Islam
Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus)
Arikunto, Suharsimi. (1990) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek, Jakarta:Rineka Cipta.
Asqolani Hajar, Ibnu Al-Hafiz Bulugul Maram.
As-Sayis Muhammad Ali. (2003). Tarikh Al-Fiqh Al-Islami, diterjemahkan
oleh Nurhadi Aga dengan judul Sejarah Fiqh Islam,
(Jakarta:Pustaka Al-Kautsar)
az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu
Bakar, Abu. (t.t) Kafa’ah Sebagai Pertimbangan Dalam Perkawinan
Menurut Mazhab Syafi’i , Artikel pada Fakultas Agama Islam UISU
Medan, t.t.
Chamid Nur.(2010) Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
(Jogjakarta:Pustaka Pelajar)
Daly Peunoh,(1998). Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:Bulan Bintang)
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. (t.t) Kompilasi Hukum
Islam Bab II, Tentang Dasar-dasar Perkawinan pasal 2, Jakarta:
DPBPAI.

58
Faisal, Sanafiah. (2007). Format-format Penilitian Sosial. Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada.
Fakih, Mansur. (1999). Analisis Jender & Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Farid Ahmad Syeikh. (2006) 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka
Kautsar )
Harahap, Rustam Dahar kamadi, Apollo. (2020). Kesetaraan Laki-Laki Dan
Perempuan Dalam Hukum Perkawinan Islam. Artikel pada IAIN
Walisongo Semarang.
Hazm Ibnu , Al-Akhlaq wa as-Siyar
Humaidi (2011). Pergeseran Makna Kafa’ah Dalam Pernikahan. Tesis pada
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Irsyad, Muhammad. (2021)“Kafa’ah dalam pernikahan di masyarakat
muslim”, Jurnal Sintesa pada Seminar Nasional Teknologi Edukasi
dan Humaniora
Moleong, Lexy J. (1993). metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung:Remaja Rosdakarya. 1993.
Musafak. (2010). Konsep Kafa’ah Dalam Pernikahan (Studi pemikiran
mazhab Hanafi). Skripsi pada Universitas Sunan Kalijaga.
Nasaruddin,Latif. (2001). Ilmu Perkawinan, Problematika Seputar
Keluarga dan Rumah Tangga, Bandung: Pustaka Hidayah)
Ni’mah, Lathifatun. (2009). Konsep Kafa’ah Dalam Hukum Islam (Studi
Pemikiran As-Sayyid Sabiq Dalam Kitab fiqh sunnah). Skripsi pada
Universitas Islam Negeri Sunan kalijaga.
Nur Djamaan.(1993). Fiqh Munakahat,(Semarang:Dina Utama /Toha Putra
Group)
Rasyidi, H.M Rasyidi. (t.t) Keutamaan Hukum Islam (Bandung, CV.Pustaka
Setia)
Rofiq, Ahmad. (2002). Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada)
Sabiq, Sayyid. (1981). Fiqh Sunnah. Bandung: PT AlMa’arif,1981.
Samin ,Sabri. (2010). Fikih II (Makkasar: Alauddin Press)
Sarong, A.Hamid. (t.t) Hukum perkawinan
Selamat,Kamsuri. (1998). Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga
(Panduan Perkawinan), (Jakarta: kalam Mulia)
Siregar,Amri. (2009) Ibnu Hazm Metode Zahiri Dalam Pembentukan
Sumber Hukum Islam, (Jogjakarta:Belukar)
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,dan R&D.
(Bandung:Alfabeta.
Suryana. (2010). Model Praktis Penelitian Kualitatif. Bandung,Universitas
Pendidikan Indonesia.

59
Syafi’i Imam,(t.t) Ringkasan Kitab Al-Umm, (Jakarta: Pustaka Azam)
Syarifuddin Amir, (2006). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Syarifuddin, Amir. (t.t). Hukum Pernikahan, (Jakarta:Rineka Cipta)
Taufik Husni, H Otong. (2017). Kafa’ah Dalam Pernikahan Menurut Hukum
Islam. Artikel pada Universitas Galuh Ciamis
Trianto, (2005). Studi Terhadap Pemikiran Ibnu Hazm Tentang Kriteria
Kafa’ah Dalam Pernikahan” Skripsi pada Universitas Islam Negeri
Sunan kalijaga.
Ulya, Ziyanatuzzahro. (2021). Analisis Pemikiran Imam Syafi’i Terhadap
Konsep Kafa’ah Dalam Perkawinan. Skripsi Institut Agama Islam
Negeri Ponorogo.
Yango Tahido Huzaemah,(1997). Pengantar perbandingan Mazhab,
(Jakarta:Logos)
Zuhri, Muhammad. (1996). Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada)

60

Anda mungkin juga menyukai