Oleh :
Padia Rahmadani
NIM 18.01.01.71
Padia Rahmadani
i
LEMBAR PERSETUJUAN
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui
Ketua Program Studi
Hukum Keluarga Islam
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Ditetapkan di Tangerang
Pada tanggal, Juli 2022
iii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Huruf
No Nama Huruf Latin Nama
Arab
Tidak
1 ا Alif
dilambangkan
Tidak dilambangkan
2 ب Ba B Be
3 ت Ta T Te
4 ث Sa Ś Es (dengan titik di atas)
5 ج Jim J Je
6 ح Ha H Ha (dengan titik di bawah)
7 خ Kha Kh Ka dan ha
8 د Dal D De
9 ذ Dzal Z Zet
10 ر Ra R Er
11 ز Zai Z Zet
12 س Sin S Es
13 ش Syin Sy Es dan ye
14 ص Shad Sh Es dan ha
15 ض Dhad Dh De dan ha
16 ط Tha Th Te dan ha
17 ظ Zhaa Zh Zet dan hà
18 ع ‘ain ‘ Koma terbalik di atas
19 غ Ghain Gh Ge dan ha
20 ف Fa F Ef
iv
21 ق Qaf Q Ki
22 ك Kaf K Ka
23 ل Lam L El
24 م Min M Em
25 ن Nun N En
26 و Waw W We
27 ه Ha H Ha
Hamz
28 ء ah
‘ Apostref
29 ي Ya Y Ye
v
yang terletak di tengah atau di akhir kata, misalnya ( = رُْؤ َي ُةru’yah ), (
= فُ َق َهاءfuqah̄a’).
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahil ladzii an’amanaa bini’matil iimani wal islam.
Wanusholli wanusallimu ‘alaa khoiril anaami sayyidina Muhammad wa’alaa
aalihi wa shohbihi ajma’iin. Amma ba’du. Dengan hanya rahmat-Mu serta
hidayah-Nya penulisan skripsi yang berjudul “Konsep Kafa’ah pada
pernikahan (Studi Komparatif Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm)” dapat di
selesaikan dengan curahan kasih sayang-Nya, kedamaian dan ketenangan
jiwa. Shalawat serta salam kita haturkan kepada junjungan nabi kita
Muhammad SAW yang telah mengajarkan kita dari alam kegelapan hingga
alam terang benderang seperti sekarang ini. Semoga kita tergolong orang-
orang yang beriman dan mendapatkan syafaa’at dari beliau di hari akhir
kelak, aamiin…
Dengan segala daya dan upaya serta bantuan, bimbingan maupun
pengarahan dari hasil diskusi dari berbagai pihak dalam proses penulisan
skripsi ini, maka dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang tiada batas kepada:
1. Bapak Dr. KH. Muhammad Qustulani, MA.Hum, Selaku ketua
Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Nahdlatul Ulama (STISNU)
Nusantara Tangerang.
2. Bapak Ecep Ishak Fariddudin, MA, (Waka Akademik dan
kemahasiwaan), H. Muflih Adi Laksono, Lc.MA (Waka Bid.
Keuangan), Nurullah, MM (Waka Perencanaan dan
Kelembagaan).
3. Ahmad Suhendra, M.Hum, Selaku Ketua Program Studi Hukum
Keluarga Islam, yang telah memberikan arahan, support, dan
saran terbaik bagi penulisan skripsi ini.
4. KH. Ahmad Bahrul Hikam, Lc,MA, selaku pembimbing I yang
telah memberikan masukan, arahan dan membantu penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
5. Ahmad Suhendra, M.Hum, selaku pembimbing II yang telah
memberikan masukan, arahan dan membantu penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
6. Seluruh Dosen sekolah tinggi ilmu syari’ah Nahdlatul Ulama
(STISNU) Nusantara Tangerang, yang telah menyampaikan
pengajaran, mendidik, membimbing serta mengamalkan ilmunya
dengan penuh ikhlas, semoga Allah SWT memberikan pahala
yang berlimpah kepada beliau semua.
vii
7. Tenaga pendidik (Staff karyawan) Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah
Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang, penulis
mengucapkan banyak terimakasih atas segala bantuan dan
partisipasinya dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Teruntuk yang paling Khusus, untuk kedua orang tua penulis
tidak ada kata selain “terimakasih” atas segala do’a dan
supportnya dalam bentuk materil maupun non materil, selalu
sabra dalam mendidik dan membimbing penulis untuk dapat
menyelasaikan skripsi ini, serta menjadi alasan utama untuk
penulis dapat menyelasaikan skripsi ini.
9. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan dari awal masuk di
akhir tahun 2018 yang saya tidak bisa sebutkan satu persatu,
kalian adalah kenangan terindah untuk saya. Semoga jalinan
silaturahmi kita masih tetap terjaga dan impian kita semua segera
tercapai.
Semoga apa yang telah saya peroleh selama kuliah di Sekolah Tinggi
Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang, bisa
bermanfaat bagi diri pribadi khususnya dan bagi masyarakat umumnya
namun demikian, penulis sebagai manusia biasa yang tidak luput dari salah
dan lupa, menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritiknya dari semua
pihak demi perbaikan skripsi ini.
Wallahul Muafieq Illa Aqwamithorieq
Tangerang, Juni 2022
Penulis,
Padia Rahmadani
viii
MOTTO
Terkait dengan masalah yang diteliti
Pilihlah pasangan yang agama dan hatinya baik, karena sepaling bagus
memilih pasangan dalam Islam ialah agamanya
ix
ABSTRAK
Kafa’ah menurut terminologi hukum islam yaitu keseimbangan dan
keserasian antara calon istri dan calon suami sehingga masing-masing calon
tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan. Kafa’ah dianjurkan
oleh Islam dalam memilih pasangan suami istri tetapi tidak menentukan sah
atau tidaknya pernikahan. Fokus masalah pada skripsi ini membahas konsep
kafa’ah pada pernikahan studi komparatif Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm.
Metode yang digunakan ialah kualitatif.
Tujuan dari skripsi ini adalah untuk menjelaskan bagaimana pendapat
Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm tentang konsep kafa’ah pada pernikahan , dan
juga menjelaskan bagaimana perbedaan dan persamaan pendapat Imam
Syafi’i dan Ibnu Hazm tentang konsep kafa’ah pada pernikahan.
Adapun hasil dari penelitian skripsi ini dapat disimpulkan
bahwasanya dalam pandangan konsep kafa’ah pada pernikahan Imam Syafi’i
dan Ibnu Hazm Imam Syafi’i berpendapat bahwasanya kafa’ah ditujukan
untuk menjaga keselamatan dan kerukunan dalam pernikahan, bukan untuk
kesahannya nikah. Dalam artian sah atau tidaknya pernikahan tidak
bergantung pada kafa’ah ini. Pernikahan tetap sah menurut hukum walaupun
tidak sekufu antara suami istri. Hanya saja, hak bagi wali dan perempuan
yang bersangkutan untuk mencari jodoh yang sepadan. Mengenai hal
kafa’ah, Imam Syafi’i mendefinisikan kafa’ah merupakan sepadan atau
sebanding antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan.
Sedangkan Ibnu Hazm mengemukakan pendapatnya mengenai kafa’ah yaitu
bahwa semua orang islam adalah bersaudara, tidaklah haram seorang budak
yang berkulit hitam menikah dengan keturunan bani hasyim, seorang muslim
yang sangat fasik sekalipun sekufu dengan wanita Muslimah yang mulia
selama ia tidak berbuat zina. Ibnu Hazm mengeluarkan istinbat hukum
dengan berdalilkan dalam surat al-hujurat ayat 10 yang artinya :
“sesungguhnya mukmin itu bersaudara”.
x
ABSTRACT
Kafa'ah according to the terminology of Islamic law is the balance
and harmony between the prospective wife and the prospective husband so
that each candidate does not find it difficult to get married. Kafa'ah is
recommended by Islam in choosing a husband and wife but does not
determine whether a marriage is valid or not. The focus of the problem in
this thesis discusses the concept of kafa'ah in marriage comparative studies
of Imam Shafi'i and Ibn Hazm. The method used is qualitative.
The purpose of this thesis is to explain the opinion of Imam Shafi'i
and Ibn Hazm about the concept of kafa'ah in marriage, and also to explain
how the differences and similarities of opinion of Imam Shafi'i and Ibn Hazm
regarding the concept of kafa'ah in marriage.
The results of this skripsi research can be concluded that in view of
the concept of kafa'ah in the marriage of Imam Syafi'i and Ibn Hazm Imam
Syafi'i argues that kafa'ah is intended to maintain safety and harmony in
marriage, not for the validity of marriage. In the sense that the marriage is
valid or not, it does not depend on this kafa'ah. Marriage is still legal
according to the law even though it is not mutually exclusive between
husband and wife. However, it is the right of the guardian and the woman
concerned to find a suitable mate. Regarding kafa'ah, Imam Shafi'i defines
kafa'ah as equal or comparable between the prospective groom and the
prospective bride. Meanwhile, Ibn Hazm expressed his opinion regarding
kafa'ah, namely that all Muslims are brothers, it is not unlawful for a black
slave to marry a descendant of Banu Hasyim, a Muslim who is very wicked
even though he is in agreement with a noble Muslim woman as long as he
does not commit adultery. Ibn Hazm issued a legal istinbat with the
argument in the letter al-Hujurat verse 10 which means: "Indeed the
believers are brothers".
xi
ملخص
xii
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN....................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................1
B. Identifikasi Masalah....................................................................................3
C. Batasan Masalah.........................................................................................3
D. Rumusan Masalah.......................................................................................3
E. Tujuan Penelitian........................................................................................4
F. Manfaat Penelitian......................................................................................4
G. Tinjauan Pustaka Terdahulu yang Relevan..........................................4
H. Metodologi penelitian............................................................................11
1. Jenis Penelitian......................................................................................11
2. Pendekatan Penelitian...........................................................................11
3. Sumber Data..........................................................................................11
4. Teknik Pengumpulan Data...................................................................12
5. Teknik analisis Data..............................................................................12
I. Sistematika pembahasan...........................................................................13
KAJIAN TEORI...................................................................................................14
A. Konsep Pernikahan dalam Islam.............................................................14
1. Pengertian Pernikahan.........................................................................14
2. Rukun dan Syarat Pernikahan.............................................................15
3. Hukum Melakukan Pernikahan...........................................................17
4. Tujuan dan Hikmah pernikahan..........................................................18
B. Konsep Kafa’ah dalam Pernikahan.........................................................21
1. Pengertian Kafa’ah................................................................................21
2. Dasar Hukum Kafa’ah..........................................................................24
3. Urgensi Kafa’ah pada pernikahan.......................................................26
4. Kriteria Kafa’ah dalam pernikahan.....................................................27
5. Tujuan Kafa’ah......................................................................................32
6. Penerapan Konsep Kafa’ah Pada Pernikahan....................................32
xiii
ANALISIS DAN KAJIAN PEMBAHASAN.......................................................35
A. Konsep Kafa’ah Pada Pernikahan Menurut Imam Syafi’i....................35
1. Biografi Imam Syafi’i............................................................................35
2. Kafa’ah Menurut Imam Syafi’i............................................................40
B. Konsep Kafa’ah menurut Ibnu Hazm......................................................45
1. Biografi Ibnu Hazm...............................................................................46
2. Kafa’ah menurut Ibnu Hazm...............................................................51
C. Komparatif pendapat Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm.............................54
PENUTUP..............................................................................................................57
A. Kesimpulan................................................................................................57
B. Saran..........................................................................................................57
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1
serupa itu akan dicapai dengan mudah apabila pernikahan dibangun atas
dasar yang kokoh, antara suami dan istri ada kafa’ah (keserasian). Akan
tetapi dalam Al-Qur’an maupun Hadis tak satupun yang menerangkan bahwa
pernikahan itu hanya dilakukan diantara pasangan yang sekufu. Kebiasaan
orang melakukan pernikahan diantara sekufu adalah persoalan lain, akan
tetapi Islam datang untuk melenyapkan segala macam perbedaan, baik
perbedaan sosial, kesukuan maupun derajat sosial yang lainnya.
Pentingnya kafa’ah dalam pernikahan sangat selaras dengan tujuan
pernikahan yang akan dijalaninya, yaitu suatu kehidupan suami istri yang
sakinah dan bahagia. Suami istri yang sakinah dan bahagia akan mampu
mengembangkan hubungan yang intim dan penuh kemesraan. Dalam
memilih calon suami/istri hendaknya berhati-hati karena pernikahan
merupakan kesempurnaan dari agama yang akan membawa kebahagiaan atau
kesengsaraan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Pernikahan dalam Islam merupakan gerbang sakral yang harus dilalui
oleh setiap individu untuk membentuk sebuah institusi yang bernama
keluarga, dan keluarga merupakan segmen awal dalam terciptanya sebuah
masyarakat dan negara yang baik. Pembentukan keluarga sakinah ini tidak
akan mungkin terbentuk atau terbangun tanpa adanya keseimbangan dan
kecocokan antara suami dan istri. Itu sebabnya dalam literatur fiqh kafa’ah
(keserasian, kesetaraan) menjadi persoalan dan pembahasan yang menarik
untuk dikaji bagi kalangan mujtahid dan akademisi. Hal ini karena mereka
memahami bahwa kafa’ah dalam pernikahan merupakan faktor yang dapat
mendorong terciptanya keharmonisan suami istri dan lebih menjamin
keselamatan perempuan dari kegagalan dan kegoncangan dalam rumah
tangga.
Kafa’ah adalah salah satu konsep Islam sebagai penuntut untuk
memilih calon pasangan hidup, dengan menggunakan konsep ini umat Islam
dapat memilih calon pasangan hidupnya sesuai dengan keinginannya sampai
akhir hayat. Dan perlu digaris bawahi dalam hal ini kafa’ah bukanlah syarat
sahnya sebuah pernikahan, akan tetapi kafa’ah menjadi pertimbangan bagi
seseorang ketika dia hendak melangsungkan pernikahan karena yang
menentukan sahnya pernikahan adalah terpenuhinya syarat rukun nikah.
Di kalangan Imam Mazhab sendiri terdapat perbedaan mengenai
kriteria kafa’ah dalam hal pemilihan pasangan suami istri. Imam Syafi’i
berpendapat bahwa kafa’ah itu penting untuk mencegah hal-hal yang dapat
merugikan wanita dalam pernikahannya, menurut beliau kafa’ah itu meliputi
empat aspek, yaitu : agama, nasab, kemerdekaan, dan selamat dari aib
(cacat). Dalam pandangan mazhab syafi’i kafa’ah merupakan suatu hal yang
2
penting dalam memilih pasangan hidup, perihal sepadan ini ditujukan untuk
menjaga keselamatan dan kerukunan dalam pernikahan bukan untuk kesahan
dalam artian, sah atau tidaknya pernikahan tidak bergantung pada kafa’ah
ini.
Sedangkan menurut Mazhab azh-Zhahiri dengan tokoh sentralnya
Ibnu Hazm berpendapat mengenai kafa’ah yaitu bahwa semua orang Islam
adalah bersaudara, tidaklah haram seorang budak yang berkulit hitam
menikah dengan wanita keturunan Bani Hasyim, seorang muslim yang
sangat fasik pun sekufu dengan wanita muslimah yang mulia selama ia tidak
berbuat zina.4
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas,maka identifikasi masalah
dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Pentingnya pengetahuan makna kafa’ah tentang pernikahan
2. Pembentukan keluarga sakinah tidak akan mungkin terbentuk atau
terbangun tanpa adanya keseimbangan dan kecocokan antara suami
dan istri
3. Kebiasaan orang melakukan pernikahan diantara sekufu adalah
persoalan lain
4. Kafa’ah adalah salah satu konsep Islam
5. Pengetahuan Kafa’ah menurut Imam Syafi’i
6. Pengetahuan Kafa’ah Menurut Ibnu Hazm
C. Batasan Masalah
Berdasarkan pemaparan keenam identifikasi masalah diatas, maka
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah Konsep kafa’ah pada
pernikahan (Studi komparatif Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm)
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan batasan masalah di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini dibagi dalam dua macam. Pertama rumusan
masalah mayor dan kedua rumusan masalah minor. Adapun rumusan mayor
dalam penelitian ini adalah permasalahan Konsep kafa’ah pada pernikahan
(Studi komparatif Imam syafi’i dan Ibnu Hazm)
Sedangkan rumusan masalah minor dalam penelitian ini sebagai
berikut:
4
Ibnu Hazm, Al-Muhalla (Daar al-fikr,t.t) hal.124
3
1. Bagaimana Konsep kafa’ah pada pernikahan menurut pandangan
Imam Syafi’i?
2. Bagaimana Konsep kafa’ah pada pernikahan menurut pandangan
Ibnu Hazm?
3. Bagaimana Komparasi Konsep Kafa’ah menurut Imam Syafi’i dan
Ibnu Hazm?
E. Tujuan Penelitian
Dari kedua poin rumusan masalah minor di atas tujuan penelitian
dapat di deskripsikan sebagai berikut:
1. Mengetahui Konsep kafa’ah pada pernikahan menurut Imam Syafi’i.
2. Mengetahui Konsep kafa’ah pada pernikahan menurut Ibnu Hazm.
3. Mengetahui Komparasi konsep kafa’ah menurut Imam Syafi’i dan
Ibnu Hazm.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini dibagi dalam dua kategori, yaitu
manfaat teoretis dan manfaat praktis. Adapun manfaat teorotis dalam
penelitian ini sebagai pengembangan khazanah keilmuan hukum keluarga
Islam khususnya terkait dengan Konsep kafa’ah pada pernikahan (Studi
komparatif Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm) sedangkan manfaat praktis dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1. Sebagai Rujukan atau Referensi bagi Civitas Akademika STISNU
Nusantara Tangerang Program Studi Hukum Keluarga Islam.
2. Sebagai bahan bacaan bagi masyarakat umum khususnya masyarakat
pemerhati bidang Hukum Keluarga Islam.
4
mawaddah, dan rahmah. Salah satu hal yang berkaitan erat dengan
pernikahan adalah kafa’ah (kesepadanan) antara calon suami dan istri yang
berfungsi untuk mendukng tujuan tersebut. Ibnu Hazm dalam menetapkan
kriteria kafa’ah berbeda dengan kebanyakan ulama. Menurut Ibnu Hazm
kafa’ah tidak ada dalam islam kalaupun ada kafa’ah berlaku dalam agama
saja. Pendapat Ibnu Hazm mengenai kriteria kafa’ah tersebut merupakan
sebuah fenomena yang menarik untu dikaji. Hal tersebut memberikan
kesempatan kepada penyusun untuk mengungkap konsepsi kafa’ah menurut
Ibnu Hazm dengan cara mengkaji istinbat hukum yang digunakan serta
relevansi dengan praktek di Indonesia. Dikarenakan kajian ini adalah kajian
literatur, maka pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah
pendekatan normatif , yaitu pendekatan berdasarkan konsep syari’ah, kaidah
ushul fiqh dan kaidah fiqih yang bertujuan untuk menganalisa konsep
kafa’ah menurut Ibnu Hazm. Berdasarkan metode yang digunakan, maka
terungkaplah bahwa secara formal Ibnu Hazm tidak mengakui adanya
kafa’ah, tetapi secara esensial ia mngakuinya yakni dalam hal keagamaan.
Menurutnya, hal persamaan derajat dan status sosial sebenarnya tidak ada
dalam islam semua orang sekufu dengan yang lainnya siapapun laki-laki
muslim sekufu dengan peempuan muslimah selama ia tidak berbuat zina
sekalipun muslim yang sangat fasik , asalkan tidak berzina ia adalah sekufu
dengan wanita islam yang baik, demikian juga muslim yang baik sekufu
dengan muslimah yang fasik asal bukan perempuan pezina. Adapun
relevansi pemikiran Ibnu Hazm dalam konteks ke-Indonesia-an dipandang
relevan, karena di Indonesia bukan sikap religiusitas yang dimaksudkan
dalam kriteria agama, tetapi hanya sebatas ikhtilaf ad-din, sebagaimana
pendapat Ibnu Hazm.
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Lathifatun Ni’mah dengan judul
“Konsep Kafa’ah dalam Hukum Islam (Studi Pemikiran As-sayyid Sabiq
dalam Kitab Fiqh Sunnah)”.6 Skripsi ini menjelaskan tentang pernikahan
adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami isteri dengan
memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syari’at islam.
Kafa’ah dalam pernikahan adalah penyesuain keadaan antara laki-laki (calon
suami) dan Perempuan (calon isteri), yaitu sama kedudukannya. Suami sama
atau seimbang kedudukannya dengan isterinya dalam kekayaan, keturunan
atau nasab, pekerjaan dan tidak adanya kecacatan.
6
Lathifatun Ni’mah, “Konsep Kafa’ah Dalam Hukum Islam (Studi Pemikiran As-
Sayyid Sabiq Dalam Kitab fiqh sunnah)”.Skripsi pada prodi Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah
Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan kalijaga tahun 2009
5
Kafa’ah dalam pernikahan lebih diperlukan bagi laki-laki bukan
perempuan, maksudnya yaitu seorang laki-lakilah yang yang disyaratkan
agar sekufu dengan perempuan yang akan dinikahinya. As-sayyid Sabiq
mengatakan bahwa apabila perempuan yang mempunyai kedudukan
terhormat menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya maka
perempuan tersebut akan menanggung rasa malu serta timbul celaan dari
masyarakat setempatnya. Akan tetapi sebaliknya, bagi perempuan tidak
disyaratkan harus sepadan dengan laki-lakinya, dengan alasan bahwasanya
Rasulullah SAW. tidak mencari istri yang setingkat dengan beliau, yaitu
perempuan biasa bahkan budak pun tidak menjadi permasalahan. Karena
laki-lakilah yang dapat mengangkat derajat perempuan, bukan sebaliknya.
Kajian ini dilakukan guna memaparkan pemikiran As-Sayyid Sabiq , karena
dalam menetapkan hukum beliau senantiasa merujuk langsung kepada al-
qur’an dan hadis tanpa terikat atau fanatik kepada mazhab tertentu. Jenis
penelitian pustaka ini menggunakan metode deskritif analitis yaitu dengan
mendeskripsikan dan menganalisis pendapat As-Sayyid Sabiq tentang
konsep kafa’ah dalam pernikahan. Dalam kitab Fiqh as-sunnah as-sayyid
sabiq menjelaskan tentang signifikansi makna kafa’ah yang terdiri dari enam
faktor.
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Musafak dengan judul “konsep
kafa’ah dalam Pernikahan (Studi Pemikiran Mazhab Hanafi)”.7 Skripsi ini
menjelaskan tentang pernikahan adalah suatu cara yang di pilih oleh Allah
SWT, sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang biak dan kelestarian
hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang
positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan. Tujuan pernikahan adalah
tercipta keluarga yang sakinah, yang diliputi mawaddah wa rahmah .
Banyak cara yang untuk mewujudkan tujuan pernikahan, salah satunya
adalah adalah untuk mencari calon suami dan calon istri yang baik, namun
cara tersebut bukanlah suatu kunci. Namun, paling tidak dapat menentukan
baik tidaknya dalam kehidupan dikemudian hari, dan salah satu untuk
mencari pasangan yang baik adalah dalam konsep kafaah. Permasalahan
kafaah sebenarnya adalah suatu permasalahan yang sudah menjadi
perdebatan di kalangan ulama mazhab sejak dahulu kala, diantaranya adalah
ulama mazhab Hanafi, abu hanifah adalah tokoh pendiri mazhab Hanafi
beliau adalah pencetus pertama dari konsep kafaah ini, konsep ini muncul
karena kekosmopolitan dan kekomplekan masalah dan masyarakat yang
7
Musafak, “Konsep Kafa’ah Dalam Pernikahan (Studi pemikiran mazhab Hanafi)”,
Skripsi pada Prodi Al-Ahwal As-Syakhsiyyah Fakultas Syariah Universitas Sunan Kalijaga
Tahun 2010
6
hidup di irak ketika itu. Kompleksitas muncul sebagai akibat urbanisasi yang
terjadi di irak ketika itu. Urbanisasi melahirkan percampuran sejumlah etnik,
seperti percampuran antara orang arab dan nonarab yang baru masuk islam,
untuk menghindari salah pilih dalam pasangan pernikahan, teori kafaah jadi
niscaya. Dalam kaitannya dengan kehidupan yang sekarang konsep ini dirasa
menimbulkan peng-kelasan dan pengelompokan diantara manusia yang
dianggap tidak relevan lagi, apalagi dengan munculnya jargon-jargon
egalitarianism, Ham, gender, Anti diskriminasi yang kesemuanya menuntut
keadilan didalamnya. Dari penjelasan diatas, muncul permasalahan yang
harus dipecahkan, yaitu: (1) historisitas penetapan konsep kafaah mazhab
Hanafi? (2) bagaimana relevansinya dalam masyarakat di Indonesia yang
sekarang ini?.
Keempat, Tesis yang ditulis oleh Humaidi dengan judul “Pergeseran
Makna Kafa’ah dalam Pernikahan”.8 Tesis ini menjelaskan tentang
Masyarakat islam bukan masyarakat rasiasis,bukan nasionalis,bukan
sectarian,bukan proletar nasionalis dan bukan pula masyarakat
primordial,tidak membedakan antara kulit putih dan kulit hitam, atau antara
daerah timur dan daerah barat. Namun masyarakat Islam merupakan
masyarakat yang inklusif ,dinamis, yang terbuka untuk semua manusia, tanpa
memandang ras,warna kulit atau bahasa. Hal itu dimaksudkan agar antara
yang satu dengan yang lain saling mengenal dan saling membantu, karena
menurut allah hanya ada satu standardisasi untuk mengukur keutamaan
hambanya, yaitu keutamaan hambanya, yaitu ketaqwaan dan ketaatan kepada
Allah SWT. Adapun dalam penelitian ini peneliti menggunakan penelitian
kualitatif deskriptif dengan pendekatan sosiologis yang tentunya lebih
menekankan kualitas pada pengertian,konsep, nilai-nilai yang melekat
didalamnya dengan melihat gejala-gejala sosial yang berkembang, baik dari
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain sebagainya. Salah satunya
bahwa kebahagiaan dan keberlangsungan hidup dalam berumah tangga itu
tidaklah lepas atas dasar persetujuan dari anak yang bersangkutan.
Kelima, jurnal yang ditulis oleh Otong Husni Taufik, dengan judul
“Kafa’ah dalam Pernikahan menurut Islam” .9 Jurnal ini menjelaskan tentang
kafa’ah dalam pernikahan antara calon suami dan calon istri dimaksudkan
agar adanya keseimbangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga
kehidupan, persoalan kafa’ah sering difahami secara tidak proposional dalam
8
Humaidi Kh,S.HI , “Pergeseran Makna Kafa’ah Dalam Pernikahan”,Tesis pada
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Tahun 2011
9
H.Otong Husni Taufik, S.IP, M.Si, “Kafa’ah Dalam Pernikahan Menurut Hukum
Islam”, Jurnal pada Universitas Galuh Ciamis Tahun 2017
7
arti seseorang diharuskan menikah dengan lawan jenis yang sama derajatnya,
kekayaannya dan kecantikan dan sebagainya, padahal semuanya itu hanyalah
bersifat lahiriyah semata. Pasangan yang serasi diperoleh untuk mewujudkan
rumah tangga yang tenang (sakinah), cinta (mawaddah), kasih (rahmah),
banyak cara yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, salah
satunya adalah upaya mencari calon suami atau istri yang baik, upaya
tersebut bukanlah satu kunci namun keberadaannya dalam rumah tangga
akan menentukan mampu atau tidaknya seseorang dalam membangun
bahtera rumah tangga.
Keenam, Artikel yang ditulis oleh Rustam Dahar Kamadi Apollo
Harahap dengan judul “Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan dalam Hukum
Perkawinan Islam”10. Artikel ini menjelaskan tentang perkawinan merupakan
sebuah kontrak antara dua orang pasangan yang terdiri dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dalam posisi yang setara. Seorang perempuan
sebagai pihak yang sederajat dengan laki-laki dapat menetapkan syarat-
syarat yang yang diinginkan sebagaimana juga laki-laki. Perkawinan secara
mendasar berarti melibatkan diri dengan pembicaraan mengenai kasih
sayang (mawaddah wa rahmah), dan hal inilah yang merupakan pokok
pondasi suatu perkawinan. Dengan demikian hubungan antara suami dan istri
adalah hubungan horizontal bukan hubungan vertikal, sehingga tidak
terdapat kondisi yang mendominasi dan didominasi. Semua pihak setara dan
sederajat untuk saling bekerja sama dalam sebuah ikatan cinta dan kasih
sayang. Permasalahan perkawinan seringkali menjadi pemicu munculnya isu
ketidaksetaraan dalam keluarga, padahal sejatinya islam membawa norma-
norma yang mendukung terciptanya suasana damai, sejahtera, adil dan setara
dalam keluarga. Untuk menjawab berbagai berbagai pertanyaan seputar
kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hukum perkawinan islam.
Ketujuh, skripsi yang ditulis oleh Ulya Ziyanutuzzahro dengan judul
“Analisis Pemikiran Imam Syafi’i terhadap Konsep Kafa’ah dalam
perkawinan”11. Skripsi ini menjelaskan tentang kafa’ah dalam pernikahan
menurut hukum Islam yaitu keseimbangan dan keserasian anatara calon istri
dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk
melangsungkan pernikahan. Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih
pasangan suami istri, tetapi tidak menentukan sah tidaknya pernikahan.
10
Rustam Dahar Kamadi Apollo Harahap “Kesetaraan Laki-Laki Dan Perempuan
Dalam Hukum Perkawinan Islam”, Jurnal pada IAIN Walisongo Semarang Tahun 2020
11
Ziyanatuzzahro Ulya, “Analisis Pemikiran Imam Syafi’i Terhadap Konsep
Kafa’ah Dalam Perkawinan”. Skripsi pada prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syari’ah
Institut Agama Islam Negeri Ponorogo Tahun 2021
8
Imam Syafi’i adalah orang Quraisy dari kalangan Bani Muthalib. Imam
Syafi’i berpendapat bahwa kafa’ah itu penting untuk mencegah hal-hal yang
dapat merugikan wanita dalam pernikahannya , dimana menurut beliau
kafa’ah itu meliputi empat aspek, yaitu : agama, nasab, kemerdekaan dan
selamat dari aib (cacat). Istinbat merupakan cara-cara yang ditempuh oleh
Al-Qur’an atau as-sunnah. Adapun jenis penelitian yang dilakukan penulis
merupakan jenis penelitian pustaka (library research), karena penulis
menggunakan buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan sebagai
sumber data. Selain itu juga menggunakan metode dokumentasi, yaitu
mencari data mengenai hal-hal variabel yang berkaitan dengan pembahasan
dalam penelitian. Kemudian hasilnya dianalisa menggunakan metode bersifat
induktif berdasarkan data-data yang diperoleh selama penelitian. Dari
penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : Pemikiran Imam Syafi’i
tentang kafa’ah yaitu sepadan atau sebanding antara kedua mempelai.
Macam kriteria konsep kafa’ah dalam perkawinan menurut beliau dilihat
dari segi agama, keturunan, status kemerdekaan, kehormatan, dan bebas dari
aib. Beliau mengembangkan kriteria kafa’ah lebih luas lagi dari kriteria
kafa’ah menurut pandangan islam. Dengan mempertimbangkan faktor
lingkungan yang sesuai pada keadaan zaman yang berlaku dan
menyesuaikan dengan lingkungan yang ada dalam masyarakat. Tentang
metode istinbat terhadap kafa’ah dalam pernikahan, Imam Syafi’i
menggunakan istinbat yang bersumber dari Al-Qur’an yaitu pada Q.S Al-
Baqarah ayat 221. Metode istinbat as-sunnah yaitu, hadist yang diriwayatkan
oleh Ahmad, dalam Hadist Rasulullah saw. Metode istinbat berupa ijma
sesuai dengan kesepakatan para ulama yang dasar hukumnya terdapat juga
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kemudian metode istinbat berupa qiyas
ketika dasar hukumnya tidak terdapat dalam ijma.
Kedelapan, Artikel yang ditulis oleh Abu Bakar dengan judul
“Kafa’ah sebagai Pertimbangan dalam Perkawinan menurut Mazhab
Syafi’i”12. Artikel ini menjelaskan bahwa konsep kafa’ah sebagai salah satu
pertimbangan perkawinan menurut Mazhab Syafi’i bahwa kafa’ah dijadikan
sebagai syarat luzum atau syarat kelaziman perkawinan. Artinya, perkawinan
yang berlangsung antara pasangan yang tidak kafa’ah maka perkawinan
tersebut tetap sah. Hanya saja bila pihak wali tidak sepakat dengan
perkawinan tersebut, maka berhak untuk menuntut pembatalan perkawinan.
Penetapan Imam Mazhab Syafi’i tersebut diorientasikan pada kemaslahatan
bersama yaitu untuk menghidari adanya perpecahan keluarga dan
12
Abu Bakar “Kafa’ah Sebagai Pertimbangan Dalam Perkawinan Menurut Mazhab
Syafi’i”, Jurnal pada Fakultas Agama Islam UISU Medan, t.t.
9
menghindari munculnya aib akibat perkawinan yang tidak sekufu. Dengan
demikian, secara simplikatif dapat dinyatakan bisa saja seorang wanita
menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu dengan dirinya asalkan wanita
terssebut diberitahu keadaan calon suaminya secara jelas dan ia
menerimaanya, maka pernikahan tersebut sah demi hukum.
Berdasarkan pemaparan kedelapan tinjauan pustaka terdahulu yang
relevan, maka jelas penelitian penulis berbeda dengan sebelumnya pertama,
apa yang ditulis Trianto berbeda kajian dan fokus, pasalnya Trianto mengkaji
Studi Pemikiran Ibnu Hazm tentang Kafa’ah dalam pernikahan dan penulis
mengkaji Konsep Kafa’ah Pada Pernikahan Studi Komparatif Imam syafi’i
dan Ibnu Hazm dan pendekatan yang digunakan dalam skripsi Trianto ialah
pendekatan normatif sedangkan pendekatan yang digunakan dalam skripsi
penulis ialah pendekatan komparatif. Kedua, Skripsi yang ditulis oleh
Lathifatun Ni’mah Konsep kafa’ah dalam Hukum Islam Pemikiran As-
Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah berbeda dengan skripsi penulis yang
berjudul Konsep Kafa’ah Pada Pernikahan Studi Komparatif Imam Syafi’i
dan Ibnu Hazm. Ketiga, Skripsi yang ditulis oleh Musafak mengkaji Konsep
Kafa’ah dalam Pernikahan Studi Pemikiran Mazhab Hanafi berbeda dengan
penulis yang mengkaji Konsep Kafa’ah Pada Pernikahan Studi Komparatif
Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm disini penulis lebih fokus mengkaji Kafa’ah
menurut Imam syafi’i dan Ibnu Hazm. Keempat, Tesis yang ditulis oleh
Humaidi berjudul Pergeseran Makna Kafa’ah dalam Pernikahan pendekatan
yang digunakan dalam tesis Humaidi ialah pendekatan sosiologis berbeda
dengan penulis yang menggunakan pendekatan komparatif. Kelima, jurnal
yang ditulis oleh Otong Husni Taufik, dengan judul Kafa’ah dalam
Pernikahan menurut Islam menjelaskan tentang kafa’ah saja, berbeda dengan
penulis yang membahas kafa’ah menurut Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm.
Keenam, Artikel yang ditulis oleh Rustam Dahar Kamadi Apollo Harahap
dengan judul Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan dalam Hukum
Perkawinan Islam berbeda dengan judul penulis yaitu Konsep Kafa’ah Pada
Pernikahan Studi Komparatif Imam Syafi’i dan Ibnu hazm. Ketujuh, Skripsi
yang ditulis oleh Ulya Ziyanutuzzahro dengan judul Analisis Pemikiran
Imam Syafi’i terhadap Konsep Kafa’ah dalam perkawinan berbeda dengan
penulis, pasalnya skripsi yang ditulis oleh Ulya Ziyanutuzzahro hanya
menganalisis pemikiran Imam Syafi’i sedangkan skripsi yang dibuat oleh
penulis membandingkan konsep kafa’ah menurut Imam Syafi’i dan Ibnu
Hazm. Kedelapan, Artikel yang ditulis oleh Abu Bakar dengan judul Kafa’ah
sebagai Pertimbangan dalam Perkawinan menurut Mazhab Syafi’i berbeda
dengan skripsi yang dibuat oleh penulis.
10
H. Metodologi penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library
research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan menelaah bahan-bahan
pustaka dan sumber lainnya yang relevan dengan topik yang dikaji. 13
Sedangkan jenis penelitian ini berupa penelitian kualitatif, karena teknis
penekanannya lebih menggunakan pada kajian teks.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan dapat diartikan suatu cara pandang yang digunakan
untuk menjelaskan suatu data yang dihasilkan dalam penelitian. Adapun
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
Komparatif.
Komparatif adalah pendekatan atau penelitian yang bertujuan
untuk membandingkan dua variabel atau lebih, untuk mendapatkan
jawaban atau fakta yang sedang diteliti.
Pendekatan penelitian dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan komparatif.
3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data
tersebut diperoleh. Sumber data dalam penelitian ini terbagi dua, yakni
sumber data primer dan sumber data sekunder.
a. Sumber data primer
Sumber data primer merupakan sumber data yang
langsung memberikan data kepada pengumpul data.14 Dalam
penelitian ini penulis memperoleh data primer dengan
menggunakan sumber primer dari kitab Al-Umm karangan Imam
Syafi’i, kitab Al-Muzani karangan Imam Muzani, kitab Al-
Muhalla karangan Ibnu Hazm.
13
Suryana,Model Praktis Penelitian Kualitatif,(Bandung,Universitas Pendidikan
Indonesia,2010),hal.14
14
Sugiyono,Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,dan R&D,
(Bandung:Alfabeta,2014), hal 137.
11
Sumber data sekunder dapat diperoleh dari sumber
sumber yang telah ada, data ini merupakan data pelengkap yang
nantinya secara tegas dikorelasikan dengan data primer, antara
lain dalam wujud buku, dan artikel. Data sekunder dapat dapat
penulis peroleh dari buku-buku yang mengkaji permasalahan
fiqh, literatur-literatur ilmiah.
12
berdasarkan aturan sudah ditetapkan. Ketiga, proses menganalisis teks
tersebut haruslah mengarah kepemberian sumbangan pada teori ada
relevansi teoritiknya. Keempat, proses analisis tersebut mendasarkan
pada deskripsi yang dimanifestasikan.
I. Sistematika pembahasan
BAB I , Adalah berisi tentang gamabaran secara umum dari seluruh
skripsi, pada bab pendahuluan berisi latar belakang, identifikasi masalah,
Batasan masalah, rumusan masalah, manfaat penelitian, kajian pustaka
terdahulu yang relevan metode penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II Menjelaskan kajian teori yang membahas konsep kafa’ah
pada pernikahan (Studi Komparatif Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm).
BAB III Hasil penelitian yaitu penjelasan yang terkait dengan hasil
penelitian bagaimana konsep kafa’ah pada pernikahan (Studi Komparatif
Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm).
BAB IV adalah kesimpulan yaitu berupa jawaban yang termaktub
dalam rumusan masalah dan kritik
13
BAB II
KAJIAN TEORI
14
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tentram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir”(Q.S:Ar-
Rum:21)
15
b. Adanya calon perempuan
c. Adanya wali nikah
d. Adanya dua orang saksi
e. Adanya ijab dan qabul21
21
Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan, (Jakarta:Rineka Cipta), hal. 61
22
Kamsuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan
Perkawinan), (Jakarta: kalam Mulia, 1998), hal.15
16
g. Bagi seorang wanita (janda) tidak dapat nikah lagi sebelum masa
tunggu berakhir.
b. Sunnah
Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
melangsungkan pernikahan, tetapi kalau tidak nikah tidak di
khawatirkan akan berbuat zina karena mampu mengendalikan
dirinya, maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut
adalah sunnah.
c. Makruh
Orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan
pernikahan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri
sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina,
sekiranya tidak nikah. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa
menikah itu hukumnya makruh bagi seseorang yang tidak memiliki
keinginan dan takut kalau tidak mampu memenuhi kewajibannya
kepada istrinya. Adapun dari kalangan Syafi’iyah bahwa menikah
itu hukumnya makruh bagi orang-orang yang mempunyai
kekhawatiran tidak mampu memberikan kewajiban kepada istrinya.
d. Mubah
17
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir
akan berbuat zina dan apabila melakukan tidak akan menelantarkan
istri.
e. Haram
Nikah hukumnya haram bagi orang yang tidak mempunyai
keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab
untuk melaksanakan kewajiban dalam rumah tangga sehingga
apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya dan
istrinya.
18
kamu dari seorang diri, dan dari padanya
Allah menciptakan isterinya, dan dari pada
keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu”.
19
ِّموا َأِلْن ُف ِس ُك ْم ِ
ُ ث لَ ُك ْم فَ ْأتُوا َح ْرثَ ُك ْم َأىَّنٰ ش ْئتُ ْم َوقَ د ٌ نِ َس اُؤ ُك ْم َح ْر
ِِ
َ َو َّات ُقوا اللَّهَ َو ْاعلَ ُموا َأنَّ ُك ْم ُماَل قُوهُ َوبَ ِّش ِر الْ ُمْؤ من
ني
ِ الس
وء ِإاَّل َم ا َر ِح َم َريِّب ِإ َّن ُّ َِأَلم َارةٌ ب
َّ س َّ َو َم ا َُأب رُِّئ َن ْف ِس ي ِإ َّن
َ الن ْف
يم ِ ريِّب َغ ُف
ٌ ور َرح ٌ َ
20
Artinya: “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh
kepada kejahatan, kecuali nafsu yang
diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku maha pengampun lagi maha
penyayang”.
23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group,2006) hal.140
24
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat,(Semarang:Dina Utama /Toha Putra Group,1993)
hal.76
21
sedangkan dalam Islam tidak dibenarkan adanya kasta, karena manusia
di sisi Allah SWT adalah sama hanya ketaqwaannya-lah yang
membedakan.25 Persamaan kedudukan suami dan istri akan membawa
kerumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakharmonisan dalam
kehidupan rumah tangga.
Kafa’ah merupakan hak yang dimiliki oleh seorang perempuan
dan walinya, dimana seorang wali tidak bisa memaksa mengawinkan
perempuan dengan orang yang tidak sekufu kecuali yang bersangkutan
ridha, demikian juga para walinya. Maka seorang perempuan tidak boleh
dinikahkan kecuali atas persetujuan dengan para wali. Apabila si
perempuan dan walinya ridha maka perkanikahan sudah boleh
dilaksanakan sebab, persetujuan akan menghilangkan halangan untuk
nikah.26
Sedangkan secara terminologi terdapat perbedaan pendapat
ulama tentang pengertian kafa’ah dalam pernikahan, adapun
menurutnya:
a) Menurut ulama Hanafiyah kafa’ah ialah persamaan laki-laki dan
perempuan dalam perkara-perkara tertentu, yaitu nasab, Islam,
pekerjaan, merdeka, nilai ketaqwaan dan harta.
b) Menurut ulama Malikiyah kafa’ah adalah kesamaan dalam dua
perkara yaitu ketaqwaan dan selamat dari cacat yang
memperbolehkan seorang perempuan untuk melakukan khiyar
terhadap suami.
c) Menurut ulama Syafi’iyah kafa’ah adalah persamaan suami
dengan istri dengan kesempurnaan atau kekurangannya (selain
perkara yang selamat dari cacat) kemudian hal yang perlu
dipertimbangkan adalah nasab, Islam, merdeka dan pekerjaan.
d) Menurut ulama Hanabilah kafa’ah adalah persamaan dalam lima
perkara yakni islam, status pekerjaan, harta, merdeka, dan nasab.
25
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, cet I ,jilid I (Bandung,
CV.Pustaka Setia,1999), hal. 15
26
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, cet I ,jilid I (Bandung,
CV.Pustaka Setia,1999), hal. 50
22
Artinya :’’Dari Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah
SAW bersabda: Pilih-pilihlah untuk tempat
tumpahnya nuthfah kalian (maksudnya istri),
dan nikahkanlah orang-orang yang sekufu”.
(HR.Ahmad)
27
Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukarram Al-Anshari Al-Manzur, Lisan al-Arabi
23
Menurut Abu Zahrah kafa’ah merupakan suatu kondisi dalam
suatu pernikahan harus didasari adanya keseimbangan antara suami dan
istri dalam suatu aspek tertentu yang dapat menghindari dari konflik
yang dapat merusak kehidupan berumah tangga.29
Dari berbagai definisi yang telah ditulis oleh penulis bahwasanya
penulis menarik kesimpulan bahwa kafa’ah yaitu kesetaraan atau
kesepadanan antara calon suami dengan calon istri untuk
melangsungkan pernikahan guna menghindari adanya perseteruan dalam
masalah tertentu sehingga antara calon suami dan calon istri tidak
merasa keberatan untuk melangsungkan suatu pernikahan. Jadi, tekanan
dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan, dan keserasian,
terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab kalau
kafa’ah diartikan persamaan dalam hal harta, atau kebangsawanan, maka
akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan dalam islam tidak
dibenarkan adanya kasta, karena manusia disisi Allah adalah sama,
hanya ketaqwaannyalah yang membedakan.30 Perihal kafa’ah sama atau
serasi ini ditunjukan untuk menjaga keselamatan dan kerukunan dalam
pernikahan, bukan untuk ke sah-annya. Artinya sah atau tidaknya
pernikahan tidak bergantung pada kafa’ah ini, pernikahan tetap sah
menurut hukum walaupun tidak sekufu antara suami istri hanya saja,
hak bagi wali dan perempuan yang bersangkutan untuk mencari jodoh
yang sepadan. Dalam arti keduanya boleh membatalkan akad nikah
pernikahan itu karena tidak setuju dan boleh menggugurkan haknya.31
28
Syaikh Mahmud Al-Mashri, Bekal Pernikahan, (Jakarta; Qisthi press,2012) hal.
267
29
Zainul Musthofa dan Siti Aminah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek
Kafa’ah sebagai Upaya membentuk Keluarga Sakinah,
30
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat,Vol.I (Bandung:CV Pustaka
Setia, 1999) hal.50
31
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S, Fiqh Mazhab Syafi’i,(Bandung:pustaka
setia,2000), hal.261
24
َّاس ِإنَّا َخلَ ْقنَ ا ُك ْم ِم ْن ذَ َك ٍر َوُأْنثَ ٰى َو َج َع ْلنَ ا ُك ْم ُش عُوبًا
ُ يَا َُّأي َه ا الن
ِ ِإ ِ ِ ِإ ِ ِئ
ٌ َو َقبَا َل لَت َع َارفُوا َّن َأ ْك َر َم ُك ْم عْن َد اللَّه َأْت َق ا ُك ْم َّن اللَّهَ َعل
يم
ٌَخبِري
b. Hadist
Hadist Abu Hurairah:
25
Artinya : “Seorang wanita dinikahi karena
empat perkara, karena hartanya, kedudukannya,
kecantikannya dan agamanya, maka dahulukanlah
yang kuat mempunyai agama, niscaya kamu akan
beruntung’’.
ٌتكن فتنة
ْ إال تفعلوا، ُفزوجوه
ّ ُإذا أتا ُكم من تَرضو َن ُخلقهُ ودينه
عريض
ٌ وفساد
ٌ ِ
األرض يف
26
dalam rumah tangga. Apabila tidak ada keserasian sering terjadi
pebedaan pandangan dan perbedaan dalam cara hidup, sehingga mudah
menimbulkan perselisihan,akhirnya perkawinan dapat saja putus.33
Uraian diatas dapat diketahui kafa’ah memiliki urgensitas
tersendiri dalam ranah hukum perkawinan Islam, unsur utama dalam
kafa’ah adalah keserasian dalam bidang agama, tujuannya agar pasangan
suami istri saling memenuhi kewajiban,suami dapat memperlakukan istri
secara patut, sementara dipihak istri patuh dan taat pada suami dalam
garis yang dibenarkan dalam agama. Dengan keserasian itu diharpkan
rumah tangga diliputi ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan.
33
A.Hamid Sarong, Hukum perkawinan, hal.85
27
ِ اتِه لِلن
َّاس ِ نِه ويبنِّي آي
ِ النَّا ِر واللَّه ي ْدعو ِإىَل اجْل ن َِّة والْم ْغف ِِإ
َ ُ َُ َ ِرةِ ب ْذ
َ َ َ َ ُ َُ َ
لَ َعلَّ ُه ْم َيتَ َذ َّكُرو َن
b) Nasab (Keturunan)
Menurut Jumhur ulama selain malikiyah berpendapat
bahwasanya nasab merupakan suatu hal yang paling penting
dan masuk dalam kafa’ah.34 Hal ini mendasar pada hadist
Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
, الع رب بعض ها اكف اء لبعض: وروي عن ابن عم ر مرفوع ا
, واملوايل اكفا ء لبعض قبيلة بقبيلة,ورجل برجل,قبيلة بقبيلة
ورجل برجل اال حأكا أوحجاما
34
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, hal:142
28
tukang jahit dan tukang bekam”. (HR.Al-
Hakim)35
َو ُه َو الَّ ِذي َخلَ َق ِم َن الْ َم ِاء بَ َش ًرا فَ َج َعلَ هُ نَ َس بًا َو ِص ْهًرا َو َك ا َن
ك قَ ِد ًيرا
َ َُّرب
Artinya: “Dan dia (pula) yang menciptakan
manusia dari air lalu dia dijadikan
manusia itu (punya) keturunan dan
mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha
Kuasa”. (Q.S Al-Fur’qan Ayat 54)
c) Merdeka
Yang dimaksud disini ialah bukan budak (hamba
sahaya). Jumhur ulama selain Malikiyah memasukkan
35
Al-Hafiz Ibnu Hajar Asqolani, Bulugul Maram, hal. 147
29
merdeka dalam kafa’ah berdasrkan Al-Qur’an surah An-Nahl
ayat: 75
ٍ ِ
ُب اللَّهُ َمثَاًل َعْب ًدا مَمْلُو ًك ا اَل َي ْق د ُر َعلَ ٰى َش ْيء َو َم ْن َر َز ْقنَ اه َ ض َر َ
ِمنَّا ِر ْزقًا َح َسنًا َف ُه َو يُْن ِف ُق ِمْنهُ ِسًّرا َو َج ْهًرا َه ْل يَ ْس َت ُوو َن احْلَ ْم ُد
لِلَّ ِه بَ ْل َأ ْكَثُر ُه ْم اَل َي ْعلَ ُمو َن
d) Harta
Harta adalah kemampuan seseorang (calon suami)
untuk memberikan mahar dan nafkah kepada istrinya.
Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, harta merupakan
hal yang paling penting dalam kehidupan rumah tangga
sehingga harta dianggap penting untuk dimasukkan dalam
kriteria kafa’ah.
30
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa
yang dianggap sekufu adalah apabila seorang laki-laki
sanggup membayar mahar dan nafkah kepada istrinya.
Apabila tidak sanggup membayar mahar dan nafkah atau
salah satu diantara keduanya, maka dianggap tidak sekufu.
Menurut Abu Yusuf yang dianggap sekufu dalam harta adalah
kesanggupan memberi nafkah bukan membayar mahar. Sebab
ukuran yang mudah dilakukan dan kemampuan seseorang
untuk memberi nafkah itu tidak dapat dilihat dari keadaan
bapaknya.36
Adapun ulama Malikiyah dan sebagian ulama
Syafi’iyah menentang penggolongan harta dalam kriteria
kafa’ah menurut mereka harta dianggap sebagai suatu hal
yang tidak penting dalam kehidupan rumah tangga sekalipun
itu merupakan kebutuhan. Memasukkan harta dalam ukuran
kafa’ah sama halnya mengajari atau mendidik umat Islam atau
tidak berakhlak terpuji seperti yang diajarkan Nabi SAW.37
e) Pekerjaan (Profesi)
Pekerjaan atau profesi diartikan sebagai mata
pencarian seorang laki-laki yang dapat menjamin nafkah
keluarganya. Jumhur ulama selain ulama Malikiyah
memasukkan pekerjaan dalam kafa’ah. Untuk kriteria kafa’ah
tentang profesi atau kedudukan usaha sebagai syarat kafa’ah
juga mengalami perbedaan pendapat di kalangan ulama.38
f) Tidak Cacat
Menurut ulama Mazhab Syafi’i juga menganggap
kesempurnaan anggota tubuh sebagai bagian dari kafa’ah.
Seorang laki-laki yang memiliki cacat tubuh yang menikah
dengan perempuan yang sempurna anggota tubuhnya dan
sehat itu membenarkan dibatalkannya suatu perkawinan
karena tidak kufu. Sedangkan menurut ulama Mazhab Hanafi
dan Hambali berpendapat bahwa meskipun cacat tubuh
tersebut tidak menjadikan suatu perkawinan menjadi batal,
36
H.M Rasyidi, Keutamaan Hukum Islam, hal.79
37
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu Juz 9, hal.6753-6754
38
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqh
Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 142
31
akan tetapi memberikan kesempatan bagi seorang istri untuk
tetap menerima kekurangan suaminya atau menolaknya. 39
Cacat yang dimaksudkan disini adalah keadaan yang dapat
memungkinkan seseorang untuk dapat menuntut fasakh.
Karena orang cacat dianggap tidak sekufu dengan orang yang
tidak cacat, cacat yang dimaksud meliputi semua bentuk cacat
baik fisik maupun psikis yang meliputi penyakit gila, kusta,
maupun lepra.40 Namun keadaan manusia itu tidak selalu
sempurna tetapi selalu ada kekurangannya, sehingga jarang
sekali didapati seorang calon suami dan istri yang memiliki
kriteria baik secara menyeluruh. Apabila faktor-faktor tersebut
tidak dimiliki dan didapati seluruhnya, maka yang harus
diutamakan adalah faktor agama. Sebab perkawinan yang
dilakukan oleh orang yang berbeda agama mempunyai
kemungkinan kegagalan yang lebih besar daripada yang
seagama.41
5. Tujuan Kafa’ah
Kafa’ah berperan membentuk keluarga yang sakinah sesuai
dengan ajaran Islam. Dengan difahami substansi kafa’ah merupakan
langkah awal untuk menciptakan keluarga yang sakinah.
Kafa’ah bertujuan untuk menyelamatkan pernikahan dari
kegagalan yang disebabkan perbedaan di antara dua pasangan, pada
akhirnya dapat menimbulkan ketidakharmonisan dalam berumah tangga.
39
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah Dan
Pendapat Para Ulama, hal. 51
40
Al-Jaziri, Al-Fiqh ala Madzahibil Arba’ah, hal.58
41
Nasaruddin Latif, Ilmu Perkawinan, Problematika Seputar Keluarga dan Rumah
Tangga, Cet.II, (Bandung: Pustaka Hidayah,2001), hal.101
32
Pernikahan yang sekufu adalah pernikahan yang memiliki kesamaan
latar belakang diantaranya: Pendidikan, agama, madzhab, organisasi
keagamaan, ketaqwaan, suku, status sosial, tingkatan ekonomi, dan
tampilan wajah. Mengenai pengetahuan pernikahan yang sekufu,
mayoritas masyarakat desa Kemang cukup mengerti dan cukup
mengetahui bahwa pernikahan yang memiliki kesamaan latar belakang
dapat membentuk keluarga yang sakinah, masyarakat mendapat
pengetahuan tentang ajaran kafa’ah dari membaca buku hukum islamdan
mendengarkan ceramah ustadz di majlis ta’lim atau mushola. Fenomena
ini menunjukkan bahwa masyarakat desa Kemang pada saat menikah
memiliki latar belakang yang sama dengan pasangannya.42
Penerapan Kafa’ah di Desa Bulus, Kecamatan Bandung,
Kabupaten Tulungagung. Kondisi Desa Bulus, Kecamatan Bandung,
Kabupaten Tulungagung , Jawa Timur dapat dikatakan cukup baik, jika
dilihat dari sisi kehidupan sosial, keagamaan bahkan keadaan sosial
kemasyarakatan. Penduduk desa tersebut merupakan penduduk asli
sedangkan pendatang hanya sedikit, pada kenyataannya dapat dilihat
adanya sikap rasa saling tolong menolong, gotong royong, dan saling
menghormati. Penerapan kafa’ah dalam lingkungan masyarakat
pedesaan tidaklah berbeda jauh dengan yang biasanya di terapkan oleh
masyarakat/komunitas arab pada umumnya yang lebih mementingkan
kafa’ah dalam hal nasab, akan tetapi sama juga dengan masyarakat Desa
Bulus yang lebih mementingkan dan mempertimbangkan pada sisi nasab
dan juga ekonomi dalam melihat kufu antara laki-laki dan perempuan
jika akan melaksanakan pernikahan. Namun yang membedakan nasab
antara masyarakat Arab dan pedesaan yaitu jika masyarakat Arab karena
mempertahankan dan menjaga keterkaitan keturunan dari Rasulullah,
sedangkan masyarakat pedesaan melihat nasab karena dapat menjaga
dari adanya hubungan darah yang haram bagi keduanya menikah, serta
juga yang paling di pertimbangkan adalah sisi ekonomi. Desa Bulus ini
biasanya dalam pertimbangan kafa’ah lebih utama melihat pada nasab
dan ekonomi, karena kalau melihatnya dari sisi orang tua (keturunan) ke
atas baik maka dapat berhati-hati dan dapat dari terhindar dari adanya
hubungan saudara yang diantara keduanya haram menikah. Mengikuti
42
Muhammad Irsyad, “Kafa’ah dalam pernikahan di masyarakat muslim”, Jurnal
Sintesa pada Seminar Nasional Teknologi Edukasi dan Humaniora Tahun 2021
33
nasab lebih penting karena kalau sudah nasabnya bagus ke atas dan ke
bawah insyaallah anak cucunya juga bagus.43
Penerapan kafa’ah di Desa Lebaksiu, kecamatan Lebaksiu,
Kabupaten Tegal. Masyarakat Desa Lebaksiu dengan status
pendidikannya di atas rata-rata dalam hal tentang pemahaman kafa’ah
dalam pernikahan cukup dipahami. Oleh karena itu masyarakat Desa
Lebaksiu dengan pemahamannya selalu menentukan pilihan di dalam
memilih pasangan calon suami maupun calon istri dengan konsep
kafa’ah, sehingga setiap keluarga pada masyarakat Desa Lebaksiu
merasakan kehidupan rumah tangganya menjadi semakin tenang,juga
ketentraman dalam dalam keluarga dan masyarakat. Kafa’ah di dalam
pernikahan ada pengaruh yang kuat yang dapat dirasakan masyarakat
Desa Lebaksiu dengan menjalankan kafa’ah tersebut. Terutama faktor
agama, walaupun masih ada faktor lain yang mungkin dapat dijadikan
persepsi. Keseimbangan antara calon suami dan calon istri dalam
pernikahan sangatlah diutamakan agar kehidupan rumah tangganya
kelak tidak ada persoalan. Masyarakat Desa Lebaksiu pada umumnya
sangat berharap anaknya mendapatkan pasangan yang seimbang atau
pilihan yang sekufu, baik dari segi agamanya, segi hartanya, segi
nasabnya, segi pekerjaannya, maupun dari segi kecantikannya. Dari hal
tersebut walaupun pilihannya tidak mampu terpenuhi, maka setidaknya
ketaatan yang paling diutamakan karena sebagai acuan pada kehidupan
keluarga dan anak cucunya. Dengan faktor yang ada, masyarakat Desa
Lebaksiu dapat menjalankan kafa’ah dalam pernikahan dengan
pemahaman yang telah dimilikinya. Oleh karena itu dalam pernikahan
lebih dilatar belakangi oleh faktor agama, sehingga faktor tersebut
menjadi pedoman sebagian masyarakat Desa Lebaksiu. Sehingga
masyarakat yang menjalankannya merasaakan ketenangan jiwa,
ketentraman batinnya, dan untuk membentuk keluarga yang bahagia.
Jadi, dalam pernikahan yang berdasarkan kafa’ah tersebut oleh sebagian
masyarakat masih tetap dilestarikan.44
43
Muhammad Irsyad, “Kafa’ah dalam pernikahan di masyarakat muslim”, Jurnal
Sintesa pada Seminar Nasional Teknologi Edukasi dan Humaniora Tahun 2021
44
Muhammad Irsyad, “Kafa’ah dalam pernikahan di masyarakat muslim”, Jurnal
Sintesa pada Seminar Nasional Teknologi Edukasi dan Humaniora Tahun 2021
34
BAB III
45
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta:Pustaka
Tarbiyah 1994), hal.3
46
Huzaemah Tahido Yango, Pengantar perbandingan Mazhab,(Jakarta:Logos
1997), hal. 121
35
supaya belajar segala macam ilmu pengetahuan, khususnya yang
berkaitan dengan agama. Sesuai dengan ini maka Imam Syafi’i pada
masa mudanya menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu
pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan agama Islam sesuai
dengan kebiasaan kebiasaan anak-anak kaum Muslimin ketika itu. Pusat
ilmu pengetahuan ketika itu berada di Mekkah, Madinah, Kuffah (Iraq),
Syam dan Mesir. Oleh karena itu seluruh pemuda ingin dapat tinggal di
salah satu kota itu untuk berstudi, untuk mencari ilmu pengetahuan dari
rendah sampai yang tinggi.47
Pada seperempat terakhir dari Abad II H , kota Madinah sedang
dalam ilmu pengetahuan, karena di sana banyak menetap ulama-ulama
Tabi’in dan ulama-ulama Tabi’ Tabi’in. Ulama yang menonjol di
tengah-tengah ulama banyak pada saat itu adalah seorang ulama yang
terkenal dengan gelar julukan Imam Darul Hijrah, yakni Imam Malik
bin Anas (Pendiri Mazhab Maliki). Imam Syafi’i seorang yang
mengagumi Imam Malik bin Anas, sehingga pada usia 10 tahun beliau
hafal kitab Al-Muwatha di luar kepala dan beliau ingin belajar kepada
Imam Malik secara berhadapan. Oleh karena itu, beliau minta izin
kepada gurunya Muslim bin Khalid Az-Zanji untuk pergi ke Madinah
bertemu Imam Malik dan belajar pada beliau. Imam Syafi’i berangkat ke
Madinah pada tahun 170 H dengan menaiki kendaraan Onta selama
delapan hari delapan malam. Selain itu Imam Syafi’i membawa surat
dari wali Mekkah (Gubernur) kepada wali Madinah agar wali Madinah
memperkenalkan Imam Syafi’i kepada Imam Malik sesampainya di kota
Madinah dan beliaupun belajar kepada Imam Malik.48
Setelah 2 tahun di Madinah yakni dalam usia 22 tahun, Imam
Syafi’i berangkat ke Iraq (Kuffah dan Baghdad), di mana beliau
bermaksud selain menambah ilmu dalam soal-soal kehidupan bangsa-
bangsa juga untuk menemui ulama-ulama hadist atau ahli fiqh yang
bertebaran pada ketika itu di Iraq dan Persia (Iran). Sampai di Kuffah
beliau menemui ulama-ulama sahabat almarhum Imam Abu Hanifah,
yaitu guru besar Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan dimana Imam
Syafi’i seringkali bertukar fikiran dengan beliau-beliau ini dalam soal
ilmu pengetahuan agama.
47
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta:Pustaka
Tarbiyah 1994), hal.14-15
48
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta:Pustaka
Tarbiyah 1994), hal.20-21
36
Dalam kesempatan ini Imam Syafi’i dapat mengetahui aliran-
aliran atau cara-cara fiqh dalam Mazhab Hanafi yang agak jauh berbeda
dari cara-cara dan aliran fiqh Mazhab Maliki. Ketika itu beliau dapat
mendalami dan menganalisa cara-cara yang dipakai oleh kedua Imam
itu. Ketika itu beliau tidak lama di Iraq dan terus mengembara ke Persia,
sampai ke Turki terus ke Palestina dimana beliau dalam perjalanan
mencari dan menjumpai ulama-ulama baik Tabi’in dan Tabi Tabi’in.
pada kesempatan ini mengembara ini beliau mengetahui adat istiadat
bangsa-bangsa selain bangsa Arab. Hal ini nantinya menolong beliau
dalam membangun fatwanya dalam Mazhab Syafi’i. 49 Imam Syafi’i
merupakan ulama sintesis yang beraliran antara Ahl Ra’yu dan Ahl
Hadis (Kuffah dan Madinah), di kuffah Imam Syafi’i menimba ilmu
kepada Imam Malik, beliau juga berguru kepada ulama-ulama di
Yaman, Mekkah dan Madinah.
Adapun ulama Yaman yang menjadi guru Imam Syafi’i yaitu:
a. Mutharaf Ibn Mazi
b. Hisyam Ibn Yusuf
c. Umar Ibn Abi Salamah
d. Yahya Ibn Hasan
Selain dua aliran fiqh di atas (aliran ra’yu dan hadis), Imam Syafi’i
juga belajar fiqh aliran Al-Auza’i dari Umar Ibn Abi Salamah dan Fiqh
Al-Laits dari Yahya Ibn Hasan. Imam Syafi’i mempunyai banyak murid
dalam meneruskan kajian fiqh dalam alirannya, yang paling berperan
dalam pengembangan aliran fiqh Imam Syafi’i ini antara lain:
49
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta:Pustaka
Tarbiyah 1994), hal.23-24
50
Saifudin Nur, Ilmu Fiqh Suatu Pengantar Komprehensif dalam Hukum Islam,
(Bandung: Tafakur 2007), Cet I, hal. 99-100
37
a. Al-Muzani
Nama asli beliau Abu Ibrahim Ismail Ibn Yahya Al-Muzani
Al-Misri yang lahir pada tahun 185 H serta menjadi besar dalam
menuntut ilmu dan periwayatan hadist. Saat Imam Syafi’i datang
ke mesir pada tahun 1994, Al-Muzani menemuinya dan belajar
fiqh kepadanya. Al-Muzani dianggap orang yang paling pandai,
cerdas serta yang paling banyak menyusun kitab untuk
Mazhabnya. Beliau meninggal pada tahun 264 H, adapun kitab
karangan beliau antara lain Al-Jami Al-Kabir, Al-Jami Al-Shagir,
serta yang terkenal Al- Mukhtashar As-Shagir.51
b. Al-Buwaiti
Nama beliau adalah Abu Ya’qub Yusuf Ibn Yahya Al-
Buwaiti, yang berasal dari Bani Buwait kampong di tanah tinggi
Mesir. Beliau adalah murid sekaligus sahabat Imam Syafi’i yang
tertua yang berkebangsaan Mesir dan pengganti atau penerus
Imam Syafi’i, sepeninggalnya beliau belajar fiqh dari Imam
Syafi’i dan mengambil hadist dari nya pula serta dari Abdullah bin
Wahab dan dari yang lainnya. Imam Syafi’i merupakan
sandarannya dalam berfatwa serta pengaduannya apabila diberikan
suatu masalah padanya. Beliau selalu menghidupkan malam
dengan membaca Al-Qur’an dan shalat serta selalu menggerakkan
kedua bibirnya dengan berzikir kepada Allah SWT. Beliau wafat
pada tahun 231 H, di dalam penjara Baghdad, karena tidak
menyetujui faham resmi Negara saat itu, tentang kemahlukan Al-
Qur’an. Beliau mengimpun kitab Al-Fiqh, Al-Mukhtashar Al-
Kabir, Al-Mukhtashar As-Shagir dan Al-Fara’id dalam aliran
Imam Syafi’i menjadi satu.52
51
Muhammad Ali As-Sayis, Tarikh Al-Fiqh Al-Islami, diterjemahkan oleh Nurhadi
Aga dengan judul Sejarah Fiqh Islam, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,2003), hal.156
52
Muhammad Ali As-Sayis, Tarikh Al-Fiqh Al-Islami, diterjemahkan oleh Nurhadi
Aga dengan judul Sejarah Fiqh Islam, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,2003), hal.157
38
Ibrahim Ibn Khalid Yamani Al-kalbi serta Hasan Ibn Ibrahim Ibn
Muhammad As-Sahab Az-Za’farani. Imam Syafi’i wafat di mesir pada
tahun 204 H, setelah menyebarkan ilmu dan bermanfaat kepada banyak
orang. Kitab-kitab beliau hingga kini masih dibaca orang. Dan makam
beliau di mesir hingga kini masih ramai di ziarahi.
Adapun beberapa kitab fiqh karangan Imam Syafi’i, seperti kitab
Al-Umm dan Al-Risalah yang merupakan rujukan utama para ulama
Mazhab Syafi’i dalam fiqh dan ushul fiqh. Selama itu kitab lain
karangan Imam Syafi’i seperti Al-Musnad yang merupakan kitab hadist
Nabi Muhammad SAW yang dihimpun dari Al-Umm, serta Ikhtilaf Al-
Hadist, yaitu kitab yang menguraikan pendapat Imam Syafi’i mengenai
perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam hadist.
Secara sederhana, dalil-dalil hukum yang digunakan Imam
Syafi’i dalam istinbat hukum, antara lain:53
a. Al-Qur’an
b. Sunnah
c. Ijma
d. Qiyas
39
c. Pendapat para sahabat, Imam Syafi’i membagi pendapat sahabat
kepada tiga bagian. Pertama, sesuatu yang sudah disepakati,
seperti ijma mereka untuk membiarkan lahan pertanian hasil
rampasan perang tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijma seperti ini
adalah Hujjah dan termasuk dalam keumumannya serta tidak
dapat di kritik. Kedua, pendapat seorang saja dan tidak ada yang
lain dalam suatu masalah baik setuju atau menolak, maka Imam
Syafi’i tetap mengambilnya. Ketiga, masalah yang mereka
berselisih pendapat, maka dalam hal ini Imam Syafi’i akan
memilih salah satunya yang paling dekat dengan Al-Qur’an,
Sunnah, atau ijma, atau menguatkannya dengan Qiyas yang lebih
kuat dan beliau tidak akan membuat pendapat baru yang
bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.
d. Qiyas, Imam Syafi’i menetapkan Qiyas sebagai salah satu
sumber hukum bagi syari’at Islam untuk mengetahui tafsiran
hukum Al-Qur’an dan Sunnah yang tidak ada nash pasti. Beliau
tidak menilai Qiyas yang dilakukan untuk menetapkan sebuah
hukum dari seorang mujtahid lebih dari sekedar menjelaskan
hukum syari’at dalam masalah yang sedang digali oleh seorang
mujtahid.
e. Istidlal, Imam Syafi’i memakai jalan Istidlal dalam menetapkan
hukum , apabila tidak menemukan dari kaidah-kaidah hukum
sebelumnya yang di atas. Dua sumber Istidlal yang diakui oleh
Imam Syafi’i adalah adat istidlal (Urf) dan undang-undang
agama yang dahulu sebelum islam (Istishab). Namun begitu,
kedua sumber ini tidak termasuk metode dasar yang digunakan
Imam Syafi’i dalam mengambil istinbat hukum yang dipakai
Imam syafi’i.
40
pihak perempuan dan walinya. Dengan artian, pihak perempuan boleh
membatalkan akad pernikahan tersebut karena tidak adanya
kesepadanan atau tidak sebandingnya antara calon suami dan istri.54
Dalam kitab Al-Umm kitab yang dikarang oleh Imam Syafi’i :
41
Dengan catatan, apabila ada wali yang sangat dekat dengan perempuan
tersebut menyetujui pernikahannya dengan laki-laki yang tidak sekufu
atas kemauan izin restu kehendak sang perempuan itu sendiri, maka wali
perempuan tidak bisa menolak pernikahan tersebut. Karena hak
kewalian yang lebih utama adalah yang paling dekat dengan si
perempuan, misalnya bapaknya atau kakeknya. Perkara sekufu tidaknya
dalam pernikahan bukan suatu keharaman, melainkan cenderung rugi
atau tidaknya bagi si perempuan yang akan dinikahkan itu karena
pernikahannya dengan laki-laki yang tidak sepadan. Dalam hal ini,
apabila si perempuan sudah ridho dengan segala kondisi dan segala
kekurangan yang ada pada si laki-laki, maka pernikahan antara
keduanya tetep sah.55
b. Kriteria Kafa’ah Menurut Imam Syafi’i
Mayoritas ulama fiqih sepakat tentang pentingnya kafa’ah, mereka
berbeda pendapat mengenai kriteria-kriterianya. Imam syafi’i
berpendapat bahwa kriteria kafa’ah dilihat dari segi agama, keturunan,
status kemerdekaan, kehormatan, dan bebas dari aib.56 Beberapa kriteria
kafa’ah menurut Imam Syafi’i di antaranya adalah sebagai berikut:
1) Agama
Menurut beliau tidaklah sekufu bagi orang Islam yang
menikah dengan orang yang bukan Islam. Di dalam Tafsir Al-
Khazin, Ibnu Abbas menafsirkan ayat yang berarti “Dan janganlah
kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik hingga mereka
beriman terlebih dahulu”, berkata kemudian Allah mengecualikan
wanita-wanita ahli kitab (keturunan kitab) dalam firmannya yang
berarti, “ Dan boleh kamu menikahi wanita-wanita merdeka dari
orang-orang yang diturunkan kitab kepada mereka (Yahudi dan
Nasrani) dari sebelah kamu”. Akan tetapi ada yang berpendapat
bahwa ayat tersebut ditujukan kepada wanita-wanita musyrik arab
yang mereka menyembah matahari dan lain-lain. Jadi, orang-orang
Yahudi dan Nasrani termasuk dalam orang-orang yang musyrik,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya surat
at-Taubah ayat 13: 57
55
Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, (Jakarta: Pustaka Azam,t.t), hal.359
56
Otong Husni taufik, Kafa’ah pernikahan menurut hukum islam, hal.179
57
H.Ibnu Mas’ud dan H. Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2:
Muamalat,Munakahat,Jinayat, Hal.262
42
ول َو ُه ْمِ الرس
ُ َّ اج ِ َأاَل ُت َق اتِلُو َن َق ْو ًم ا نَ َكثُ وا َأمْيَ ا َن ُه ْم َومَهُّوا بِِإ ْخَر
َأح ُّق َأ ْن خَت ْ َش ْوهُ ِإ ْن ُكْنتُ ْم
َ ُبَ َدءُو ُك ْم ََّأو َل َم َّر ٍة َأخَت ْ َش ْو َن ُه ْم فَاللَّه
ني ِِ
َ ُمْؤ من
2) Keturunan
Mengenai sekufu dalam hal keturunan Imam Syafi’i
berpendapat bahwa manusia terbagi dalam dua golongan, yaitu:
orang Arab dan orang Ajam. Adapun orang arab dibagi dua yaitu,
suku Quraisy dan suku bukan Quraisy. Seorang laki-laki Arab
yang bukan berasal dari suku Quraisy tidak sekufu dengan seorang
perempuan yang berasal dari suku Quraisy.
Begitu juga tidaklah sekufu bagi bangsawan Arab dan rakyat
jelata atau sebaliknya. Kemudian, seseorang yang berasal dari
keturunan zina tidak sekufu dengan seseorang yang berasal dari
keturunan dengan pernikahan yang sah.59
58
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,1988),hal.174
43
Imam Syafi’i menyatakan bahwa Kafa’ah dalam hal
keturunan ini dikiaskan pada ketentuan pada orang-orang arab,
sebab mereka akan merasa minder jika menikah dengan orang
yang bukan dari golongannya dilihat dari sisi keturunannya.60
3) Kemerdekaaan
Sekufu dalam hal kemerdekaan Imam Syafi’i menyatakan,
bahwa orang yang merdeka tidak sekufu dengan orang yang tidak
mereka (budak). Rasulullah SAW bersabda: “Dari Aisyah r.a,
dalam perkara kisah Barirah yang telah dimerdekakan, ia berkata,
“Suami Barirah adalah seorang budak, lalu Rasulullah SAW
memberi keesempatan baginya untuk memilih maka dipilihnyalah
pernikahan itu. Andaikan suaminya adalah seorang merdeka, tentu
ia tidak diperintahkan untuk memilih”. (H.R. Bukhari dan
Muslim.61
Dapat dijelaskan bahwa seorang laki-laki atau perempuan
yang dimerdekakan maka tidak sekufu dengan orang yang
merdeka, begitupun sebaliknya. Kemudian seorang laki-laki atau
perempuan yang dimerdekakan maka tidak sekufu dengan seorang
laki-laki atau perempuan yang merdeka dari asalnya. Dan seorang
laki-laki atau perempuan yang merdeka keturunan budak, maka
tidak sekufu dengan seorang laki-laki atau perempuan yang
berasal dari keturunan orang yang merdeka.62
4) Pekerjaan
Kafa’ah menurut pekerjaan tergantung pada kebiasaan dan
pandangan di suatu daerah tertentu dan pada suatu zaman yang
berlaku. Pemikiran ini berdasarkan pada firman Allah Q.S An-
Nahl:71
59
H.Ibnu Mas’ud dan H. Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2:
Muamalat,Munakahat,Jinayat, Hal.264
60
Muhammad Nasiruddin Al-Albani, Fiqih Sunnah terjemahan Sayyid Sabiq,
hal.400
61
H.Ibnu Mas’ud dan H. Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2:
Muamalat,Munakahat,Jinayat, Hal.263
62
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:Bulan Bintang,1988),hal.175
44
ض لُوا ِّ ُين ف ِ َّ ِ ض ُك ْم َعلَ ٰى َب ْع ٍ يِف َّ ََواللَّهُ ف
َ ض ال ِّر ْزق فَ َم ا الذ َ ض َل َب ْع
ِ ِبِر ِّادي ِر ْزقِ ِهم علَى م ا ملَ َكت َأمْيَانُهم َفهم ف
يه َس َواءٌ َأفَبِنِ ْع َم ِة ُْ ُْ ْ َ َ ٰ َ ْ َ
ِ
اللَّه جَيْ َح ُدو َن
5) Aib
Yang dimaksud aib disini adalah diperbolehkannya hak
khiyar dalam pernikahan, maka tidaklah sekufu bagi orang yang
berpenyakit kusta atau balak dengan orang yang sehat atau tidak
yang mempunyai penyakit. Orang yang memiliki riwayat penyakit
45
TBC, sifilis, dan lain-lain tidaklah sekufu dengan orang yang
berbadan sehat.
Orang yang cacat tidak sekufu dengan orang yang sehat
yang tidak memiliki cacat karena cacat atau aib karena dalam hal
ini dapat mengurangi tujuan dari pernikahan.
46
yang penuh dengan kemewahan itu dalam karya Thauq al-Hamamah
yang menggambarkan tentang keluasan rumah yang dipenuhi para
pelayan dan wanita-wanita yang mempelajari dan menghafal Al-Qur’an
di dalamnya. 66
Namun, kenikmatan dan kemewahan yang dirasakan oleh Ibnu
Hazm Bersama keluarganya tidaklah berlangsung lama. Segala cobaan
fitnah dan kekerasan hidup telah menimpanya terutama ketika terjadi
pergantian pemerintahan dari suatu penguasa ke penguasa lainnya. Ibnu
Hazm Bersama keluarga merasakan pahit getir kehidupan terutama pada
masa awal mudanya.
Selain itu beragam cobaan dan fitnah terus menimpanya, seperti
yang terjadi pada bulan Dzulqo’dah 401 H yaitu saudara satu-satunya
yang bernama Abu Bakar meninggal dunia karena sakit, kemudian
disusul oleh ayahnya yang meninggal pada tahun 402 H, lalu disusul lagi
oleh pelayan perempuannya yang bernama Na’ma yang meninggal pada
tahun 403 H. Pada awal bulan Muharram tahun 404 H setelah ditinggal
ayahnya, Ibnu Hazm tinggal sendiri ia keluar meninggalkan Cordova
disertai cucuran air mata ketika itu Ibnu Hazm berusia 20 tahun.
Pada masa pemerintahan Murtada ia ditunjuk sebagai seorang
menteri, akan tetapi jabatan ini tidak lama dipegangnya bahkan ia harus
menanghadapi situasi yang sulit pula yaitu ditangkap pasukan
pemberontak dan dijadikan tawanan. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun
1016 M pada bulan Syawal.
Pada akhir hayatnya Ibnu Hazm menghabiskan waktunya di
desanya yaitu Monlisam (kini disebut Montijar, dikawasan Huelva,
Andalusia bagian barat daya) yang terletak dalam wilayah Nielbia
disana ia menyebarkan ilmunya kepada murid-murid awam yang tidak
terkenal dan tidak takut dicela. Ia mengajarkan ilmu hadist dan fiqih
serta berdiskusi dengan mereka ia sabar melayani ilmu dan terus
mengarang sehingga sempurnalah karya-karyanya dalam berbagai
cabang ilmu.67Ibnu Hazm Wafat pada hari Ahad, dua hari terakhir pada
bulan Sya’ban 456 H 1064 M di monlisam.
Riwayat Pendidikan Ibnu Hazm beliau mendapatkan berbagai
fasilitas Pendidikan sejak kecil, ia memperoleh Pendidikan dasar seperti
pelajaran Al-Qur’an mengahafal Sya’ir menulis dan belajar
keterampilan lainnya. Dan setelah ia beranjak remaja Ibnu Hazm dapat
66
Ibnu Hazm, Al-Akhlaq wa as-Siyar, hal.45
67
Syeikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka Kautsar , 2006),
Cet.I, hal.677
47
mengahafal Al-Qur’an dan menguasai maknanya serta menghafal
dengan baik. Ayahnya menyerahkan Ibnu Hazm kepada seorang guru
yaitu, Abu al-Husain Ibn Ali al-Farisi, seorang ulama yang
mengesankan hatinya, baik dari segi ilmu , amal, ibadah, maupun
kewaraannya. Dibawah bimbingan gurunya ini, ia mulai menuntut ilmu
secara intensif dengan menghadiri berbagai majelis ilmiah, baik di
bidang agama maupun umum.
Ibnu Hazm mulai belajar kepada gurunya pada usia 16 tahun dan
selalu menyertainya dalam rangka mengahadiri halaqah-halaqah yang
diselenggarakan oleh para ulama ahli tafsir, ahli hadist dan ahli bahasa
(arab). Selain dibimbing oleh Abu al-Hasan ibn Ali al-Fasi, Ibnu Hazm
secara bersamaan juga berguru kepada Ahmad ibnu al-Jasur seorang ahli
hadist, ia banyak meriwayatkan hadist darinya. Dengan kecepatan daya
tangkapnya dan kekuatan daya ingatnya.
Mula-mula Ibnu Hazm mempelajari fiqh Imam Malik seperti Al-
Muwattha, kekagumannya akan Imam Malik tidak akan merubah
pendiriannya akan mencari kebenaran dalam beragama, sehingga
menuntunnya untuk berpindah ke Mazhab Syafi’i. Pandangan Imam
Syafi’i memiliki kekhasan dan ketegasan dalam berpegang teguh pada
an-nushush as-syari’iyyah. Namun belakangan, Ibnu Hazm kembali
berpindah Mazhab dari Mazhab Syafi’i ke Mazhab Dawud al-Ashibany
pencetus Mazhab Zahiri dan murid dari Imam Syafi’i yang mengajak
pada ketegasan dalam berpegang teguh pada an-nushush semata serta
menolak qiyas, Istishan, Maslahah Mursalah
Adapun murid-murid Ibnu Hazm yang terkenal diantaranya
adalah: Abu Rafi (Putranya sendiri), Muhammad bin Abu Nashr al-
Humaidi yang menyebarkan Mazhab Zahiri ke masyriq setelah Ibnu
Hazm wafat serta al-Qadhi Abu al-Qasim sa’id bin Ahmad al-Andalusi
dan masih banyak yang lainnya. Ibnu Arabi sang sufi juga termasuk dari
penerus generasi Zahiri setelah wafatnya Ibnu Hazm.68
Abu Rafi mengatakan bahwa karya ayahnya di bidang Fiqh,
hadist, Ushul dan lainnya sebanyak 400 jilid atau secara keseluruhan
berjumlah 80.000 lembar. Namun hanya sebagaian yang dapat terlacak
karena kitab-kitabnya pernah dibakar oleh penguasa yang zalim
kepadanya. Diantara kitab-kitab yang terlacak dan terkenal ialah:
a. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, kitab ini berbicara tentang ushul
fiqh Zahiri terdiri dari 2 jilid yang di dalamnya ada 8 juz.
68
Ibnu Hazm, Al-Akhlaq wa as-Siyar, hal. 56
48
b. Al-Muhalla bi al-Atsar, terdiri atas 11 jilid tebal, tentang fiqh
beserta argumentasinya kitab ini merupakan karya terakhir Ibnu
Hazm.
c. Al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa’wa al-Nihal, kitab ini berbicara
mengenai sekte-sekte mazhab dan agama.
d. Thauq al-Hamamah fi Ulyah wa al-Ullaf, kitab ini berbicara
tentang cinta dan para pecinta, ditulis di kota Syathibi sekitar
tahun 418 H. menjadi karya Ibnu Hazm yang banyak dikaji di
Eropa dan masih banyak karya lainnya.
e. Al-Akhlaq wa as-Siyar fi mudawati nufus, kitab ini berbicara
tentang prinsip-prinsip Akhlak utama dan solusi bagi pengobatan
jiwa menuju kebahagiaan dan kesempurnaan.
69
Amri Siregar, Ibnu Hazm Metode Zahiri Dalam Pembentukan Sumber Hukum
Islam, (Jogjakarta:Belukar,2009),hal.99
49
diakui. Ibnu Hazm menyatakan bahwa al-Qur’an dari segi
bayannya terbagi tiga bagian :
1) Jelas dengan sendirinya, tidak memerlukan bayan lagi
baik dari al-Qur’an maupun hadist
2) Mujmal, yang penjelasannya diterangkan oleh al-Qur’an
sendiri.
3) Mujmal, yang penjelasannya diterangkan oleh al-
Sunnah(Hadist)
b. Sunnah
al-Sunnah adalah sesuatu yang datang dari Rasulullah
SAW berupa perbuatan, ataupun pengakuan (taqrir). Sunnah
mempunyai peranan dan posisi yang penting sebagai sumber
syari’ah posisi tersebut sejalan dengan fungsi Nabi SAW,
sebagai penjelas bagi al-Qur’an Q.s An-Nahl: 44
50
mengetahui masalah itu dan mengatakannya, serta tidak ada
seorangpun diantara mereka yang mengingkarinya. Secara logika
Ibnu Hazm mengatakan bahwa para sahabat Rasul merupakan
saksi mata yang sangat kuat berkaitan dengan pengalaman nash
baik dari al-Qur’an maupun hadist.
d. Sumber-sumber pembantu
1) Dalil Dalam Mazhab Zahiri versi Ibnu Hazm adalah al-
Dalil, menurutnya teori al-Dalil sama seperti Ijma sahabat
tidak keluar dari nash. Al-Dalil menurut Ibnu Hazm tidaklah
keluar dari nash maupun Ijma, ia berbeda dengan qiyas
karena qiyas dasarnya mengeluarkan illat dari nash dan
memberikan hukum kepada segala yang terdapat illat itu,
sedangkan al-Dalil merupakan bagian dari nash itu sendiri.
2) al-Istishab Menurut Ibnu Hazm Istishab apabila telah ada
nash al-Qur’an atau sunnah tetang masalah hukum,
kemudian ada orang yang mengatakan bahwa hukum itu
telah berubah atau telah dibatalkan karena perubahan zaman
atau situasi, maka orang tersebut harus dapat mengajukan
bukti atau dalil nashnya. Jadi Istishab menurutnya,
memberlakukan ketentuan hukum yang lama terhadap
masalah (situasi) yang sama dengan ketentuan hukum yang
pernah ada.
51
Ibnu Hazm membahas masalah kafa’ah ini dengan membagi
dua hal:
1) Keturunan
Keturunan yang dimaksud adalah hubungan seseorang
dengan asal usulnya seperti bapak, kakek dan seterusnya. Ibnu
Hazm tidak menjadikan masalah keturunan sebagai dasar
penentuan kriteria kafa’ah. Menurutnya tidak diharamkan bagi
orang kulit hitam menikah dengan putri bangasawan. Dengan
demikian orang Arab yang bersuku Quraisy begitu juga dengan
orang Arab selain keturunan Bani Hasyim.71 Dalam masalah
ini, para ulama berselisih pendapat dengan Ibnu Hazm
diantaranya para ulama yang berselisih pendapat dengan Ibnu
Hazm ialah : Sufyan at-Tsauri, Hasan bin Aly, Mughiroh bin
Abdurrahman. Mereka berpendapat bahwa pernikahan antara
maula (bekas budak) dengan perempuan Arab harus
dibatalkan.72 Menurut Ibnu Hazm orang yang berselisish
dengannya menggunakan asar-asar yang menerangkan tentang
tindakan Nabi yang tidak menikahkan putrinya kecuali dengan
Bani Hasyim dan Bani Abdu Syam. Asar ini oleh Ibnu Hazm
dipandang gugur karena ada hujjah dari firman Allah yang
lebih kuat untuk dijadikan dasar dalam masalah ini yaitu :
َأخ َويْ ُك ْم َو َّات ُقوا اللَّهَ لَ َعلَّ ُك ْم ِ َِإمَّنَا الْم ِمنو َن ِإخوةٌ ف
َ َ َأصل ُحوا َبنْي
ْ َ ْ ُ ُ ْؤ
ُتْرمَحُو َن
52
yang harus dinikahi dan menjelaskan pula wanita-wanita yang
dihalalkan (selain mereka) untuk dinikahi dengan tanpa
mempermasalahkan kekayaan, kecantikan, keturunan, maupun
status sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain sepanjang
beriman maka orang itu boleh untuk dinikahi, maka bagi Ibnu
Hazm tetap dipandang Kufu.
2) Agama
Para ulama sepakat bahwa agama merupakan unsur dari
kafa’ah. Begitu juga Ibnu Hazm yang mengatakan kafa’ah
dalam pernikahan hanya berkisar pada keimanan seseorang.
Ibnu Hazm berpendapat demikian, walaupun tidak secara
eksplisit kriteria agama ini diungkapkan oleh pengembang
mazhab Zahiri. Para ulama mengakui kriteria ini namun dalam
melihat agama sebagai kriteria kafa’ah terjadi perbedaan.
Ulama yang berseberangan dengan Ibnu Hazm mengatakan
maksud dari agama adalah sifat bagus dan istiqomah terhadap
agama, maka orang yang berakhlak jelek dan fasiq tidak kufu
dengan orang yang terjaga dari perbuatan buruk atau wanita
shalihah dan bapaknya juga shalih. 73 Sedangkan Ibnu Hazm
tidak memandang kualitas keagamaan seseorang, maka
menurut Ibnu Hazm orang yang sangat fasiq sekalipun asal ia
muslim dan tidak berzina, maka ia tetap kufu dengan Muslimah
yang bagaimanapun.
Pendapat Ibnu Hazm ini bagi golongan yang
bersebrangan dengan Ibnu Hazm menyatakan bahwa laki-laki
fasiq tidak boleh menikah kecuali dengan wanita yang fasiq,
dan wanita yang fasiq tidak boleh menikah kecuali dengan laki-
laki fasiq. Namun hal ini tidak ada seorang pun yang
mengemukakannya.
Pendapat Ibnu Hazm ini didasarkan pada firman Allah
yaitu :
73
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Vol.7, hal.241
53
Artinya: “Orang-orang beriman itu
sesungguhnya bersaudara, sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan)
antara kedua saudaramu itu dan
takutlah terhadap Allah,supaya kamu
mendapat rahmat.
74
Q.S At-Taubah : 71
54
agama, maka orang yang berakhlak jelek dan fasiq tidak kufu dengan
orang yang terjaga dari perbuatan buruk atau wanita shalihah dan
bapaknya juga shalih.75 Sedangkan Ibnu Hazm tidak memandang
kualitas keagamaan seseorang, maka menurut Ibnu Hazm orang yang
sangat fasiq sekalipun asal ia muslim dan tidak berzina, maka ia tetap
kufu dengan Muslimah yang bagaimanapun.
55
baik daripada seorang perempuan musyrik, kecuali perempuan musyrik
tersebut mau beriman maka diperbolehkannya untuk melaksanakan
pernikahan.
Dapat disimpulkan bahwasanya dalam pandangan kafa’ah dalam
pernikahan menurut Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm terjadi perbedaan yang
sangat signifikan karena mereka sepakat memperbolehkan kafa’ah, namun
kafa’ah bukanlah termasuk pada syarat sahnya pernikahan. Dan dalam
permasalahan kriteria kafa’ah Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm berbeda
pendapat mengenai permasalahan ini. Menurut Imam Syafi’i kriteria kafa’ah
terdiri dari agama, keturunan, kemerdekaan dan pekerjaan. Sedangkan
menurut Ibnu Hazm kriteria kafa’ah hanyalah keimanannya saja.
Konsep Kafa’ah menurut Imam Konsep Kafa’ah menurut Ibnu Hazm
Syafi’i
1. Imam Syafi’i mengkriteria kan 1. kafa’ah menurut Ibnu Hazm hanya
kafa’ah diantaranya agama, keturunan, berkisar pada keimanan seseorang,
kemerdekaan, pekerjaan.
56
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian penulis mengenai pemikiran Imam
Syafi’i dan Ibnu Hazm terhadap konsep kafa’ah dalam pernikahan ini dapat
disimpulkan bahwa:
1. Pemikiran Imam Syafi’i tentang kafa’ah yaitu pihak perempuan boleh
membatalkan akad pernikahan tersebut karena tidak adanya
kesepadanan atau tidak sebandingnya antara calon suami dan istri Hal
ini apabila dari wali yang memiliki urusan dengan calon mempelai
perempuan tentang segala permasalahan yang ada salah satunya jalan
hanyalah menikahkan perempuan tersebut dengan laki-laki yang
sekufu atau sepadan. Dengan catatan, apabila ada wali yang sangat
dekat dengan perempuan tersebut menyetujui pernikahannya dengan
laki-laki yang tidak sekufu atas kemauan izin restu kehendak sang
perempuan itu sendiri, maka wali perempuan tidak bisa menolak
pernikahan tersebut.
2. Pemikiran Ibnu Hazm memandang kafa’ah pada masalah keagamaan
semata begitu juga dalam masalah akhlaknya, Ibnu Hazm tidak
menjadikan derajat status sosial sebagai unsur kafa’ah , maka
menurutnya orang perempuan yang paling mulia tetap kufu dengan
orang laki-laki paling fasiq asalkan ia tidak berzina.
3. Pandangan kafa’ah dalam pernikahan menurut Imam Syafi’i dan Ibnu
Hazm terjadi perbedaan yang sangat signifikan karena mereka
sepakat memperbolehkan kafa’ah, namun kafa’ah bukanlah termasuk
pada syarat sahnya pernikahan. Dan dalam permasalahan kriteria
kafa’ah Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm berbeda pendapat mengenai
permasalahan ini. Menurut Imam Syafi’i kriteria kafa’ah terdiri dari
agama, keturunan, kemerdekaan dan pekerjaan. Sedangkan menurut
Ibnu Hazm kriteria kafa’ah hanyalah keimanannya saja.
B. Saran
1. Dalam memilih calon pasangan dalam berumah tangga hendaknya
memprioritaskan pasangan yang memiliki keimanan dan akhlak yang
baik.
57
DAFTAR PUSTAKA
58
Faisal, Sanafiah. (2007). Format-format Penilitian Sosial. Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada.
Fakih, Mansur. (1999). Analisis Jender & Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Farid Ahmad Syeikh. (2006) 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka
Kautsar )
Harahap, Rustam Dahar kamadi, Apollo. (2020). Kesetaraan Laki-Laki Dan
Perempuan Dalam Hukum Perkawinan Islam. Artikel pada IAIN
Walisongo Semarang.
Hazm Ibnu , Al-Akhlaq wa as-Siyar
Humaidi (2011). Pergeseran Makna Kafa’ah Dalam Pernikahan. Tesis pada
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Irsyad, Muhammad. (2021)“Kafa’ah dalam pernikahan di masyarakat
muslim”, Jurnal Sintesa pada Seminar Nasional Teknologi Edukasi
dan Humaniora
Moleong, Lexy J. (1993). metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung:Remaja Rosdakarya. 1993.
Musafak. (2010). Konsep Kafa’ah Dalam Pernikahan (Studi pemikiran
mazhab Hanafi). Skripsi pada Universitas Sunan Kalijaga.
Nasaruddin,Latif. (2001). Ilmu Perkawinan, Problematika Seputar
Keluarga dan Rumah Tangga, Bandung: Pustaka Hidayah)
Ni’mah, Lathifatun. (2009). Konsep Kafa’ah Dalam Hukum Islam (Studi
Pemikiran As-Sayyid Sabiq Dalam Kitab fiqh sunnah). Skripsi pada
Universitas Islam Negeri Sunan kalijaga.
Nur Djamaan.(1993). Fiqh Munakahat,(Semarang:Dina Utama /Toha Putra
Group)
Rasyidi, H.M Rasyidi. (t.t) Keutamaan Hukum Islam (Bandung, CV.Pustaka
Setia)
Rofiq, Ahmad. (2002). Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada)
Sabiq, Sayyid. (1981). Fiqh Sunnah. Bandung: PT AlMa’arif,1981.
Samin ,Sabri. (2010). Fikih II (Makkasar: Alauddin Press)
Sarong, A.Hamid. (t.t) Hukum perkawinan
Selamat,Kamsuri. (1998). Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga
(Panduan Perkawinan), (Jakarta: kalam Mulia)
Siregar,Amri. (2009) Ibnu Hazm Metode Zahiri Dalam Pembentukan
Sumber Hukum Islam, (Jogjakarta:Belukar)
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,dan R&D.
(Bandung:Alfabeta.
Suryana. (2010). Model Praktis Penelitian Kualitatif. Bandung,Universitas
Pendidikan Indonesia.
59
Syafi’i Imam,(t.t) Ringkasan Kitab Al-Umm, (Jakarta: Pustaka Azam)
Syarifuddin Amir, (2006). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Syarifuddin, Amir. (t.t). Hukum Pernikahan, (Jakarta:Rineka Cipta)
Taufik Husni, H Otong. (2017). Kafa’ah Dalam Pernikahan Menurut Hukum
Islam. Artikel pada Universitas Galuh Ciamis
Trianto, (2005). Studi Terhadap Pemikiran Ibnu Hazm Tentang Kriteria
Kafa’ah Dalam Pernikahan” Skripsi pada Universitas Islam Negeri
Sunan kalijaga.
Ulya, Ziyanatuzzahro. (2021). Analisis Pemikiran Imam Syafi’i Terhadap
Konsep Kafa’ah Dalam Perkawinan. Skripsi Institut Agama Islam
Negeri Ponorogo.
Yango Tahido Huzaemah,(1997). Pengantar perbandingan Mazhab,
(Jakarta:Logos)
Zuhri, Muhammad. (1996). Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada)
60